Empat

186 31 10
                                    

Menunggu adalah hal yang paling membosankan bagi setiap orang. Apalagi jika itu bersangkutan dengan ketidakpastian. Alih-alih merasa bangga karena yang ditunggu adalah seseorang yang begitu berharga dalam  hidupnya. Bukan tanpa alasan Anyelir berkali-kali mengembuskan napas gusarnya.

Anyelir melirik arloji yang melingkar dengan cantik di pergelangan tangannya. Lagi. Semalam, ia dan Alden sama-sama berucap janji. Mengatakan bahwa mereka akan melakukan kencan seperti saat mereka baru pertama bertemu. Konyol memang. Tapi, dalam rangka hari jadi pernikahan mereka yang ketiga. Anyelir mendadak merindukan hal itu.

Ah, lebih tepatnya merindukan sosok Alden yang dahulu.

Ifan yang sedari tadi menunggu Anyelir sampai Nona Mudanya tersebut dijemput oleh sang Tuan pun menghela napas panjang. Anyelir bahkan rela berdandan demi bertemu dengan pasangannya.

"Nona, sudah tiga jam Nona menunggu Tuan di sini. Sebentar lagi kafenya tutup."

Anyelir memutar poros wajahnya sampai mendapati Ifan sudah berdiri di belakangnya. Menyapukan pandangan ke sekitar. Benar juga apa yang dikatakan oleh Ifan barusan. Hanya tersisa dirinya, dengan secangkir kopi hangat yang bahkan tidak lagi hangat. Serta dua pekerja paruh waktu yang sedang membersihkan meja.

"Kau bisa pulang terlebih dahulu, Ifan. Aku akan menunggu Alden datang."

"Tidak bisa begitu, Nona."

"Kenapa?"

"Tuan yang meminta saya mengantar Nona pulang."

Anyelir terkesiap, "Alden yang menyuruhmu?"

Ifan menangguk ragu. Sebenarnya, iya. Beberapa menit yang lalu pria yang berstatus sebagai majikannya sudah menghubungi dirinya. Mengatakan bahwa ia tidak bisa pulang lebih awal dikarenakan ada urusan mendesak di Firma Hukum tempatnya bekerja.

Sementara Anyelir. Ia merasakan di dalam dadanya sedikit teremas. Seperti ini lagi. Dan poin utamanya adalah kenapa Alden tidak mengatakannya sendiri dan justru mengabari Ifan.

Alden berbohong. Lagi. 

*

Rutinitas Artha terbilang monoton sebelum ia mengenal seorang Anyelir Ardhana. Hanya bertahan hidup seperti manusia kebanyakan. Namun, semuanya berubah semenjak ia melihat Anyelir untuk kali pertamanya. Ada yang berubah dalam dirinya. Ia yang semula pemalas mendadak menjadi seorang yang rajin.

Hari ini misalnya, meskipun ia sebenarnya tahu bahwa Anyelir adalah lulusan Hukum tetapi ia tetap saja meminta diajari cara kuliah yang baik dan benar. Modus!

"Nanti aku akan terlambat pulang, kau bisa menjemputku saat aku menghubungimu."

Ifan mengangguk patuh.

"Kau bisa pergi sekarang, Ifan."

Sepeninggalan Ifan. Anyelir mengembungkan pipinya. Pertengkarannya dengan Alden tadi pagi sungguh merusak suasana hatinya.

Anyelir berjalan perlahan memasuki kafenya. Tak berselang lama karena ia merasakan sepasang mata tengah memperhatikan gerak-geriknya. Ia menoleh. Benar saja, beberapa langkah dari kafenya telah berdiri Artha di sana. Dengan senyuman pongah yang menghiasi wajah tampannya.

Artha bergegas mendekati Anyelir. Berjalan beriringan memasuki kafe yang bahkan belum memasuki jam buka tersebut. Agak aneh memang. Artha justru terlihat seperti pegawai Anyelir jika begini.

Cappucino LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang