BAB 24 (B): Nuraga

6.7K 1.3K 154
                                    

Bab ini diunggah oleh asisten publikasinya Ge 💛

BTW mending siapkeun tisu deh untuk bab ini. Ato kalau lagi di jalan mending duduk bentaaaaar. Serius. Aku nangis bombay baca bab ini masa 😭. Dan Ge💛 juga mrebes mili katanya pas nulis. Aku kesel sama Sultan, kecewa 😭 sebenarnya keki juga ke Astrid tapi ya gimana di bab ini aku ngga bisa gitu ke Astrid 😭 nggak bisa menghakimi dia.

Jangan lupa komen yang banyak dan kasih bintang juga ya temans! Cukup kasih bintang. Ngga bole kasih luv-luvan 🌸 ngga bolee. hehe 😊

Selamat membaca dan manangis 🌼

*************


















*****

🌸 Astrid Pramesti 🌸

...

Aku menunggu Sultan membayar beberapa menu kesukaan Mas Tora dari luar. Dia ingin membelikan Mas Tora sesuatu. Selesai membayar dia menyusulku.

"Ayo, pulang," pulang ke RS maksudnya.

Dia tidak mengajakku pergi dengan motor. Tapi jalan kaki. Jaraknya hanya ratusan meter dari rumah sakit. Lalu lintas sedang tidak padat. Malam-malam terakhir bulan Ramadan selalu menenangkan. Dan menyusuri trotoar malam yang ramai dengan lalu lalang orang-orang pencari jajanan bersama Sultan itu lebih baik dari pada menaiki Mercedes. Aku tidak tahu. Jika ada yang lebih baik dari ini letaknya entah di mana.

Sultan kalau jalan di trotoar itu tidak fokus ke jalan yang sedang dipijak, tapi nanar ke aspal yang dilalui kendaraan. Atau melihat orang-orang yang sedang di seberang. Sambil ngobrol pun tetap begitu.

"Kamu belum jawab."

"Apa?"

Aku diam.

"Aku tidak tahu apa itu masalah berarti. Tapi kalau memang kamu memikirkannya, mungkin bisa saja kalau kamu yang ikut sama saya. Ambil di kampus yang sama."

"Kenapa aku harus ikut kamu kalau aku punya impian sendiri? Aku masih ingin kuliah di jurusan yang cocok buat aku dan di kampus yang aku suka, Sul. Oke mungkin bukan penerbangan lagi. Tapi, masa iya aku harus ngikutin di kampus mana kamu kuliah."

"Biar lebih gampang."

"Itu mengekang namanya," kataku, "kenapa bukan kamu yang mengalah? Maksud aku ya ... aku pengin ada solusi yang jelas. Ini kan yang kamu usulkan?"

Sepertinya Sultan masih berpikir.

"Bukan bermaksud membandingkan, Sul. Tapi aku pengin kamu bisa ngalah juga seperti Marvin. Jadi kamu yang lebih fleksibel denganku."

Ketika mengatakan itu aku nggak ada maksud yang ke arah menjatuhkan Sultan. Enggak. Tapi ternyata itu sebuah kesalahan yang harusnya nggak pernah aku ungkapkan. Aku bodoh menyebut nama orang lain di depan Sultan. Meski aku nggak bermaksud begitu. Dan itu bukan berarti aku masih ada sesuatu dengan Marvin. Enggak.

Sejak aku bicara begitu Sultan semakin rapat mengunci mulutnya. Dia jadi berjalan tiga langkah di depanku, bahkan lebih cepat.

"Sul!" panggilku.

Ya aku nggak ngerti kenapa dia harus langsung marah. Kenapa dia nggak memberi alasan lain? Atau setidaknya ngomong sesuatu yang bisa ngasih aku kejelasan solusi.

Dan rupanya aku sudah memotong urat hatinya dengan perkataanku tadi. Sampai di rumah sakit Sultan langsung menyerahkan makanan yang dibeli untuk Mas Tora. Lalu tanpa banyak bicara diam-diam dia keluar. Pulang tanpa pamit. Padahal sebelumnya dia merencanakan mau nginap bareng Mas Tora di RS.

NURAGA [Sudah Dibukukan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang