Lima

156 31 22
                                    

Menikah.

Satu kata yang mendefinisikan kehidupan seseorang yang ia harapkan baru-baru ini. Artha belum pernah merasa sekecewa ini. Ingat kejadian di kafe? Artha bahkan langsung pergi setelah membantu Anyelir membereskan kekacauan kecl yang dilakukan oleh wanita tersebut dengan dalih pertemuan bersama sahabatnya. Theo dan Bara.

Menggunakan salah satu lengannya sebagai bantalan. Artha menatap langit-langit kamarnya. Ingatannya ia ajak berputar balik pada setiap pertemuannya dengan wanita tersebut. Dimana, ia tidak pernah menyadari sebuah benda bulat berbahan dasar emas putih melingkar dengan indah di sela jari manis wanita itu.

Patah hati? Iya. Kecewa? Tentu saja. Artha merutuki kebodohannya sendiri yang jatuh cinta pada istri orang. Anyelir juga kenapa tidak mengatakan lebih awal perihal statusnya yang telah menikah. Ingin rasanya Artha mengumpat. Tapi ia juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Anyelir.

"Argh! Sialan!"

Dengar kan? Akhirnya umpatan itu keluar juga dari mulut manisnya. Artha menutup wajahnya dengan bantal. Menyembunyikan wajahnya di dalam sana. Serta menendang udara menggunakan kedua kakinya.

*

"Anya di dalam?"

Ifan nyaris tersedak sosis gorengnya jika saja ia sudah memasukan makanan tersebut ke dalam mulutnya. Bayangkan saja, di malam-malam begini, Ifan yang sedang asik memakan santapan malamnya dikejutkan dengan kehadiran Alden yang tiba-tiba. Macam hantu saja.

Mengelap sisa minyak di mulutnya, Ifan mengangguk. "Nona barusaja memberi saya makan malam ini," katanya sembari menunjuk dua piring berisikan satu porsi makan seukuran laki-laki dewasa dan satu piring berisikan beberapa camilan berat.

"Lanjutkan makan malammu!"

Alden dengan langkah lebarnya mulai menusuri rumahnya yang terbilang cukup besar tersebut. Tujuan utamanya adalah menemui Anyelir. Tentu saja. Ia tidak bisa membiarkan wanitanya berlama-lama memusuhi dirinya.

"Sayang," sapanya.

Anyelir susah payah memotong martabak di piringnya. Hal ini disebabkan tangannya yang terkena air insiden di kafe tadi pagi membuatnya sulit bergerak.

Alden mendudukan diri di samping Anyelir. Menarik piring istrinya dan mulai memotongnya kecil-kecil.

"Ada apa dengan tanganmu?"

"Terkena air panas."

Pergerakan Alden mengudara. Meatap penuh tanya ke arah istrinya. "Bagaimana kau bisa seceroboh itu?!"


"Kenapa itu menjadi urusanmu?!"

Alden terperangah di tempatnya sekarang. Pertanyaan macam apa itu? Jelas saa itu menjadi urusan Alden. Toh, ia adalah suaminya. Yang jelas-jelas memiliki andil penuh dalam kehidupan Anyelir. Terhitung sejak tiga tahun yang lalu.

Menarik tangannya yang entah sejak kapan berada dalam genggaman pria itu, Anyelir melanjutkan niatannya untuk makan malam. Sungguh, ia masih marah perihal ingkar janji semalam. Silakan caci maki Anyelir yang begitu pemarah. Tapi, posisikan dirimu terlebih dahulu sebelum mengatakannya.

"Aku minta maaf untuk semalam, dan juga tadi pagi--" menjeda kalimatnya,"maaf sudah membentakmu."

Anyelir bisa merasakan ada nada keputusasaan yang terdengar bersamaan helaan napas gusar suaminya. Semarah apapun ia pada Alden. Itu tidak akan merubah perasaan cintanya terhadap laki-laki tersebut.

Cappucino LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang