13

2.1K 467 30
                                    

Meja yang semula dikira akan menjadi ramai ternyata justru canggung. Jelas canggung, hanya Odelia dan Wildan yang duduk di sana. Sisanya kini duduk cekikikan di meja lain sambil mengawasi kedua orang itu.

"Mau manggung ya, Kak?" Odelia membuka suara. Tangannya mengaduk mangkuk basonya.

"Iya nih. Di Semarang," jawab Wildan seadanya. Ia meneguk es teh untuk menutupi rasa gugup. Odelia dari jarak sedekat ini cukup membuatnya gelagapan.

"Wah, tempat asalku! Di daerah mananya, Kak?"

Seolah melupakan rasa canggung yang sempat ada, Odelia menjadi cerah saat kampung halamannya disebut.

"Oh kamu orang Semarang?" Wildan turut larut dalam topik yang dibuat Odelia.

"Iyaaa hehehe. Maaf ya kalo ngomongku agak medhok"

Tangan Wildan gatal untuk mencubit pipi Odelia saat gadis itu tersenyum lebar. Lucu. Tulang pipinya naik, senyumnya manis. Wildan suka.

"Santai aja kali, dek. Semua orang kan punya aksen sendiri-sendiri. Eh btw ngga apa-apa kan aku panggil 'dek'? Apa mau yang lain?"

'Kayak sayang atau apa gitu?' tambah Wildan dalam hati.

"Temen-temen panggil aku Odel sih. Tapi terserah kakak mau panggil apa. Kalo kakak prefer dipanggil apa?"

Wildan setengah mati menahan senyumnya agar tidak mengembang lebar yang akan terlihat menakutkan di mata Odelia. Dia gemas. Sekali lagi, dia gemaaaas.

"Panggil apa aja yang penting kamu nyaman. Aku panggil kamu Lia boleh?"

Odelia hanya mengangguk sambil tertawa. Pipinya memerah tanpa sadar.

"WADUH UDAH BAHAS NAMA PANGGILAN AJA NIH"

Setelah itu sebuah tempat tisu terbang ke kepala Satria.

Euphony | Kim Wonpil ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang