17

4.3K 653 72
                                    


Veranda baru saja pulang dari supermarket, membeli semua makanan untuk isi kulkasnya yang habis tak tersisa dibawa Shani dan Viny. Sebelumnya juga ia sudah memberikan sisa uang yang Shani inginkan karena Shani mengancam akan kembali ke rumah ini dan mengacak-ngacak kamarnya jika ia tidak memberikan uang itu. Mau tidak mau Veranda memberikan itu, ia tak ingin mengambil resiko. Bagaimanapun caranya, ia harus menghalangi Kinal bertemu dengan Viny. Itu satu-satunya cara agar ia tak kehilangan Kinal.

Veranda membawa beberapa makanan ke dalam kamar, di sana Kinal pasti sudah menunggunya karena gadis menggemaskan itu masih tidak mau keluar dari kamar. Veranda membuka pintu kamar lalu tersenyum simpul ketika melihat Kinal sedang duduk anteng, menonton TV dengan tangan yang sibuk memainkan boneka kecil miliknya. Hanya dengan memandanginya seperti itu, Veranda sudah sangat bahagia. Ternyata kebahagiaan yang bisa disampaikan oleh cinta bisa sesederhana itu.

"Nona lamaa." Kinal cemberut tanpa ingin menatap Veranda yang mulai berjalan menghampirinya. "Aku tadi udah makan, dikasih sama Ikha. Kata Ikha Nona pergi, Nona bohong, katanya mau nemenin aku."

"Ditinggal dua jam doang marah." Veranda terkekeh pelan kemudian duduk di samping Kinal. Ia diam selama beberapa detik, memandangi wajah lucu Kinal. Bibir Kinal yang keriting, mengerucut ke depan, menandakan bahwa gadis itu benar-benar kesal. Veranda menarik tangan Kinal lalu mengepalkan coklat dalam genggamannya.

Tidak perlu waktu lama bagi Veranda untuk membujuk Kinal, saat ini Kinal sudah tersenyum senang lalu menatap lembut kepadanya. Veranda membalas tatapan itu dengan kepala sedikit miring, membiarkan helaian rambut panjangnya terurai ke depan. "Masih kesel?"

Kinal menggeleng pelan, "Ngga, Nona. Makasih yaa," ucapnya sambil menunduk dan mulai membuka bungkus coklat itu. Kinal menggigit coklatnya kemudian menyodorkan pada Veranda, menawarkan coklat itu. Dengan santai, Veranda menggigit coklatnya.

"Nona, kenapa leher aku merah kalo dicium Nona?" tanya Kinal sambil mengunyah coklat itu. Dahinya berkerut, menunjukan kebingungannya.

"Gak tau." Veranda tertawa ketika pandangannya jatuh pada leher Kinal.

"Gak tau yaa." Kinal mengigit kembali coklat itu lalu melemparkan pandangan pada TV, tidak terlalu mempermasalahkan ketidaktahuan Veranda.

"Coba gantian biar tau." Veranda mengambil ikatan lalu mengikat satu rambutnya dengan sembarang, membiarkan leher jenjangnya yang putih terlihat dengan jelas oleh Kinal. Untuk kesekian kalinya, ia ingin memanfaatkan kepolosan Kinal. Selama ini hanya Shinta yang berani meninggalkan bekas ciuman di lehernya, Veranda ingin orang yang sangat ia cintai meninggalkan bekas ciuman di lehernya.

Kinal langsung menatap Veranda selama sekian detik lalu menunduk, "Aku malu, Nona."

"Gapapa." Veranda malah duduk di pangkuan Kinal lalu melingkarkan sepasang kakinya di pinggang Kinal.

"Gimana caranya?" Kinal menelan ludah ketika tangan Veranda merangkul erat lehernya. Jantung Kinal kembali berulah dengan berdebar tak karuan. Coklat yang ada dalam genggamannya langsung jatuh ketika Veranda menarik tangannya untuk memeluk pinggang Veranda. Kinal menunduk takut lalu mengerjap beberapa kali, sangat bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Terlebih lagi ia bingung dengan Veranda, apa sebenarnya yang gadis itu inginkan darinya?

"Kaya semalem. Lu inget 'kan apa yang gue lakuin?" Veranda merasakan kegugupan yang sama. Padahal sudah sering ia ada diposisi seperti ini, tetapi ia tak pernah gugup.

Kinal menarik nafas dalam lalu diembuskan perlahan sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya, menatap Veranda lekat-lekat. Kinal mengusap kedua pipi Veranda dengan lembut lalu berucap pelan, "Aku gak mau nyakitin Nona. Aku izin peluk Nona aja ya?" Senyuman manis terukir di wajah Kinal. Ia hanya mencium dahi Veranda lalu memeluknya cukup erat, menyandarkan pipinya dengan nyaman di bahu Veranda.

Cinta IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang