Satu

491 42 67
                                    


Anyelir mengembuskan napas panjangnya sesaat. Kedua mata bulatnya tidak bisa berhenti bergerak gelisah. Sesekali, ia akan menoleh. Menengok ke arah pintu utama kediamannya yang sudah ia tinggali tiga tahun belakangan.

Namun, ia harus menelan kenyataan pahit. Sepahit kopi hitam yang ia seduh dengan sedikit gula.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Dan belum ada tanda-tanda bahwa orang yang ia tunggu akan datang. Beralih pada ponsel pintar yang terletak di samping mangkuknya, Anyelir mengembuskan napas beratnya. Lagi.

Tidak ada tanda-tanda bahwa orang itu memberinya balasan. Setidaknya satu balasan dari berpuluh-puluh pesan yang ia kirimkan. Tetap saja, tidak ada notifikasi di panel pemberitahuan. Menyedihkan!

Pandangan Anyelir menatap nanar pada beberapa hidangan makanan berat yang sengaja ia masak sore tadi. Niatnya ingin makan malam bersama. Sial, dia sepertinya melupakan ucapannya sendiri.

Anyelir mulai lelah sendiri. Akhirnya, dengan berat hati, ia mulai menyingkirkan makanan yang bahkan belum tersentuh sama sekali. Untuk asupan dirinya? Anyelir bahkan sudah lupa bahwa sedari tadi ia menahan lapar hanya demi menunggu kedatangan orang itu.

Pada akhirnya, makanan tidak bersalah itu harus terbuang sia-sia dan berakhir di tempat sampah. Seperti biasanya.

*

Pemuda itu tampak terburu-buru. Menerobos air hujan yang tidak deras namun mampu membuatmu demam. Menggunakan buku ensiklopedia tebal bersampul anatomi tubuh manusia sebagai penutup kepala.

Sial! Mengapa ia tidak berteduh saja.

Pandangan tajamnya mengarah pada pohon besar yang berdiri kokoh di seberang sana. Agak konyol memang jika ia memutuskan berteduh di sana. Tapi apa boleh buat saat pemuda itu lebih mementingkan kondisi komputer lipat miliknya yang berada di dalam ransel hitamnya.

Harus ia akui bahwa air hujan yang tidak deras tersebut sudah kurangajar sekali sampai ia merasa kedinginan bahkan menggigil. Ya Tuhan! Bahkan di saat seperti ini ia ingin sekali mengicip minuman hangat untuk menghangatkan tubuhnya.

Ingin mengumpat tapi mau bagaimana lagi. Toh, ia juga tidak bisa memprediksi kapan tibanya hujan ini. Salahnya juga yang keluar dari gedung perpustakaan tanpa memikirkan cuaca mendung diluar.

Jovanno Artha Dirgantara.

Pemuda itu menolehkan wajahnya ke arah kiri. Awalnya, ia hanya bisa mengerutkan dahi saat melihat seorang wanita cantik dalam balutan dress peach sedang berdiri di teras kafe.

Kafe?

Tunggu dulu!

Kenapa Artha tidak sadar bahwa sepuluh langkah dari tempatnya berdiri telah berdiri kokoh sebuah bangunan yang dinamakan kafe? Artha mengumpat dalam hati.

Pandangan Artha tidak lepas dari sang wanita yang mengulurkan tangannya untuk mewadahi tetesan air hujan. Belum lagi, air muka wanita tersebut yang membuat Artha begitu penasaran.

Amore Kafe.

Artha berlari begitu saja tanpa memedulikan kondisinya yang kian terguyur. Akan sangat tidak mungkin jika ia terus-terusan berdiri macam orang bodoh di bawah hujan di saat di dekatnya saja ada tempat berteduh yang lebih baik.

Cappucino LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang