Sepuluh

184 26 2
                                    


Ada yang bilang bahwa jatuh cinta adalah perasaan yang wajar terjadi pada setiap manusia. Artha bukanlah seorang Narcissus apalagi Namesis.

Jatuh cinta yang ia alami terjadi dengan begitu sederhananya. Seorang wanita bersuami yang sedang dalam kecemasannya. Ia tidak tahu bahwa di balik senyuman yang merekah itu ada banyak hal yang dipikirkannya.

Artha bukannya tidak tahu malu atau apa. Ia hanya mendukung perasaannya terhadap wanita bernama Anyelir. Secantik namanya, Artha tidak bisa memungkirinya. Bahwa wanita yang ia agung-agungkan tersebut memiliki kisah yang sama dengan nama bunga yang begitu populer di negara sana.

Pagi ini ia sudah bersiap untuk datang ke kafe. Dengan hanya mengenakan kemeja berwarna biru yang digulung lengannya sebatas siku. Ia tersenyum kala mematut dirinya di depan cermin.

*

Anyelir memejamkan kedua matanya saat merasakan material lembut dan hangat tersebut menyentuh keningnya. Belum lagi telapak tangan hangat milik suaminya sedang menangkup erat wajahnya.

Ia tidak tahu berapa lama sesi ini berlangsung. Tapi jauh dalam lubuk hatinya, Anyelir sangat tidak rela jika Alden akan menyudahinya.

"Karena hari ini aku harus menemui pemilik perusahaan yang menjadi klienku, tidak apa kan aku tidak pulang?"

Anyelir mengangguk perlahan sembari memegang tangan suaminya yang masih bertengger di wajahnya dengan senyuman samar.

"Kenapa akhir-akhir ini kau cengeng sekali, heum?"

"Entahlah. Aku juga tidak mengerti." Suara Anyelir terdengar tersendat begitu saja. "Aku memang cengeng sejak awal," cicitnya merasa malu.

Alden terkekeh pelan, mengusap bulir kristal yang membasahi wajah istrinya dengan perlahan.

Dalam hitungan detik, ia sedikit tersentak dengan gerakan Anyelir yang terbilang tiba-tiba. Kedua lengan mungil itu sudah melilit pinggangnya dengan erat. Diikuti dengan wajah istrinya yang sudah sepenuhnya terbenam di dada bidangnya.

"Akhir-akhir ini aku merasa cemas dengan sebab yang aku sendiri tidak ketahui," lirihnya tertahan.

Anyelir bisa merasakan telapak tangan besar Alden membelai lembut punggungnya dengan gerakan teratur dan berulang. Biarlah ia ditertawakan karena terlalu cengeng. Tapi, biarkan ia seperti ini untuk beberapa saat.

"Sayang, aku hanya akan keluar kota bukan keluar negeri. Aku tidak akan naik pesawat apalagi kapal feri, okay?"

Anyelir menggeleng. Semakin mengeratkan pelukannya.

"Aku pinjam Ifan sebentar ya? Bukankah kau bisa memesan taksi online untuk pulang nanti?"

"Bawa saja! Aku tidak suka cara Ifan menatapku akhir-akhir ini," bisik Anyelir tepat di depan wajah Alden dengan sapuan napas yang perlahan.

Sontak saja Alden memutar wajahnya menghadap pria yang berdiri di dekat mobil yang biasa digunakan Ifan sebagai mobilitas istrinya. Ifan menunduk begitu tatapan tajam Alden menghunusnya. Tak berselang lama karena Anyelir kembali memperat lengannya di pinggang Alden.

"Jangan katakan padanya kalau aku mengatakan ini padamu."

"Kau merasa tidak nyaman?"

Cappucino LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang