"Papa?"
"Papa..."
Sentakan kecil pada telapak tangan Mingyu membuat pria itu kini sadar akan apa yang dilakukannya di gerbang pemakaman ─diam dan termenung dengan beribu pikiran yang rumit. Kaki Mingyu seolah berat hanya untuk melangkah menuju salah satu nisan abu yang sudah terpatri diatas gundukan tanah yang dilapisi rerumputan hijau segar. Pria itu tak segera sadar bahwa kini bocah yang tengah memegang jari kelingking kanannya mulai pegal lantaran harus mendongak agar mendapat perhatian ayahnya.
"C'mon, Papa. You said you want to meet uncle."
"But, I'm afraid, Leo..." Mendengar ayahnya memanggil dirinya Leo ─bukan Minwoo, si anak berdecak sebal. Ingin rasanya ia mendorong tubuh besar ayahnya yang membeku di pintu gerbang pemakaman agar segera masuk.
"What are you waiting for? He's Daddy's brother and you miss him, Papa."
Meskipun sudah berlalu hampir satu dekade, nyatanya kenangan hari itu belum sepenuhnya terhapus. Rasanya masih sama persis ketika tetesan hujan mulai membaur bersama gundukan tanah di hari itu. Hujan yang tak mampu melarutkan segala perasaan yang terbendung di kala keputusan yang sudah dibuat hanya berakhir dengan kesia-siaan.
Kaki Mingyu mulai bergerak, diikuti Minwoo yang berjalan di sisinya dengan buket bunga yang berada di dekapannya. Mingyu selalu bercerita pada Minwoo bagaimana perlakuan kakak Mingyu dulu semasa hidup. Meskipun Mingyu hanya memberitahu dari sisi positifnya ─tanpa harus mengungkit segala masalah yang sudah disebabkan Wonwoo, anak itu mendengarkan dengan baik dan menganggap Wonwoo sebagai pahlawan yang ayahnya miliki. Bahkan ketika Minwoo mendapat tugas untuk bercerita mengenai siapa orang yang dianggap pahlawan, anak itu dengan bangga menyebut nama Wonwoo sebagai orang yang dikaguminya.
Mingyu sama sekali tak akan pernah lupa dimana letak nisan kakaknya meskipun semuanya nampak sama, terletak di sebelah utara dan sedikit berada di sudut area pemakaman. Mendadak Mingyu merasa durhaka lantaran disana terdapat buket bunga yang belum sepenuhnya kering. Itu pasti dari teman-teman Wonwoo yang rutin berkunjung.
"Hyung, lihat siapa yang datang," tukas Mingyu ketika kakinya yang berbalut sepatu berada tepat di sebelah nisan. Awalnya ia akan mengira dirinya akan menangis seperti saat itu ─tapi tidak, ada seberkas kebahagiaan yang muncul dalam hatinya dan perlahan memunculkan segaris senyum pada wajahnya.
"Halo, Paman Wonwoo." Minwoo berujar, meletakkan buket bunga hasil pilihannya saat di kios tepat di atas gundukan tanah berlampis rumput. Ia juga sempat menyingkirkan daun kering yang berserakan di sekitar nisan. "Ayah bilang aku harus makan dengan teratur dan giat belajar supaya bisa bertemu Paman. Ayah juga sering menceritakan tentang Paman ketika kami tidur bersama."
Ketika melihat Minwoo menekuk kakinya dan semakin mendekatkan diri pada nisan Wonwoo ─diikuti dengan ocehannya mengenai segala sesuatu yang terjadi di sekolah, Mingyu meletakkan bunga matahari yang ia beli diantara kumpulan buket lainnya. Tangannya mulai meraba permukaan batu abu yang kasar, membayangkan bahwa itu adalah punggung Wonwoo yang nyata. Dia sadar bahwa telapak tangannya itu belum pernah memberikan kehangatan pada Wonwoo secara tulus dan penuh kasih sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHALLENGE
Fiksi Penggemar[ COMPLETED ] When a professional model meet a police officer. ❝I'm a killer and I'm proud of it.❞ ─Jeon Wonwoo (26 yo, high-class model) ❝I will try harder to open his mask and show the world his demon side.❞ ─Kim Mingyu (23 yo, regional police of...