Seorang gadis membuka pintu apartemennya dengan sedikit tergesa. Dia langkah kan kaki dengan cepat ke arah dapur. Dia pun terpaku melihat apa yang ada disana. Diatas meja makan yang hanya cukup untuk dua orang, terhidang makanan yang bisa dipastikan sudah dingin lengkap dengan lilin aroma therapy yang masih menyala. Terdapat juga cake coklat mungil dengan angka 4 diatasnya. Perasaan bersalah pun merebak di hatinya. Pandangannya langsung menyapu sekitar. Tapi sepertinya dia tidak menemukan apa yang dia cari.
"Dimana dia? Apa dia pergi?"
Rasa sesak menyelimuti hatinya, memikirkan kemungkinan yang ada dipikirannya.
"Tidak, dia pasti masih disini. "
Memikirkan itu gadis itu segera beranjak, melangkah mendekati sebuah pintu kamar di apartemen itu. Dia membuka pintu dengan perlahan, seakan takut mengejutkan seseorang yang dia cari.
Tapi rasa takut kembali merasuki hatinya, saat mendapati ruangan itu juga kosong. Mencoba menyakinkan diri, gadis itu masuk semakin dalam ke dalam kamar. Pandangannya masih menyisir sekitar ruangan. Sampai dia mendapati tirai penutup pintu balkon sedikit bergoyang tertiup angin, samar-samar dia juga menangkap siluet seseorang yang sedang berdiri disana.
Perasaan lega menelusup hatinya, tapi tidak mengurangi ketakutan di hatinya. Ini bukan pertama kalinya dia mengingkari janjinya, bahkan mungkin sudah terlalu sering dia mengingkari janjinya sendiri. Tapi itu semua bukan tanpa sebab, selalu ada alasan untuk itu semua.
Gadis itu melangkah dengan pelan menuju balkon, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Dia takut suara yang ditimbulkannya akan mengganggu kenyamanan seseorang yang tengah menumpukkan kedua tangannya diatas pagar balkon, matanya menatap lurus ke depan. Entah apa yang dilihatnya. Bahkan saat seseorang memeluknya dari belakang, dia masih tidak mengalihkan pandangannya bahkan tidak bersuara. Sampai gadis yang memeluknya bersuara dengan sedikit terisak.
"Maaf... "
"Selalu ada maaf buat kamu, Gre."
Mendapat jawaban seperti itu, gadis yang dipanggil dengan Gre bukannya berhenti terisak tapi malah berganti dengan tangisan. Membuat orang yang dipeluknya memutar badannya, merengkuh Gre dengan lembut ke dalam pelukannya.
"Kenapa nangis hmm..?" dengan sabar tangannya mengusap punggung gadis yang berada dipelukannya, membuat gadis itu nyaman dan meredakan tangisannya.
"Kenapa Ci Shani ngga pernah marah?" Gre mengangkat wajahnya dari dada Shani, menatapnya dengan mata yang menyiratkan rasa bersalah. Tapi dia tidak menemukan sedikitpun kemarahan ataupun kekesalan dari wajah yang di tatapnya. Justru sebaliknya dia melihat senyuman yang sangat menenangkan disana.
"Kenapa aku harus marah? Sedangkan aku tau kenapa kamu tidak menepati janjimu." Shani menangkup wajah Gre dengan kedua tangannya, membersihkan sisa-sisa air mata Gre.
"Tapi Ci... "
"Stttt.... Kita sama-sama sudah berusaha saling memahami selama bertahun-tahun, dan akan terus berusaha buat saling memahami untuk tahun-tahun yang akan datang. Makan malam bersama bukan satu-satunya cara untuk merayakan kebersamaan kita, masih banyak cara lain. Salah satunya dengan kamu berada di pelukanku, seperti sekarang." Shani pun kembali memeluk Gre setelahnya.
"Happy anniversary Gracia, aku tau aku belum bisa jadi seseorang yang sempurna buat kamu, tapi aku akan selalu berusaha untuk jadi seseorang yang selalu ada buat kamu."
Shani melepaskan pelukannya untuk kemudian mengecup kening Gracia dengan lembut. Gre menangkup kedua sisi wajah Shani dengan kedua tangannya setelah Shani melepaskan kecupan di keningnya. Kedua jari jempolnya mengusap wajah Shani dengan lembut, menatapnya dengan binar kebahagiaan.
"Happy anniversary Ci Shani, terima kasih karna sudah memerima semua kekuranganku. Kita sama-sama ngga sempurna, tapi bersama kita akan saling menyempurnakan."
Dengan sedikit berjinjit Gracia menautkan kening mereka, kedua tangannya melingkar dengan sempurna di leher Shani. Shani pun melingkarkan kedua tangannya di pinggang Gracia, mendekatkan tubuh gadisnya padanya.
Senyuman manis sama-sama menghiasi wajah kedua gadis itu."I love you Ci Shani.. "
"Love you more Shania Gracia.. "
Entah siapa yang mendahului, kedua bibir mereka sudah saling bertaut. Ciuman yang awalnya lembut, berubah semakin menuntut. Sampai kebutuhan akan oksigen memaksa mereka saling melepaskan tapi tidak saling menjauh.
"Kamar?"
"Disini aja gimana?" jawab Gracia dengan senyuman tengilnya.
"Aku bakalan butuh tolak angin besok."
*******
Aku nulis apaan yak 😥😥😥
Bodo ah.. Kabur dulu aja 😭😭😭