26

3.3K 583 141
                                    

Malam pekat bergulat dengan rinai hujan, kadang guruh menggelagar didahului kilat yang menerangi langit sekejap. Sementara itu, di kamar Shani duduk memeluk lututnya sendiri. Detik ini, bukan hanya semesta yang basah diguyur hujan, tetapi pipi Shani juga. Entah sudah berapa ratus kali kedua bola matanya itu meneteskan kesedihannya. Shani menutup kedua mata, menahan perih di dadanya. Namun, air mata itu semakin deras mengalir di pipinya, seakan tengah menandingi tetes air hujan malam ini.

"Aku gak tau harus tinggal di mana, di kota aku gak punya rumah."

"Aku tidur di lantai gapapa, Teh. Makan pake nasi bekas juga gapapa asal aku punya tempat tinggal. Aku takut keluar, aku takut ketemu orang jahat."

"Nona itu apa? Aku panggil Teteh aja!"

"Emang teh asin bisa bikin Teteh mati?"

"Aku kampungan, Teteh kotaan ya?"

"Teteh putih!"

"Usir aku aja, aku bisa jadi pengamen di jalan daripada harus di sini. Aku takut, aku mau Kinal."

"Aku punya perasaan yang bisa sakit setiap kali diperlakuin dengan buruk."

"Aku emang orang kampung tapi aku juga punya harga diri, aku gak bisa lagi biarin harga diri aku terus diinjek cuma karna aku butuh tempat tinggal."

"Aku mau Kinal, Kinal pasti jagain aku."

"Makasih buat semua yang udah kamu kasih. Harusnya aku sadar kalo dari awal sampe sekarang kamu cuma anggep aku sampah, Shani."

Shani menutup kedua telinganya ketika suara dan bayangan Viny tak bisa menghilang dari benaknya. Semua itu membuat dadanya semakin perih, rasa bersalah yang sangat besar tiba-tiba saja datang, diikuti oleh kekhawatiran tentang di mana keberadaan Viny sekarang.

"Kamu terlalu tersinggung sama aku sampe mutusin buat pergi," gumam Shani di tengah-tengah tangisannya. Shani kehilangan alasan untuk bahagia. Orang yang biasa selalu menghiburnya kini pergi. Tidak ada lagi orang yang bisa membuatnya kesal, tidak ada lagi orang yang berani dengan lancang keluar masuk kamarnya, tidak ada lagi orang yang dengan kepolosannya bisa membuatnya tertawa. Shani kehilangan Viny karena ucapannya sendiri.

Tak lama, pintu kamar terbuka. Shani mengusap kasar air matanya lalu mengangkat kepala, menatap Veranda yang sedang berjalan menghampirinya dengan mata memerah, sepertinya gadis itu sedang mabuk.

"Lo kenapa? Tumben nangis." Veranda duduk tepat di hadapan Shani lalu mengusap pipinya yang kembali basah. Sudah berbulan-bulan ia terlalu sibuk dengan Kinal sampai melupakan satu-satunya keluarga yang ia punya. Malam ini ia menengok keadaan Shani karena khawatir gadis itu sudah tak mengabarinya berminggu-minggu, lagipula Kinal masih tidak mau berdekatan dengannya selama bau alkohol di mulutnya belum menghilang.

"Mau apa lo ke sini? Lo masih inget kalo lo punya adek?" Dengan mata yang memerah, Shani menatap Veranda dengan tajam.

Veranda mengembuskan napas kasar lalu menghempaskan tangannya, "Maaf gue udah gak pernah nengok lo, gue sibuk."

"Pergi! Gue gak pengen kenal sama siapapun lagi." Shani menggeleng pelan dan mengeratkan pelukan pada lututnya sendiri. Pandangannya lurus ke depan. Dalam hitungan detik, air mata kembali jatuh dari kelopak matanya.

"Ada masalah apa?" Veranda mengusap puncak kepala Shani tanpa memperdulikan ucapan Shani sebelumnya. Shani bukan tipe orang yang mudah menangis, maka saat gadis itu menangis pasti ada masalah serius.

"Gue bilang pergi!" Shani berteriak keras. "Gue udah ditakdirin hidup sendiri! Waktu kecil Mama Papa pergi, Eyang pergi, semua pergi!"

"Lo masih punya gue." Veranda menarik pipi Shani agar menatap ke arahnya. "Gue gak pernah pergi."

Cinta IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang