14

4.1K 638 129
                                    

"Teteh, aku pake jaket yang harganya dua juta." Viny memperlihatkan jaketnya yang baru saja ia beli. Jaket itu berwarna hitam, Viny sangat menyukai warna ini. "Kupluknya mau aku pake ah soalnya udah malem, takut dingin." Viny terus berbicara meski tak sedikitpun Shani jawab. Ia mengikat rambut pendeknya kemudian memakai kupluk itu.

"Bapak mau bawa aku ke mana?" Viny bertanya pada supir taksi.

"Ke tempat yang mbak sebutin tadi," jawab supir taksi itu sangat sopan. "Bentar lagi juga nyampe."

"Teteh, aku haus." Viny mengalihkan pandangannya pada Shani yang sedari tadi sibuk dengan ponsel.

"Tutup mulut lo atau gue keluarin dari mobil ini." Shani melirik Viny tajam.

"Keluarin aku aja deh, aku mau beli minum."

"Diem!" bentak Shani, berhasil membuat Viny bungkam. Shani memutar malas bola matanya dan kembali memusatkan perhatian pada ponsel. Menurutnya Viny sudah terlalu cerewet untuk ukuran seorang pelayan dan ia sangat tak menyukai itu. Sebentar lagi Shani akan mengenalkan dunia malam di kota pada Viny sebagai hukuman atas kelancangannya selama ini. Tidak ada yang bisa menghentikannya saat ini, termasuk Gracia.

"Gue bawa belanjaan, bisa lo anterin gak ke rumah gue? Ntar alamatnya gue kasih. Kalo ada yang nanya bilang aja dari Shani tapi jangan kasih tau siapapun gue di mana," ucap Shani pada supir taksi. "Ongkosnya gue bayar lebih."

"Iya siap mbak." Supir taksi itu mengangguk paham.

Tak membutuhkan waktu yang lama lagi, Shani sampai di club langganannya. Setelah memberikan alamat rumah dan membayar ongkosnya, Shani langsung mengajak Viny masuk ke dalam. Club ini mulai ramai oleh pengunjung yang berdatangan karena hari sudah semakin malam. Beberapa kali Shani tak memperdulikan orang-orang yang menyapanya, ia terus melangkah dengan tatapan dinginnya.

Viny memandang asing ke sekeliling ketika masuk ke dalam. Ruangan ini tampak remang-remang oleh cahaya, tidak seterang ruang restoran yang sebelumnya pernah ia kunjungi. Viny hanya tau Shani mengajaknya untuk minum. Tak sengaja pandangannya terhenti pada sepasang kekasih yang sedang berciuman di pojok ruangan. Viny menelan ludahnya dengan susah payah dan segera berpaling. Pikirannya tertuju pada film yang pernah Shani tonton, di sana ada adegan berciuman juga.

"Biasa ya, dua botol." Shani langsung memilih meja sambil menunggu pesanannya. Ia duduk di kursi, mata Shani memicing, memperhatikan dua orang perempuan yang sedang tertawa seraya menari di tengah sana. Mereka terlihat sudah mabuk berat. Shani berdecih malas, "Tu setan kalo gue ajak gak bisa mulu, sekarang enak-enakan joged."

"Siapa, Teh?" Viny mengarahkan pandangan ke arah yang sama dengan Shani, "Oh, Teteh judes sama Teteh Naomi."

"Namanya Ve, dia kakak sepupu gue." Shani menuangkan minuman -yang baru saja sampai- ke dalam gelas kemudian meneguknya sampai habis. "Lega. Mau nyobain gak? Lo harus minum."

"Yeay aku dikasih minum." Viny mengangguk semangat sambil mengambil gelas yang Shani berikan lalu meneguknya. Namun, tak lama ia kembali memuntahkan minuman itu. "Ini gak enak."

Shani tertawa keras seraya meminum minuman miliknya, "Gue gak mau tau lo abisin minuman ini. Itu hukuman karna lo udah seenaknya."

Viny menggelengkan kepalanya kuat sambil menutupi bibir menggunakan tangan kanannya, "Gak mau. Hukum aku lari aja, aku gak mau minum."

"Lo kebiasaan ya ngeyel." Shani mengambil gelas itu kemudian menarik kasar tangan Viny yang menutupi bibirnya. "Minum atau gue usir dari rumah. Lo bakal jadi gelandangan di jalan," ancamnya tegas.

Viny menutup matanya seraya membuka mulut. Minuman yang Shani berikan, ia telan dengan susah payah. Tenggorokannya sedikit panas, mulutnya terasa tak enak. Viny membuka matanya, menatap Shani dengan tatapan memohon kemudian menggeleng pelan, "Udah ya? Aku gak mau lagi, aku mohon," ucapnya memelas. Itu minuman paling buruk yang pernah ia rasakan.

Cinta IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang