Sembilan

172 21 15
                                    

Anyelir memainkan jemarinya yang tertaut sembari menghilangkan rasa bosan yang melanda dirinya. Wanita berparas cantik tersebut sudah berkali-kali mengembuskan napas kasar. Lebih ke arah merasa bosan yang sudah memuncak.

Film sudah selesai sejak beberapa menit yang lalu. Dan Alden baru datang sekarang?

"Kau marah?"

Menggeleng pelan. Anyelir berusaha memasang ekspresi baik-baik saja. Padahal tidak.

Keduanya sedang duduk di tempat mereka pertama kali datang kemari. Meskipun layar bioskop sudah dimatikan. Berikut dengan ruangan yang tidak lagi segelap beberapa menit yang lalu. Dan hanya ada petugas kebersihan. Tidak kunjung membuat Anyelir mau terburu-buru meninggalkan tempat ini.

Bahkan genre komedi-romantis dari film yang ditontonnya barusan juga tidak memberikan efek tersendiri di hatinya. Jangan tanya bagaimana perasaan Anyelir saat ini. Baru saja ia merasa diterbangkan begitu tinggi, sekarang ia merasa dijatuhkan dengan begitu kasarnya.

Ini bukan perkara ia yang kekanakan. Melainkan tentang setiap kata yang keluar dari bibir suaminya. Kencan apanya jika hanya dirinya yang merasa dipermainkan.

"Baiklah. Kau memang marah," gumam Alden pasrah.

"Aku mau pulang."

"Tidak sampai kondisi hatimu membaik."

"Aku tidak baik sejak pertama kau membawaku kemari." 

Alden mengusap punggung tangan Anyelir dengan gerakan pelan yang teratur. Memberikan sedikit ketenangan yang sebenarnya tidak berpengaruh besar jika sudah seperti ini. Sepertinya, Anyelir harus menarik kembali asumsinya tentang pria yang sedang menatap lekat ke arahnya.

"Al, aku ingin pulang."

Suara Anyelir sudah semenjak kapan berubah parau. Bahkan bibirnya sudah bergetar hebat di saat ia terus menurunkan pandangannya pada tangan yang terus berusaha menenangkannya.

"Kau marah dan kondisi hatimu tidak baik-baik saja. Masih ada beberapa jam lagi untuk kita berkencan, jadi tenangkan dirimu terlebih dahulu. Okay?"

Anyelir membuang pandangannya saat Alden hendak mengecup bibirnya lagi. Membuat pria itu menggeram tertahan. Anyelir sedang dalam kemarahannya. 

Katakanlah Anyelir kekanakan. Salahkan hatinya yang mudah terluka.

"Katakan, apa ada tempat yang ingin kita kunjungi bersama?" Suara Alden terdengar lebih lembut kali ini. Disertai dengan punggung jemarinya yang membelai pipi Anyelir.

"Tidak ada. Aku ingin pulang," katanya yang masih enggan bersitatap dengan Alden.

"Baiklah. Aku mengerti," jawab Alden pasrah.

*

"Nona, kau baik-baik saja?"

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Artha tatkala mendapati Anyelir yang terus menuangkan air hangat ke dalam cangkir besar pesanan pelanggan.

Menyadari hal tersebut, Artha dengan cekatan mengambil alih kegiatan Anyelir yang terlihat berantakan.

Melihat reaksi Artha yang menurut Anyelir sedikit berlebihan, wanita itu mundur beberapa langkah. Kenapa akhir-akhir ini ia merasa kurang fokus?

Artha hanya bisa mengamati seusai ia membereskan kekacauan yang dibuat oleh Anyelir. Melihat bagaimana wanita itu hanya duduk tercenung di balik meja kasir. Tidak tahu apa alasan mendasar yang membuat wanita itu kian menjadi pendiam usai cuti beberapa hari. Jujur saja, Artha merasa penasaran.

Cappucino LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang