Chapter 10

16.3K 2.7K 158
                                    

Renard tahu, dia terlalu terbawa perasaan. Namun dia tak menyesal karena berinisiatif memeluk Siahna. Dia sempat mendengar kata-kata perempuan itu saat memarahi Kevin yang dinilainya mengabaikan Miriam. Untuk hal itu saja, Siahna berhak mendapat komplimen. Lalu, perempuan itu menangis setelah bicara tentang "bertukar tempat supaya Kevin tahu rasanya tidak memiliki ibu". Juga beberapa kalimat yang menjelaskan kekhawatiran Siahna pada Miriam.

Entah alasan mana yang membuat Renard memeluk Siahna. Keberanian perempuan itu mewakili suara hati kakak-kakak Kevin? Atau kesedihan Siahna soal ibunya? Renard pun tak benar-benar menyadari kata-kata yang dilisankannya di telinga Siahna. Namun lelaki itu serius dengan ucapannya. Perempuan sebaik Siahna, seharusnya tidak mengorbankan hidup dengan menikahi pria yang jelas-jelas takkan pernah menjadi suami dalam arti sesungguhnya.

"Renard..." suara Siahna tersendat. Perempuan itu mundur, melepaskan diri dari pelukan Renard. "Kamu bukannya besok baru pulang?"

"Aku buru-buru pulang setelah Mbak Arleen nelepon. Untungnya masih ada penerbangan jam sembilan ke Jakarta."

"Oh."

"Kamu kenapa nangis, Na? Aku tadi sempat dengar obrolanmu di telepon. Ngomong sama Kevin, kan?"

Siahna memaksakan diri untuk tersenyum, itu terlihat jelas. Namun tampaknya perempuan itu tidak berniat menjawab pertanyaan Renard. "Kayaknya kamu nggak bisa ngejenguk Mama sekarang ini. Kondisinya udah stabil, kok. Tapi jam segini HCU nggak ..."

"Aku tau," tukas Renard. "Pas udah di jalan ke arah Bogor, aku baru dapet info kalau kamu sendirian yang jagain Mama. Makanya aku langsung ke sini, nggak mampir dulu ke rumah. Tadi aku dijemput temen, tasku masih di mobilnya." Lelaki itu memeriksa arlojinya. "Kok belum tidur, Na? Ini udah lewat jam dua belas, lho."

Siahna menggeleng. "Belum ngantuk. Tadi di ruang tunggu, banyak yang cerita soal keluarga yang lagi dirawat. Ada yang istrinya sakit demam berdarah, papanya mau operasi jantung. Macem-macem. Jadinya aku nggak ngantuk dan malah ikutan sedih. Jadi makin kepikiran Mama."

Kalimat sederhana itu menghangatkan hati Renard sekaligus menakutinya di saat yang sama. Karena ada impak serius bagi Renard. Perempuan satu ini memang istimewa. Mau tak mau Renard membandingkan Siahna dengan Bella. Selama pernikahan mereka, tak pernah sekalipun Bella menunjukkan perhatian pada Miriam. Hal itu sangat mengganggu Renard karena dia mencintai ibunya.

Siahna adalah kebalikan Bella. Perempuan ini bahkan rela berjaga di rumah sakit. Padahal, takkan ada yang menyalahkan Siahna jika dia lebih memilih untuk pulang. Lagi pula, ada perawat dan dokter yang akan memantau kondisi Miriam.

"Kenapa kamu nginep di sini, Na? Mending pulang aja. Lagian udah ada aku."

Perempuan itu menggeleng. "Nggak, ah. Aku pengin tau kalau ada perubahan kondisi Mama. Kalau pulang, pasti jadinya malah nggak tenang. Mending aku di sini aja."

"Udah makan?"

"Udah, tadi sore."

"Aku belum dan sekarang baru kerasa lapar. Temenin yuk, Na. Di dekat sini banyak warung tenda, kan?"

"Kamu mau makan apa?"

"Apa aja, nggak pilih-pilih."

Renard mengira Siahna akan menolak ajakannya karena dia sudah memeluk perempuan itu dengan lancang. Namun tebakannya keliru. Siahna mengikuti Renard keluar dari rumah sakit bernama Java Medical Care itu dengan kepala agak menunduk. Mereka akhirnya memilih warung tenda yang menyediakan iga penyet. Siahna hanya memesan teh manis hangat.

Selama Renard menyantap makanannya, mereka sama sekali tidak bicara. Lelaki itu menghabiskan pesanannya dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Sikap diam Siahna menyiksa Renard. Karena sebenarnya dia ingin banyak mengobrol dengan perempuan itu. Namun kemudian Renard mengingatkan dirinya sendiri. Bukankah belakangan ini justru Renard yang mengambil langkah untuk menjauhi iparnya?

Lovesick | Terbit 17 Feb 2020 |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang