Camera's flash.
Rasanya hal itu sudah tak asing lagi bagi pria bermanik mata gelap yang kini tengah menikmati kota malam Seattle tepat di balkon apartemennya. Jam sudah menunjukkan pukul tengah malam, namun ia enggan beranjak dari posisinya. Perhatiannya tak pernah teralihkan dari jajaran bangunan pencakar langit yang terdapat di sekitarnya. Suara bising tak pernah berhenti 24 jam lamanya, terus berputar dalam roda yang sama.
Kota yang tak pernah lelah. Begitu pikirnya, lantas ia menyesap kopi hitam pekat yang sudah mulai dingin di tangannya. Balutan kemeja hasil pemotretan beberapa jam yang lalu masih membalut tubuhnya, dengan celana kain yang serupa. Warna kamarnya yang gelap tak memantulkan cahaya apapun di dalam, tak ada penerangan yang ia hidupkan sejak pria itu memasuki kamarnya dengan raut wajah kelelahan yang tak berujung.
Ia sejenak berpikir, betapa ia sangat menyukai warna hitam entah sejak kapan. Furniture yang ia miliki hampir semuanya gelap, koleksi baju di lemari, jam tangan, sepatu, dan masih banyak lagi barang yang ia miliki berwarna sama.
Sialan, bahkan hidupku juga sangat gelap sejak aku dilahirkan. Kalimat-kalimat semacam itu selalu menghantuinya. Kehidupan yang mewah dan ketenaran yang saat ini ia dapat hanya sebagai image yang ia tawarkan pada dunia agar semua orang menganggapnya sebagai pria yang penuh dengan ambisi. Setidaknya, itu yang terlihat. Berbagai jenis majalah dan produk terkenal pernah menggunakan namanya untuk pemasaran. Dan itu tentu saja berhasil. Meskipun merasa bangga pada dirinya sendiri, akan tetapi ia tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa dirinya sedang menutup diri dari kenyataan yang ia sembunyikan.
Sebuah rahasia, dimana hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Yang ia simpan sendiri di dasar paling gelap dalam hatinya.
Pria itu menertawakan dirinya sendiri karna kopi yang ia minum. Klise, karna biasanya ia minum bir saat malam sepulang kerja hingga tak sadarkan diri. Atau setidaknya pergi ke bar dan bercumbu dengan gadis- gadis disana.
Suara ponsel lantas membuatnya tersedar akan lamunannya, cukup keras hingga membuatnya sedikit berjingkat. Sebuah pesan.
CEO Kwon ⟶ Me [23:53]
Wonwoo, kapan kau ada day-off?
Pria itu lantas tersenyum, menempatkan segelas kopinya di atas meja mini di dekatnya. Jari tangannya lalu dengan cepat menari di atas layar ponsel, mengetikkan sesuatu.
[23:54] CEO Kwon ⟵ Me
Lusa aku akan pulang ke Korea, jemput aku di bandara saat jam makan siang.
Wonwoo tak dapat menyembunyikan senyumannya mengingat fakta sudah enam bulan lebih dirinya menetap di Benua Amerika, berpindah dari negara satu ke negara lainnya. Ia merindukan kampung halamannya, meskipun kebanyakan kenangan yang ia miliki merupakan hal buruk.
Wonwoo tak pernah menganggap dunia berlaku kejam padanya, entah kenapa filosofinya tidak sejalan dengan anggapan tersebut. Dia menikmati hidupnya, dia menikmati segalanya. Termasuk menikmati kepiawaiannya menipu orang-orang dengan identitas palsunya. Bodoh sekali.
Namun, Wonwoo masihlah manusia biasa.
Sehebat apapun usahanya menipu orang dan taktiknya dalam dunia kerja untuk menghasilkan begitu banyak uang, dia masihlah pria biasa.
Pria yang kesepian.
Tak dapat ditampik ia membutuhkan seseorang di sisinya. Semua orang terus bergosip mengenai kisah hidup Wonwoo, menganggapnya seorang workaholic dan tak butuh pendamping apapun selain uang. Tapi hal itu ada benarnya juga. Untuk apa kau butuh yang lain di saat uang sudah bisa memenuhi kebutuhanmu?
Persetan dengan itu semua. Wonwoo sudah merasa cukup puas hanya dengan apa yang disajikan kehidupan malam setelah jam kerjanya usai. Tak akan ada lagi beban, ia hanya cukup bersenang-senang menikmati hasil kerjanya. Mudah bukan? Mendapatkan kesenangan dengan cara yang tak mengeluarkan tenaga berat sedikitpun.
Dari sekian banyak rahasia yang Wonwoo miliki, ada satu hal yang sungguh ia inginkan untuk menjadi nyata. Tak peduli dengan cara apa untuk mendapatkannya meskipun ia nantinya akan kehilangan segalanya. Satu hal yang benar-benar membuatnya berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Sebuah obat untuk menyembuhkan lukanya yang telah lama ia sesali.
Rasa stres seperti inilah yang sudah menjadi candu baginya setiap malam. Kerapuhan dirinya begitu terlihat saat ia sedang menyendiri seperti ini . Bagaimana tidak? Wonwoo tipe orang yang sulit untuk mengekspresikan segala bentuk perasaan hatinya. Ditambah tatapan tajam yang selalu tersirat lewat sudut matanya membuat dirinya sering dianggap pria yang dingin dan tak kenal ampun membuat orang enggan berbicara banyak dengannya. Well, memang sebenarnya seperti itu. Kecuali kepada teman-temannya.
Malam ini sama dengan malam sebelumnya, Wonwoo tidak dapat tidur pulas jika ia belum meminum bir atau apapun yang membuat ia mabuk. Sudah lama ia tak mengkonsumsi pil tidur karna setahun yang lalu ia hampir mati karna overdosis. Sebagai penggantinya ia meraba saku celananya, mengambil bungkus rokok yang isinya hanya tinggal dua batang. Kepulan asap memenuhi pandangan matanya, membuat auranya semakin gelap.
Mungkin, inilah healing baginya. Segala kegiatan tak sehat pernah ia cicipi sebelumnya, menyisakan kenangan yang sebenarnya ia sesali namun masih berat untuk meninggalkannya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
CHALLENGE
Fanfiction[ COMPLETED ] When a professional model meet a police officer. ❝I'm a killer and I'm proud of it.❞ ─Jeon Wonwoo (26 yo, high-class model) ❝I will try harder to open his mask and show the world his demon side.❞ ─Kim Mingyu (23 yo, regional police of...