Rendezvous

918 84 16
                                    

Nadine dan James terpaku di tempatnya. Tak mereka hiraukan lagi suara dari sambungan telepon yang berkali-kali memanggil nama mereka. James dan Nadine sama-sama terkejut akan pertemuan mereka yang tak terduga.

"Bret, nanti aku telepon balik."

"Kuya, nanti kita sambung lagi."

Nadine dan James sama-sama mengakhiri sambungan teleponnya.

"Hai."

"Hai."

Mereka saling menyapa namun dengan suasana yang canggung. James mengulurkan tangannya dan Nadine membalas uluran tangan James sambil tersenyum tipis.

"Bagaimana kabarmu? Kapan kau datang?" tanya James sekedar basa-basi karena ia sudah tahu kapan Nadine tiba di Manila.

"Baik. Kemarin aku tiba di Manila," jawab Nadine singkat. Ingin rasanya James langsung memeluk Nadine dan mengatakan jika ia sangat merindukan dirinya. Namun hasrat itu ia buang jauh-jauh karena ia tahu jika Nadine pasti akan langsung pergi dari hadapannya jika ia nekat melakukan itu pada Nadine. Dan James tidak akan sebodoh itu untuk kembali membiarkan Nadine pergi meninggalkannya.

"Setidaknya aku tidak harus mengikuti saran konyol Bret tadi. Mengintai Nadine diam-diam di rumahnya hanya untuk melihatnya. Tapi sekarang, dia sudah datang sendiri di depanku, Tuhan. Siapapun yang membuat Nadine datang ke kantor ini, aku sangat berterima kasih padanya," batin James berkali kali mengucap syukur.

"Ehm, Nadz. Ayo aku antar masuk. Kalau boleh tahu, kau ada janji dengan siapa atau ada keperluan apa?" tanya James dan sebenarnya ia benci dengan suasana formal ini. Ingin rasanya ia membawa Nadz ke suatu tempat, melepas rindu, memeluknya, menciumnya dan melakukan apapun yang setahun lalu sering mereka lakukan berdua.

"Aku ada janji dengan Lauren. Bisa kau tunjukkan dimana ruangan Lauren?"

"Oh, Lau. Biar aku antar," Nadine menggelengkan kepala mendengar penawaran James.

"Kau bisa sebutkan saja ruangannya ada di lantai berapa. Atau biar aku bertanya pada resepsionis saja. Kau pasti sedang terburu-buru pergi, kan?" ucap Nadine kini berganti James yang menggelengkan kepalanya.

"No. Aku tidak sedang terburu-buru, kok. Ayo aku antar," jawab James tanpa sadar melingkarkan lengannya ke pundak Nadine. Nadine hanya bisa diam menatap kearah pundaknya dan mau tidak mau mengikuti langkah James menuju lift.

James menekan tombol 9 di dalam lift kemudian pintu lift pun tertutup. Entah hal ini adalah kebetulan yang sangat diharapkan oleh James, saat ini mereka benar-benar hanya berdua di dalam lift. Tangan James yang tadinya berada di pundak Nadine sudah berpindah masuk ke dalam kantung celananya sendiri karena Nadine menjauhkan dirinya seolah mengatakan jika ia keberatan karena James meletakkan tangan di pundaknya.

"Dulu bahkan ia selalu meletakkan kepalanya dengan nyaman di dadaku," batin James sambil menghela nafas panjang.

Nadine memilih mengeluarkan ponsel dari tas nya dan berpura-pura sibuk menatap layar ponsel.  Ia berusaha menenangkan diri dari keterkejutannya bertemu James secepat ini. Berusaha menenangkan debaran jantungnya saat kembali berbicara dengan James, menatap matanya dan merasakan lengannya melingkar di punggungnya, sungguh suatu usaha yang keras yang Nadine lakukan agar tetap terlihat tenang di hadapan James demi memperlihatkan pada James bahwa sekarang ia sudah dalam keadaan baik-baik saja setelah perpisahan mereka. Biar bagaimanapun, James adalah pria yang sangat ia cintai dan sangatlah tidak mudah baginya untuk terlihat baik-baik saja sementara hatinya begitu bergejolak hebat. Berkali-kali ia menyebut nama Jude di dalam hatinya namun berkali-kali pula ia gagal menenangkan dirinya.

Ggrrrrkkkk!!!

Tiba-tiba saja lift berhenti dan lampu pun padam. Nadine yang berdiri di bagian tengah lift, spontan berpegangan ke pinggir lift dengan perasaan takut.

Once But ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang