To Love Again

821 74 18
                                    

James duduk disamping Nadine dengan perasaan yang campur aduk. Sejak bertemu di airport hingga kini mereka bersiap take off, Nadine masih saja sibuk dengan ponselnya. Seolah ia sedang bepergian sendirian tanpa ada James disisinya. Ada sekelumit rasa perih yang James rasakan. Bahkan berkali-kali James mencoba mengatur nafas, berusaha menekan kuat bulir bening yang sedikit menggenang di sudut matanya, menyaksikan kenyataan jika Nadine telah berpindah hati secepat ini.

Pengakuan Lauren membuatnya shock. Bak tersambar petir di siang hari nan cerah, James mencoba tetap tenang saat mendengar kenyataan jika yang sedang Nadine khawatirkan dan yang sedang membuat Nadine menumpahkan airmatanya adalah pria lain dan pria itu bukanlah dirinya. Tapi James tidak berniat mundur. Walau hatinya perih, profesionalisme nya sebagai CEO harus tetap ia lakukan. Ia tetap memutuskan pergi ditengah hancurnya perasaanya menerima kenyataan yang paling menyakitkan itu. Bahkan lebih menyakitkan dibanding kepergian Nadine setahun yang lalu. Pertunangan? Bagaimana bisa Nadine melakukannya sedangkan mereka belum resmi bercerai secara sah?

"Nadz, kita akan segera take off. Matikan ponselmu sekarang," akhirnya James bersuara.

"Oopss... Maaf," jawab Nadine langsung menekan tombol off, mematikan ponselnya.

"Kau terlihat sibuk sekali selama di airport tadi. Bahkan sampai sekarang. Apa kuya-mu itu tidak memiliki sanak saudara lain selain dirimu?" tanya James terdengar sedikit sinis di telinga Nadine.

"Tentu saja ada. Tapi tidak di San Francisco. Lagipula, kuya Jude memang sedang memerlukanku berada di sampingnya. Itu sebabnya sejak tadi aku berusaha menghubungi pihak rumah sakit untuk menanyakan perkembangan kondisinya. Apa ada yang salah?" sahut Nadine dijawab James dengan gelengan kepala.

"Tidak. Tidak ada yang salah. Lalu, bagaimana keadaannya sekarang?" tanya James ditengah perih yang terus menghujam hatinya.

"Dia belum sadarkan diri," jawab Nadine pelan. James melihat kesedihan di wajah Nadine. Bahkan ada bulir bening menggenang di pelupuk matanya yang dapat James lihat dengan jelas disana.

"Haruskah aku bertanya padanya? Tapi jika tidak, aku terus saja merasa tidak tenang," batin James berperang.

"Ehm, Nadz. Kalau boleh kutahu.... Siapakah kuya Jude ini? Setahuku, kau tidak memiliki kakak laki-laki atau saudara yang bernama Jude?" tanya James akhirnya memberanikan diri. Walau ia sudah mengetahui siapa Jude sebenarnya, tapi ia tetap saja ingin mendengar dari bibir Nadine secara langsung.

"Owh, maaf aku belum cerita kepadamu. Kuya Jude.... Dia adalah...... Dia tunanganku, James," jawaban Nadine sudah dapat diduga James sebelumnya.

"Mengapa aku ragu mengatakannya? Mengapa aku masih saja berusaha menjaga perasaan James? Atau justru aku yang sedang menjaga perasaanku sendiri?" berganti batin Nadine yang berperang.

"Jadi kau sudah bertunangan dengan pria lain? Kau sudah bahagia?" pertanyaan James membuat Nadine menatap pria itu dengan seksama.

"Maksudmu dengan kata bahagia itu apa? Tentu saja aku bahagia," jawab Nadine tapi James menemukan sesuatu dari sorot matanya.

"Lalu, bagaimana dengan kita?" pertanyaan James kini justru membuat Nadine menatap tajam kepadanya.

"Apanya yang bagaimana, James? Kita? Memangnya kita kenapa? Bukankah setahun yang lalu semua sudah selesai?" James tertawa sinis mendengar ucapan Nadine. Nadine belum menyadari sesuatu, batin James.

"Tidak. Lupakan saja, Nadz," sahut James tapi ucapannya justru membuat Nadine menjadi penasaran. Adakah yang James sembunyikan dari ucapannya itu?

"Upppsss!! Ada apa ini James?" Fokus mereka beralih saat Nadine merasakan sedikit guncangan keras. Suasana di dalam pesawat pun menjadi sedikit riuh.

Once But ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang