43. Kucing

113 13 0
                                    

Tertidur di sofa, mungkin akan menyakitkan untuk beberapa orang. Tapi Gio menunjukkan bahwa dirinya berbeda. Semalaman penuh ia tertidur di sofa dengan keadaan TV menyala. Ada sisa bumbu mie instan cup di sudut kiri pipinya, membuatnya tampak seperti gelandangan.

Brak!

Pintu depan dibuka. Harto terlihat berjalan masuk dengan sedikit terhuyung. Kantung matanya tampak menghitam dan tatapannya malas, seperti belum tidur ribuan tahun.

"Anak itu, lagi-lagi lupa ngunci pintu," gerutunya dengan nada lemas.

Harto melanjutkan langkahnya, dan mendapati Gio masih tertidur di atas sofa, dan dibalut selimut berwarna biru. Ia lantas mematikan TV yang membuat telinganya merasa terganggu, kemudian segera membangunkan Gio karena ini sudah cukup siang dan Gio masih belum siap-siap menuju ke kedai. Ya, Gio sendiri juga tak punya jadwal kuliah hari ini.

"Yo, bangun Yo! Mau cari uang gak kamu ini?!" Harto menggugah.

Bukannya bangun, Gio malah menaikkan selimutnya lebih tinggi lagi, sehingga sekarang menutupi seluruh tubuhnya kecuali kepala.

Ya, Harto tak mau ambil pusing. Ia langsung saja menuu ke kamarnya dan lekas tidur. Barang-barangnya ia lempar begitu saja. Wajar jika anaknya tak bisa memiliki kamar yang bersih, ternyata sifat Harto menurun pada anaknya.

Karena pintu rumah ini lupa Harto tutup kembali, jadi siapapun bisa masuk. Termasuk kucing rumahan berwarna hitam dan bermata biru juga berkalung. Di kalung itu tertulis sebuah nama. Ganbo, itulah nama yang tertulis di sana.

Kucing itu berjalan memasuki rumah dan sedikit berkeliling juga menghampiri sudut-sudut rumah. Saat melihat Gio, kucing itu langsung melompat ke arahnya.

Gio tak terbangun. Ia masih nyaman dengan mimpinya sampai satu jari bercakar milik Ganbo menggores pipi Gio. Sedikit darah mengalir, tetapi Gio tetap saja tidak mau bangun. Ia hanya mengaduh dan mengeluh.

"Raja! Jangan engkau membunuhku!" gigaunya.

Kucing itu nampak tersenyum jahat ketika Gio menggigau seperti itu. Ia lantas berjalan semakin jauh, dan kini menginjak-injak wajah Gio. Dijilatnya cepat daun telinga Gio, membuat Gio terkekeh kecil.

"Sayang, jangan jilat-jilat gitu dong!" kekehnya menggigau.

Ganbo makin sinis melihat Gio. Kali ini ia dengan berani menggigit daun telinga Gio hingga akhirnya berhasil membuat cowok itu terbangun dan berteriak.

"Aarrgh!" teriak Gio sambil mengubah posisinya menjadi duduk. Kucing tadi langsung melompat dari wajah Gio dan menjatuhkan cup mie instan yang terletak di atas meja.

"Kucing siapa?" Telinga Gio masih ia pengang. Terlihat memerah dan ada sedikit noda darahnya.

Gio pun bangkit. Ia lalu meraih kucing itu dan menggendongnya ke luar.

"Ini ... Pasti kucing punya tetangga baru gue," gumamnya menebak sambil terus memandangi kucing itu.

Kakinya perlahan berjalan ke luar halaman rumah dan memasuki area halaman tetangganya. Matanya mengedar, memerhatikan betapa bersih halaman ini. Selama ini halaman di rumah Shina jarang terawat, tapi ini? Sehelai daun pun tak ada. Mungkin saja baru dibersihkan oleh pemilik rumah yang baru.

"Halo? Selamat pagi. Ada orang di rumah?" Gio terus mengetuk pintu tanpa berhenti. Hidungnya mencium bebauan yang tak asing. "Ini ... Perkedel kentang!"

Ia mencoba untuk membuka pintu, dan ternyata tak terkunci.

"Permisi ...." Kakinya langsung melangkah masuk. Aroma itu sungguh memikat indera penciumannya. "Pasti dari arah dapur."

GEBETANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang