Chapter 1

6.7K 163 20
                                    

Entah kenapa aku disekolahkan di sekolahan ini. Sekolah yang menurutku adalah sekolah yang membuang-buang waktu. Percuma saat aku disekolahkan disini bukan berarti aku akan mendapatkan kepandaian. Karena aku tahu sesungguhnya hampir semua disini adalah menyebalkan.

Padahal aku sudah minta pada ibu bahwa aku ingin ikut dengan ayah ke New York. Tapi, kata ibu nanti aku malah merepotkan mengingat pekerjaan ayah yang menumpuk karena posisinya sebagai CEO perusahaan.

Yah, bisa dikatakan bahwa aku ini anak konglomerat. Aku memiliki banyak pelayan disini yang dengan setia melayani keluargaku setiap detik. Tadinya ibu ingin menolak para pelayan yang direkomendasikan oleh ayah. Tapi ayah tetap bersikeras untuk melakukannya. Alasannya agar ibu dan aku tak kecapekan.

Aku juga menolak dengan alasan nantinya aku akan menjadi anak manja yang mengandalkan kekayaan orang tua. Tapi, malah ayah menyuruhku belajar di sekolahan yang pendidikannya menjamin moral. Itu kata ayah.

Aku tadi diantar sopir keluarga dan ditemani ibu pastinya. Aku juga sempat menelpon ayah untuk meminta izin berangkat sekolah dengan nada yang paling ceria. Walaupun itu dipaksa.

Aku sekarang berada disebuah ruangan yang berisi 29 orang beserta diriku. Aku hanya diam saja saat ada seorang perempuan —Mungkin seumuran denganku— datang dan duduk di sampingku. Aku hanya memasang wajah datar tanpa minat pada semua orang.

Mata tajam bagai elang membuat orang-orang sedikit menjaga jarak denganku. Dingin. Aku pernah mendengar bisikan itu dari siswa di sampingku sebelum datangnya perempuan itu. Kata-kata yang mungkin akan menjadi identitas ku yang baru.

Aku jadi mengingat tentang pesan ibu yang selalu mengingatkanku tentang jangan lupa tersenyum pada teman baru. Konyol.

Aku yang tadinya sedang membaca buku menjadi kembali ke dunia ini saat mendengar gadis di sampingku ini terisak. Aku menoleh melihatnya. Dan benar. Matanya merah sembab berhiaskan bingkai merah yang ketara. Pipinya dilapisi oleh bekas air matanya.

Aku tak berniat untuk hanya sekedar bertanya padanya. Aku tadi menoleh sebentar lalu kembali pada bukuku yang tadi sempat ku tinggalkan karenanya.

Aku semakin terganggu saat gadis ini tak mau diam walau hanya sebentar. Sebenarnya aku merasa malu dan malas. Disaat tatapan mereka menuju kearah bangku kami dan itu sangat membuatku tak nyaman. Dan satu hal lagi adalah pertanyaan dari guru yang malas aku tanggapi.

Aku menghela nafas sebelum mendengar pertanyaannya, "Kau tak khawatir denganku?" Aku menaikkan alis sebelah. Apa maksudnya? Batinku.

Gadis berambut pendek dengan kantong mata menghiasi mata kecilnya membuatku beranggapan bahwa Ia adalah salah satu orang Jepang. Tapi nyatanya, Ia sama sekali tak mirip dengan kelembutan gadis Jepang.

"Kau orang China?" Gadis itu memperbaiki posisinya dan menghadapku yang masih menatapnya penuh tanya. Aku hanya diam kemudian kembali ke bukuku.

Aku tersentak saat tiba-tiba buku novel yang masih urung ku baca walau hanya satu kata harus ditutup secara paksa. Aku geram dan marah. Sungguh. Bisakah gadis ini tak menggangguku?.

"Bisakah kau diam?" Aku masih bisa mengontrol emosiku walau itu lumayan sulit. Gadis itu nampak tak peduli dengan pertanyaan ku. Buktinya kini Ia dengan senangnya mengetuk-ngetuk meja dengan pangkal bukuku.

Dia tersenyum, "Bisakah kita berteman?" Kupandang uluran tangan itu. Bergantian dengan mataku yang juga menatapnya. Wajahnya terlihat seperti seorang anak kecil yang ingin kupukul dengan tongkat baseball.

Huft!. Sepertinya harus aku yang mengalah. Gadis ini sungguh keras kepala. Baiklah mau tidak mau aku harus menerima pertemanannya. Ku jabat balas uluran tangan itu. Ia nampak senang walau aku memasang wajah datar.

FROZENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang