Sudah hampir tiga bulan berlalu semenjak Shina mengalami kecelakaan. Tetapi ia belum juga sadar. Memang, Shina sudah melewati masa kritis. Hanya saja ia sekarang sedang dalam keadaan koma dan menurut keterangan dari dokter, belum pasti kapan Shina akan terbangun dari tidur panjangnya.
Sesuai janji Gio, setiap hari ia selalu saja menjenguk Shina. Bahkan di minggu pertama, ia selalu membawa barang-barang pribadinya seperti baju, tas, serta buku pelajaran ke kamar Shina dengan tujuan untuk terus memerhatikan setiap perkembangan dari Shina. Yah, bisa dibilang kamar rumah sakit Shina sekarang sudah menjadi kamar kost bagi Gio.
"Gio, kamu gak sekolah?" cowok yang sedang menunduk di samping tempat tidur Shina itu langsung mendongak ketika suara seorang wanita memasuki kamar Shina.
"Eh, mama? Iya, nih. Perasaan Gio hari ini lagi baik, jadi Gio mau jagain Shina aja hari ini," papar Gio.
Donna menggumam seraya mengangguk paham. Pandangannya mengalih ke tubuh Shina yang terbaring di atas ranjang.
"Semoga Shina cepet sembuh, ya."
Senyuman tipis sedikit terlihat dari wajah Donna. Sambil menaruh buket bunga di atas meja yang terletak di sudut ruqngan, Donna terus saja merhatikan Shina.
"Oh iya, kamu udah makan?" tanya Donna kepada Gio yang wajahnya tetlihat sedikit pucat.
Kekehan kecil terdengar dari mulut Gio. "Ehe, belum sih. Tapi nanti kalo Gio laper, Gio tinggal pesen aja makanan dari warteg langganan Gio," katanya sedikit menyengir.
Namun tiba-tiba saja terdengar gemuruh di dalam ruangan yang membuat risih telinga Donna. Tuduhan terhadap perut Gio sudah ditetapkan, bahwa sudah pasti Gio sekarang memang sedang merasa lapar.
Donna tersenyum kecil melihat tingkah anaknya yang sedikit aneh. Mungkin dipikiran Gio sudah terlalu banyak memori tentang Shina hingga rasa laparnya sendiripun tidak ia hiraukan.
"Ya udah, mama bawain kamu makanan, ya." setelah mengecup kening Shin, Donna beranjak pergi untuk mencarikan Gio seporsi makanan.
Gio hanya bisa tersenyum sembari terus memerhatikan Donna dari balik pintu yang lama-kelamaan mulai menutup. Tanggannya sedari tadi menahan perutnya agar berhenti berbunyi dan menahannya agar rasa lapar ini berhenti menyerangnya.
"Gue laper parah! Gue butuh obat yang namanya makanan!" jerit Gio di dalam batinnya.
Beberapa saat kemudian, Harto datang dengan membawa bungkusan. Tercium aroma gurih dari dalam bungkusan itu. Gio sampai berani bertaruh kalau aroma itu adalah aroma dari martabak telur kesukaannya.
"Pa! Bagi sini martabaknya!" pinta Gio dengan mata berbinar dan suara yang sedikit keras. Tubuhnya sekarang bahkan mampu berdiri tegap, dan mengejar papanya itu bahkan sampai menyudutkan Harto.
"Huss! Jangan berisik. Iya bakal papa kasih! Tapi gaya kamu jangan kayak lagi mau ngebegal gitu, dong!" setelah Gio menuruti apa kata papanya itu, Harto bangkit dan memberikan bungkusan yang sedari tadi ia lindungi kepada anaknya itu.
Bungkusan itu langsung Gio buka dengan kasar layaknya seekor harimau yang sedang sangat kelaparan. Ia bahkan langsung duduk si lantai dan menyantap martabak itu dengan cepat.
"Mama kamu, kemana?" tanya Harto sambil mengedarkan pandangannya.
Pertanyaan Harto tak Gio hiraukan. Ia tetap saja melahap makanan yang diberikan papanya itu.
Klatuk!
Suara jitakan di kepala Gio terdengar keras. Pasti sangat sakit dijitak oleh mantan petinju tingkat kabupaten itu.
"Kalo papa lagi nanya, dijawab dulu lah," kata pria berjas hitam itu. Pergelangan tangannya terus ia pegang, guna melemaskan kembali otot dan sendinya yang muali rawan.
"Namanya juga lagi laper, pa." sambil memegangi kepalanya yang benjol karena dijitak papanya, Gio terus saja berkilah. Tak lama, ia melanjutkan acara sarapannya itu.
"Ya udah, papa mau balik ke kantor. Kamu jagain Shina, ya."
Gio mengangguk, tetapi tak menjawab karena mulutnya sangat penuh dengan makanan. Lagi-lagi Gio ditinggal berdua bersama Shina. Perlahan mulutnya mulai berhenti mengunyah. Otot kerongkongannya menelan bagian terakhir dari martabak telur yang diberikan papanya itu. Tubuhnya bangkit, dan membuang bungkus martabak tadi ke tempat sampah.
"Shina, kapan sembuh?"
Itulah pertanyaan Gio di setiap harinya. Tak ada kata lelah yang Gio ucapkan saat ia sedang menjaga Shina. Seperti sekarang, ia sedang duduk di samping ranjang Shina dengan tatapan dan raut wajah sedih.
"Shina, aku... sayang sama kamu," bisik Gio di samping telinga Shina. Ini bukan pertama kalinya Gio mengatakan hal itu. Itu, semenjak Shina kecil.
Kala itu, Shina kecil terjatuh dari sepeda yang ia naiki dan mendapat luka kecil di luturnya. Air mata Shina mulai mengalir dan suara tangisnya sampai membuat panik Gio yang sedang berlari mendekati Shina. Langsung saja Gio mengambil air di keran dan mbawanya menuju Shina. Luka Shina langsung ia bersihkan sambil berkata, "Shina jangan nangis, Gio selalu sayang sama Shina, kok."
Memori itulah yang datang menghampiri Gio disaat Shina tertabrak mobil.
"Aku juga sayang kamu, Gio." kalimat itu, membuat Gio membelalakkan matanya. Memang aneh, tetapi ini sebuah keajaiban. Shina tersadar. Shina sudah kembali.
Ingin rasanya Gio menangis, tetapi ia tahan karena ia sekarang sangat bahagia. Langsung saja ia berteriak memanggil dokter, dan memerhatikan jari-jemarinya Shina yang mulai bergerak.
Tim dokter yang menangani Shina pun segera memasuki ruangan kamar Shina dan menyuruh Gio untuk keluar terlebih dahulu.
Gio yang teramat gembira itupun menelepon mama dan papanya, memberi kabar baik ini.
"Ma! Shina udah sadar!" begitulah teriaknya aaat sedang menelepon mamanya.
▪◻⬛
Hai hai!! Maaf nih kalo Glu jadi late update terus. Untuk info selengkapnya bisa kalian liat di part "Menulis Tanpa Membaca" dari tulisan Celotehan Dari Balik Kamar punya Gluminions. Jangan lupa voment & kasih krisarnya ya, guys!
Terima Kisah, Terima Kasih
Salam Glu
KAMU SEDANG MEMBACA
GEBETAN
Teen FictionDi dimensi sekolah, ada satu hukum lain. Tolak, atau ditolak. Hal ini tentu bisa membuat beberapa murid menjadi gila, dan keanehan muncul di sebuah hubungan dua murid berbeda nasib yang telah menjadi sahabat, mungkin sejak. mereka lahir di rumah sak...