Kecemasan yang belum bertemu titik kepastiannya berangsur menghilang seiring dengan kegiatan Anyelir yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk tertawa dengan candaan konyol atau pun cerita-cerita aneh yang dikarang oleh Artha.
Entah sudah sejak kapan Anyelir tidak memikirkan kerisauannya lebih lanjut lagi. Atau lebih tepatnya, Anyelir sedang berusaha untuk tidak terlarut dalam kesedihannya selagi Alden pergi?
Artha mengamati sepenjuru ruangan yang terbilang cukup besar ini. Mengabsen satu per satu benda yang terdapat dalam rumah kebesaran Anyelir bersama suaminya. Jadi begini, Anyelir menerima tawaran Artha yang mengantarnya pulang tiap kali kembali dari kafe.
Alasan klasik yang disodorkan oleh Artha namun begitu mujarab untuk diterima oleh wanita yang saat ini sibuk berkutat di balik pantry.
"Rumah kalian besar juga," celetuk Artha begitu menghentikan langkahnya di depan pigura besar yang terpampang di sana.
Ada potret sakral antara wanita yang ia cintai bersama pria yang dicintainya. Ah, sederhananya. Ada potret Anyelir yang begitu anggun dalam balutan wedding-dress sembari menggamit lengan pria gagah yang sama-sama tersenyum manis ke arah kamera.
"23 September 2015."
Artha mengeja tulisan yang ada di sudut pigura. Tulisan yang sebenarnya lebih menggambarkan waktu foto tersebut diambil.
"Bukankah kami sangat serasi di sana?"
Serasi ya?
Anyelir meletakkan satu per satu hidangan makan malam yang ia berhasil ia buat secara kilat. Tersenyum tipis melihat betapa gagahnya Artha dari belakang yang terus menatap potret pernikahannya bersama Alden.
"Nona sendirian di rumah sebesar ini?"
"Suamiku ada urusan di luar kota bersama supir kami. Ya, seperti yang kau ketahui. Aku sendirian malam ini."
"Kasihan sekali," kata Artha dengan nada sindiran.
"Aku tidak semenyedihkan itu, Artha." Anyelir berkilah. Meletakkan satu piring bersih di hadapan Artha. "Aku hanya benci makan sendirian."
"Berarti aku penyelamatmu."
Tawa sumbang Anyelir menguar. Ia mengambilkan porsi makanan untuk Artha. Sebagaimana yang sering ia lakukan untuk Alden setiap kali pria itu sempat bersama dirinya.
"Makanlah. Aku akan sangat berterima kasih jika kau membantuku menghabiskan makanan ini."
Artha mengambil sendoknya. Mulai memasukan satu per satu makanan tersebut ke dalam mulutnya. Tatapannya tidak pernah lepas dari bagaimana cantiknya Anyelir bahkan hanya dengan cara makan wanita tersebut.
Ya Tuhan! Ia tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Harusnya ia mengasihani dirinya sendiri ketimbang mengagumi kisah Anyelir. Ia jauh lebih menyedihkan daripada wanita itu. Cinta bertepuk sebelah tangan memang menyedihkan.
"Cappucino Lady."
Anyelir menghentikan sendoknya di udara. Melayangkan tatapan penuh tanya pada pemuda yang saat ini terus saja melihat ke arah foto pernikahannya bersama Alden dipajang di dinding.
"Kau seperti kopi Cappucino. Manis namun memiliki banyak rahasia di dalamnya. Akan terasa pahit pada akhirnya."
"Aku tidak pernah mendengar filosofi sekonyol ini sepanjang aku mengelola kafe yang menjual kopi."
Artha kembali menatap Anyelir. Dan kali ini berhasil membuat wanita tersebut merasa salah tingkah. Anyelir tidak sadar bahwa setiap kata yang diucapkan oleh Artha mengandung banyak makna di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cappucino Lady
Romansa"Cinta itu ibarat secangkir kopi. Manis di awal, pahit di akhir." Bertemu, berkenalan, lalu jatuh cinta. Bayangan semanis itu mendadak berubah semu saat Anyelir sudah resmi menyandang status sebagai Nyonya Maheswara tiga tahun silam. Ia pikir, berbe...