Jilid 26/57

2K 20 0
                                    

Ceng Ceng mengikuti dua orang penjemputnya itu untuk menghadap Ketua Tiat-ciang-pang. Ketika berjalan menuju ke sebuah pondok yang agak jauh dari tempat perhentian perahu, mereka berjalan melewati banyak sekali orang-orang golongan sesat yang sedang menanti di sekitar tempat itu. Ceng Ceng mencari-cari dengan matanya kalau-kalau musuh besarnya berada di antara mereka itu.

Akan tetapi dia tidak melihat munculnya, dan agaknya akan aneh sekali kalau musuh besarnya itu, seorang pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah, berada di antara orang-orang ini. Orang-orang yang jorok dan menimbulkan kengerian di hatinya. Ada di antara mereka yang sedang bermain kartu dan bertaruhan besar sehingga tempat itu menjadi bising dengan suara mereka.

Itu adalah golongan para penjudi yang hidupnya hanya diisi dengan kegemaran ini, berjudi dan mempertaruhkan segala miliknya. Ada pula yang sedang minum arak sambil tertawa-tawa dan mereka ini semua telah dalam keadaan mabok atau setengah mabok. Inilah golongan pemabok yang hidupnya hanya mengejar kesenangan dibuai alam khayal ketika mabok. Golongan lain yang memisahkan diri mereka agak aneh.

Mereka ini terdiri dari orang-orang yang sebagian besar sudah tua dan tubuh mereka kurus, bermuka pucat. Mereka ini berkelompok dan kelihatan tenang-tenang saja, akan tetapi di antara mereka itu tampak asap bergulung-gulung ke atas seolah-olah di tempat itu terjadi kebakaran kecil. Ceng Ceng mendengus dan cuping hidungnya bergerak gerak ketika dia mencium bau yang memuakkan.

Tahulah dia bahwa kelompok ini adalah golongan pecandu madat dan penggemar asap beracun semacam ini. Hidup mereka tak ada bedanya dengan golongan-golongan lain, mengejar kesenangan membiarkan dirinya diayun di angkasa oleh asap madat! Ada pula golongan lain yang pakaiannya mewah dan pesolek, sikap mereka genit dan ketika Ceng Ceng lewat, mereka itu tersenyum-senyum, bersuit, ada pula yang mengeluarkan kata-kata cabul sungguh pun mereka tidak langsung menujukan kata-kata itu kepada Ceng Ceng. Inilah golongan hidung belang yang kerjanya setiap hari hanya memikirkan kecabulan dan mengejar-ngejar wanita cantik.

Lengkaplah semua golongan sesat berada di tempat itu. Maling, pencopet, perampok, pemadat, pemabok, hidung belang, penjudi, semua berkumpul di situ dan merasa betah karena seperti berada di antara keluarga sendiri! Ceng Ceng merasa ngeri seolah-olah dia telah memasuki suatu masyarakat yang aneh dan asing baginya.

Pintu pondok terbuka dari dalam ketika diketok oleh dua orang penjemput itu. Mereka masuk melewati beberapa orang pengawal yang memandang tajam, lalu memasuki sebuah ruangan di mana duduk seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih dan sikapnya masih gagah. Di depannya duduk pula empat orang laki-laki lain yang agaknya menjadi tamunya. Ketika dua orang pembantu Ketua Tiat-ciang-pang itu melaporkan bahwa orang yang dijemput telah tiba, dan laki-laki itu memandang Ceng Ceng, dia mengerutkan alisnya. Kemudian mempersilakan empat orang sekutunya itu keluar, juga dua orang pembantunya yang menjemput Ceng Ceng disuruhnya keluar.

Setelah mereka berada berdua saja di ruangan itu, laki-laki yang bukan lain adalah Tiat-ciang-pangcu Tong Hoat itu, bangkit berdiri dan menjura ke arah Ceng Ceng. Ceng Ceng memandang tajam, melihat bahwa setelah berdiri, laki-laki itu bertubuh agak pendek dan gendut, namun sikapnya gagah dan berwibawa.

"Silakan duduk, Nona. Bagaimana kabarnya dengan Loan-ngo Mo-li, terutama sekali dengan Nona Song Lan Ci?" Tong Hoat bertanya dengan ramah.

Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengenal siapa adanya Loan-ngo Mo-li atau Song Lan Ci sekali pun."

Mendengar jawaban ini, berubah wajah Tong Hoat dan dia meloncat berdiri, sejenak memandang ke luar seolah-olah dia hendak bertanya kepada dua orang pembantunya yang sudah disuruhnya keluar tadi, kemudian dia memandang wajah Ceng Ceng penuh perhatian dan keraguan. "Nona, apa yang kau katakan ini? Bukankah engkau diutus oleh Nona Song..."

"Aku tidak mengenal dia!"

Tong Hoat menjadi makin curiga dan dia memandang marah. "Kalau begitu, siapa engkau dan mengapa engkau berani memalsukan orang yang kuundang?"

Ceng Ceng mengangkat mukanya dan memandang dengan berani. "Siapa adanya aku, tidak ada sangkut-pautnya denganmu! Aku tidak mengenal orang-orang yang kau sebut namanya tadi, juga aku tidak mempunyai urusan dengan Tiat-ciang-pang. Aku datang ke sini karena saat aku lewat di jembatan, aku menendang pot bunga dan aku disambut oleh dua orangmu yang membawa perahu. Nah, sekarang aku berada di sini dan aku bukan orang yang kau undang. Habis, engkau mau apa?"

Mendengar ucapan Ceng Ceng dan melihat sikap gadis itu, Tong Hoat terheran-heran, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu dara muda yang cantik ini bukan orang sembarangan. Kalau sampai bocor rahasia ini dan ketahuan oleh pihak lawan bahwa dia telah keliru memanggil orang, tentu selain akan mendatangkan ejekan dan menjadi bahan tertawaan, juga lawan akan melihat kelemahan Tiat-ciang-pang.

Kembali dia memandang ke arah Ceng Ceng. Seorang wanita muda yang telah berani menempuh bahaya ketika dijemput dua orang pembantunya seperti dara ini, tentu memiliki kepandaian yang tinggi, pikirnya. Kalau tidak demikian halnya, tentu dua orang pembantunya akan mengetahui kekeliruan mereka dan sudah bertindak. Maka timbul pikirannya untuk menyambut orang yang keliru dipanggil ini sebagai seorang kawan, dari pada sebagai lawan dalam keadaan menghadapi pihak lawan yang menjadi kaki tangan pemberontak. Dia lalu tertawa dan duduk kembali.

"Ha-ha-ha-ha, ini namanya jodoh! Memang kita berjodoh untuk menjadi sahabat, Nona. Kuharap engkau suka memaafkan ketololan dua orang pembantuku. Namun sungguh kami merasa mendapat kehormatan besar memperoleh kunjungan seorang wanita gagah seperti Nona. Ketahuilah bahwa aku adalah pangcu (ketua) dari Tiat-ciang-pang dan satu di antara kegemaranku adalah bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw."

Ceng Ceng memutar otaknya. Orang ini adalah ketua perkumpulan yang agaknya besar dan berpengaruh. Dia telah datang ke tempat itu, sebaiknya jika dia bersahabat dengan ketua ini. Dengan bantuan ketua ini, agaknya akan lebih mudah baginya untuk dapat menyelidiki di mana adanya musuh besarnya.

"Kalau memang engkau berniat baik, Pangcu, aku pun datang bukan untuk mencari musuh baru. Namaku adalah Lu Ceng, dan seperti kukatakan tadi, aku tidak mempunyai sangkut-paut dengan orang-orang yang kau undang, juga tak ingin mencampuri urusan pemilihan bengcu di sini."

Tong Hoat kembali tersenyum, lalu bangkit dan menjura. "Aku merasa terhormat sekali, Nona Lu Ceng. Aku adalah Tong Hoat yang juga dikenal sebagai Tiat-ciang (Si Tangan Besi), ketua dari Tiat-ciang-pang. Sebelum kita nanti bicara lebih jauh, sebagai tanda perkenalan dan penghormatanku, aku mempersilakan Nona minum arak penghormatan ini!" Ketua itu menuangkan secawan arak lalu memberikan cawan itu kepada Lu Ceng.

Ceng Ceng menerima tanpa banyak cakap, lalu membawa cawan itu ke dekat bibirnya. Sekali cium saja mengertilah dia bahwa arak itu dicampuri obat bius! Hatinya marah bukan main dan ingin dia melemparkan cawan dan araknya itu ke muka ketua Tiat-ciang-pang.

Tetapi kemarahan ini ditahannya. Dia hendak melihat apa yang akan terjadi selanjutnya, pula dia malah ingin memperlihatkan bahwa dia tidak takut akan segala macam obat bius. Jangankan baru obat bius yang merupakan racun yang lemah saja, biar minuman itu dicampuri racun yang akan menghanguskan isi perut orang lain, dia masih akan berani meminumnya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu minum habis arak itu dengan sekali teguk, dipandang dengan sepasang mata bersinar-sinar oleh Tong Hoat.

"Bagus, ternyata engkau seorang yang gagah, Nona. Agaknya engkau telah mendengar dari kedua orangku bahwa hari ini kami di sini menyelenggarakan pertemuan di antara golongan kami untuk memilih seorang bengcu..." Ketua itu menghentikan kata-katanya saking herannya melihat Ceng Ceng sama sekali tidak kelihatan terpengaruh oleh obat bius yang biasanya amat kuat dan manjur itu.

Apa lagi ketika dia melihat Ceng Ceng bangkit berdiri dan menyambar guci arak yang istimewa itu di mana terdapat arak yang sudah dicampuri obat bius, kemudian tanpa banyak cakap Ceng Ceng lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawannya sampai dua kali dan terus meminumnya, ketua ini memandang bengong! Satu cawan arak itu cukup untuk membius dua tiga orang dewasa, dan tiga cawan arak itu akan berubah menjadi racun yang mematikan!

"Eh, sudah cukup arak itu, Nona...!" Dia menegur.

"Hemm, engkau kiranya seorang tuan rumah yang pelit!" Ceng Ceng pura-pura marah, lalu melemparkan guci itu ke atas.

Guci berputaran ke atas, lalu turun perlahan ke atas meja seperti diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan, dan sedikit pun tidak ada arak yang tumpah dari dalam guci. Tong Hoat memandang dan demonstrasi lontaran yang mempergunakan tenaga sinkang ini sama sekali tidak membuat dia terheran karena dia sendiri pun agaknya akan mampu melakukannya. Akan tetapi yang membuat dia terheran-heran adalah karena nona muda itu telah menghabiskan tiga cawan arak bercampur obat bius dan kelihatannya masih enak-enak saja!

"Lekas, Nona Lu! Kau minumlah obat penawar racun ini!" Dia mengeluarkan sebutir pel dari dalam bungkusan. "Lekaslah sebelum terlambat...!" katanya dengan nada khawatir sekali.

Ceng Ceng memandang tajam dan tidak menerima obat itu. Dia merasa makin heran akan sikap Ketua Tiat-ciang-pang ini. Tadi sengaja hendak meracuninya dengan obat bius, dan sekarang bingung memberikan obat penawarnya!

"Kenapa ribut-ribut?" bentaknya sambil bangkit berdiri. "Bukankah kau sengaja menaruh racun ke dalam arak itu dan ingin melihat aku roboh pingsan?"

Ketua itu makin terkejut mendengar ini. Kiranya nona muda ini malah sudah tahu bahwa yang diminumnya adalah arak yang bercampur racun, akan tetapi masih diminumnya juga, bukan hanya satu cawan seperti disuguhkannya, melainkan mengambil sendiri dan minum sampai tiga cawan! Apa artinya ini?

"Nona Lu... maafkan aku. Memang, tadinya aku hendak mengujimu. Kalau kau mudah saja terjebak dan pulas oleh obat bius, maka engkau bukanlah orang yang dapat aku harapkan bantuannya. Akan tetapi engkau tidak apa-apa, dan engkau minum lagi dua cawan! Hal ini di luar perhitunganku dan aku tidak ingin melihat engkau celaka karena racun. Maka kau minumlah obat penawar ini!"

Ceng Ceng tersenyum. Kemarahannya lenyap seketika. Kiranya ketua ini hanya ingin mengujinya! Sambil tersenyum dia menghampiri guci tadi, menuangkannya lagi sampai tiga kali ke dalam cawannya dan minum berturut-turut tiga kali lagi! Setelah itu, dia mengusap bibirnya dengan sapu tangan, memandang ketua itu dan berkata, "Pangcu, baru enam cawan yang dicampuri obat bius seperti ini, apa sih artinya?"

Melihat ini, Tong Hoat menjadi kagum dan terheran-heran. Dia menjadi girang dan segera menjura dengan dalam. "Aihh, kiranya mataku sudah lamur saking tuanya, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata, tidak melihat kedatangan seorang yang memiliki kesaktian hebat! Nona Lu, engkau benar-benar menggirangkan dan mengagumkan hatiku, dan kami Tiat-ciang-pang akan berterima kasih sekali apa bila Nona sudi membantu kami!"

Ceng Ceng duduk kembali, lalu berkata tenang, "Aku ingin mendengar dulu dalam hal apa aku dapat membantumu, Pangcu."

"Membantu memperkuat kedudukanku agar kita dapat merampas kedudukan bengcu, Nona Lu."

"Hemmm... bagaimana mungkin aku membantu engkau mengejar kedudukan untukmu, Pangcu? Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pribadi orang lain..."

"Jangan salah mengerti, Nona Lu. Aku tidak haus akan kedudukan. Aku sudah menjadi pangcu dari Tiat-ciang-pang, itu pun sudah cukup memusingkan. Siapa sudi menjadi bengcu yang hanya akan menghadapi banyak pekerjaan yang memusingkan belaka? Kalau aku ingin merampas kedudukan itu hanyalah untuk menyelamatkan seluruh golongan hek-to (jalan hitam)!"

"Menyelamatkan bagaimana?"

"Agar jangan sampai mereka itu dibawa menyeleweng!"

Hampir saja Ceng Ceng tertawa keras mendengar ini. Pangcu ini ingin menjaga agar kaum sesat, manusia-manusia yang terang sudah hidup menyeleweng itu tidak dibawa nyeleweng! Betapa lucu dan anehnya!

"Aku tidak mengerti, Pangcu. Menyeleweng bagaimana yang kau maksudkan?"

"Dengar baik-baik, Nona. Kaum pemberontak diam-diam sudah merajalela di seluruh pelosok dan kini mereka itu berusaha untuk menguasai dan mempengaruhi kaum hek-to. Biar pun kami tergolong orang-orang dari hek-to, namun kami memiliki kehormatan. Urusan mencopet dan merampok adalah urusan pekerjaan, akan tetapi menjadi pemberontak adalah suatu kerendahan dan merupakan perbuatan hina! Kami dari Tiat-ciang-pang menentangnya mati-matian. Karena tidak ingin melihat golongan hek-to diperalat oleh seorang bengcu yang menjadi kaki tangan pemberontakan, maka mati-matian kami hendak mempertahankannya agar kedudukan bengcu tidak sampai terjatuh ke tangan seorang kaki tangan pemberontak!"

Ceng Ceng mengangguk-angguk. Mengertilah dia kini akan persoalannya, dan diam-diam dia merasa heran dan kagum juga mengapa seorang ketua perkumpulan kaum sesat ini memiliki jiwa patriot juga! Tentu saja Ceng Ceng siap sedia untuk membantu kerajaan menghadapi pemberontak. Betapa pun juga, dia adalah keturunan dari orang-orang yang setia kepada negara!

"Baiklah, kalau begitu aku akan membantu, Pangcu. Akan tetapi ingatlah baik-baik, aku bukan membantu engkau pribadi atau membantu Tiat-ciang-pang, melainkan membantu untuk menentang kaki tangan pemberontak! Nah, sekarang jelaskan, siapa dan pihak manakah yang menjadi kaki tangan pemberontak di antara golongan hek-to?"

"Di antara kami kaum sesat telah terpecah belah menjadi empat kelompok," Ketua Tiat-ciang-pang itu menuturkan. Dan selanjutnya dengan panjang lebar ia lalu menceritakan keadaan kaum sesat yang berkumpul di tempat itu.....

Di antara empat kelompok kaum sesat itu, kelompok pertama tentu saja perkumpulan Tiat-ciang-pang diketuai oleh Tong Hoat yang merasa bahwa perkumpulannya adalah perkumpulan penjahat-penjahat yang berjiwa gagah dan patriotik, yang menentang usaha pihak pemberontak untuk menarik kaum sesat sebagai sekutunya. Kelompok kedua adalah kelompok yang dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk menguasai dunia kaum sesat membujuk mereka yang belum mau menggabungkan diri, dan kelompok ini terdiri dari para pencuri, dipimpin oleh seorang maling terkenal yang berjuluk Tangan Malaikat!

Kelompok ketiga hanya terdiri dari belasan orang bajak yang dipimpin oleh dua orang kakak beradik she Ma dan mereka ini adalah orang-orang yang bermuka dua atau orang-orang yang licik, yang berjanji suka membantu pemberontak asal mereka diberi kedudukan sebagai bengcu! Sedangkan kelompok keempat adalah para penjudi, ialah sisanya yang tetap tidak memihak mana pun, bahkan menganggap bahwa urusan pemberontakan terhadap pemerintah bukanlah urusan mereka.

Melihat perpecahan di antara kaum sesat ini maka Tong Hoat memelopori diadakannya pertemuan pada hari itu untuk memilih bengcu. Tentu saja kesempatan ini dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk dapat menguasai mereka, bahkan Pangeran Liong Bin Ong sendiri segera mengirim utusan untuk menjamin agar pihaknya berhasil menguasai golongan hitam yang merupakan kekuatan yang cukup besar.

Ceng Ceng mendengarkan penuturan ini dengan penuh perhatian, dan kemudian dia berkata, "Kalau begitu, seperti telah kukatakan tadi, Pangcu, urusan antara golonganmu tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku. Akan tetapi, kalau aku melihat bahwa kaki tangan pemberontak ingin menguasai golonganmu untuk kepentingan pemberontakan, tentu aku akan turun tangan menentangnya."

Tong Hoat sudah merasa cukup puas dengan janji ini dan tidak lama kemudian dia mengajak Ceng Ceng keluar karena pertemuan akan segera dimulai. Empat kelompok itu sudah berkumpul di sekeliling lapangan luas di tepi sungai, dan jelas tampak bahwa kelompok terbesar adalah kelompok Tiat-ciang-pang. Juga kelihatan jelas bahwa empat kelompok itu masing-masing memiliki jagoan-jagoan yang berdiri di depan tiap-tiap kelompoknya. Di tengah-tengah lapangan rumput yang mereka kelilingi itu terdapat sebuah bangunan panggung yang luasnya tidak kurang dari sepuluh meter persegi. Panggung itu dijaga di bawahnya oleh para anggota Tiat-ciang-pang yang bertindak sebagai pengundang atau tuan rumahnya.

Dengan gerakan ringan seperti seekor burung garuda melayang, Tong Hoat sudah meloncat ke atas panggung. Dia menjura keempat penjuru, lalu berkata lantang, "Cu-wi (Saudara Sekalian) yang terhormat tentu sudah maklum bahwa pertemuan ini diadakan untuk melakukan pemilihan seorang bengcu. Kita semua membutuhkan seorang bengcu. Kita semua membutuhkan seorang pemimpin di jaman kacau ini agar dapat mengadakan ketertiban antara kita semua. Karena kita adalah orang-orang yang mengandalkan kekuatan tangan kaki untuk dapat hidup, maka pemilihan bengcu pun didasarkan atas tingkat kekuatan tangan dan kaki. Siapa yang terpandai di antara kita, dari golongan mana pun dia datang, berhak untuk menjadi bengcu dan memimpin kita semua. Kami persilakan orang gagah yang ingin memasuki pemilihan untuk naik ke panggung." Tong Hoat lalu menjura lagi dan melompat turun membiarkan panggung itu kosong lagi untuk menanti munculnya para calon bengcu.

Tak lama kemudian berkelebat dua bayangan orang yang meloncat ke atas panggung. Ceng Ceng yang menyelinap di antara para anggota Tiat-ciang-pang dan mencari-cari musuhnya dengan harapan kalau-kalau dia akan dapat menemukan pemuda laknat di antara para kaum sesat ini, melihat bahwa yang berada di atas panggung adalah dua orang laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan keduanya memiliki sikap yang kasar seperti tukang-tukang pukul.

Seorang di antara mereka mengeluarkan setumpuk kartu dari sakunya, mengocok kartu itu sambil tersenyum dan berkata kepada teman-temannya, "Wah, mudah-mudahan saja ada lawan yang tebal kantong!"

Dari sikap ini Ceng Ceng sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah dua orang penjudi ulung. Namun orang kedua hanya tersenyum, kemudian dia menjura ke empat penjuru dan berkata, "Kami adalah dua saudara seperguruan dan golongan kami paling tidak suka melihat urusan politik. Pemerintah mau pun pemberontak bukanlah sekutu kami. Di antara golongan kami, kami berdua menjadi calon bengcu dan kalau saja kami berdua berhasil menduduki kursi bengcu, kami berdua akan mengatur agar semua kaum kita tidak mencampuri urusan pemerintah mau pun pemberontak."

"Ho-ho-ho, manusia-manusia sombong!" Terdengar bentakan dan kelihatan dua sosok bayangan orang melayang ke atas panggung. Mereka adalah dua orang kakak beradik she Ma seperti yang telah diceritakan oleh Tong Hoat kepada Ceng Ceng. Dengan lagak sombong kedua orang she Ma yang bertubuh tinggi kurus itu memperkenalkan diri.

"Kami dua orang kakak beradik Ma Ciang dan Ma Kai tidak hendak menjanjikan apa-apa lebih dulu seperti dua orang sombong ini. Jika kami telah berhasil menjadi bengcu, baru akan kami adakan peraturan yang harus diturut oleh semua kawan."

Orang kedua dari kakak beradik Ma ini lalu menghampiri dua orang pertama sambil membentak, "Hayo kalian turun lagi sebelum kami paksa untuk turun!"

"Ha-ha-ha!" Penjudi yang mempermainkan kartu-kartunya tertawa lepas. "Kami sudah mendengar akan kelihaian kakak beradik she Ma, tukang-tukang todong yang disegani. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami takut. Dalam memperebutkan kedudukan bengcu, hak kami pun sama besarnya dengan kalian atau siapa juga. Lebih baik kalian yang turun dari pada mendapat malu dan kalah oleh kami berdua, ha-ha-ha!"

"Cet-cet-cett-cettt...!" Penjudi itu tiba-tiba menggerakkan tangan kirinya.

Empat helai kartunya melayang dan menyambar papan, dan di situ empat helai kartu itu menancap sampai setengahnya lebih. Semua orang melongo dan merasa kagum juga ngeri. Ternyata hebat sekali penjudi ini. Kartu-kartunya pun dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang demikian ampuh. Mengenai papan yang keras saja menancap sampai dalam, jika mengenai tubuh orang tentu akan hebat akibatnya, tidak kalah oleh senjata rahasia apa pun.

Akan tetapi Ma Ciang tertawa bergelak ketika dia mencabut sebuah di antara empat helai kartu yang menancap di papan itu. "Ha-ha-ha, dasar ular-ular kartu, tentu pandai bermain gila dengan kartu-kartunya!" Dia meremas kartu itu dan terdengar bunyi seperti barang keras patah-patah. Ternyata kartu terbuat dari besi tipis dan digambari seperti kartu, bukan kartu kertas biasa!

Dua orang penjudi itu menjadi marah dan telah mencabut senjata pedang mereka yang tersembunyi di balik baju, kemudian maju menerjang. Akan tetapi kakak beradik she Ma telah siap, dengan gerakan lincah mereka mencelat ke belakang dan mencabut golok mereka. Maka terjadilah pertandingan mati-matian antara dua orang penjudi dan dua orang perampok itu. Suara senjata pedang bertemu golok terdengar sangat nyaring dan sinarnya berkelebat mengerikan.

Ceng Ceng menonton dan menahan napas. Mendadak hatinya terasa tegang. Melihat pertempuran bukan merupakan tontonan aneh baginya, akan tetapi dia melihat seorang pemuda yang muncul di antara para anggota golongan sesat itu dan hatinya tegang sekali ketika dia mengenal pemuda itu. Seorang pemuda tampan yang menyelinap di antara banyak orang, hanya sebentar saja tampak olehnya namun segera pemuda itu lenyap kembali, agaknya berdiri di bagian belakang dan sengaja menyembunyikan diri.

Pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Melihat kehadiran pemuda yang dia tahu amat lihai ini, dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi hal-hal yang hebat. Ceng Ceng yang cerdik dapat menduga bahwa tentu pemuda itu mewakili kaum pemberontak untuk menguasai golongan sesat.

Melihat munculnya Tek Hoat, otomatis Ceng Ceng juga menyelinap ke belakang para anggota Tiat-ciang-pang agar pemuda itu tak melihatnya. Dari belakang beberapa orang dia mengintai dan mencari-cari, namun bayangan Tek Hoat sudah tidak kelihatan lagi. Teriakan kesakitan membuat Ceng Ceng menoleh dan memandang ke atas panggung.

Ternyata dua orang penjudi itu terhuyung dan terluka oleh golok kedua orang kakak beradik she Ma dan sekarang kedua orang perampok tunggal itu menggunakan kaki menendang lawan yang sudah terluka. Dua orang penjudi langsung terlempar ke bawah panggung dan cepat ditolong oleh kawan-kawan mereka yang segera mengundurkan diri karena setelah dua orang jagoan mereka kalah, mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk kemenangan bagi golongan mereka.

Dua orang saudara Ma masih berdiri di atas panggung memegang golok mereka sambil tersenyum-senyum memandang keempat penjuru. Beberapa kali mereka mengajukan tantangan kepada calon bengcu lain untuk menguji kepandaian, namun tidak kelihatan ada yang meloncat naik. Hal ini memang disengaja oleh para kaki tangan pemberontak yang dipimpin oleh Si Tangan Malaikat setelah dia mendapat perintah dari pemuda yang mewakili utusan Pangeran Liong Bin Ong.

Tek Hoat memang sangat cerdik. Kalau orang-orangnya sendiri yang maju dan merebut kedudukan bengcu, hal itu akan terlalu mencolok dan kurang baik, kecuali jika memang terpaksa. Kalau sekarang dua orang saudara Ma yang dia tahu merupakan orang-orang bermuka dua, dapat menjadi bengcu, hal itu lebih baik. Mudah untuk mempengaruhi dua orang ini dengan jalan menyogok dengan uang. Yang penting bagi dia, atau bagi pemberontak adalah agar kaum sesat jangan sampai dikuasai oleh Tiat-ciang-pang yang anti pemberontak dan mempunyai kesetiaan kepada kerajaan. Oleh karena inilah, maka dia memerintahkan agar anak buahnya, termasuk Si Tangan Malaikat, jangan menyambut tantangan dua orang saudara Ma, bahkan boleh menyumbang suara untuk mengangkat mereka sebagai bengcu!

Ma Ciang dan Ma Kai yang melihat bahwa mereka tidak disambut orang, menjadi heran dan juga girang. Ma Ciang lalu berkata lantang, "Saudara sekalian, rekan-rekan yang terhormat! Kalau memang tidak ada lagi calon lainnya yang merasa cukup kuat untuk mengalahkan kami, maka kami minta agar kalian memberi suara dan mengangkat kami sebagai bengcu dan wakilnya!"

"Setuju...!"

"Kita mengangkat kedua saudara Ma sebagai bengcu dan wakilnya!"

Keadaan menjadi ribut sekali karena suara mereka yang memberikan suaranya, tentu saja didukung oleh semua anak buah para pemberontak yang menyelundup di antara mereka. Hanya golongan yang tadi kalah saja yang diam dan hanya menonton dengan wajah muram, sedangkan golongan Tiat-ciang-pang tiada seorang pun yang bersuara.

"Lu-siocia (Nona Lu), lihatlah betapa anak buah pemberontak telah mendukung mereka, sedangkan dua orang itu adalah orang-orang bermuka dua yang mudah saja dibeli. Apakah Nona tidak akan turun tangan?" bisik Tong Hoat Ketua Tiat-ciang-pang kepada Ceng Ceng.

Ceng Ceng menggelengkan kepalanya. "Tadi sudah kukatakan bahwa aku tidak akan mencampuri urusan pemilihan bengcu, dan aku hanya turun tangan kalau anak buah pemberontak sendiri yang naik ke panggung, itu pun kalau engkau sudah tidak mampu mengatasinya, Pangcu."

Ketua itu mengangguk. "Baiklah, aku hanya dapat mengharapkan bantuan Nona untuk membela negara karena aku pun bukan seorang yang haus akan kedudukan bengcu." Setelah berkata demikian, Tong Hoat berteriak keras mengatasi suara gaduh mereka yang sedang menyokong suara kepada dua orang saudara Ma.

Teriakannya ini membuat semua orang ini diam, apa lagi ketika mereka melihat Ketua Tiat-ciang-pang sudah meloncat naik ke atas panggung. Kedua orang saudara Ma memang sudah sejak tadi menanti munculnya jagoan dari Tiat-ciang-pang ini, maka kini mereka menghadapi Tong Hoat sambil tersenyum.

Ma Ciang berkata, "Aihhh, kiranya Pangcu sendiri sebagai tuan rumah yang memberi penghormatan kepada kami! Apakah Pangcu dan semua anggota Tiat-ciang-pang tidak rela kalau kami yang terpilih menjadi bengcu?"

Ma Kai juga turut berkata, "Agaknya pangcu dari Tiat-ciang-pang juga menginginkan kedudukan bengcu!"

Tong Hoat memandang tajam dan suaranya terdengar lantang oleh semua orang ketika dia menjawab, "Saya adalah pangcu dari Tiat-ciang-pang dan saya sama sekali tidak haus akan kedudukan bengcu. Kalau kami mempelopori pertemuan dan mengadakan pemilihan bengcu ini adalah karena kami melihat adanya perpecahan di antara kami. Sekarang, Ji-wi telah menang dari dua orang saudara dari golongan penjudi tadi. Akan tetapi, seorang bengcu dan wakilnya harus orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi untuk dapat diandalkan oleh golongan kita semua. Karena itu, terpaksa karena tidak ada lagi yang mau naik, saya sendiri yang akan menguji apakah Ji-wi sudah tepat dan pantas untuk menjadi bengcu dan wakilnya. Kalau memang cukup kuat dan lihai, tentu saja kami juga akan setuju jika Ji-wi diangkat menjadi pimpinan."

"Bagus! Dengan lain kata-kata Pangcu menantang kami berdua! Kai-te (Adik Kai), hayo kita coba kelihaian pangcu dari Tiat-ciang-pang ini!"

Setelah berkata demikian, Ma Ciang dan Ma Kai memutar-mutar golok mereka di atas kepala dan bergerak mengelilingi Ketua Tiat-ciang-pang itu.

"Tidak adil! Tidak adil!" tedengar teriakan dari para anggota Tiat-ciang-pang.

"Dua orang mengeroyok satu orang sudah tidak adil!"

"Apa lagi kalau menggunakan golok mengeroyok seorang bertangan kosong!"

Teriakan-teriakan ini terdengar susul-menyusul dan disokong pula oleh golongan yang tadinya diwakili oleh dua orang penjudi. Golongan ini memang tidak mendukung atau menentang pemberontakan, akan tetapi melihat Ketua Tiat-ciang-pang akan dikeroyok dua, mereka merasa tidak senang.

Ma Ciang dan Ma Kai menjadi malu juga. Wajah mereka merah dan sambil tertawa Ma Ciang menyimpan goloknya diturut oleh adiknya, lalu berkata, "Baiklah, kalau pangcu dari Tiat-ciang-pang ngeri melihat darah, kami akan melayani dengan tangan kosong pula, kecuali kalau Pangcu jeri menghadapi kami bersama." Ucapan ini pun lantang terdengar oleh semua orang.

Tong Hoat mengerutkan alis. Dia maklum bahwa kedua orang ini hanya besar mulutnya belaka. Biar pun mereka menggunakan golok, dia pun tidak takut, apa lagi bertangan kosong. Melihat gerakan mereka tadi ketika melawan dua orang jagoan pertama, dia sudah dapat menilai tingkat mereka dan merasa pasti akan dapat mengalahkan mereka berdua, bersenjata mau pun tidak.

"Silakan Ji-wi maju, saya sudah siap menghadapi Ji-wi maju bersama!" teriaknya.

Ma Ciang dan Ma Kai menjadi girang. Mereka mengira bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini telah berhasil mereka bakar hatinya sehingga malu untuk mundur. Sambil menggereng seperti dua ekor harimau kelaparan, mereka menerjang ke depan, mencengkeram dan memukul.

Tong Hoat sudah bersiap. Tubuhnya bergerak mengelak dan menangkis, lalu mengirim pukulan balasan.

"Dukkk! Dukkk!"

Dua orang bersaudara Ma terhuyung ke belakang, meringis kesakitan. Lengan mereka terasa sakit sekali saat beradu dengan lengan Tong Hoat yang tentu saja mengerahkan ilmunya Tangan Besi! Akan tetapi dua orang itu bukan menjadi jera, bahkan menjadi penasaran dan marah, lalu menerjang lagi dengan lebih dahsyat yang disambut dengan tenang oleh Tong Hoat.

Lega hati Ceng Ceng menyaksikan jalannya pertandingan itu. Dia yakin bahwa Ketua Tiat-ciang-pang yang benar-benar lihai ilmu silatnya bertangan kosong itu akan dapat mengalahkan kedua orang lawannya dengan mudah sehingga dia tidak perlu turun tangan membantu. Setelah melihat munculnya Tek Hoat, dia menjadi makin ragu untuk mencampuri urusan pemilihan bengcu ini. Kecuali kalau Tek Hoat sendiri yang maju, terang bahwa pihak pemberontak ingin menguasai golongan ini dan kalau demikian halnya, dia tentu akan turun tangan! Sekarang, melihat Tong Hoat mendesak kedua orang lawannya, perhatiannya kembali ditujukan untuk mencari musuh besarnya dan dia mulai bergerak perlahan mencari-cari di antara para hadirin yang banyak jumlahnya itu.

Pertandingan di atas panggung masih berjalan dengan seru. Kedua orang saudara Ma dengan bernapsu mencoba untuk mengalahkan Ketua Tiat-ciang-pang, tetapi karena memang kalah tingkat dan kalah kuat, mereka terdesak terus dan setiap kali Tong Hoat menangkis dengan pengerahan tenaga, mereka tentu terdorong dan terhuyung ke belakang dan menyeringai kesakitan, tanda bahwa dalam pertemuan lengan itu mereka jauh kalah kuat.

Betapa pun kedua orang itu mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, tetapi belum sampai lima puluh jurus akhirnya mereka harus mengakui keunggulan Tong Hoat. Dalam kesempatan yang terbuka, Ketua Tiat-ciang-pang ini menggunakan kekuatan tangan besinya menampar dan berturut-turut mereka terlempar dari atas panggung. Walau pun Ketua Tiat-ciang-pang yang masih mengingat akan hubungan antara golongan tidak memukul keras sehingga mereka tidak sampai terluka parah, namun keduanya tidak berani nekat naik lagi karena maklum bahwa mereka bukanlah lawan Ketua Tiat-ciang-pang itu.

"Bagus! Tiat-ciang-pang mengundang orang hanya untuk memamerkan kepandaian sendiri!" Terdengar seruan orang dan dari bawah panggung tampak seorang laki-laki tinggi kurus meloncat naik ke panggung.

Ketika semua orang memandang, mereka berbisik-bisik dengan hati tegang karena maklum bahwa tentu akan terjadi pertandingan yang amat hebat antara pendatang baru yang mereka kenal baik ini menghadapi Ketua Tiat-ciang-pang. Orang tinggi kurus ini bukan lain adalah tokoh besar golongan maling yang berjuluk Tangan Malaikat! Kini Tangan Malaikat hendak menantang Tangan Besi, tentu saja akan terjadi pertandingan ramai!

Sebetulnya telah lama terdapat kebencian antara dua golongan ini, yaitu golongan para maling yang bertentangan dengan golongan pencopet dan perampok yang bergabung dalam perkumpulan Tiat-ciang-pang. Hal ini adalah karena Tiat-ciang-pang memandang rendah golongan maling, bahkan tak mau menerima seorang pencuri sebagai anggota, maka tentu saja golongan ini merasa terhina dan menaruh dendam.

Ketika tokoh maling yang berjuluk Tangan Malaikat itu yang bernama Lauw Sek, datang dari selatan dan bergabung dengan golongan maling, mereka merasa menemukan seorang jagoan dan secara tidak resmi mengangkat Lauw Sek sebagai pimpinan mereka. Lauw Sek Si Tangan Malaikat ini dengan mudah saja terpikat oleh kaum pemberontak, dan diam-diam Lauw Sek membawa teman-temannya untuk bersekutu dengan kaki tangan pemberontak yang ingin menguasai kaum sesat. Lauw Sek adalah seorang yang memiliki kepandaian cukup tinggi maka dia berani memakai julukan Tangan Malaikat yang menyatakan bahwa selain pandai ilmu silat, juga dia adalah seorang ahli mencopet dan mencuri.

Namun, selama ini ia tidak begitu bodoh untuk mencari perkara dengan Tiat-ciang-pang yang merupakan perkumpulan besar dan banyak anggotanya. Kini, dalam pertemuan resmi ini, dimana diadakan pula pemilihan bengcu, apa lagi karena didukung oleh kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong, dia menjadi berani untuk menentang dan menghadapi orang yang selama ini memang dibenci oleh dia dan kawan-kawannya.

Kini kedua orang yang diam-diam saling membenci itu berhadapan di atas panggung. Tong Hoat juga membenci orang ini karena memang dia selalu memandang rendah kaum pencuri yang dianggapnya pengecut besar, apa lagi setelah dia mulai mengetahui bahwa Tangan Malaikat dan kawan-kawannya sudah merendahkan diri untuk diperalat oleh kaum pemberontak.

"Memang hanya kaum pengecut saja yang mau menjadi pengkhianat," katanya dengan pandang mata mengejek. "Kalau golongan kita dipimpin oleh seorang pengecut dan pengkhianat, hancurlah kita semua!"

Muka Lauw Sek menjadi merah sekali sebab ucapan itu biar pun tak langsung ditujukan kepadanya, akan tetapi jelas bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini menghinanya di depan banyak orang.

"Hemm, pangcu dari Tiat-ciang-pang, agaknya menurut pandanganmu, tidak ada orang lain yang lebih pantas menjadi bengcu selain engkau, ya? Hendak kulihat sampai di mana tingginya kepandaianmu dan apakah tangan besimu itu benar-benar keras seperti besi!" Setelah berkata demikian Lauw Sek sudah maju menerjang dengan dahsyat, menggunakan kedua tangannya yang bergerak cepat sekali hingga tampaknya seolah-olah dia memiliki enam buah lengan!

Tong Hoat maklum bahwa kepandaian orang ini tidak boleh disamakan dengan dua orang saudara Ma tadi, maka dia pun cepat menggerakkan tubuh dan kedua tangannya menangkis sambil membalas dengan pukulan yang tidak kalah dahsyatnya.

Cepat sekali gerakan dua orang itu, yang kelihatan hanyalah bayangan banyak tangan, kadang-kadang dikepal, kadang-kadang terbuka, saling pukul dan saling tangkis dan terdengar suara bersiutnya hawa pukulan kedua belah pihak yang agaknya mempunyai kecepatan yang berimbang. Lauw Sek yang berhati besar karena merasa mempunyai dukungan amat kuat, bernafsu sekali untuk mengalahkan lawan, maka gerakannya cepat dan serangannya bertubi-tubi seperti air membanjir.

Sebaliknya Tong Hoat bersikap hati-hati dan tenang. Gerakannya mantap, kokoh kuat membendung banjir serangan itu dan tiap kali menangkis, dia mengerahkan ilmu yang diandalkannya, yaitu Tangan Besi. Berkali-kali dua pasang lengan itu bertemu dengan dahsyat, kadang-kadang mengeluarkan bunyi berdetak seolah-olah dua tulang yang kuat saling beradu, namun keduanya tidak kelihatan terdorong dan agaknya sama kuatnya.

Meski pun Lauw Sek kelihatan juga kuat dan pantas berjuluk Tangan Malaikat, karena kelihatannya dia tidak terpengaruh oleh benturan tangan yang amat kuat dari Tong Hoat, akan tetapi sebetulnya dia merasa betapa kedua lengannya nyeri dan makin lama makin hampir tak tertahankan olehnya. Setiap kali bertemu dengan lengan lawan, dia merasa seolah-olah tulang lengannya retak dan maklumlah dia bahwa biar pun dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah jauh oleh lawan, namun harus dia akui bahwa Tong Hoat benar-benar memiliki lengan yang kuat dan keras seperti besi! Diam-diam dia mengeluh dan teringatlah dia akan pesan pemuda sakti utusan Pangeran Liong Bin Ong yang berpesan agar dia berhati-hati menghadapi tangan besi lawan, dan pemuda yang dia tahu amat sakti itu telah meminjamkan sebuah sarung tangan kepadanya.

Sarung tangan itu dia simpan di dalam saku bajunya, sebab dia tidak mau memakainya. Akan tetapi setelah sekarang memperoleh kenyataan betapa lihainya Ketua Tiat-ciang-pang, teringatlah dia akan pesan pemuda itu dan segera dia melompat mundur sambil tertawa. Dikeluarkannya sarung tangan berwarna hitam itu dan dipakainya di tangan kanan. Tercium bau yang wangi-wangi aneh memabokkan.

Tong Hoat tidak mengenal sarung tangan itu. Dia hanya dapat menduga bahwa sarung tangan itu tentu merupakan senjata yang ampuh, akan tetapi karena bukan merupakan senjata tajam, dia memandang rendah.

"Hemmm, apakah lenganmu sudah terasa nyeri maka engkau menggunakan sarung tangan itu?" dia mengejek.

Lauw Sek tersenyum. "Tanganmu memang keras seperti besi, tetapi jangan mengira aku takut. Tangan besimu akan mencair kalau bertemu dengan sarung tangan ini!"

Tek Hoat tentu saja tidak percaya dan dia sudah menerjang lagi. Dia tadi sudah hampir memperoleh kemenangan karena pihak lawan sudah terus didesaknya. Kini dengan pengerahan tenaga pada kedua lengannya, dia menyerang tanpa mempedulikan sarung tangan hitam yang melindungi tangan kanan dan sebagian dari lengan kanan Lauw Sek.

"Plak-plak! Dukkk...!"

Tong Hoat meloncat ke belakang dengan kaget sekali, lalu menggosok-gosok lengan kirinya yang bertemu dengan lengan kanan bersarung tangan dari lawannya. Lengan kirinya terasa gatal-gatal dan panas sekali! Wajahnya berubah. Tahulah dia kini bahwa sarung tangan itu ternyata ampuh sekali dan tentu mengandung racun yang amat jahat!

"Kau curang...!" serunya.

"Ha-ha-ha, Pangcu. Kau takut...?" Lauw Sek tertawa mengejek dan siap menyerangnya kembali.

"Pangcu harap mempergunakan obat dari Lihiap ini, dilumurkan pada kedua tangan!" Tiba-tiba terdengar seruan ini dan seorang anggota Tiat-ciang-pang telah melemparkan sebuah bungkusan ke arah ketuanya.

Mendengar ini Tong Hoat menerima dengan girang dan tahulah dia bahwa nona Lu Ceng diam-diam telah membantunya. Mengingat betapa nona itu dapat menghabiskan beberapa cawan arak bercampur racun tanpa akibat apa-apa, dia maklum bahwa pendekar wanita itu adalah seorang ahli racun, maka dia cepat membuka bungkusan itu. Di dalamnya terdapat cairan kental seperti lumpur, berwarna kuning. Cepat dia membalurkan semua obat itu pada tangan dan lengannya. Rasa gatal dan panas pada tangan kanannya lenyap seketika, dan kedua lengannya terasa dingin.

"Majulah, siapa takut sarung tangan beracunmu?" Dia membentak dan menyerang lagi.

Terjadilah pertandingan mati-matian. Lauw Sek selalu menggunakan tangan kanannya yang memakai sarung tangan, namun sekarang lawannya menangkis dan menerima tanpa ragu-ragu lagi dan setiap kali mereka bertemu lengan dan tangan, dan karena memang dia kalah kuat tenaganya, maka dia yang merasa kedua lengannya sakit-sakit. Seratus jurus telah lewat dan pertandingan itu makin seru.

Tetapi kini Lauw Sek main mundur dan selalu menghindarkan pertemuan kedua lengan karena kedua lengannya sudah bengkak-bengkak dan nyeri bukan main. Kesempatan baik dipergunakan oleh Tong Hoat ketika Lauw Sek yang sudah tidak berani menangkis itu berusaha mengelak dari pukulan lawan. Tong Hoat menggerakkan kedua kakinya, mainkan ilmu tendangan berantai dan akhirnya Lauw Sek terkena sebuah tendangan kaki kiri yang membuat tubuhnya terlempar ke bawah panggung!

Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut kemenangan Tong Hoat, tidak saja dari para anggota Tiat-ciang-pang, akan tetapi juga dari mereka yang tadi dikalahkan oleh dua orang saudara Ma. Namun di bawah sorak-sorai yang diselingi oleh teriakan-teriakan yang menyatakan mengangkat Tong Hoat sebagai bengcu itu, tampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depan Ketua Tiat-ciang-pang itu telah berdiri seorang pemuda tampan yang bertubuh sedang saja dan kelihatannya tidak seperti seorang yang lihai.

Pakaian pemuda ini sederhana saja, dengan jubah atau baju luar yang berwarna biru tua, celana kuning dan baju dalam putih. Biar pun pakaiannya terbuat dari kain yang mahal dan baru, tetapi potongannya biasa dan sederhana saja sehingga dia kelihatan hanya seperti seorang pemuda pekerja yang sederhana dari kota. Rambutnya yang hitam panjang merupakan kuncir yang besar mengkilap, bergantung di punggungnya. Kulit mukanya putih, membuat ketampanan wajahnya makin mencolok. Sinar matanya tajam berapi dan bibirnya yang tersenyum simpul seakan mengejek.

Melihat pemuda ini, Ceng Ceng cepat mendekati panggung dan memandang dengan penuh perhatian dan ketegangan karena dia mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!

"Tiat-ciang-pangcu, apa syaratnya bagi seorang bengcu yang dipilih dalam pertemuan ini?" Ang Tek Hoat bertanya, suaranya lantang namun halus dan tenang. "Bukankah syaratnya adalah orang yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara kita semua?"

Tong Hoat memandang pemuda itu penuh selidik, akan tetapi dia merasa belum pernah melihat pemuda ini. Kalau pemuda ini merupakan seorang tokoh kaum sesat di sekitar kota raja, tentu dia mengenalnya. Maka tentu pemuda ini seorang anggota biasa saja, atau kalau dia seorang pandai, tentu datang dari daerah lain.

"Benar demikian, orang muda. Engkau siapakah dan datang dari mana?"

Tek Hoat tersenyum. "Aku she Ang dan ingin memasuki pemilihan bengcu ini. Jika aku dapat mengalahkan engkau, apakah aku dipilih menjadi bengcu dan semua golongan hitam di daerah ini lalu tunduk kepada semua perintahku?"

Tong Hoat mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal pemuda ini dan siapa tahu pemuda ini adalah kaki tangan pemberontak. Akan tetapi tentu saja dia tidak berhak melarang, dan teringat kepada Nona Lu yang sanggup untuk menentang kaki tangan pemberontak kalau mereka hendak menguasai golongan hitam untuk bersekutu.

"Orang muda she Ang, tentu saja siapa pun boleh mencoba kepandaian untuk menjadi bengcu. Akan tetapi, sekarang keadaan negara sedang kacau, dikacau oleh usaha orang-orang yang hendak memberontak terhadap pemerintah yang sah. Oleh karena itu, seorang bengcu harus pula dapat melindungi semua anggotanya agar jangan sampai terseret ke dalam pemberontakan, karena pekerjaan itu adalah amat hina. Biar pun kita disebut golongan hitam atau kaum sesat, namun kita masih mempunyai kehormatan untuk tidak menjadi pengkhianat bangsa dan negara!"

Tek Hoat tersenyum lebar. "Pangcu, saya kira urusan itu terserah kepada bengcu yang telah dipilih, bukan? Dialah yang akan memutuskan tentang segala persoalan dan peraturan, dan hal itu merupakan urusan belakang. Sekali lagi, kalau saya mampu mengalahkan pangcu, berarti saya menjadi bengcu?"

Tong Hoat menggeleng kepalanya. "Belum tentu, selama masih ada calon lain engkau harus dapat mengalahkan semua calon."

"Itu adalah hal yang mudah. Bagaimana kalau lawan saya sampai tewas?"

Tong Hoat mengerutkan alisnya dan timbullah kemarahannya. Sikap pemuda ini sama sekali tak memandang mata padanya, seolah-olah sudah yakin akan kemenangannya. Biar pun sikap pemuda itu tenang saja, namun kata-katanya amat memandang rendah dan membayangkan kesombongan hebat!

"Terluka atau mati adalah resiko dalam pertandingan silat!"

"Bagus, kalau begitu biarlah aku merobohkan Pangcu dulu, baru merobohkan lain orang yang berani naik ke sini."

Tentu saja ucapan ini membuat Tong Hoat marah sekali, akan tetapi di antara para anggota Tiat-ciang-pang ada yang tertawa geli dan menganggap pemuda itu seorang yang sudah miring otaknya karena bicara sedemikian mudahnya hendak merobohkan pangcu mereka dan merampas kedudukan bengcu.

Akan tetapi Ceng Ceng memandang dengan penuh kekhawatiran. Dia maklum bahwa nyawa Ketua Tiat-ciang-pang itu terancam bahaya hebat, akan tetapi tentu saja dia tidak hendak mencampurinya. Yang membuat dia khawatir adalah melihat betapa Tek Hoat kini sudah turun tangan sendiri dan kalau sampai pemuda ini yang menjadi bengcu, tentu saja semua kaum sesat di daerah itu akan diseretnya menjadi kaki tangan pemberontak! Dan dia harus menghalangi usaha pemuda ini! Biar pun sedikit, dia harus memperlihatkan kesetiaannya kepada kerajaan sebagai keturunan kakeknya, seorang bekas pengawal yang setia! Dia harus menentang para pemberontak!

Sementara itu, Tiat-ciang-pangcu Tong Hoat sudah menerjang pemuda yang membakar hatinya itu. Serangannya dahsyat sekali, kedua tangannya bergantian mengirim pukulan dengan disertai pengerahan tenaga sinkang sekuatnya, mengerahkan Ilmu Tiat-ciang yang paling kuat. Karena marahnya, ketua ini ingin sekali pukul merobohkan pemuda sombong ini.

Pemuda ini jelas bukan anggota golongan daerah situ, maka membunuhnya pun bukan merupakan hal terlalu besar. Terhadap rekan sedaerah, dia masih sungkan membunuh, akan tetapi pemuda yang sombong itu boleh jadi adalah kaki tangan pemberontak, maka membunuhnya bahkan amat baik, tentu akan membikin jeri calon lain.

Dengan pikiran demikian, maka begitu menerjang maju, Tong Hoat telah mengeluarkan jurus yang paling hebat. Bagai halilintar kedua tangannya menyambar susul-menyusul, yang kanan memukul ke arah lambung lawan, yang kiri dengan jari terbuka mendorong ke arah dada disertai tenaga Tiat-ciang yang dahsyat.

"Bukk! Desss!"

Dua pukulan itu dengan tepat mengenai sasaran, akan tetapi tubuh pemuda itu sama sekali tidak bergoyang. Bahkan Tong Hoat seketika menjadi pucat mukanya ketika merasa betapa kedua tangannya bertemu dengan tubuh yang kerasnya melebihi baja, yang membuat kedua pukulannya membalik dan lengan tangannya seperti dibakar.

Pada saat itu, Tek Hoat menggerakkan tangan kirinya dan ujung jari-jari tangannya menyentuh dada Ketua Tiat-ciang-pang itu. Tanpa mengeluarkan suara apa pun Tong Hoat terjengkang, kedua tangannya dikembangkan, matanya melotot dan dia roboh seperti sebatang balok, roboh di atas papan panggung dan tidak dapat bergerak lagi!

Sejenak semua orang menahan napas. Keadaan menjadi sunyi. Semua mata melotot terbelalak penuh kekagetan dan keheranan melihat kepada pemuda itu. Sukar bagi mereka untuk dapat percaya betapa seorang lihai seperti Ketua Tiat-ciang-pang itu roboh oleh seorang pemuda tak terkenal dalam hanya satu gebrakan saja. Lebih aneh lagi karena mereka melihat betapa pukulan kedua tangan Tiat-ciang-pangcu itu, yang terkenal memiliki Ilmu Tangan Besi, dengan tepat mengenai dada dan lambung pemuda itu, namun bukan pemuda itu yang roboh, melainkan Si Ketua yang lihai itu! Hanya Ceng Ceng yang sudah mengenal kelihaian Tek Hoat, tidak menjadi heran sungguh pun dia menjadi makin kagum dan yakin akan kehebatan ilmu kepandaian Tek Hoat.

"Ilmu setan!"

"Bunuh siluman itu!"

Teriakan-teriakan ini terdengar dari mulut para anggota Tiat-ciang-pang dan enam orang tokoh Tiat-ciang-pang yang merupakan pembantu-pembantu utama dari pangcu, sudah naik ke atas panggung. Akan tetapi, orang-orang yang berdiri di sekitar panggung itu hanya melihat pemuda itu tersenyum dan menggerakkan dua tangannya bergantian dan... berturut-turut enam orang itu roboh pula terjengkang di atas papan panggung tanpa dapat bergerak lagi!

Keadaan menjadi geger. Dua orang penjudi yang tadi dikalahkan dua orang saudara Ma menjadi penasaran dan marah. Mereka bersama belasan orang anggota Tiat-ciang-pang dan sahabat-sahabat baik Tong Hoat sudah meloncat naik ke atas panggung dengan senjata-senjata tajam di tangan, langsung menerjang dan mengeroyok pemuda itu.

Ceng Ceng melihat sambil tersenyum. Dia tahu bahwa semua orang itu mengantar nyawa secara percuma saja. Dan apa yang terjadi di atas panggung memang amat mengerikan dan mengherankan semua orang yang menonton di bawah. Pemuda itu dengan sikap tenang-tenang saja menghadapi semua serangan orang yang menyerbu dengan senjata tajam seperti hujan menyambar ke arah tubuhnya.

Tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat dan para pengeroyok itu terkejut dan bingung karena tubuh pemuda itu telah lenyap dari tengah mereka. Tiba-tiba, seperti halilintar cepatnya Tek Hoat membagi-bagi tamparan dengan jari-jari tangannya dan dalam waktu singkat saja lebih dari lima belas orang sudah roboh. Tubuh mereka bergelimpangan malang-melintang memenuhi papan panggung.

"Apakah masih ada lagi orang yang tak mau menerima aku sebagai bengcu?" Pemuda itu berseru, suaranya lantang sekali, terdengar sampai jauh di bawah panggung. "Kalau ada yang masih penasaran dan ingin menguji kepandaian, silakan naik."

Tentu saja semua orang kini telah yakin akan kesaktian pemuda itu dan tidak ada yang begitu bodoh untuk mengantarkan nyawa, bahkan suasana menjadi sunyi sekali sampai beberapa lamanya. Pemuda itu lalu menggunakan kaki tangannya, menendangi dan melempar-lemparkan tubuh para korbannya ke bawah panggung. Melihat orang-orang yang jumlahnya lebih dari dua puluh itu terlempar ke atas tanah dan tidak bergerak lagi, para anggota Tiat-ciang-pang cepat mengadakan pemeriksaan. Terdengarlah teriakan-teriakan tertahan ketika mereka melihat bahwa semua tubuh itu telah tidak bernyawa lagi dan di dahi semua mayat itu tampak bekas jari tangan yang menghitam!

"Si Jari Maut...!"

Terkejutlah semua orang yang berada di situ. Bahkan dua orang saudara Ma dan Si Tangan Malaikat sendiri juga terkejut, tidak mengira bahwa pemuda utusan Pangeran Liong Bin Ong itu adalah Si Jari Maut yang namanya sudah dikenal lama dan ditakuti semua orang, biar pun jarang yang pernah melihat mukanya. Kiranya inilah orangnya! Rasa kagum dan girang bahwa mereka kini akan dipimpin oleh seorang penjahat yang terkenal amat lihai, membuat semua orang, bahkan termasuk anggota-anggota Tiat-ciang-pang, berseru keras, "Hidup bengcu kita yang baru!"

"Hidup Si Jari Maut...!"

Tek Hoat tersenyum dan mengangkat dua lengannya ke atas. Suasana menjadi hening dan tidak ada seorang pun yang berani mengeluarkan suara. Setelah memandang ke empat penjuru, Ang Tek Hoat lalu berkata dengan suara nyaring, "Kalian telah melihat sendiri bahwa aku adalah satu-satunya orang yang menang dalam semua pertandingan di atas panggung ini. Oleh karena itu, apakah kalian setuju mengangkat aku sebagai bengcu?"

"Setuju...!" Semua orang berteriak.

Akan tetapi di antara gemuruh suara yang menyatakan setuju ini, terdengar suara melengking yang mengatasi semua suara itu, "Tidak setuju...!"

Tentu saja suara melengking ini mengejutkan sekali, membuat semua orang terdiam dan menoleh ke kanan kiri untuk mencari suara wanita yang melengking itu. Tek Hoat juga berdiri di tengah panggung dan matanya bergerak liar ketika dia melihat sesosok bayangan orang melayang naik ke atas panggung.

Dia sudah marah sekali dan sudah siap menghadapi orang yang hendak menentangnya itu. Akan tetapi ketika secara tiba-tiba itu dia melihat bahwa yang meloncat naik dan kini berdiri di depannya adalah seorang gadis cantik dan yang bukan lain adalah Ceng Ceng, wajahnya berubah dan dia cepat-cepat memutar tubuhnya, membalik dan tidak mau berhadapan muka dengan Ceng Ceng! Hal ini adalah karena secara otomatis dia teringat akan janji dan sumpahnya, dan tanpa disadarinya sendiri tahu-tahu dia sudah memutar tubuh dengan jantung berdebar tegang.

Gerakan Tek Hoat ini tentu saja melegakan dan menyenangkan hati Ceng Ceng dan dia cepat mengeluarkan sehelai sapu tangan yang memang sejak tadi sudah dipersiapkan, lalu berkata, "Hemm, sapu tanganmu telah berada di tanganku, jangan sekali-kali kau berani memandangku!"

"Aku... aku tidak akan memandangmu..." berkata Tek Hoat yang masih dipengaruhi oleh kekagetan dan masih gugup.

Ceng Ceng adalah seorang yang amat cerdik. Dia maklum bahwa sekarang setelah menjadi bengcu, tentu saja Tek Hoat akan menjaga namanya sebagai seorang gagah, bukan orang yang suka melanggar sumpah dan janji! Tetapi dia tidak boleh percaya kepada seorang seperti pemuda ini yang tidak segan-segan merendahkan diri menjadi kaki tangan pemberontak. Maka dia lantas berkata dengan lantang, ditujukan kepada semua orang yang berada di bawah,

"Haiii, Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik! Laki-laki ini yang bernama Ang Tek Hoat, dia telah bersumpah bahwa setiap kali bertemu dengan aku, dia akan memejamkan mata atau tidak akan memandangku. Sapu tangannya ini yang menjadi saksi mati! Tidakkah benar kata-kataku, hai... Ang Tek Hoat?"

Tek Hoat tak dapat menyangkal dan terpaksa dia menganggukkan kepalanya. "Benar dan aku sudah memenuhi janji. Nah, pergilah!"

Ceng Ceng tertawa akan tetapi menutupi mulutnya. Dia gembira sekali karena tiba-tiba dia memperoleh pikiran yang amat baik, yang dianggapnya akan membuat dia mampu mencari musuh besarnya. Dia ingin menjadi bengcu!

"Nanti dulu, Tek Hoat! Engkau harus menyerahkan kedudukan bengcu kepadaku, dan kau tidak boleh membangkang!"

"Apa...? Ah, untuk apa kedudukan bengcu bagimu?"

"Tidak perlu engkau tahu. Pendeknya, kedudukan bengcu harus diserahkan kepadaku. Bagaimana? Apakah kau berani tidak taat kepadaku dan melanggar sumpahmu sebagai seorang pengecut yang menjilat ludah sendiri?"

Diam-diam hati Tek Hoat mendongkol sekali. Hemmm, kau tunggu saja, pikirnya. Bocah nakal. Akan tiba saatnya aku membalas semua ini! Kalau saja sapu tangan itu dapat dirampasnya. Kalau saja dia bisa melupakan janji dan sumpah itu. Dia sendiri merasa heran dan tidak mengerti mengapa dia begitu lemah kalau menghadapi gadis ini.

"Baiklah, sesukamulah," jawabnya.

"Harus kau umumkan kepada mereka bahwa aku adalah bengcu, dan engkau adalah pembantuku!" kata pula Ceng Ceng. Dia sengaja hendak menggunakan pengaruhnya untuk dua tujuan. Pertama, dia mencegah kaum sesat dipengaruhi pemberontak, dan kedua, dia hendak menggunakan kedudukan sebagai bengcu itu untuk mengerahkan orang-orangnya mencari pemuda laknat, musuh besarnya!

Tek Hoat menghela napas panjang. Sementara ini, dia terpaksa harus tunduk kepada gadis ini. Memang, kalau dia menghendaki tentu saja dia dapat menyerang dan merobohkan gadis ini, tidak mentaati perintahnya. Akan tetapi, kalau hal itu dia lakukan, dan dia sangsi apakah dia bisa melakukannya karena dia selalu merasa lemah terhadap gadis ini, dia tentu akan dianggap sebagai seorang laki-laki pengecut yang melanggar sumpahnya sendiri terhadap seorang gadis. Dan dalam kedudukannya sebagai seorang ketua, hal itu tentu akan mencemarkan namanya!

"Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik! Aku yang telah mengalahkan semua calon dan yang telah kalian angkat menjadi bengcu, mulai saat ini menyerahkan kedudukan bengcu kepada Nona..." tiba-tiba dia menoleh kepada Ceng Ceng dan hendak bertanya, "Ehhh...!" Akan tetapi teringat bahwa dia tidak boleh memandang, dia cepat membuang muka lagi sambil bersungut-sungut dan bertanya, "Aku lupa lagi... siapakah namamu?"

"Bodoh! Namaku Lu Ceng."

Tek Hoat kembali berseru nyaring, "Kedudukan bengcu kuserahkan kepada Nona Lu Ceng dan mulai saat ini dialah yang menjadi bengcu, sedangkan aku hanya menjadi wakilnya..."

"Bukan wakil melainkan hanya pembantu!" Ceng Ceng menghardik.

"Bukan wakilnya, hanya pembantunya...!"

Tentu saja semua orang terheran-heran menyaksikan semua ini. Seorang yang memiliki kesaktian seperti itu, yang memiliki jari maut yang begitu mengerikan dan kepandaian yang demikian tinggi, kenapa berubah menjadi seekor domba saja berhadapan dengan gadis ini?

Namun ada beberapa orang yang tidak hanya terheran saja, melainkan juga penasaran sekali. Tentu ada rahasia yang mereka tidak mengerti, yang memaksa pemuda utusan Pangeran Liong Bin Ong itu menjadi takut dan taat kepada gadis muda dan cantik itu. Tidak mungkin karena kalah pandai, dan tentu karena sumpah dan janji yang tidak berani dilanggarnya. Mereka itu adalah dua orang saudara Ma dan Si Tangan Malaikat. Mereka berunding sebentar, kemudian mereka mengambil keputusan untuk membantu Tek Hoat dan menyerang gadis yang mengacaukan semua rencana itu.

"Perempuan setan, jangan banyak lagak engkau di sini!" teriak Si Tangan Malaikat dan bersama dua orang saudara Ma, dia meloncat ke atas panggung, langsung menghadapi Ceng Ceng yang menyambut kedatangan tiga orang ini dengan senyum mengejek dan diam-diam gadis murid Ban-tok Mo-li mengerahkan ilmunya.

"Kallan sudah bosan hidup? Mampuslah!" bentaknya dan tiga orang itu tentu saja menjadi marah, masing-masing telah mencabut senjatanya dan hendak menyerbu.

Melihat ini, Tek Hoat hanya melirik akan tetapi apa yang terjadi kemudian sungguh amat mengejutkan hatinya, dan tentu saja juga amat mengejutkan semua orang yang melihat.

Ketika tiga orang itu menyerbu, tiba-tiba Ceng Ceng meludah tiga kali ke arah mereka. Serangan aneh ini cepat dan tidak tersangka-sangka sama sekali. Tiga orang kasar itu tentu saja tidak takut menghadapi serangan ludah seorang gadis cantik seperti Ceng Ceng, maka mereka pun tidak menunda serangan mereka dan terus maju. Akan tetapi, tiba-tiba tiga orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan ketiganya melepaskan senjata roboh ke atas papan dan bergulingan, lalu berkelojotan dan tak lama kemudian tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi! Mereka telah menjadi korban ludah beracun dari Ceng Ceng, satu di antara ilmu-ilmu luar biasa yang diperolehnya dari Ban-tok Mo-li!

Melihat ini, tahulah Tek Hoat bahwa gadis ini benar-benar seorang yang amat ahli dalam soal racun. Dahulu ketika Ceng Ceng muncul, gadis ini pun telah memperlihatkan kelihaiannya dengan menyebar racun untuk menghalangi pengejaran, dan sekarang kembali telah membuktikan kelihaiannya dalam hal racun.

Lumayan juga mempunyai teman selihai ini, pikirnya. Lagi pula, selain dia tidak ada niat sama sekali untuk mengganggu Ceng Ceng, hal yang amat aneh baginya, juga dia mengharapkan untuk kelak dapat menguasai hati Syanti Dewi melalui gadis ini.

"Engkau hebat...!" katanya memuji tanpa memandang.

"Dan aku perkenankan engkau memandangku sekarang," kata Ceng Ceng. "Tidak enak kalau mempunyai pembantu yang selalu membelakangiku! Akan tetapi engkau harus taat dalam segala hal!"

Tek Hoat tersenyum geli. Lu Ceng ini benar-benar seorang bocah, tetapi telah memiliki kepandaian beracun yang demikian mengerikan, pikirnya. Dia mengangkat muka, lalu memandang dan memperoleh kenyataan bahwa biar pun gadis ini sekarang makin manis, kecantikannya makin matang, tetapi terbayang sesuatu yang amat mengerikan, sesuatu yang dingin dan penuh kebencian! Akan tetapi anehnya, begitu memandang, timbul pula rasa iba dan sayang di dalam hatinya terhadap gadis ini, hal yang sama sekali tidak dimengertinya mengapa demikian.....

KISAH SEPASANG RAJAWALI (seri ke 8 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang