☘️14. Penguntit

42.5K 3.1K 233
                                    

Marah itu tanda cinta yang tak kasat mata.

❝᷀ົཽ≀ˍ̮ ❝᷀ົཽ
.
.

Felisha berjalan menyusuri gang kecil di kompleks kos-kosannya. Gang itu adalah jalan tercepat menuju halte bus untuk sampai ke kampusnya. Mulai sekarang, Felisha harus berhemat. Dia akan lebih sering naik bus saja ketimbang Taxi di saat memang waktunya tak terburu-buru. Sebenarnya hari ini Felisha sedang tak enak badan, dia demam. Mungkin karena efek kurang tidur semalaman, ditambah menangis membuatnya drop lahir batin.

Begitu sampai di Bus, Felisha duduk di kursi besi halte, menunggu Bus datang. Dia mengeluarkan ponselnya, melihat begitu banyak pesan Line yang masuk dari Juwita. Felisha tersenyum melihat foto-foto yang dikirimkan oleh Juwita, sepertinya sahabatnya itu sangat bahagia di Bali sana. Marcel juga nampak sangat menyayangi Juwita, terlihat dari wajah keduanya yang begitu serasi penuh senyum dan tawa.

Tak lama, Busdatang. Felisha segera memasukkan ponselnya dan berdiri sambil melambaikan tangan ke depan. Bus berhenti tepat di depannya, dia pun masuk ke dalamnya. Mendapatkan tempat duduk saat naik Bus angkutan umum adalah sebuah keberuntungan, karena jarang-jarang loh bisa duduk, biasanya selalu berdiri.

Bus pun mulai berjalan, namun kemudian berhenti kembali tak jauh dari halte. Felisha menggeser duduknya, siapa tau penumpang yang barusan naik mau duduk juga karena hanya di sebelahnya tersisa kursi kosong saat ini.

Deg!

Felisha mencium aroma khas yang dia yakini hanya dimiliki oleh satu orang. Aroma maskulin dari parfume yang sangat mahal, mana mungkin ada yang bisa menyamai harga dari parfume tersebut. Felisha menghafal baunya karena dia pernah sangat dekat dengan pemilik bau tersebut.

Felisha menoleh ke samping kanannya, jantungnya makin berkicau karena dugaannya benar. Vallen sedang duduk di sebelahnya, berlagak cuek dan gak melihat kearahnya. Cowok itu mana mungkin tak sengaja naik Bus, pasti dia mengikuti Felisha.

Lalu Vallen menoleh, "hai," sapanya dengan senyum mempesona di wajahnya.

Felisha tak merespon sapaan itu. Dia memalingkan wajah ke depan.

"Aku baru tau kalau ternyata naik Bis nggak semenakutkan yang ada di pikiran aku. Enak ternyata," cicit Vallen.

Felisha tetap mengabaikannya. Dia tak tertarik meladeni cowok itu. Begitu melihat kernet Bus berjalan meminta bayaran, Felisha pun mengeluarkan uang pas.

"Ongkos-ongkos!" Ujar Kernet sambil memainkan uang receh di tangannya agar berbunyi, itulah ciri khas kernet Bus kalau sedang meminta ongkos.

Felisha memberikan uangnya pada kernet bus yang langsung diterima dengan senyum nakal. Lalu kernet itu menadahkan tangan pada Vallen, membuat Felisha sejenak melirik lantaran. Vallen tak kunjung mengeluarkan uang.

"Woi, Bang! Ongkos Bang!" Ujar Kernet dengan nada lumayan tinggi.

Vallen ternyata mengira Felisha membayarkannya ongkos. Karena dia yakin Felisha tau kalau dirinya tak mengerti dan tak tau harus membayar berapa. Dan satu lagi, di dompet Vallen mana pernah ada uang kecil. Vallen pun mendengus dan mengeluarkan dompet di saku pantat celananya. Dia mengambil uang seratus ribuan dalam dompet dan memberikannya ke kernet Bus.

Mata Kernet bus itu melotot, mungkin tak ada yang pernah membayar dengan uang pecahan seratus ribuan hanya untuk ongkos lima ribu rupiah. Di angkutan umum manapun, sopir maupun kernet paling tak suka dibayar dengan uang terlalu besar sehingga menyusahkan mereka untuk memberikan kembaliannya.

"Bang, lima ribu Bang!" Paksa si kernet tak mau menerima uang tersebut.

"Nggak ada," jawab Vallen sekenanya.

"Woi Bang, kalo punya uang banyak mending naik Taxi deh Lo. Nggak usah naik bis kayak gini, orang kaya belagu banget Lo," omel kernet bertato itu.

Vallen nampaknya kesal, Felisha bisa lihat itu. Entah kenapa, Felisha tak ingin ada keributan. Terutama dia sangat mengenal sifat Vallen, yang kalau sudah tersulut emosi, maka sulit untuk dihentikan. Felisha pun mengeluarkan uang lima ribuan dan memberikannya pada kernet Bus, "ini aja, Bang!" Ujarnya membayarkan Vallen ongkos.

Vallen tetap saja masih kesal. Dia mengepal tinjunya, berniat berdiri. Namun suatu keajaiban membuatnya tetap tertahan di sana.

Felisha menggenggam tangan Vallen.

Genggaman sesaat, namun membuat Vallen menoleh dan emosinya luntur seketika. Meski genggaman itu tak berlangsung lama, mungkin hanya karena Felisha ingin membuat Vallen tenang, tapi cewek itu berhasil. Otak Vallen yang mendidih seketika menjadi dingin. Dia tersenyum ke arah Felisha yang tak mau menoleh padanya.

Bus berhenti di halte selanjutnya. Banyak orang yang naik dari sana, termasuk Ibu-Ibu hamil yang membawa anak. Felisha pun segera berdiri, karena bila mengharapkan kesadaran dari penumpang lain yang terlihat begitu cuek, itu Ibu-Ibu hamil bisa berojol di dalam Bus karena berdesak-desakan.

Vallen kebingungan saat Felisha melewatinya untuk berdiri. Dia tau kalau tujuan mereka ke kampus belum sampai, dia cuma mendongak melihat Felisha dengan tampang blo-on nya.

"Bu, duduk sini aja Bu," suruh Felihsa pada Ibu-Ibu dengan perut besar itu.

Barulah Vallen mengerti. Dia pun ikut berdiri agar si Ibu-Ibu bisa masuk dengan aman ke kursi Felisha tadi. Dan tetap berdiri agar anak balitanya bisa duduk di kursinya.

"Makasih Nak, jarang ada pasangan muda yang baik seperti kalian," ujar Ibu-Ibu itu sambil tersenyum senang.

Vallen mengulum senyum, Felisha membuang muka ke samping. Vallen pun berbalik, berhadapan dengan Felisha, membuat Felisha melotot padanya. Di saat semua orang berdiri dengan menghadap ke depan, Vallen malah menghadap ke belakang demi untuk bisa melihat Felisha.

Vallen memang sudah sangat sinting, dia senyam-senyum tak jelas pada Felihsa yang terus menghindari tatap muka.

Jedug!

Begitu Bus melewati gundukan aspal yang tak rata, tubuh Vallen oleng. Dia tak berpegangan, membuatnya nyaris terjatuh ke belakang kalau saja Felisha tak menarik tangannya secara refleks.

Felisha langsung melepaskan pegangan tangannya pada Vallen begitu menyadari kesalahannya. Dia kembali melengos, menghindari wajah menyebalkan itu yang terus saja tersenyum.

"Kamu nggak akan bisa maksain hati kamu buat berhenti cinta sama aku, Felisha. Kenapa harus keras kepala banget kayak gini?" Ujar Vallen dengan suara yang cukup bisa didengar oleh orang-orang sekitar sehingga menoleh pada mereka.

Felisha seketika gugup. Dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, lalu menunduk saat melihat ada dua cewek yang sedang duduk memutar kepala ke belakang untuk melihat kearahnya dengan tatapan kepo.

"Setiap pasangan di dunia ini, aku yakin pernah mengalami hal kayak kita. Selingkuh memang bukanlah hal yang mudah untuk dimaafkan, tapi tetap bisa diberikan kesempatan kedua, kan?" Vallen kembali mengatakannya tanpa mengecilkan volume suaranya.

"Dimaafin aja, Mbak. Kasian tuh masnya udah keringetan gitu," Ibu-Ibu hamil tadi malah ikut berkomentar.

"Dia keras kepala, Bu. Mana mau maafin saya," kata Vallen mengadu.

"Tenang Mas. Cewek, kalau marah sebenarnya mereka bukan bener-bener marah, tapi minta untuk dibujuk. Marah itu tanda cinta yang tak kasat mata," ujar si Ibu itu lagi.

Demi apapun Felisha merasa malu banget. Makin banyak orang yang senyum-senyum tak jelas melihat ke arahnya sekarang. Begitu Bus berhenti di halte selanjutnya, Felisha langsung memilih untuk turun. Dia tak perduli meski jarak ke kampus masih cukup jauh, dia udah tak tahan berlama-lama di dalam sana.

●▬▬๑badboy๑▬▬●



Follow Instagram: shanty.etm

Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang