Dua Belas

221 15 7
                                    


Ehm, sebelum skip ke bawah boleh dong minta waktunya sebentar buat baca curhatan aing?

Boleh.

Jadi begini, pembacanya Cappucino Lady yang semoga diberkati Tuhan. Aku nggak tahu kenapa akhir-akhir ini merasa buntu banget buat nerusin ini cerita. Tapi jujur deminya, aku sedang dirundung dilema, teman-temin. Dan aku nggak tahu kudu kepiye. Huwaaa ...

Boleh dong aku tanya. Sebenernya di sini ada yang satu pemikiran sama aku nggak sih? Ini apaan sih, alurnya kok ngalor-ngidul? Ini ceweknya gimana sih, nyaman sama lakinya apa sama Artha? Atau malah sebaliknya, ini si Alden sebenarnya cinta kagak sih sama bininya kok malah main belakang ama tante-tante genit?

Haha.

Jangan tanya kenapa, soalnya aku juga bingung sendiri, teman-temin. Jadi daripada kita pusing sama urusan mereka. Kita ngikut arusnya aja ya, oke?

Oke.

Makasih atas perhatiannya.

Selamat membaca!

*

Alden mengembuskan napas gusar begitu mendapati hasil dari termometer yang barusan ia letakkan di telinga Anyelir guna mengetahui berapa suhu tubuh wanitanya.

Selalu seperti ini. Anyelir mudah sekali jatuh sakit jika sudah dirundung stres yang berkelanjutan. Yang ia sendiri juga belum tahu pasti apa penyebabnya.

Semalaman ia terjaga sepulangnya ia dari urusan sidang. Ya, meskipun tidak sepenuhnya benar. Alden menyibak tirai di kamar mereka. Membiarkan cahaya matahari sebagai pengganti penerangan.

Meninggalkan Anyelir sebentar guna membuatkan bubur ayam sebagai asupan istrinya. Alden sudah lihai dalam urusan merawat wanita itu. Terlebih, satu-satunya orang yang dimiliki oleh Anyelir sekarang adalah dirinya. Jadi bukan sebuah hal yang tidak wajar apabila Anyelir menggantungkan hidupnya kepadanya.

"Apa Nona baik-baik saja?"

Pergerakan Alden dalam menuangkan santan terhenti seketika. Ingatannya mendadak berputar kepada ucapan istrinya tempo hari.

"Kurasa itu bukan masalah besar bagimu," seloroh Alden dengan nada tidak suka.

Ya, Alden tidak akan pernah suka dengan siapapun yang berhubungan terhadap Anyelir. Sekalipun itu hanyalah sebatas pertemanan. Tapi, Alden tetap saja Alden. Ia tidak suka dibantah apalagi disinggung dengan segala tabiat konyol yang dilakukan orang lain demi menarik perhatian istrinya. Karena ... sedari awal Anyelir adalah miliknya.

"Apa perlu saya panggilkan dokter?"

Alden dongkol. "Dengar Ifan, apapun yang terjadi terhadap istriku. Itu tidak ada hubungannya denganmu dan aku mohon dengan sangat, jangan bersikap seakan-akan kau peduli dengan istriku."

Beralih membawa nampan berisikan menu sarapan sehat yang selalu ia buat untuk Anyelir ketika sakit. Alden berbalik. Menatap Ifan dengan tatapan mengintimidasi.

"Aku tidak bermaksud menggertakmu. Tapi mendengar pertanyaanmu kali ini membuatku tidak nyaman," katanya dan berlalu begitu saja.

Ifan tercenung. Untuk beberapa saat ia juga sedang mencerna perkataan tuannya barusan. Apa ia salah jika mencemaskan keadaan seseorang?

Alden meletakkan nampan tersebut ke atas nakas. Bibirnya melengkung sempurna melihat Anyelir menggeliat pelan dalam tidurnya. Seakan terusik dengan mentari yang malu-malu mengintip melalui tirai di kamar mereka.

Cappucino LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang