21

1.7K 346 5
                                    

Odelia benar-benar tidak ingin berbicara dengan Alino setelah panggilan terakhir mereka. Jangankan berbicara, melirik pemuda itu saja tidak sudi.

"Del, dicari Lino tuh"

Odelia memutar matanya. Perkataan Zea membuat ia mengurungkan niat untuk keluar kelas. Ia tidak ingin bertemu Alino, entah sampai kapan.

"Del?"

Odelia diam, pura-pura tidak mendengar dan melihat Alino. Gadis itu langsung berjalan keluar kelas sambil membawa tas punggungnya di salah satu pundak. Wildan sudah menunggu di luar.

"Ngga sopan kalo dipanggil ngga jawab," Alino berdiri di depan pintu, menghalangi Odelia.

"Minggir" desis Odelia.

"Mau pulang sama siapa lo? Hari ini pulang sama gue pokoknya,"

"Minggir sat!"

Alino tidak menyangka Odelia akan menjadi sekasar itu. Bertahun-tahun ia mengenal Odelia, belum pernah gadis itu berkata kasar padanya.

Melihat Alino tidak berkata-kata lagi, Odelia langsung mendorong pemuda itu agar menyingkir. Tapi belum ada dua langkah Odelia keluar, Alino sengaja menginjak tali sepatu si gadis hingga terjatuh.

"MAU LO APAAN SIH BANGSAT!?"

Alino awalnya ingin membalas bentakan Odelia. Tapi ia terdiam ketika melihat ada darah yang mengalir dari lutut si gadis. Padahal ia tidak ada niat sama sekali untuk membuat Odelia terluka.

"Del, s-sorry lutut loー" Alino berusaha membantu Odelia, tapi tangannya langsung ditepis.

"Gue bisa sendiri"

Setelah itu Odelia berjalan tertatih meninggalkan Alino dengan rasa bersalahnya

●●●

Wildan sedang bersandar di mobil sambil memainkan ponselnya ketika Odelia datang. Pemuda itu panik saat gadisnya berjalan tertatih dengan wajah memerah menahan tangis.

"Liーya ampun kok bisa kayak gini sih?"

Wildan menuntun Odelia untuk duduk di kursi depan dengan posisi kaki tetap berada di luar. Ia lalu beranjak ke bagian belakang untuk mencari pouch berisi obat-obatan kecil dan plester yang selalu berada di mobilnya.

"Lia bawa air minum?"

Odelia mengangguk, kemudian mengambil tempat minumnya dari tas tanpa berkata apa-apa.

"Tahan sebentar ya, Lia"

Tangan yang biasa memainkan keyboard dengan lihai kini dengan terampil membersihkan dan mengobati luka Odelia. Sesekali matanya mencuri lihat wajah Odelia yang masih merah.

"Udah selesai," ucap Wildan setelah menempelkan plester. Odelia hanya membalas dengan anggukan, lalu menunduk.

Wildan bangkit dari jongkoknya, membuat perutnya sejajar dengan kepala Odelia. Dengan lembut ia menuntun kepala si gadis untuk mendongak menatapnya.

"Kenapa?" tanya Wildan selembut mungkin.

Odelia menggeleng, tapi matanya berkaca-kaca dan wajahnya semakin memerah. Wildan yang menyadari itu langsung mendekap kepala Odelia ke perutnya. Hatinya ikut sakit melihat mata Odelia menyiratkan luka.

Tepat saat kepalanya menempel pada perut Wildan dan kepalanya diusap lembut, Odelia menumpahkan air matanya. Baju belakang Wildan dicengkram erat untuk menyalurkan emosi.

Euphony | Kim Wonpil ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang