Chapter 10

522 52 0
                                    

Aku langsung menggapai ranselku, mengobrak-abrik isinya mencari buku tersebut. Kupikir buku itu memiliki keajaiban bisa menghilang, tapi tetap sama saja.

"Buku apa itu?" Tanya Azka heran pada buku yang kupegang.

Aku menjawab, "Kakekku yang memberikannya."

"Buku tentang apa?" Tanyanya menatap diriku.

"Buku tentang peradaban dunia. Buku yang menceritakan kisah seorang penguasa es," jelasku yang entah mengapa menjadi seperti Kakek. Aku hanya menebak, mungkin saja Ia akan paham.

Darr!

Bunyi dentuman keras memekakkan telinga membuat perhatianku dan Azka berfokus pada suara itu. Entah mengapa firasatku tidak enak. Seperti akan terjadi hal diluar dugaan manusia.

Aku dan Azka dengan cepat keluar dan mendapati Kak Adit dan Kak Clara mematung menyaksikan pepohonan yang dilalap api. Kami tak bisa berbuat apapun selain mematung, menyaksikan bagaimana dengan cepatnya api merambat, memakan apa saja yang bisa terbakar.

"Kita harus segera pergi dari sini!"

Seakan tamparan keras membuyarkan lamunan kami, Kak Adit dengan cepat menyuruh kami pergi dari gubuk yang bisa saja hangus terbakar.

"Tunggu!" Kami semua menatap Azka bingung. Bagaimana bisa Ia dengan santainya menikmati panasnya hutan karena terbakar.

Kak Adit mencengkram kerah jaket yang digunakan Azka. Kak Adit sudah tak bisa sabar lagi menghadapi Azka yang setiap kali selalu menentangnya. "Mau apa lagi kau?" Azka hanya memasang wajah datar saat Kak Adit dengan marahnya membentak dirinya.

"Apa kau tak melihat ada sesuatu yang bersinar disana?" Azka menunjuk sebuah galian tanah yang bisa dipastikan adalah sumber mengapa api ini bisa ada.

Kami sontak melihat hal yang ditunjuk oleh Azka. Dan benar saja, pancaran sinar itu terlihat seperti gradasi berbagai warna yang ada. Kak Adit melepaskan cengkeramannya dari kerah jaket Azka. Azka hanya menatapnya malas seraya merapikan kembali jaketnya.

Kak Adit dan Kak Clara menghampiri galian tanah tersebut. Berbeda denganku yang malah berdiam diri tanpa ada niatan untuk bergerak.

Seakan tak peduli dengan kobaran api yang kian lama kian membesar, Kak Adit mengambil benda itu dari sarangnya. Aku lebih memilih berfokus pada kobaran api itu, menatapnya penuh cemas.

"Crystal, Azka, kemarilah!" Panggil Kak Clara sambil mengisyaratkan tangannya agar kami mendekat. Aku menatap Azka seolah bertanya apakah kesana atau memilih tetap diam tanpa membahayakan diri. Azka hanya mengangkat bahunya tak peduli. Ia bahkan dengan santainya berjalan menghampiri mereka tanpa ada rasa takut. Kedua tangannya saja Ia masukkan dalam saku jaket.

Aku membulatkan mataku saat melihat beberapa batu kecil dengan ukuran yang sama memiliki warna yang berbeda tengah menyala. Asap seperti habis dibakar mengelilingi mereka seolah-olah mereka baru saja padam.

"Batu apa ini?" Gumam Kak Adit sambil sesekali mencoba menyentuh batu-batu itu. Aku menatap batu itu penuh selidik. Warna-warna kedelapan batu itu sama seperti sampul buku yang dimiliki oleh Kakek. Hanya saja, tak ada warna hitam disini.

Aku mencoba mengambil batu dengan sedikit campuran warna biru dan putih disana. Aku jadi ingat juga bahwa Kakek mengatakan padaku tentang adanya unsur air dalam diriku.

Aku semakin terkejut saat aku bisa menyentuh batu itu dengan mudah tanpa ada rasa panas darinya. Dapat kulihat jika Kak Adit dan Kak Clara sama terkejutnya. Berbeda dengan Azka yang masih berfokus pada batu-batu itu.

"Crystal, bagaimana?" Bahkan Kak Clara yang terkenal pandai berdebat dibuat bungkam oleh kejadian ini.

"Crystal buku-mu," ucap Azka yang semakin merumitkan masalah yang terjadi. Kupikir jika sebenarnya Azka tahu maksud dari setiap hal yang terjadi beberapa waktu lalu hingga kini.

FROZENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang