18 • You Gonna Be Okay (Last)

2.8K 283 193
                                    

⬆⬆⬆
[ pls swipe first and play the video for better experience when you read the whole story, use your earphone too. ]





Musim semi datang menyapa. Sejuknya angin membelai tiap helai dahan yang menggantung. Langit tampak cerah, matahari tak terlalu bersinar terik. Suasana yang sangat pas untuk sekedar liburan melepas penat. Terutama ketika sore datang, langit jingga Seoul seolah-olah menjadi teman bicara ketika kegundahan hati melanda.

Mingyu duduk di salah satu kursi taman, masih bertemankan sepi yang tak kunjung usai. Kopi yang sisa setengah di tangannya mulai dingin. Setidaknya hari ini ia ingin sendiri ─lagi. Memikirkan bagaimana keputusannya untuk menjalani hidup ke depan yang masih panjang.

"Mingyu," sapa Wonwoo yang tiba-tiba berada di belakang pria yang tengah termenung itu. "Boleh aku duduk?"

Mingyu tak lantas menjawab. Memori saat pertama kalinya ia bertemu Wonwoo di kafe terputar ulang. Pertanyaan 'boleh aku duduk' yang Wonwoo lontarkan masihlah sama seperti saat itu.

"Lakukan apa yang kau mau," ketus Mingyu menjawab, nadanya sama sekali tak bersahabat. "Percuma jika aku nenyuruhmu pergi, kau tak akan mengindahkan."

Wonwoo tersenyum tulus. Meskipun Mingyu masih belum mau membalas tatapannya dengan tulus, setidaknya pria itu sudah tau semuanya. Sulit bagi Mingyu menerima pria yang begitu dibencinya. Harapan Wonwoo untuk saling bertukar cerita nampaknya harus ia kubur kembali. Dia begitu sulit menemui Mingyu yang selalu menyibukkan diri.

"Maaf atas Seojin dan semuanya. Aku tak berpikir logis sehingga membuat segalanya menjadi hancur." Kedua mata Wonwoo menatap cahaya senja, betapa inginnya ia memiliki jalan hidup seindah mentari sore saat itu. "Aku merindukan Seungcheol dan Soonyoung. Rasanya sudah lama sekali aku tak mendengar tawa mereka."

Remasan lemah tangan Mingyu membuat gelas kopinya mengkerut, "Kuliah Seojin berhenti begitu saja. Padahal ia punya mimpi menjadi penulis novel. Tapi sayang seseorang merebut mimpinya dan justru membuat Seojin mendekam di penjara."

Wonwoo mendesah, sama sekali tak keberatan atas sindiran Mingyu yang begitu kentara. "Aku tahu dan kini aku sudah menerima karmanya. Aku dan adikku dulu begitu dekat hingga tak pernah melewatkan waktu tak bersama. Lihat sekarang, bahkan dirinya enggan walau hanya menatap."

Nyeri kembali menyerang dada Mingyu. Rasanya sakit sekali. Dia ingin lari dari segalanya tapi Wonwoo selalu menghadang jalan Mingyu dan membuat dirinya kembali dilanda perasaan dilema. Jauh dalam lubuk hatinya, ia ingin mendekap erat Wonwoo dan tertawa bersama layaknya saudara. Tapi mengingat segala kekacauan yang Wonwoo sebabkan membuat Mingyu mengurungkan niatnya.

"Kau masih ingat tempat dimana kau kusekap di dekat hutan? Saat ada kerusuhan di Hawon?" tanya Wonwoo, mencoba mengingatkan Mingyu atas kejadian saat itu. "Itu rumah kita dulu. Rumah yang menjadi saksi bagaimana ayah dan ibu tewas. Aku masih ingat bagaimana kepulan api menenuhi ruang tengah dimana menghanguskan tubuh ayah dan ibu yang mandi darah."

Darah.

Api.

Mendadak Mingyu mengingat ucapan ayahnya, tentang bagaimana histeris dirinya ketika melihat api dan sekaleng cat warna merah dulu. Kejadian itukah yang menjadi sebabnya?

"Hanya... tunggu aku." Kini Mingyu menatap lawan bicaranya. Mengamati lamat bagaimana lekukan wajah pria yang Tuhan ciptakan untuk lahir di rahim yang sama dengannya. "Aku janji akan pulang bersamamu, tapi tidak sekarang. Beri aku sedikit lagi waktu."

CHALLENGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang