Kakinya masih mengayuh pedal sepeda. Agak lambat memang, karena sudah lama Gio tidak membonceng seseorang. Lagipula, di jam sekarang para pelanggan tidak ada yang datang. Mereka sudah disibukkan dengan rutinitasnya masing-masing. Kemungkinan akan ada pelanggan yang datang sekitar pukul jam dua siang nanti.
"Yo, kamu udah tua." Shina bercanda, memecah keheningan. Kakinya mengayun ke depan dan ke belakang, membuat Gio yang memboncengnya jadi sedikit kesusahan.
"Aku ini masih muda. Liat otot-otot di tangan sama kakiku," timpal Gio dengan sombongnya. "Lagipula aku masih bisa ngebonceng kamu meskipun kamu duduknya pecicilan kayak begitu."
Shina melirik. Memang benar jika Gio memiliki otot yang lebih besar di beberapa bagian tubuhnya. Ini mungkin karena Gio selalu berangkat ke kedai menggunakan sepeda.
"Enggak! Kamu masih kurus, sama kayak yang dulu. Masih kayak bocah," celetuk Shina diiringi kekehan.
Gio agak tersinggung di sana. Ia pun mengerem mendadak dan seketika tubuh Shina menjadi terdorong ke depan. Sepeda pun berhenti.
"Ehe, ternyata kamu udah tumbuh besar. Terutama di bagian ... kamu tau sendiri lah," Gio terkekeh saat membalas Shina. Ia kemudian segera melanjutkan perjalanan agar cepat sampai.
Beberapa jitakan mengenai tepat di ubun-ubun Gio, membuatnya meringis kesakitan. "Gio mesum! Dari dulu gak pernah berubah," ketus Shina merasa sebal.
"Kamunya sih, ngejek aku terus dari tadi." Gio menyangkal.
Derik rantai yang kendur membuat jantung Gio berdegup. Tapi tak apa, karena Shina selalu bisa menenangkannya. Seperti dulu saat Gio mendapat nilai nol, Shina memberi banyak masukan dan motivasi agar Gio belajar lebih giat lagi.
Dua ratus meter telah berlalu dan suara berderik itu berhenti, bersamaan dengan sepeda Gio yang melambat.
"Yo, rantainya putus," sahut Shina sambil menatap rantai yang menyangkut di badan sepeda.
Tali rem langsung Gio tarik dan seketika menghentikan sepedanya. Shina yang tadi duduk menyamping, sekarang turun, dan Gio juga ikut turun. Sepedanya segera disandarkan pada tiang listrik di sisi kiri jalan. Diperhatikannya rantai sepedanya itu, dan menyentuhnya sesekali. Di sepanjang perjalanan, tak ada bengkel yang tersedia. Biasanya Gio hanya membetulkan sepedanya di rumah.
Gio lantas menoleh ke arah Shina yang berada di sampingnya. "Kita lanjutin ke kedainya jalan kaki aja, ya?"
Shina mengangguk. "Iya, gak pa-pa, kok." Matanya melirik ke langit, mengintip matahari dari balik tangannya. "Ya udah, lanjut aja sekarang. Entar keburu panas."
Akhirnya mereka berdua melanjutkan perjalanan mereka dengan berjalan kaki. Sepeda yang rantainya putus tadi didorong oleh Gio dan Shina mengikutinya dari belakang. Sedikit peluh menetes dari pelipis Gio, Tampaknya ia sudah cukup lelah.
"Biar aku bantu dorong, ya?" Langkah Shina ia percepat dan ikut mendorong sepeda berwarna merah itu.
"Ah, terima kasih, ya. Kamu emang calon istri yang baik," goda Gio dengan senyuman manisnya.
Dahi Shina mengernyit, tak paham dengan perkataan Gio. "Maksud kamu ... calon istri?" tanyanya spontan.
"Maaf maaf, aku salah ngomong, ya?" Gio menyengir, langkahnya semakin dipercepat.
Shina menggeleng. Ia terkekeh setelah melihat tingkah Gio yang serba salah setelah mengucapkan kalimat tadi. "Ngomong-ngomong, kedai kamu itu ... Gimana? Apa banyak pengunjungnya?" tanya Shina. Tangannya masih mendorong bagian belakang sepeda.
"Ya, kadang rame kadang juga sepi. Tergantung musimnya," jawab Gio dengan wajah masam.
Shina menunduk, memerhatikan langkah Gio. Dulu ia juga pernah mengalami ini saat kelas tiga SD, saat ban sepeda Gio bocor. Lalu kejadian itu terulang lagi sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEBETAN
Teen FictionDi dimensi sekolah, ada satu hukum lain. Tolak, atau ditolak. Hal ini tentu bisa membuat beberapa murid menjadi gila, dan keanehan muncul di sebuah hubungan dua murid berbeda nasib yang telah menjadi sahabat, mungkin sejak. mereka lahir di rumah sak...