Jilid 4/57

2.4K 19 1
                                    

Dengan mata halus dia memandang pemuda calon mantu tirinya itu dan hatinya bergelora panas. Tentu saja dia tak pernah memperoleh kepuasan batin dari suaminya yang dua puluh lima tahun lebih tua dari pada dia dan dia memang mau menjadi isteri pemilik rumah makan itu karena mengharapkan jaminan kecukupan dunia. Akan tetapi, diam-diam dalam waktu tiga tahun ini, hatinya makin menderita dan matanya selalu menyambar seperti mata burung elang melihat tikus gemuk setiap kali dia melihat seorang pria muda yang tampan.

Betapa pun hatinya merindu, kesempatan tidak mengijinkan sehingga selama ini dia seperti orang kehausan yang tidak pernah mendapatkan kepuasan. Namun sekarang, kesempatan terbuka lebar di depan mata! Seorang pemuda tampan berada serumah dengan dia dan agaknya akan leluasalah dia mendekati pemuda itu, karena bukankah pria muda ini mantunya?

Pesta pernikahan dilangsungkan meriah juga. Karena rumah makan itu sudah terkenal dan mempunyai banyak langganan, maka perkawinan antara puteri pemilik rumah makan dengan 'Gak Bun Beng' ini mendapat kunjungan banyak sekali tamu. Selain sebagai langganan, juga para tamu itu ingin sekali menyaksikan pemuda yang telah menggemparkan kota Shen-yang, pemuda yang kabarnya telah merobohkan tujuh orang Jit-hui-houw, bahkan membunuh tiga orang di antara mereka!

Sebentar saja nama Gak Bun Beng terkenal di seluruh kota dan sekitarnya, dan lebih menggemparkan lagi ketika sisa Jit-hui-houw yang tinggal empat orang itu kini tidak tampak lagi di Shen-bun, sudah menghilang entah ke mana! Diam-diam banyak orang yang merasa lega dan bersyukur kepada pemuda asing ini.

Ketika sepasang mempelai dipertontonkan kepada umum, para tamu kagum sekali melihat Tek Hoat. Tak mereka sangka bahwa pemuda yang telah merobohkan Jit-hui-houw itu masih demikian muda. Seorang pemuda remaja yang luar biasa tampan dan gagahnya! Betapa untungnya Kam Siong memperoleh seorang anak mantu seperti itu, dan lebih untung lagi anak perawannya yang hampir diperkosa anggota Jit-hui-houw, tidak saja terbebas dari mala petaka pemerkosa, bahkan telah memperoleh seorang suami yang demikian gagah perkasa dan tampan!

Pada saat para tamu sedang bergembira menghadapi hidangan, tiba-tiba terjadi kegaduhan dan banyak tamu yang sudah bangkit berdiri dan menyingkir ke tempat aman ketika mereka melihat datangnya lima orang yang membuat mereka terkejut. Ada tamu yang sampai terbatuk-batuk karena makanan yang baru saja dijejalkan ke mulut itu tersesat jalan ketika matanya mengenal empat orang dari Jit-hui-houw yang datang itu dengan sikap garang, mengiringkan seorang kakek gemuk pendek yang pakaiannya penuh tambalan dan tangannya memegang sebatang tongkat baja berwarna hitam!

Gegerlah suasana pesta ketika empat orang Jit-hui-houw itu menendangi meja kursi dalam kemarahan mereka karena meja kusi menghalang jalan. Tamu-tamu lari cerai-berai dan hanya berani menonton dari tempat jauh walau pun ada pula sebagian para tamu yang berhati tabah tetap berada di tempat pesta itu, berdiri agak jauh di pinggiran.

Dapat dibayangkan alangkah paniknya pihak tuan rumah. Walau pun mereka sudah menduga-duga bahwa setiap waktu pihak Jit-hui-houw tentu akan datang mengacau dan membalas dendam, dan biar pun mereka sudah percaya penuh akan perlindungan Tek Hoat, namun melihat munculnya empat orang Jit-hui-houw bersama seorang jembel tua yang menyeramkan itu, mereka menjadi pucat ketakutan. Kam Siok sendiri sudah menarik tangan anak isterinya ke sebelah dalam, bersembunyi di dalam kamar, kemudian dia sendiri mengintai keluar dengan jantung berdebar tegang.

Tentu saja Tek Hoat merasa marah sekali menyaksikan betapa lima orang itu datang mengacaukan perayaan pesta pernikahannya. Akan tetapi sambil tersenyum pemuda ini melangkah lebar ke ruangan depan yang sudah sunyi itu. Sunyi sekali di situ karena semua orang, baik yang dekat mau pun yang menonton dari jauh, tidak ada yang mengeluarkan suara, bahkan mereka itu seperti menahan napas melihat pemuda yang menjadi pengantin itu melangkah menghampiri lima orang yang sudah berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar dan bersikap menantang itu.

Setelah berhadapan dengan lima orang itu, Tek Hoat memandang empat orang sisa Jit-hui-houw dan berkata sambil tersenyum mengejek, "Beberapa hari yang lalu aku tidak sempat membunuh kalian, apakah kini kalian datang untuk menyerahkan nyawa?"

Empat orang itu mencabut pedang dan golok, muka mereka merah sekali dan mata mereka mendelik. "Suhu, inilah jahanam yang telah membunuh ketiga suheng itu!" kata seorang di antara mereka.

Kakek tua berpakaian jembel itu memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan. Dia adalah Sin-houw Lo-kai (Jembel Tua Harimau Sakti), seorang pertapa di hutan yang letaknya di luar kota Shen-bun, tinggal di sebuah kuil tua yang kosong dan hidupnya dijamin oleh tujuh orang muridnya, yaitu Jit-hui-houw yang terkenal itu.

Tujuh orang muridnya telah memiliki kepandaian yang hebat, dan biar pun tidak dapat dikatakan luar biasa, namun sukarlah dicari orang yang dapat menghadapi mereka bertujuh kalau maju bersama. Mendengar penuturan empat orang muridnya bahwa tiga di antara mereka tewas oleh seorang musuh, dia menyangka bahwa murid-muridnya itu tentu dikalahkan seorang kang-ouw yang ternama.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika empat orang muridnya memperkenalkan seorang pemuda remaja yang menjadi pengantin ini, yang menjadi pembunuh tiga orang muridnya! Dia merasa penasaran sekali. Demikian lemahkah murid-muridnya sehingga kalah oleh seorang pemuda yang masih hijau ini?

Sukar untuk dipercaya. Kini melihat pemuda tanggung itu, yang kelihatannya masih belum dewasa benar, berdiri tenang tanpa senjata apa pun, dia segera membentak kepada empat orang muridnya, "Kalau begitu tunggu apa lagi kalian? Hayo balaskan kematian tiga orang suheng-mu!"

Empat orang itu sebetulnya merasa jeri karena mereka sudah maklum betapa lihainya pemuda yang kelihatan lemah ini. Akan tetapi karena suhu mereka yang memerintah, dan pula mereka mengandalkan suhu mereka yang tentu akan membantu mereka, maka begitu mendengar perintah ini mereka sudah menerjang maju dengan teriakan-teriakan garang, senjata mereka berkelebat menyambar ke arah tubuh Tek Hoat.

Pemuda ini biar pun mulutnya tersenyum, namun hatinya panas seperti dibakar saking marahnya. Melihat dua batang pedang dan dua batang golok menyambarnya, dia bergerak cepat sekali. Tubuhnya lenyap menjadi bayangan yang menyelinap di antara sambaran sinar senjata lawan, tangan kakinya pun bergerak sehingga terdengar suara berkerontangan ketika empat buah senjata itu terlepas dari tangan para pemegangnya yang terkena tamparan dan tendangan.

Kemudian sebelum mereka sempat mundur dan sebelum kakek jembel itu sempat menolong murid-muridnya, Tek Hoat sudah berkelebat cepat sekali. Jari-jari tangannya menyambar ke arah kepala dan berturut-turut terdengar pekik kengerian disusul dengan robohnya empat orang Jit-hui-houw itu. Mereka roboh dan berkelojotan sebentar, lalu diam tak bergerak, mati dengan kepala berlubang karena tusukan dua jari tangan Tek Hoat!

Peristiwa ini terjadi dengan sedemikian cepatnya sehingga sukar diduga terlebih dulu. Sin-houw Lo-kai yang melihat empat orang muridnya roboh dan tewas, terbelalak kaget dan hampir dia tidak dapat menahan kemarahan dan kedukaan hatinya. Kini semua muridnya, ketujuh orang Jit-hui-houw telah tewas semua, dan semuanya dibunuh oleh pemuda yang luar biasa ini!

Dia mengeluarkan gerengan seekor harimau, kemudian membentak, "Bocah kejam! Siapakah namamu? Siapa pula gurumu? Mengakulah sebelum Sin-houw Lo-kai turun tangan membunuhmu!"

Tek Hoat tersenyum mengejek. "Perlu apa menanyakan nama guruku? Aku bukanlah seorang pengecut macam murid-muridmu yang belum apa-apa sudah merengek dan minta bantuan gurunya! Namaku adalah Gak Bun Beng."

"Keparat sombong! Engkau telah berhutang tujuh nyawa muridku, hari ini aku Sin-houw Lo-kai harus mengadu nyawa denganmu!"

Setelah berkata demikian, kakek jembel itu kemudian menggerakkan tongkatnya dan menyerang. Karena tahu akan kelihaian pemuda itu, maka dia tidak sungkan-sungkan lagi menyerang seorang lawan yang masih begitu muda dan bertangan kosong, dengan menggunakan tongkatnya yang ampuh.

Melihat tongkat menyambar-nyambar serta berbunyi bercuitan, mengeluarkan angin yang berputaran, maklumlah Tek Hoat bahwa kepandaian kakek ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Dibandingkan dengan kakek ini, ternyata murid-muridnya tadi hanyalah gentong kosong belaka! Tongkat yang butut itu ternyata terbuat dari pada baja yang kuat dan berat.

Dengan hati-hati sekali Tek Hoat melayani lawannya dengan ilmu silat yang dipelajari dari ibunya. Tubuhnya amat gesit saat mengelak ke sana-sini, kadang-kadang meloncat kalau tongkat lawan menyambar dari pinggang ke bawah dengan lompatan yang ringan dan tinggi.

"Haiit, kau murid Bu-tong-pai!" Kakek itu menahan tongkatnya dan membentak.

Akan tetapi Tek Hoat tidak menjawab, bahkan menggunakan kesempatan itu untuk tiba-tiba menubruk ke depan, mainkan ilmu silatnya yang amat aneh dan ampuh, yang dilatihnya dari Sai-cu Lo-mo. Melihat pemuda itu menerjangnya, kakek jembel itu cepat mengelak lalu memutar tongkatnya. Akan tetapi berkali-kali dia berteriak kaget karena hampir saja tubuhnya kena dihantam lawan yang memainkan ilmu silat amat aneh. Ilmu silat pemuda itu dasarnya seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi jauh berbeda, terisi penuh tipu muslihat dan keganasan, namun mengandung tenaga yang amat kuat. Itulah ilmu silat gabungan Pat-sian-sin-kun dan Pat-mo-sin-kun, sedangkan hawa pukulan yang keluar dari kedua telapak tangannya amat panas!

Sekali ini, Sin-houw Lo-kai benar-benar terkejut dan tidak dapat dia mengenal lagi ilmu silat yang dimainkan Tek Hoat. Kalau tadi, ketika pemuda itu menggunakan ilmu silat yang dia kenal sebagai ilmu silat Bu-tong-pai, dia dapat mendesak, akan tetapi begitu pemuda itu mainkan ilmu silat yang amat aneh ini, tongkatnya hanya dipergunakan untuk melindungi tubuhnya. Dia merasa seolah-olah pemuda itu telah berubah menjadi delapan orang yang menyerangnya dari delapan penjuru! Kakek itu makin kaget dan penasaran, akan tetapi dia harus melindungi tubuhnya dari hantaman-hantaman yang disertai hawa panas membara yang keluar dari kedua telapak tangan pemuda itu. Maka dia lalu memutar tongkatnya yang berat sehingga tongkat itu berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyelimuti tubuhnya.

Tek Hoat juga merasa penasaran. Pemuda ini terlalu mengandalkan dirinya sendiri, terlalu percaya bahwa dia akan sanggup mengalahkan lawannya yang mana pun juga, apa lagi setelah dia menjadi murid Sai-cu Lo-mo selama dua tahun. Kini belum mampu mengalahkan kakek jembel itu biar pun mereka sudah bertanding selama seratus jurus, dia merasa penasaran bukan main. Akan tetapi dia tetap keras kepala dan tidak mau menggunakan senjata. Dia harus mampu mengalahkan kakek itu hanya dengan tangan kosong saja!

"Mampuslah...!" Tiba-tiba kakek itu membentak dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak.

"Cuat-cuat-cuattttt...!" tiga sinar putih menyambar ke arah tubuh Tek Hoat.

Pemuda ini cepat mengelak dari serangan piauw (senjata runcing yang dilontarkan), akan tetapi tiba-tiba kakinya tersandung bangku dan dia terguling roboh! Tentu saja Sin-houw Lo-kai menjadi girang sekali. Cepat dia menubruk ke depan dan tongkatnya dihantamkan sekuat tenaganya ke arah kepala lawannya.

"Siuuuuttt... plakkk!"

Tongkat menyambar turun dan cepat bagaikan kilat Tek Hoat sudah meloncat ke atas. Kiranya dia tadi hanya pura-pura terjatuh untuk memancing perhatian lawan. Ketika melihat lawannya menghantamkan tongkat ke atas kepalanya, Tek Hoat meloncat dan menangkap tongkat itu di bagian tengah-tengah dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menampar ke arah tangan lawan yang masih memegang tongkat.

Kakek itu mengeluh, dan terpaksa membiarkan tongkatnya terampas oleh Tek Hoat yang telah membetotnya sambil mengerahkan tenaga. Tentu saja kakek itu tidak dapat mempertahankan tamparan Tek Hoat yang dilakukan dengan pengerahan sinkang yang amat panas, sinkang yang dilatihnya di bawah bimbingan Sai-cu Lo-mo.

Kini Tek Hoat berdiri tegak setelah tadi meloncat ke belakang sambil membawa tongkat rampasannya. Ada pun kakek itu telah bersiap untuk bertanding mati-matian, matanya menjadi merah dan mulutnya seolah-olah mengeluarkan uap panas.

"Ha-ha, tongkatmu ini tidak ada gunanya, Sin-houw Lo-kai." Sambil berkata demikian, pemuda itu menekuk-nekuk tongkat baja yang kuat itu dengan kedua tangannya dan tongkat itu tertekuk sampai bengkok-bengkok seperti ular! Dengan senyum mengejek pemuda itu melemparkan tongkat itu ke atas lantai, lalu melangkah maju menghampiri lawannya.

Pucatlah wajah kakek itu. Dia maklum bahwa biar pun lawannya masih muda sekali, namun ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan memiliki tenaga sinkang yang sangat kuat. Dia tahu bahwa dia bukanlah tandingan pemuda ini, akan tetapi setelah pemuda itu membunuh semua muridnya, setelah pemuda itu begitu menghina dan memandang rendah kepadanya, tentu saja dia merasa lebih baik mati dari pada mundur!

Dia mengeluarkan pekik melengking penuh kemarahan, tubuhnya meloncat ke atas dan menubruk seperti seekor harimau. Memang kakek ini terkenal lihai dengan Ilmu Silat Harimau sehingga julukannya Harimau Sakti, bahkan ketujuh orang muridnya yang tewas itu pun terkenal dengan julukan Tujuh Harimau Terbang. Lawan yang ditubruk oleh jurus paling ampuh dari ilmu silatnya ini tentu akan menjadi panik, dan gerakan menubruk ini banyak sekali perkembangannya.

Akan tetapi Tek Hoat yang kini sudah merasa yakin bahwa tenaganya masih lebih kuat dari pada kakek itu, memandang rendah serangan ini dan dia bahkan menyambut serangan lawan dan siap mengadu tenaga! Maka ketika kakek itu menubruk, dengan kedua tangan dikembangkan dan jari-jari tangan terbuka seperti cakar harimau, Tek Hoat juga mengembangkan kedua lengannya dan menerima kedua tangan lawan itu dengan tangannya sendiri.

"Plak! Plak!"

Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan mulailah terjadi adu tenaga sinkang yang dilakukan tanpa bergerak akan tetapi yang kehebatannya tidak kalah dengan adu kecepatan kaki tangan tadi. Kakek itu berdiri dengan kedua kaki terpentang, mukanya beringas seperti muka harimau marah, tubuhnya agak merendah, dia mengerahkan seluruh tenaganya. Tek Hoat berdiri biasa saja, senyumnya masih menghias mulutnya, matanya tajam bersinar-sinar, wajahnya berseri dan diam-diam dia mengerahkan Yang-kang yang mengandung hawa panas itu.

Dua pasang lengan itu sampai tergetar hebat dalam adu tenaga itu, akan tetapi lambat laun kakek jembel itu sukar dapat mempertahankan diri lagi karena hawa panas itu semakin mendesak dan semakin membakar seakan-akan hendak membakar seluruh tubuhnya. Dia dapat mempertahankan dorongan tenaga sinkang lawan, akan tetapi menghadapi hawa panas yang meresap ke dalam tubuhnya itu dan membuat dadanya seperti akan meledak, dia merasa tersiksa sekali.

Tek Hoat makin memperkuat dorongannya makin mengerahkan sinkang-nya sehingga dari telapak tangannya mengepul uap panas. Kakek itu meringis, makin menderita dan akhirnya kedua kakinya gemetaran, perlahan-lahan lututnya tertekuk, makin lama makin rendah dan akhirnya dia jatuh berlutut dan tubuhnya gemetar semua.

Untuk kesekian kalinya Tek Hoat mengerahkan tenaganya, terutama pada tangan kanannya yang sudah menekan tangan kiri lawan.

"Krekkk...! Aughhhh...!"

Sin-houw Lo-kai memekik kesakitan, akan tetapi pekiknya menjadi memanjang, menjadi lengking mengerikan ketika tangan kanan Tek Hoat secepat kilat sudah melepaskan tangan kiri lawan dan menyambar ke arah kepala lawan. Jari tangannya, telunjuk dan jari tengah, menusuk dan masuk semua ke dalam kepala kakek itu. Tubuh kakek itu berkelejotan dan terlempar keluar ketika Tek Hoat menendangnya, tak lama kemudian tubuhnya tak bergerak lagi, mati seperti empat orang muridnya.

Kakek Kam Siok dan para tamu yang menyaksikan pertandingan itu dan melihat betapa lima orang pengacau itu telah tewas semua, segera menghampiri Tek Hoat dan mertua yang merasa amat girang dan lega ini merangkul mantunya penuh kebanggaan. Mayat lima orang itu cepat diurus dan kakek Kam Siok membereskan persoalan itu dengan pembesar setempat. Banyak sekali saksinya bahwa lima orang itu yang datang untuk mengacau, maka Tek Hoat tidak dituntut apa pun, lebih-lebih karena Kam Siok berani mengeluarkan banyak hadiah untuk para petugas yang mengurus persoalan itu.

Pesta perkawinan dilanjutkan dengan meriah dan kegagahan Tek Hoat menjadi bahan percakapan para tamu. Nama 'Gak Bun Beng' terkenal sekali dan semua orang merasa kagum akan kegagahan pemuda yang masih muda sekali itu dan menyatakan betapa untungnya Kam Siok memperoleh seorang mantu seperti itu.

Akan tetapi hanya orang luar saja yang menganggap bahwa keluarga Kam berbahagia dengan munculnya pemuda tampan dan gagah itu, oleh karena orang luar tidak tahu keadaan sebenarnya. Ada pun kakek Kam Siok dan puterinya, Kam Siu Li, menderita tekanan batin hebat ketika baru beberapa hari saja setelah pesta pernikahan itu berlangsung, secara terang-terangan pemuda itu bermain gila dengan si ibu tiri! Tek Hoat yang masih hijau dalam soal asmara, tentu saja tidak dapat melawan godaan Liok Si yang selain cantik sekali, juga pandai merayu dan bergaya itu. Dengan mudah Tek Hoat dapat ditundukkan dan terjatuh ke dalam pelukan ibu tiri ini. Mungkin karena mengandalkan kelihaian Tek Hoat, Liok Si berani melakukan perjinahan dengan mantu tirinya ini secara berterang!

Dia seolah-olah menantang suaminya dan anak tirinya! Merayu, merangkul dan mencium mantunya di depan suami dan anak tirinya bukan merupakan hal yang aneh baginya! Ada pun Tek Hoat yang masih hijau, menurut saja karena dia mendapatkan kenikmatan yang luar biasa dalam hubungannya dengan Liok Si, kenikmatan yang tak dapat dia rasakan bersama isterinya yang juga sama-sama belum berpengalaman dan masih hijau seperti dia dalam bercumbu rayu.

Dapat dibayangkan betapa hancur hati Siu Li dan betapa marah dan malu rasa hati Kam Siok. Namun apa yang dapat mereka lakukan? Mereka berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada 'Gak Bun Beng', dan mereka takut sekali kepada pemuda ini. Ayah dan anak ini hanya dapat bertangis-tangisan jika mereka berdua saja, menyesali nasib mereka yang sangat buruk. Sedangkan Tek Hoat hampir selalu berada di dalam kamar Liok Si, bermain-main dan bersendau-gurau sebebas-bebasnya, siang malam!

Barulah terjadi geger bagi orang-orang di luar rumah makan itu saat sebulan kemudian setelah pesta pernikahan yang menghebohkan itu, terjadi ribut-ribut di rumah makan dan semua orang terkejut ketika mendengar bahwa kakek Kam Siok dan puterinya, Kam Siu Li si pengantin baru, tahu-tahu telah kedapatan tewas di dalam kamarnya dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan! Pada malam itu, si pengantin pria yang gagah perkasa itu kebetulan sedang pergi ke luar kota. Ketika Tek Hoat pada pagi harinya datang dan menyaksikan isterinya dan ayah mertuanya sudah tewas dan dirubung para tetangga, dia marah sekali, memaki-maki dan menantang-nantang.

"Jahanam keparat!" teriaknya nyaring. "Ini tentu perbuatan teman-teman Jit-hui-houw! Pengecut benar! Mengapa beraninya membunuh orang yang tak bersalah dan lemah? Kalau memang berani, hayo datang dan lawanlah aku!"

Semua orang membenarkan dugaan pemuda ini bahwa pembunuhnya tentulah kawan-kawan dari Jit-hui-houw yang membalas dendam, maka mereka diam-diam merasa kasihan kepada pemuda yang mengagumkan hati mereka itu. Demikianlah pendapat orang luar. Akan tetapi di sebelah dalam rumah itu, Tek Hoat dan Liok Si tertawa-tawa merayakan kemenangan mereka dan Tek Hoat membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan kekasihnya yang pandai merayu. Pembunuhan itu tentu saja dilakukan oleh Tek Hoat sendiri atas bujukan Liok Si dan semua harta benda peninggalan Kam Siok tentu jatuh ke tangan mereka.

Namun, kemesraan di antara mereka berdua tidak dapat bertahan lama. Tek Hoat suka kepada Liok Si yang cantik genit itu hanya karena dorongan nafsu yang dibangkitkan oleh Liok Si yang pandai merayu. Setelah nafsu berahi terlampiaskan, yang muncul hanya kebosanan dan kemuakan. Demikian pula dengan Tek Hoat, pemuda hijau yang salah didik ini. Dia mulai merasa bosan dan sebulan kemudian, sering kali dia keluar rumah, bahkan bermalam di kota lain. Jiwa perantauannya timbul kembali dan dia mulai tidak kerasan berada di rumah makan itu. Hal ini tentu saja mengecewakan hati Liok Si, juga membuatnya sengsara.

Wanita yang haus cinta ini mana mungkin disuruh melewatkan malam-malam sunyi dan sendirian saja? Mulailah dia mengerlingkan matanya yang bagus itu kepada seorang pemuda tetangga, yang biar pun tidak setampan Tek Hoat, namun memiliki tubuh tinggi besar sehingga cukup membangkitkan gairahnya. Dan akhirnya, apabila Tek Hoat tidak bermalam di rumah, Liok Si berhasil memikat pemuda itu memasuki kamarnya di mana dia memuaskan semua kehausannya.

Pada suatu malam, tidak seperti biasanya, Tek Hoat pulang dan pemuda ini memasuki rumah melalui genteng. Ketika dia mendorong daun pintu kamar Liok Si, dia melihat Liok Si dan pemuda tinggi besar itu di atas pembaringan! Tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk mengeluarkan suara, dua kali tangannya menyambar dan dua tubuh yang telanjang itu berkelojotan sebentar, kemudian diam dan mati dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan!

Diam-diam Tek Hoat mengumpulkan semua perhiasan Liok Si dan semua uang emas dan perak peninggalan kakek Kam, dibuntal dengan bungkusnya, kemudian menjelang pagi dia melompat ke atas genteng sambil mengerahkan khikang-nya berteriak keras, "Pembunuh! Hendak lari ke mana kau?!" Dan dia berkali-kali berteriak "Pembunuh!" sampai para tetangga terkejut dan keluar.

Setelah semua tetangga masuk dan melihat tubuh Liok Si dan si pemuda tinggi besar yang mereka kenal adalah pemuda tetangga telah terkapar di atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat dan mati dengan kepala berlubang, mereka terkejut sekali dan keadaan kembali menjadi geger. Tek Hoat lalu menceritakan betapa malam itu dia tidur nyenyak, dan bahwa dia tahu ibu mertuanya sedang kedatangan kekasihnya, akan tetapi dia tidak berani mencampurinya. Kemudian dia terbangun oleh suara ribut, ketika dia meloncat dan naik ke atas genteng, dia melihat berkelebatnya bayangan yang gesit sekali. Dia berusaha mengejar akan tetapi bayangannya ditelan kegelapan malam.

"Dia lihai sekali!" demikian dia menyambung. "Tentu dialah orangnya yang telah membunuh isteriku, dan yang sekarang kembali datang membunuh ibu mertua dan kekasihnya. Bedebah dia! Aku akan mencarinya sampai dapat! Aku tidak akan kembali ke sini sebelum aku dapat membunuh penjahat itu!"

Demikian Tek Hoat mengakhiri sandiwaranya, kemudian dia menyerahkan rumah yang harta bendanya telah dikuras itu kepada tetangga di sebelah. Setelah itu, pergilah Tek Hoat membawa buntalan pakaian dan harta benda yang lumayan banyaknya. Semua orang merasa kasihan kepada pemuda perkasa ini, dan nama 'Gak Bun Beng' menjadi kenangan mereka di kota itu.

Akan tetapi, banyak di antara para tetangga yang mulai merasa curiga kepada pemuda itu. Mengapa pembunuhan selalu terjadi tanpa setahu pemuda itu? Dan mengapa pula para kawan Jit-hui-houw yang semua terbunuh oleh pemuda itu membalas sakit hatinya kepada keluarga Kam, bukan kepada si pemuda? Dan semua yang tewas itu berlubang kepalanya! Mereka teringat betapa mayat lima orang yang mengacau pesta pernikahan dahulu itu, si kakek jembel bersama empat orang Jit-hui-houw juga mati dengan kepala berlubang! Apa lagi si tetangga yang diserahi rumah makan mendapatkan kenyataan bahwa rumah makan itu hanya tinggal perabotnya saja, sedangkan semua harta benda yang berharga telah lenyap!

Kembali gegerlah kota Shen-yang! Berita tentang kenyataan-kenyataan itu cepat tersebar luas dan timbullah dugaan bahwa si pembunuh keluarga Kam itu tentu bukan lain pemuda Gak Bun Beng itu sendiri! Apa lagi setelah terdapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak pernah kembali lagi ke Shen-yang, terkenallah nama Gak Bun Beng, kini bukan sebagai pemuda mantu Kam Siok yang gagah perkasa, melainkan sebagai seorang pemuda kejam dan jahat! Dan dugaan ini diperkuat dengan adanya berita yang memasuki kota Shen-yang melalui para pendatang bahwa di dunia kang-ouw kini muncul seorang penjahat muda yang terkenal dengan julukan Si Jari Maut!

Sementara itu, Tek Hoat yang dihebohkan di kota Shen-yang dan Shen-bun dengan nama Gak Bun Beng, telah meninggalkan kota itu dengan hati lega. Dia telah terbebas dari ikatan yang amat tidak menyenangkan dan amat membosankan hatinya. Tentu saja ketika dia menerima penawaran kakek Kam Siok untuk menikah dengan Siu Li, pada saat itu dia terpengaruh untuk menolong mereka, akan tetapi sama sekali dia tidak berniat untuk selamanya menjadi seorang suami yang terikat di rumah makan itu! Kebetulan dia mendapat jalan dengan bujuk rayu Liok Si. Akhirnya, setelah membunuh semua keluarga Kam, dia pergi sambil membawa harta benda mereka. Kini tidak khawatir lagi akan kehabisan bekal di jalan.

Akan tetapi, buntalannya yang berisi banyak emas dan perak itu menarik perhatian para penjahat yang bermata tajam. Namanya yang belum terkenal membuat para perampok makin berani dan banyaklah perampok yang mencoba untuk merampas buntalan pemuda remaja ini. Akan tetapi mereka kecele karena perampok yang bagaimana lihai pun, begitu bertemu dengan pemuda ini tentu akan dihajar habis-habisan dan banyak pula yang tewas dengan kepala berlubang. Maka gegerlah dunia kang-ouw dengan munculnya seorang tokoh baru, seorang pemuda berjari maut dan segera terkenallah julukan Si Jari Maut. Akan tetapi Tek Hoat tidak pernah mau memperkenalkan namanya sendiri, dan kalau terpaksa dia harus mengaku, maka dia sengaja memakai nama Gak Bun Beng!

Hal ini adalah karena dia ingin orang membenci musuh besarnya yang telah meninggal dunia itu, pula, dia merasa bahwa belum waktunya dia memperkenalkan nama sebelum dia mencapai kedudukan sebagai seorang gagah nomor satu di dunia ini! Dan untuk membuktikan bahwa dia adalah orang terpandai, dia harus lebih dulu bisa mengalahkan pendekar yang diagung-agungkan ibunya, yaitu Pendekar Siluman Majikan Pulau Es! Kalau sudah begitu, barulah dia akan memperkenalkan namanya sendiri.

Ketika Tek Hoat tiba di luar kota raja, di dalam sebuah hutan yang biasa didatangi oleh para bangsawan untuk berburu binatang, dia mengalami hal yang sekaligus membuka matanya dan menyatakan kepadanya bahwa sebetulnya ilmu kepandaiannya masih jauh untuk mencapai tingkat jagoan nomor satu di dunia, dan juga membuka matanya bahwa selama ini dia terlalu memandang tinggi tingkat kepandaiannya sendiri dan bahwa yang dikalahkannya semua itu hanyalah penjahat-penjahat kelas rendahan saja!

Pengalaman yang mengejutkan hatinya ini terjadi ketika dia sedang berjalan seorang diri di dalam hutan itu, sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar dan kaya dengan burung-burung dan binatang hutan. Selagi dia menikmati suara burung dan melihat kelinci dan kijang lari ketakutan melihat dia datang, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan di belakangnya datang lima ekor kuda yang membalap. Jalan dalam hutan itu sempit, akan tetapi dia tidak mau minggir, hendak dilihatnya apa yang akan dilakukan lima orang penunggang kuda itu kalau dia tidak mau minggir!

"Haiii...! Minggir...!" Penunggang kuda terdepan berseru.

Namun Tek Hoat tidak mau minggir, bahkan membalikkan tubuhnya dan memandang dengan senyum sindir. Penunggang kuda terdepan sudah tiba dekat dan mendadak orang itu, yaitu seorang berpakaian perwira yang berwajah tampan dan bertubuh tegap, mengulurkan tubuhnya dari atas kuda ke arah Tek Hoat dan tahu-tahu tubuh Tek Hoat sudah ditangkap dan diangkatnya tinggi-tinggi tanpa pemuda ini dapat mengelak lagi!

"Bocah, apakah kau sudah bosan hidup maka tidak mau minggir?!" Bentak perwira itu sambil melemparkan tubuh Tek Hoat ke samping.

Tubuh Tek Hoat lantas meluncur dan anehnya, tanpa dia mengerahkan ginkang-nya, tubuhnya melayang perlahan dan tiba di atas tanah dalam keadaan berdiri! Dia cepat memandang dan mengikuti lima orang penunggang kuda itu dengan mata terbelalak. Tahulah dia bahwa perwira itu selain bertenaga besar juga memiliki kepandaian hebat! Dia menjadi penasaran sekali. Masa dia kalah oleh orang itu? Dengan hati penasaran dan ingin sekali mencoba kepandaiannya melawan perwira tadi, Tek Hoat lalu berlari mengejar ke dalam hutan.

Tidak lama kemudian dia melihat lima orang penunggang kuda itu di tengah hutan. Mereka telah turun dari kuda dan binatang tunggangan mereka sedang makan rumput, sedang mereka sendiri duduk di bawah pohon, menghapus keringat dan memandang kepada seorang wanita yang masih duduk di atas kudanya, seorang wanita yang amat cantik dan berpakaian amat indah.

Tek Hoat menyelinap dan bersembunyi, memandang dengan mata kagum. Wanita itu sebaya ibunya, akan tetapi bukan main cantiknya dan bukan main mewah dan indah pakaiannya. Kudanya pun merupakan kuda yang tinggi besar dan kuat, dan wanita itu tiada hentinya memandang ke depan. Ketika Tek Hoat memandang pula, dia hampir berteriak saking kagetnya.

Di depan wanita itu kelihatan seekor harimau yang besar sedang bersiap-siap untuk menubruk! Kuda tunggangan wanita itu kelihatan gelisah sekali, dan lima ekor kuda lain yang tadinya makan rumput juga mulai gelisah ketika harimau besar itu muncul. Namun, lima orang laki-laki yang duduk di bawah pohon kelihatan tenang-tenang saja memandangi wanita itu, sedangkan wanita cantik itu sendiri juga tetap duduk di atas punggung kudanya dengan tenang, tangannya memainkan sehelai sabuk sutera putih.

Melihat wanita itu bertangan kosong, tidak membawa panah atau pedang, timbul kekhawatiran di hati Tek Hoat. Dia sendiri pun tidak bersenjata dan selamanya belum pernah melihat harimau, apa lagi melawannya. Akan tetapi karena melihat binatang itu hanya seperti seekor kucing besar, dia tidak takut dan dia ingin sekali memamerkan ilmu kepandaiannya kepada lima orang laki-laki itu terutama sekali kepada perwira tampan gagah yang tadi melemparnya.

Maka tanpa berpikir panjang lagi, dia sudah meloncat dengan tubuh ringan sekali, melayang ke depan wanita itu, menghadapi harimau yang kelihatannya terkejut melihat ada orang 'terbang' turun di depannya! Harimau itu menggereng dan Tek Hoat sudah siap melawan mati-matian sungguh pun kini dia baru tahu bahwa harimau itu kelihatan berbahaya dengan mulut penuh taring.

"Bocah lancang! Mundurlah kau!" Terdengar bentakan halus dan mendadak Tek Hoat merasa pinggangnya seperti dirangkul orang dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke atas.

Biar pun dia berusaha mengerahkan tenaga, namun sia-sia belaka dan alangkah heran dan kagetnya ketika dia mendapat menyataan bahwa pinggangnya terbelit ujung sabuk sutera putih. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada orang, apa lagi hanya seorang wanita, bisa menggunakan sabuk sutera untuk memaksanya pergi, membuat tubuhnya melayang dan menurunkan tubuhnya ke atas tanah seolah-olah sabuk itu bernyawa dan amat kuatnya!

Dengan penasaran dia ingin meloncat maju, tetapi tiba-tiba lengannya dipegang orang dari belakang, pegangan yang kuat bukan main sehingga usahanya untuk merenggut lepas sia-sia belaka. Ketika menoleh, dia melihat orang itu adalah panglima yang tadi melemparnya. Kini tampak betapa pakaian orang ini juga mewah dan indah, pakaian seorang panglima atau perwira tinggi yang berwibawa dan bermata tajam.

"Sabarlah, orang muda, dan lihat betapa ganasnya harimau itu!"

Terdengar gerengan hebat sehingga bumi yang di bawah kakinya tergetar. Tek Hoat cepat memandang ke arah harimau dan melihat harimau itu meloncat tinggi sekali, menerkam ke arah wanita yang masih duduk tenang di atas punggung kudanya. Kudanya meronta dan meringkik, akan tetapi anehnya kuda itu tidak mampu bergerak karena sesungguhnya tubuhnya telah dijepit keras oleh kedua kaki wanita itu sehingga tidak mampu berkutik. Ketika tubuh harimau itu melayang di udara, wanita tadi menggerakkan tangan dan sinar putih panjang menyambar ke depan. Itulah sabuk sutera putih yang telah menyambut datangnya terkaman harimau. Ujung sabuk itu seperti seekor ular hidup melibat perut harimau dan membanting ke bawah.

"Bressss!"

Tubuh harimau terguling-guling sampai mendekati seorang di antara pengawal yang duduk di bawah pohon. Pengawal itu bangkit berdiri dan menusukkan tombaknya. Harimau yang besar itu mengangkat kakinya menangkis atau mencengkeram ke arah tombak.

"Krekkkk!" Tombak itu patah-patah.

"Hati-hati, mundur...!" Wanita itu berseru lagi dan kembali sabuk suteranya melayang dan menangkap pinggang harimau yang kini hendak menyerang pengawal itu, mengangkat tubuh harimau ke atas dan membantingnya lagi.

Akan tetapi bantingan-bantingan keras itu ternyata hanya membuat binatang itu marah, sama sekali tidak melumpuhkannya. Melihat ini, mengertilah Tek Hoat bahwa binatang itu memang hebat dan ganas sekali, kuat dan kebal.

Setelah lima kali wanita itu mengenakan ujung sabuk suteranya membanting dan binatang itu masih tetap bangkit dan melawan lebih ganas, agaknya dia menjadi marah dan penasaran sekali. Tangan kirinya bergerak dan sinar emas menyambar ke arah harimau, tercium bau harum ketika senjata jarum-jarum halus itu menyambar. Harimau meraung dan berloncat-loncatan aneh ke atas, kemudian roboh dan berkelojotan.

"Bunuh dia!" Wanita itu berkata dan empat orang pengawal melompat maju, kemudian menggunakan tombak mereka untuk membunuh harimau yang sudah sekarat itu.

Tek Hoat kini maklum bahwa dia bertemu dengan orang-orang pandai, terutama sekali wanita cantik dan panglima ini. Maka dia lalu merenggutkan lengannya terlepas dan berjalan pergi dari tempat itu.

Sesosok bayangan yang berkelebat cepat mengejutkannya dan ketika dia melihat bahwa wanita cantik itu seperti terbang saja sudah berada di depannya, dia mengira bahwa dia tentu akan ditegur atau mendapatkan marah. Maka dia mendahului wanita itu dan memukul!

"Heiiii...!" Wanita itu berseru, menggunakan tangan kirinya menyampok pukulan Tek Hoat yang dilakukan dengan pengerahan sinkang karena dia maklum akan kelihaian wanita itu.

"Plakkk...!"

Tek Hoat terpelanting dan dia hampir menjerit. Lengannya yang ditangkis oleh telapak tangan halus itu terasa sakit bukan main! Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan wanita itu, maka dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu dengan hati kecewa dan terpukul hebat. Dia selalu mengagulkan kepandaiannya, dan ternyata menghadapi seorang wanita saja dia tidak mampu menang!

Dengan kepandaiannya serendah itu dia hendak mencari dan menantang Pendekar Siluman! Betapa memalukan!

"Hei, bocah lancang! Tunggu...!" Terdengar panglima itu berseru.

"Biarlah, anak-anak yang mempunyai sedikit kepandaian memang biasanya keras kepala dan sombong!" terdengar wanita itu mencegah.

Tek Hoat berlari semakin kencang saja. Hatinya panas sekali, panas dan kecewa. Dia kelihatan seperti seorang yang lemah menghadapi panglima dan wanita cantik ini. Dia dikatakan kanak-kanak yang mempunyai sedikit kepandaian. Anak-anak yang sombong dan keras kepala! Ia mengepal tinjunya. Ia harus belajar lagi. Ia harus mengumpulkan ilmu-ilmu yang tinggi. Dia harus menjadi jago nomor satu di dunia agar tidak akan ada yang memandang rendah lagi!

Tentu saja dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia baru saja bertemu dengan seorang puteri dari Pendekar Siluman! Puteri itu adalah Puteri Milana yang sedang berburu binatang di hutan itu, bersama suaminya, Panglima Han Wi Kong dan empat orang pengawal mereka. Ilmu kepandaian Panglima Han Wi Kong memang tinggi, maka tentu saja Tek Hoat bukan tandingannya, apa lagi kepandaian Puteri Milana!

Seperti telah diceritakan, Puteri Milana telah menikah dengan Panglima Han Wi Kong. Mereka hidup rukun, sungguh pun tak dapat dikatakan bahwa Milana mencintai suaminya. Sayang bahwa mereka tidak mempunyai anak, seandainya ada, agaknya Milana perlahan-lahan akan dapat mencinta suaminya itu. Betapa pun juga, mereka kelihatan rukun dan tak pernah terjadi ribut di antara mereka.

Melihat seorang anak laki-laki yang memiliki kepandaian tinggi dan bersikap aneh itu, Milana dan suaminya terheran-heran. Apa lagi ketika suaminya menceritakan betapa anak itu tadi tidak mau minggir sehingga terpaksa dia lemparkan dari jalan.

"Hemm, jelas dia bukan bocah biasa," kata Milana.

"Benar, dia tentu murid seorang pandai. Akan tetapi sikapnya sungguh mencurigakan."

"Dia bersikap aneh, tentu murid orang aneh pula. Dan gerakannya ketika memukul tadi, bukankah mirip sekali dengan Pat-sian-kun? Heran sekali...!"

Mereka lalu kembali ke kota raja. Empat orang pengawal membawa bangkai harimau. Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah menyangka anak laki-laki remaja tadi bukan lain adalah keturunan Wan Keng In! Dia mengenal Ang Siok Bi, bahkan dia bersama Ang Siok Bi pernah mengeroyok Gak Bun Beng yang dianggapnya memperkosa para wanita itu, akan tetapi kemudian dia tahu bahwa yang melakukan berbuatan terkutuk itu adalah Wan Keng In yang menggunakan nama Gak Bun Beng. Juga dia tidak tahu bahwa anak itu telah dilatih ilmu silat tinggi sampai dua tahun lamanya oleh Sai-cu Lo-mo, bekas orang kepercayaan ibunya. Sai-cu Lo-mo yang tadinya menemaninya di istana, akan tetapi yang pergi semenjak dia menikah.

Tek Hoat mengambil buntalannya yang tadi disembunyikan di bawah pohon, lalu dia melanjutkan perjalanan dengan wajah murung. Kenyataan pahit betapa kepandaiannya tidak sehebat seperti yang dianggapnya selama ini, membuat dia kecewa sekali dan diam-diam mengutuk Sai-cu Lo-mo mengapa tidak mewariskan seluruh ilmunya! Dan dia memaki-maki Bu-tong-pai pula yang tidak mau menerimanya sebagai murid. Kini tahulah dia bahwa jelas sekali dia tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh Bu-tong-pai. Dia harus belajar lagi. Akan tetapi belajar dari siapa?

Dengan bersungut-sungut Tek Hoat memasuki sebuah dusun dan melihat sebuah rumah makan di dusun itu, dia masuk. Dia tidak lagi pergi ke kota raja. Panglima dan wanita itu tentulah orang-orang kota raja dan tahulah dia betapa berbahayanya kota raja yang memiliki demikian banyaknya orang pandai. Sebelum dia memiliki kepandaian yang tiada lawannya, perlu apa dia pergi ke kota raja hanya untuk dihina orang? Sekali masuk kota raja, dia harus mampu menggegerkan kota raja!

"Brukkk!"

Meja itu bergoyang-goyang dan tentu ambruk kalau tidak dipegang cepat-cepat oleh Tek Hoat. Buntalannya memang berat karena perak dan emas itu. Didengarnya suara orang berbisik-bisik. Ketika dia mengerling ke kiri, ternyata di meja sebelah kiri duduk pula empat orang laki-laki yang melihat pakaian dan gerak-geriknya, tentulah sebangsa jagoan silat yang kasar. Mereka memperhatikan Tek Hoat, terutama sekali pandang mata mereka ditujukan kepada buntalan di atas meja di depan pemuda itu.

"Ha-ha-ha-ha, twako. Kalau sekali ini kita tidak bisa mendapatkan kakap, benar-benar sialan kita ini," kata seorang di antara mereka.

"Aihhh, mana bisa memperoleh kakap di air keruh? Tunggu di air tenang, barulah mudah menangkap kakap gemuk," kata orang yang kumisnya melintang sampai ke telinga.

"Twako, air di sini pun cukup tenang. Pula siapa sih yang berani membikin keruh? Kakap tinggal tangkap saja, apa sukarnya?"

"Kau benar juga, baik kita melihat gelagat, ha-ha-ha-ha!" kata si kumis panjang sambil tertawa dan minum araknya.

Tek Hoat diam saja karena memang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tidak tahu bahwa mereka itu membicarakan dia yang dianggap kakap karena memiliki buntalan berat. Mata empat orang itu amat tajam, dapat menduga dengan tepat bahwa isi buntalan itu tentu emas!

Dengan tenang Tek Hoat minta kwaci dari pelayan dan memesan makanan. Sambil menanti masakan, dia makan kwaci tanpa mempedulikan sedikit pun kepada empat orang itu. Hatinya sedang kesal, wajahnya murung.

"Haii, orang muda. Mengapa engkau duduk sendirian saja? Marilah duduk bersama kami!" tiba-tiba seorang di antara mereka menegur Tek Hoat.

Karena di rumah makan tidak ada orang lain, tahulah Tek Hoat bahwa dia yang ditegur, akan tetapi dia hanya melirik dan tidak menjawab, senyumnya amat mengejek.

"Hei, orang muda. Lihatlah permainan kami ini, kalau mau menjadi sahabat kami, engkau akan kami ajari ilmu!" kata pula orang ke dua.

Tek Hoat menoleh dan dia melihat si cambang melintang itu menggerakkan kedua tangannya. Terdengar angin bersiutan dan tampak sinar hitam meluncur ke atas dan lima batang senjata rahasia berbentuk paku telah menancap berturut-turut di atas balok melintang, berjajar seperti diatur saja!

"Bagaimana? Bagus, bukan? Kalau ditujukan kepada lawan, sekarang juga sudah lima orang lawan roboh binasa. Ha-ha-ha!" Pemimpin rombongan empat orang kasar itu tertawa dengan lagak sombong.

"Huhhh!" Tek Hoat mendengus dan membuang muka dengan hati jemu menyaksikan kesombongan orang. Kepandaian seperti itu saja disombongkan, pikirnya. Betapa banyak manusia mengagulkan kepandaian sendiri, tidak tahu bahwa kepandaiannya itu sebetulnya bukan apa-apa, seperti yang pernah dia sendiri lakukan pula.

Melihat sikap Tek Hoat, si kumis panjang menjadi marah. Tangan kirinya bergerak dan sebatang paku meluncur ke arah buntalan di atas meja Tek Hoat.

"Wirrrr... trakkkkk!" Paku itu menembus buntalan dan mengenai potongan emas yang berada di sebelah dalam.

Tek Hoat terkejut dan ketika dia menoleh, empat orang itu tertawa-tawa. "Kalau yang kubidik tubuhmu, tentu sekarang pun engkau sudah tewas. Ha-ha-ha!"

Tek Hoat bangkit berdiri dengan marah. Empat orang itu tertawa makin bergelak karena menganggap gerak-gerik pemuda itu lucu. Dengan tenang Tek Hoat mencabut paku yang menancap di buntalannya. Empat orang itu masih tertawa akan tetapi tiba-tiba suara mereka terhenti dan mata mereka terbelalak ketika melihat betapa jari-jari tangan pemuda remaja itu mematah-matahkan paku seperti orang mematah-matahkan sebatang lidi saja! Kemudian, tangan kiri Tek Hoat menjemput kwaci di atas piring dan dengan pengerahan tenaga dia melontarkan kwaci-kwaci itu ke atas, ke arah lima batang paku yang menancap di balok melintang. Terdengar suara berdenting dan lima batang paku itu jatuh semua ke atas lantai!

Empat orang itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi Tek Hoat masih menggerakkan tangan kirinya dan segenggam kwaci melayang ke arah empat orang itu. Mereka menjerit dan mengaduh-aduh dan... muka mereka berdarah-darah ketika kwaci-kwaci itu menancap di muka mereka!

Pada saat itu, pelayan datang membawa daging dan roti pesanan Tek Hoat. Pemuda ini segera berkata, "Bungkus semua itu, aku akan makan di luar, di sini banyak lalat."

Pelayan yang melihat empat orang kasar tadi mengaduh-aduh, mencabuti kwaci dari muka dan darah bercucuran, kaget sekali, cepat-cepat membungkus makanan yang dipesan Tek Hoat dan memberikannya kepada pemuda itu. Tek Hoat memasukkan makanan ke dalam buntalan, mengeluarkan uang harganya dan menekan uang itu di atas meja, lalu pergi tanpa berkata apa-apa lagi.

Pelayan itu terbelalak memandang uang yang telah gepeng dan meja yang berlubang terkena tekanan jari tangan pemuda itu. Juga empat orang itu melihat ini dan si kumis panjang kaget sekali.

"Jari... Jari Maut..." Bisiknya lirih, kemudian bersama teman-temannya dia dengan cepat meninggalkan rumah makan, meninggalkan si pelayan yang masih bengong dan heran, kemudian mengambil uang yang gepeng dan melesak di atas meja itu dengan cara mencukilnya dengan pisau.

Dengan hati yang mendongkol sekali Tek Hoat keluar dari dusun dan memasuki sebuah hutan. Kalau saja dia tidak mengingat bahwa ilmu kepandaiannya sebenarnya belum berapa tinggi kalau dibandingkan dengan panglima dan wanita cantik yang ditemuinya dalam hutan di luar kota raja, tentu dia tadi sudah membunuh empat orang kasar itu. Sekarang dia harus semakin berhati-hati, tidak mencari permusuhan karena kepandaiannya belum tinggi.

"Wan-kongcu...!"

Tek Hoat terkejut sekali. Suara yang tiba-tiba terdengar di belakang itu demikian nyaringnya, merupakan lengking yang dahsyat tanda bahwa yang bersuara itu memiliki khikang yang kuat sekali. Dia cepat menoleh dan lebih terkejut lagi dia ketika melihat bahwa orang yang berseru itu ternyata masih jauh dan kini orang itu berlari dengan kecepatan yang membuatnya terbelalak heran dan kagum. Sebentar saja orang itu sudah berada di depannya dan untuk ketiga kalinya Tek Hoat terkejut.

Orang ini memang luar biasa sekali. Mukanya merah, merah muda! Seperti muka seorang gadis cantik yang dirias bedak dan yanci (pemerah pipi), akan tetapi wajah itu buruk, bulat dan serba besar hidung dan bibirnya. Matanya berputaran liar seperti mata orang yang miring otaknya, dan kepalanya gundul, ditumbuhi rambut yang jarang dan layu. Tubuhnya gendut pendek.

Akan tetapi yang membuat Tek Hoat terkejut adalah ketika melihat betapa dari mulut orang itu keluar asap tipis putih yang keluar masuk menurutkan jalan napasnya yang agaknya bukan hanya melalui hidung saja, akan tetapi juga melalui mulutnya yang terbuka itu. Melihat uap putih ini di waktu musim dingin, tidaklah aneh. Akan tetapi sekarang hawa sedang panasnya, bagaimana orang ini dapat menyebabkan uap dengan napasnya?

Dan dari dalam perut orang itu terdengar bunyi seperti orang kalau sedang lapar, hanya bedanya, kalau perut orang lapar terdengar bunyi berkeruyuk, adalah perut orang ini mengeluarkan bunyi berkokok seperti katak, hanya agak jarang terdengarnya dan hanya telinga terlatih saja yang dapat menangkap suara itu.

Sejenak kedua orang ini saling berpandangan. Tek Hoat memandang penuh keheranan sedangkan orang aneh itu memandang dengan mata berputaran dan mulut yang menyeringai. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Aha, tidak salah lagi, engkau adalah Wan-kongcu (tuan muda Wan)! Ha-ha-ha, akhirnya dapat juga kita saling bertemu!"

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Jelas bahwa orang ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, akan tetapi masih diragukan kewarasan otaknya. Maka dia bersikap hati-hati, tidak segera menyangkal dan dia malah memancing, "Siapakah engkau?"

"Heh-heh-heh, kongcu sudah lupa kepada saya? Masa lupa kepada anak buah sendiri? Saya orang yang paling setia di Pulau Neraka, saya Kong To Tek."

Tentu saja Tek Hoat sama sekali tidak mengenal nama ini, bahkan sebutan Pulau Neraka pun baru sekarang dia mendengarnya. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk menyangkal, maka dia diam saja dan segera menurunkan buntalannya, duduk di bawah pohon berhadapan dengan si kepala gundul yang aneh ini. Dikeluarkannya daging dan roti yang dibelinya tadi.

"Kau mau makan?" Dia menawarkan.

Kong To Tek girang sekali, kamudian tanpa sungkan-sungkan, seperti seekor anjing kelaparan, dia menyerbu daging dan roti itu sehingga Tek Hoat hanya kebagian sedikit.

Kong To Tek adalah salah seorang di antara tokoh Pulau Neraka, menjadi pembantu ketua Pulau Neraka yang waktu itu dipegang oleh Lulu. Dia bahkan merupakan tokoh pembantu pertama, dan yang kedua adalah Ji Song yang kini menjadi pembantu utama ketua baru Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo.

Pulau Neraka ditinggal oleh para tokohnya, yaitu ketika dua orang kakek sakti tokoh Pulau Neraka yang penuh rahasia, yaitu Cui-beng Koai-ong dan sute-nya, Bu-tek Siauw-jin, saling bertanding sendiri hingga keduanya tewas bersama, kemudian ketua Pulau Neraka, Lulu juga meninggalkan pulau itu untuk kemudian ikut suaminya, yaitu Pendekar Siluman ke Pulau Es. Lalu mengapa Kong To Tek bisa berada di tempat itu, berkeliaran di daratan besar dan tidak tinggal di Pulau Neraka? Biarlah kita dengarkan sendiri penuturannya kepada Tek Hoat.

"Benarkah engkau Kong To Tek tokoh Pulau Neraka?" Tek Hoat yang cerdik sekali itu berkata memancing. "Engkau berubah sekali sampai aku tidak mengenalmu lagi."

"Ha-ha-heh-heh, di dunia ini masa ada Kong To Tek kedua? Saya adalah Kong To Tek yang tulen, Kongcu. Kong To Tek dari Pulau Neraka yang asli!" Si gundul itu mengusap sisa makanan di bibir dan menggaruk-garuk kepalanya, matanya memandang liar ke kanan kiri. Diam-diam Tek Hoat merasa ngeri juga menyaksikan sikap liar ini.

"Kalau engkau betul Kong To Tek yang asli, coba katakan siapa namaku."

"Wah, masa aku bisa lupa kepadamu, kongcu. Engkau adalah kongcu Wan Keng In putera tunggal Ketua Pulau Neraka."

Tek Hoat terkejut sekali, akan tetapi bersikap tenang. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa yang disebut Wan Keng In itu sebenarnya adalah ayahnya, ayah kandung yang telah memperkosa ibunya! Dan bahwa wajahnya memang mirip sekali dengan Wan Keng In.

"Benar, akan tetapi aku belum puas. Coba katakan siapa guruku?"

"Ha-ha-ha, apakah kongcu main-main? Tentu saja guru kongcu adalah Cui-beng Koai-ong... dan karena pesan mendiang gurumu itulah maka dengan susah payah saya mencari kongcu."

Tek Hoat pura-pura kaget. "Apa? Guruku... Cui-beng Koai-ong telah meninggal dunia?"

Si gundul itu mengangguk-angguk. "Banyak hal terjadi di Pulau Neraka, sejak kongcu berlari pergi... dan tocu (majikan pulau), yaitu ibu kongcu juga tidak pernah kembali lagi..."

Tek Hoat bisa menggambarkan apa yang diceritakan oleh si gundul ini. Agaknya dia disangka putera seorang majikan pulau, yaitu Pulau Neraka dan bahwa dia murid Cui-beng Koai-ong yang telah meninggal dunia. Dan ibunya, yaitu ketua pulau telah pergi dan tidak kembali lagi!

"Kong To Tek lopek (paman tua), coba kau ceritakan apa yang terjadi di Pulau Neraka."

Kong To Tek duduk setengah rebah, bersandar pohon dan sikapnya seenaknya biar pun berada di depan majikannya, hal ini menunjukkan kepada Tek Hoat bahwa orang Pulau Neraka adalah orang-orang liar yang kurang mempedulikan tata susila atau sopan santun. Akan tetapi dia tidak peduli dan mendengarkan penuturan kakek itu dengan penuh perhatian. Kakek ini usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, otaknya miring, akan tetapi jelas berkepandaian tinggi dan ceritanya tentu aneh.

Dan cerita Kong To Tek memang aneh. Dia menceritakan bahwa sebelum terjadi peristiwa hebat di Pulau Neraka, yaitu matinya Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, kakak beradik seperguruan yang merupakan manusia-manusia sakti yang jarang ada tandingnya, pada suatu hari dia didatangi oleh Cui-beng Koai-ong Si Mayat Hidup.

"Agaknya gurumu itu telah mempunyai firasat buruk, kongcu. Buktinya, baru dua hari setelah dia mendatangi saya, terjadilah pertandingan hebat antara gurumu dan susiok-mu Bu-tek Siauw-jin yang mengakibatkan keduanya tewas!"

"Kong-lopek, apa maksudnya mendiang suhu mendatangimu?" Tek Hoat mendesak, makin tertarik dengan cerita aneh ini.

"Gurumu menyerahkan dua buah kitab dan sepatang pedang yang katanya merupakan inti segala ilmu yang dimiliki suhu-mu dan susiok-mu, dengan pesan agar kelak aku menyerahkan semua itu kepadamu."

Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Tek Hoat. Dia cepat melompat bangun dan menghardik. "Di mana pusaka-pusaka itu?"

Si gundul tertawa. "Jangan khawatir, kongcu. Sudah saya simpan baik-baik. Ah, sayang sekali, saya buta huruf dan tidak dapat mempelajari kitab-kitab itu. Padahal, baru melihat-lihat dan meniru gambar-gambarnya itu saja sudah membuat saya memperoleh kemajuan yang hebat ini, kongcu!"

Si gundul menghampiri pohon sebesar dua kali tubuh orang. Dia memekik, kemudian menubruk pohon itu dengan kepalanya, dengan loncatan yang kuat sekali.

"Heiii...!" Tek Hoat berseru kaget.

"Desss! Brakkkkk...!"

Pohon itu patah dan tumbang, sedangkan si gundul sudah tertawa-tawa lagi di depan Tek Hoat. Pemuda ini terkejut setengah mati, akan tetapi diam-diam menjadi girang bukan main. Wajahnya tenang saja, bahkan dia mengejek, "Hem, Kong-lopek, apakah engkau hendak menyombongkan diri di depanku?"

Tiba-tiba si gundul berlutut. "Sama sekali tidak, Kongcu. Ampunkan saya. Saya hanya ingin membuktikan bahwa betapa hanya dengan mempelajari gambar-gambarnya saja, kepandaian saya sudah meningkat hebat."

"Hayo cepat serahkan kitab-kitab dan pedang dari suhu kepadaku!"

"Baik, baik... mari, kongcu. Benda pusaka itu kusembunyikan di dalam goa yang selama ini menjadi tempat tinggal saya."

Keduanya berlari-larian. Tek Hoat mengerahkan ginkang-nya dan sudah berlari secepat mungkin, akan tetapi kakek gundul itu sambil tertawa-tawa masih dapat mengimbangi kecepatan larinya. Hebat!

Goa itu berada di daerah berbatu-batu di lereng gunung yang dikelilingi hutan lebat. Sunyi dan tak pernah dikunjungi manusia. Goa yang cukup besar, dalamnya ada lima meter dan gelap. Ketika akhirnya kakek itu menyerahkan dua buah kitab dan sebatang pedang kepadanya, Tek Hoat menjadi girang sekali dan dengan jantung berdebar dia membawa benda-benda pusaka itu keluar, ke tempat terang.

Dicabutnya pedang itu dan matanya langsung menjadi silau. Sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya kebiruan dan mengandung wibawa yang kuat mengerikan, dan begitu tercabut terciumlah bau amis bercampur harum yang memuakkan. Ukiran huruf kecil-kecil di dekat gagang memperkenalkan nama pedang itu. Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Nyawa)!

Disarungkannya kembali pedang itu dan diselipkan di pinggangnya. Kemudian dia membalik-balik lembaran dua buah kitab itu. Dan ternyata itu adalah dua kitab yang mengandung pelajaran ilmu silat yang mukjijat, inti dari semua ilmu silat yang dikuasai oleh Cui-beng Koai-ong dan yang sebuah lagi adalah hasil ciptaan Bu-tek Siauw-jin. Dahulu, sebelum kedua orang manusia sakti itu saling bertanding sampai keduanya mati, Cui-beng Koai-ong yang agak jeri terhadap sute-nya telah berlaku curang, dengan mencuri kitab yang kedua itu dari sute-nya.

Akan tetapi sebelum dia sempat mempelajari kitab sute-nya, keburu mereka bertanding karena masing-masing membela murid mereka.

"Heh-heh-heh, apakah engkau tidak girang, kongcu?"

Tek Hoat memandang kakek gundul itu dan mengangguk. "Terima kasih, Kong-lopek. Kau baik sekali. Memang kau seorang yang paling setia di Pulau Neraka. Kau berjasa sekali dan aku tentu tidak akan melupakan jasamu ini."

"Heh-heh-heh, betapa banyak kesengsaraan yang kuderita selama mencarimu, kongcu. Akan tetapi akhirnya berhasil juga, ha-ha, sekarang aku tidak takut lagi kelak harus bertanggung jawab di depan suhu-mu. Aku ngeri membayangkan betapa aku harus mempertanggung jawabkan kelak kalau aku tidak berhasil menyerahkan semua ini kepadamu."

Diam-diam Tek Hoat heran sekali. Kakek yang amat lihai ini ternyata takut luar biasa kepada 'gurunya' yang bernama Cui-beng Koai-ong! Tiba-tiba dia mendapatkan sebuah pikiran dan bertanya, "Kong-lopek, menurut pendapatmu, siapakah yang lebih lihai di antara guruku dan Pendekar Siluman Majikan Pulau Es?"

Mendadak tubuh kakek itu gemetar dan kepalanya digeleng-gelengkan. "Jangan... jangan... sebut-sebut nama dia... dia... bisa datang secara tiba-tiba dia nanti... ihhh... aku takut, kongcu."

Kembali Tek Hoat terkejut. Kiranya Pendekar Siluman sedemikian hebatnya sampai kakek ini pun ketakutan, padahal baru menyebut namanya saja.

"Jangan khawatir, lopek. Dia tidak akan muncul, tapi katakan, siapa yang lebih lihai di antara mereka?"

"Entahlah, seorang bodoh seperti saya mana bisa menilai? Kepandaian beliau itu terlalu hebat, mengerikan... tapi kalau suhu-mu dan susiok-mu (paman guru) maju berdua, kiranya akan menang."

Tek Hoat kagum bukan main. Begitu hebatnya Pendekar Siluman! Akan tetapi kini dia memperoleh kitab wasiat suhu dan susiok-nya, berarti dia dididik oleh dua orang manusia sakti itu. Kelak tentu dia akan dapat menandingi Pendekar Siluman.....

KISAH SEPASANG RAJAWALI (seri ke 8 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang