Titik Temu

1.1K 58 17
                                    

"Hanya wajahmu yang terukir di dalam hatiku,

Abadi dan takkan pernah terganti.

Hanya kaulah cinta dalam hidupku.

Meskipun sang langit telah memisahkan cinta kita, aku kan selalu untukmu.

Cintamu akan selalu bersemi dihidupku"

Rossa - Cinta Dalam Hidupku

Dua tahun berlalu sudah setelah kelulusanku. Itu artinya, banyak waktu yang aku lalui setelah kisah rumitku bersamanya dan cerita persahabatanku yang kini tutup buku. Aku berusaha mengubur kenangan yang tidak mungkin mudah aku lupakan, namun harus kupaksakan untuk tidak aku pikirkan hingga waktu membawaku ke tempat keberadaanku saat ini, habitat pertamaku setelah koas selesai.

Yeah, ini adalah waktu internsip-ku dan salahsatu syarat untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi atau STR agar aku bisa melanjutkan ke jenjang selanjutnya,  yaitu mengurus Surat Ijin Praktek atau SIP serta sekolah spesialis. Meski masih panjang prosesnya, tapi aku tetap akan melalui semua ini dengan optimis. Dan disinilah aku, bertugas sebagai dokter jaga UGD yang sangat menguras tenaga, waktu juga pikiranku.

Menjadi dokter UGD sangat melatih kesabaranku dalam berinteraksi dengan pasien. Banyak sudah kisah-kisah drama dokter-pasien yang telah aku alami. Ibaratnya, dari sinilah aku merasa jadi dokter sebenarnya karena berada di garda terdepan rumah sakit atau pun sekelas puskesmas. Layaknya penjaga perbatasan NKRI, mereka-lah yang terdepan dalam mengamankan Negara ini (sepertinya aku sedang menyinggung profesi seseorang disini).
Apakah berlebihan? Mungkin aku terlalu hiperbola. Tapi intinya, tugasku kurang lebih menyambut kedatangan pasien dengan kondisi gawat yang harus aku putuskan analisanya dengan pikiran yang tetap tenang sebagai seorang dokter.

Baru saja aku bahas, sirine ambulance berdengung memekik di telingaku. Itu artinya, ada pasien yang harus aku tangani. Tanpa menunggu aba-aba dari suster, aku langsung menuju keluar ruanganku.

Di depanku, dua perawat yang berjaga bersamaku berhamburan keluar sambil mendorong brangkar menuju belakang ambulance. Sementara aku segera menyesuaikan posisiku diantara mereka sebagai pengambil keputusan diagnosa. Terlihat sopir ambulance keluar dari mobil dan menghampiri bagian belakang untuk membuka pintu.

"Korban ledakan tabung gas, Dok." Tukas sopir ambulance yang seakan tahu isi pikiranku. Aku memang akan bertanya jika saja Pak Supir tidak memberitahukanku terlebih dulu.

Dilihat dari kondisi korban, tidak terlalu parah menurutku. Hanya luka bakar ringan di lengan dan lebam di pelipisnya. Mungkin karena menghirup asap atau mengalami benturan dipelipisnya, membuat si korban tak sadarkan diri hingga sampai Puskesmas.

Korbannya adalah seorang pria dengan paras lumayan, menurutku. Sedang badannya cukup tebal dan terlihat urat yang seakan ingin keluar dari kulit. Begitu menonjol.

Well, mungkin dia adalah korban tabung gas di tempat gym. Lalu mengapa dia pakai apron ya? Oh, mungkin dia koki. Tapi dilihat dari tulisan yang tertera diapron, sepertinya si korban adalah seorang barista karena terpampang sebuah nama kedai kopi tercetak disana. Ya, si peracik kopi -pekerjaan kece jaman now-.

Lalu brangkar langsung dibawa masuk UGD oleh kedua perawat dan aku mengikuti di belakangnya.

"Apa perlu pasang masker oksigen, Mas Dokter?" ucap salah seorang perawat, Defia namanya. Disini aku dipanggil Mas Dokter oleh mereka dan sebagian petugas puskesmas, karena kebanyakan dari mereka memang lebih tua dariku. Sedangkan Defia dan satu perawat lain masih di bawah usiaku.

"Tidak perlu, Def. Nafasnya masih terdeteksi jelas. Detak nadinya juga stabil." Responku setelah mengecek kondisi vital korban. Syukurlah korban tidak mengalami kondisi serius.

The Untold Story "ASTRA" [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang