Ch.18: Bentar lagi UTS

414 34 6
                                    

Sekarang sedang istirahat siang dan kami berlima memutuskan untuk duduk di taman sambil makan. Hampir seminggu lewat sejak Nadia mulai memanggilku dengan sebutan 'Rei'. Awalnya, yang lain heran dengan panggilan baruku itu. Karena teman-teman lain memanggilku dengan nama penuh 'Rirei'.

"Sejak kapan kamu manggil dia pake panggilan 'Rei', Nad?" Tanya Mika pada Nadia.

Yang ditanya cuma menjulurkan lidah.

"Tapi panggilan Rei kok lucu ya? Aku juga mau panggil Rirei 'Rei', ah." Celetuk Kirana.

"Iih nggak boleh! cuma aku yang punya ijin manggil Rirei pake nama itu!" Ucap Nadia tertawa sambil memeluk lenganku posesif.

Lagi-lagi, jantungku berdetak sedikit terlalu keras. Tapi diam-diam aku merasa senang dengan kelakuan Nadia.

Mika memutar bola matanya, "Serah lu, dah."

Setelah kejadian itu, tak ada lagi percakapan soal panggilan baruku itu. Kirana pun tetap memanggilku Rirei seperti biasa. Yang berubah hanya nama panggilan itu. 

Iya, harusnya cuma itu.

"Jadi rabu depan kita ulangan fisika ya?" Tanya Nadia sambil membuka bungkus roti. Saat itu sedang jam istirahat pertama, kami duduk di bangku halaman sekolah.

"Bentar lagi mau UTS," Erang Mika putus asa. "Yang Mulia Kirana, tolong ajari hamba matematika dan fisika..." Tangisnya pada Kirana sambil mengasihani diri.

Sama sepertiku, Mika termasuk anak berotak menengah kebawah di kelas. Karir akademik kami hanya rata-rata-miris, nggak seperti Nadia dan Kirana yang rajin, atau seperti Sera yang jenius bawaan (sayangnya cuma dia manfaatkan untuk dapat nilai diatas KKM tanpa belajar).

"Kalo gitu kenapa nggak belajar bareng pas libur aja, sekalian nyicil?" Balas Kirana kalem sambil melirik Sera. "Biar yang alesannya selalu lupa belajar bisa disuruh ikut juga."

"Oh, barusan ada yang ngomong ya?" Balas Sera datar.

"Eh... Kalian gimana kabarnya di ekskul masing-masing nih?" Buru-buru Mika menimpali mereka berdua saat mulai merasakan hawa-hawa pertengkaran.

Kami berlima mengobrol soal ekskul masing-masing. Aku lebih tertarik menyimak cerita Nadia tentang pengalaman ekskul tarinya. Soal bagaimana dia harus memohon-mohon pada kakel untuk masuk cabang tari modern---karena ia sempat memperagakan tarian daerah di depan seniornya, mereka memaksanya masuk cabang tari tradisonal.

Mau tak mau aku jadi banyak memperhatikan Nadia. Soal bibirnya yang bisa terlihat merona meski tanpa make-up berlebih. Bagaimana cara dia merapikan poni ke belakang telinga sambil menunduk untuk menggigit sesuap roti, dan bagaimana dia menatapku setelah itu- 

Aku langsung menatap kearah lain, tanganku sibuk mengaduk-aduk siomay.

Apa selama ini aku selalu segugup ini saat ketahuan sedang menatap seseorang? Rasanya seperti ketahuan guru berbuat curang saat ujian.

***

Awan tebal menghitam di atap bumi sekali lagi. Gemuruh halus di luar membuatku khawatir tentang prospek hujan deras pulang sekolah nanti.  Lengang, kecuali gemuruh sesekali dan suara bising yang teredam dari kelas-kelas. Langkahku berjalan menyusuri lorong sekolah menuju UKS gedung B. Jam ini seharusnya jam matematika Pak Gustav sehabis istirahat, tapi dengan sengaja aku ijin ke UKS karena malas masuk kelas.

Yhaa, sesekali saja, maaf ya Pak.

Tiba di gedung B, kelengangan itu makin menjadi-jadi. Aku merogoh kantung rok dan mengeluarkan kunci UKS, gantungan peraknya bergoyang-goyang. Setelah masuk aku meraih suplai darah di kulkas, lalu duduk di kasur UKS dan menenggak cairan merah itu dalam hening.

Vampiric Love (GxG)Where stories live. Discover now