Tarik napas dulu. Keluarkan pelan-pelan.
Selamat membaca.Jangan lupa kasih bintang dan ramaikan komentar. ☺
***
Sultan El Firdausy
...Malam berikutnya aku mendengar beberapa pembicaraan di majelis. Sesuatu yang tidak bisa aku komentari di sana. Tentang Astrid yang tidak akan kembali ke pesantren lagi. Itu dibenarkan oleh Irul selaku pimpinan Osima.
Napasku sesak. Rasanya aku ingin mengomentari atau bertanya langsung pada siapa saja yang menjadi teman satu kamar Astrid. Tapi itu tidak mungkin. Lalu kudekati saja Irul setelah ngaji selesai.
"Yang dibicarakan anak-anak itu bener, Rul?" tanyaku.
Irul masih mencari sandalnya yang terseret langkah kaki santri lain entah ke mana. "Iya, Sul. Bentar, sandalku di mana, ya."
Kubantu carikan. Tapi dia menemukannya sendiri di bawah kolong tangga.
"Tadi siang Astrid ke sini untuk ambil barang-barangnya bersama kakak laki-lakinya. Memangnya kamu nggak lihat? Kan mampir ke wisma buat pamitan sama ustaz."
"Duh, saya tadi pagi pergi sama Mas Mahfuz ambil belanjaan baju. Baru pulang magrib tadi. Jadi tidak tahu."
"Oh. Memangnya kenapa?"
"Ya nanya aja."
"Tapi Astrid masih tetap sekolah di SMAIT, kok. Nimas bicara begitu tadi waktu abis asar. Kita sempat rundingan di sekre sebentar."
"Kamu tahu alasan dia keluar dari pesantren kenapa?" hatiku terasa ngilu. Ada dugaan yang tidak bisa aku ungkapkan di sana.
"Aku kurang tahu pasti. Tapi katanya dia ingin tetap di rumah. Kata Nimas wajah Astrid sedih sekali. Perpisahan sama anak kamar juga nangis-nangis katanya."
Aku melarang pikiranku untuk membayangkan itu.
"Baik, makasih ya, Rul," aku mengakhiri.
"Oh iya, Sul. Lusa hari Minggu kamu mau ikut workshop itu, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
NURAGA [Sudah Dibukukan]
Spiritual[SELESAI] Definisi cinta dari sudut pandang yang tak terwakili. Kata siapa remaja tidak bisa berprinsip? #RemajaIslam