06 • Monster

2.3K 324 40
                                    

Manik mata gelap itu kini sudah tak terlihat menampakkan rasa putus asanya. Acara rutin tahunan yang dilakukannya selalu terasa sebagai media penyalur beban hidupnya. Seolah-olah hanya itulah satu-satunya cara agar ia terbebas dari bayang-bayang dosa yang selama ini ia lakukan. Pria itu hidup di balik tirai kepalsuan yang sebenarnya sudah tak dapat ia tolerir lagi selama ini. Banyak orang munafik di dunia ini, dan dia adalah salah satunya.


"Kalian akan bermalam disini?" Pria berkaca mata yang tengah melirik jam di pergelangan tangan kirinya bertanya, menyilangkan kakinya di sofa kecil yang berada di sudut ruangan. "Ini sudah sangat larut untuk pulang."

"Aku tidak bisa bermalam, akan ada shooting pagi-pagi buta di Bucheon." Pria berjas yang merebahkan diri di tempat tidur dengan sepuntung rokok masih menyala menjawab, menghisap pelan lalu menghembuskannya hingga asap putih memenuhi daerah permukaan wajahnya. 

"Soonyoung?"

"Aku juga harus ke Changwon setengah jam lagi, anak buahku disana benar-benar tak bisa diandalkan."

Setelah mendapat jawaban yang sama sekali tak memuaskan, pria itu kini memijit kasar pelipisnya. Kumpulan pria yang bermasalah kini ada di hadapannya, dengan segala jenis kegiatan tak sehat mereka. Urusan rumah sakit sudah membuatnya kewalahan, dan kini ia harus dibebankan dengan tanggung jawab mengurus mereka. Meskipun pada dasarnya tak ada yang menyuruhnya melakukan hal demikian, namun hati nuraninya benar-benar bertindak jauh diatas logika.

"Dokter Jeonghan, kau membawa obat di tasmu? Aku sangat stres belakangan." Soonyoung melirik sosok yang masih duduk tenang di sudut ruangan. Mengharapkan sebuah jawaban yang nantinya bisa menenangkan batinnya yang bergejolak.

"Obatmu yang kuberikan sudah habis?"

"Belum," jawab Soonyoung dengan nada yang ragu, khawatir jika seseorang yang ia panggil dokter tersebut akan memarahinya sedetik kemudian. "Aku menggantinya dengan obat lain yang kudapat dari bandar sebulan yang lalu."


Kini tatapan mereka bertemu dalam diam di remang-remang cahaya lampu redup yang menggantung di tengah ruangan. Jeonghan merasa ia sudah membuat keputusan yang sangat salah tanpa memikirkan konsekuensinya terlebih dahulu. Berurusan dengan Soonyoung sudah pasti akan membuatnya dalam masalah, ditambah beberapa detik lalu ia mengaku sudah mulai berurusan dengan bandar obat-obatan, yang mana tak lain pasti ada hubungannya dengan narkoba. Niat awal karna ingin membantunya dengan dasar hubungan dokter dengan pasien kini berubah menjadi suatu perangkap. Sudah berkali-kali Jeonghan mengatakan pada Soonyoung bahwa dosis obat yang ia berikan untuk penenang sudah hampir melewati batas dan tak boleh ditambah lagi, tapi Soonyoung seakan tak pernah puas hingga ia selalu meminta lebih.

"Berhentilah menghancurkan diri kalian." Jeonghan meninggikan suaranya, sangat marah pada kumpulan bocah pengecut seperti tiga pria yang ada di hadapannya. "Cukup Wonwoo saja yang jadi tanggunganku, jangan pernah kalian ikut bermain-main." Sejenak ia melirik ke arah tempat tidur, menatap Wonwoo yang tengah tertidur pulas dengan mata yang sembab. Acara peringatan kematian orang tuanya selalu berakhir dengan cara seperti ini.

"Seharusnya kau senang, Dokter. Selangkah lagi Wonwoo akan sembuh, aku dan Soonyoung tampaknya akan menjadi pasienmu yang berikutnya."

"Bicaralah padaku atas dasar pertemanan, Seungcheol, bukan seperti antara dokter dengan pasien." ucap Jeonghan. Ia selalu ingat bagaimana keadaan Seungcheol dan Soonyoung sebelum keadaan berubah menjadi seperti ini, dimana mereka selalu menjadi pendamping Wonwoo ketika pria itu sedang depresi. Tapi tekanan membuat mereka justru saling terkait satu sama lain sehingga membuat ketiganya berada di dalam satu fase yang sama. Depresi telah menjadi racun di dalam otak mereka. 

CHALLENGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang