Chapter 23

14.2K 2.4K 97
                                    

Emosi Siahna jika sudah berkaitan dengan lawan jenis, seolah dibunuh pada hari dia diperkosa Verdi. Ada bagian dalam jiwa Siahna yang ikut binasa di hari itu. Bahkan setelah melalui pengobatan intensif pun kondisinya tetap sama. Hingga dia mengenal Renard, lalu perlahan-lahan terikat dengan cara yang dulu mungkin dianggapnya mustahil.

Lelaki itu seakan membantu Siahna membangun ulang dirinya yang lama, selangkah demi selangkah. Renard mengajarinya tentang bicara jujur dan tak gentar menyuarakan apa yang sedang dikecap. Hingga Siahna tidak lagi takut memberi tahu perasaannya, mengaku cinta pada lelaki itu. Meski yah... kalimat rayuan yang kadang overdosis atau panggilan sayang nan aneh itu membuatnya geli.

Namun, mungkin itu cara Tuhan untuk menggenapi hidupnya. Seumur hidup, Siahna tak pernah dihujani kata-kata lembut dan manis oleh orang-orang terdekatnya. Bahkan pujian ringan untuk hal baik yang dilakukannya. Panggilan sayang? Jangan harap! Lalu, semua seolah ditebus dengan kehadiran Renard.

Setelah mereka berpacaran selama dua bulan terakhir, Siahna sungguh lupa pada semua penderitaannya. Dia mulai yakin bahwa pada akhirnya dirinya akan bahagia. Hal-hal buruk hanya tertinggal di belakang, bukan mengadang di depan. Ketika Renard harus berada di Bali selama enam hari, Siahna tidak mengira dia bisa begitu merindukan kekasihnya meski mereka saling bicara di telepon setiap hari.

Karena itu, saat mendapati Renard berdiri di depan pintu saat hari baru saja terang, Siahna tak bisa menahan diri. Dia melompat ke pelukan Renard, menggumamkan kerinduan pada lelaki itu.

"Tadi pas bangun aku udah nyusun rencana mau jemput kamu ke bandara. Sengaja, pengin bikin kejutan." Siahna melepaskan dekapannya, tersenyum lebar pada pria yang dicintainya itu. "Eh, pagi-pagi gini orangnya udah nongol. Senang, deh."

Renard berpura-pura terkejut. Tangan kanannya memegangi dada, sementara tangan kiri menggenggam jemari Siahna. "Aku nggak nyangka kamu sesenang ini cuma karena ngeliat mukaku. Astaga, Sweetling. Jantungku rasanya mau meledak, tau!"

Siahna tertawa sambil menarik tangan Renard. "Masuk, yuk! Mau minum susu?"

"Mau, dong. Apalagi kalau kamu yang bikinin. Rasanya dua kali lipat lebih enak."

Siahna menoleh dari balik bahunya, sembari terus melangkah menuju dapur. "Halah! Rayuanmu makin parah. Eh, di Bali nggak ngegombalin cewek-cewek bule, kan?"

"Ya nggak lah. Aku demennya cewek Indonesia. Kulit kuning langsat, pipi tirus, dagu lancip, lumayan jangkung. Astaga! Aku baru aja bikin gambaran yang mirip banget sama kamu. Nyadar, nggak?"

Siahna terbahak-bahak. Dia berhenti di depan salah satu kabinet untuk mengambil cangkir dan sendok. Perempuan itu membuatkan segelas susu untuk Renard dan secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Selama Siahna melakukan itu, Renard sibuk bertanya tentang apa saja yang terjadi sejak lelaki itu berada di Bali.

"Nggak ada yang spesial. Kemarin, Kevin sempat nelepon. Dia bilang, kemungkinan besar minggu depan udah sidang putusan." Siahna mengaduk kopinya. "Gimana kerjaanmu? Kok udah nyampe Bogor, sih? Kamu naik pesawat jam berapa?"

"Pertanyaannya banyak banget. Kamu sekarang udah jadi cewek bawel."

"Kan pengin tau, Re. Ya udah, kalau nggak mau jawab."

"Nggak usah ngambek-ngambekan, deh. Nggak cocok blas." Renard membawa gelas berisi susu dan kopi ke ruang tamu. Siahna mengikuti lelaki itu, menghabiskan beberapa detik menatap punggung lebar kekasihnya.

"Kerjaanku lancar, udah kelar sekitar jam tiga sore kemarin. Trus aku nggak sabar nunggu hari ini, langsung pesan tiket yang jam delapan. Tadinya mau ketemu kamu, tapi di tol macet. Maklum, hari Jumat. Akhirnya, nyampe rumah udah tengah malam. Ketunda deh ketemu pacarku."

Lovesick | Terbit 17 Feb 2020 |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang