Astrid Pramesti
...
Selama bulan Ramadan, Papa dilarikan ke rumah sakit dua kali. Namun yang paling parah yaitu ketika tiga hari menjelang idul fitri. Papa mungkin masih berbaring di tempat tidur kamar rawatnya, tapi dia seperti sudah sangat jauh dari aku dan Mas Tora. Badannya lemas. Tidak mau bicara. Bahkan sempat aneh meminta aku dan Mas Tora untuk keluar dari ruangan.
Mas Tora terlihat sangat stres meski tidak bisa dia menunjukkanya di depanku. Dia selalu berusaha terlihat baik-baik saja. Tetapi aku tahu karena aku juga merasakannya. Merasakan ketakutan yang sama. Merasakan kesedihan yang sama. Seolah tidak ada lagi yang kami inginkan kecuali mendapatkan Papa kembali sehat seperti sedia kala.
Aku rasa tidak ada satu anak pun yang akan kuat menyaksikan orang tuanya dalam keadaan seperti itu. Tiada hari tanpa menangis. Tidak tega melihat Papa menahan sakit yang saking menderitanya dia sampai mengusir kami keluar supaya tidak menyaksikan dirinya yang berjuang itu. Apa saja pertolongan medis yang dimasukkan ke dalam tubuh Papa tidak ada yang berefek signifikan. Seolah tubuh Papa menolak untuk diperjuangkan. Aku yakin Papa sangat ingin sembuh, tapi tubuhnya sama sekali tidak bisa diajak bekerjasama. Dia sering muntah. Mengigau tidak jelas. Lalu sadar lagi. Kemudian sebentar-sebentar hilang entah ke mana. Senyap. Tatapannya kosong. Dan itu lebih menyiksaku dari pada Papa dengan semua sakitnya itu.
Rasanya sangat berat ketika kedua orang tuaku mengalami masa kritis di tahun yang sama. Iya, Mama belum genap satu tahun meninggalkan kami. Dan sekarang aku tidak ingin itu terjadi jika Papa pergi. Tidak bisa. Aku belum siap untuk menerimanya.
Aku tidak bisa mengandalkan Mas Tora untuk terus menerus menghiburku. Karena dia sendiri pun sangat butuh untuk dihibur. Aku juga sudah menerima Nimas dengan lapang dada. Keluarganya sangat baik. Mereka beberapa kali menjenguk Papa. Aku ada percakapan sedikit dengan Nimas. Bagaimana juga aku ingin membuat kesan bahwa Nimas diterima olehku. Selama itu keinginan Papa, maka aku harus mengiyakannya. Lagi pula tidak ada yang salah.
Sultan ke rumah sakit lebih sering. Keluarganya juga. Dia juga ikutan vakum sebentar dari bimbel. Dia juga sering memberiku wejangan khasnya agar aku bisa berpikir lebih baik untuk kedepannya. Terutama tentang jurusan. Kami bercakap-cakap waktu itu di McD tak jauh rumah sakit setelah pulang tarawih di masjidnya. Serius, cuma berdua.
"Makasih ya," kataku pelan.
Dia duduk di seberangku. Menyesap minuman bersoda dan berusaha menghabiskan seporsi burger.
"Untuk apa?"
"Nggak pernah menyerah untuk aku."
"Tadinya mau nyerah."
"Kok gitu."
"Tapi saya sadar nggak akan bisa. Kalau menyerah untuk kamu saja saya tidak bisa, jadi satu-satunya pilihan yang saya ambil ya bertahan."
"Gimana kamu yakin akan bisa bertahan sama aku?"
"Yakin saja."
"Memangnya cukup hanya bermodal yakin?"
"Tidak tahu. Intinya saya ingin. Memangnya kamu ingin saya menyerah?"
Aku menggeleng. Dia tersenyum dengan mulut penuh.
"Sul," kataku.
"Hm?"
"Aku belum pernah bilang ini ya?"
"Apa?"
"Kamu romantis."
Seketika seperti alam baru saja menekan tombol jeda pada sultan. Dia berhenti mengunyah. Matanya menatapku. Mendadak dia seperti gugup. Lalu menyelesaikan makanan di mulutnya. Minum. Berakhir dengan tangannya yang diletakkan di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
NURAGA [Sudah Dibukukan]
Espiritual[SELESAI] Definisi cinta dari sudut pandang yang tak terwakili. Kata siapa remaja tidak bisa berprinsip? #RemajaIslam