Pada suatu pagi, Ceng Ceng dan pengawal Souw telah tiba di sebuah dusun di dekat tapal batas utara. "Kita sudah memasuki wilayah kekuasaan Jenderal Kao," kata kata pegawal itu. "Oleh karena itu, boleh dikatakan kita tiba di daerah aman dan kau boleh menanggalkan penyamaranmu."
Ceng Ceng merasa girang sekali. Dia merasa kurang leluasa dalam penyamarannya itu. Dibuangnya 'kumis' yang menarik perhatian para wanita di sepanjang perjalanan itu, dan diubahnya pakaiannya sehingga kini dia berubah menjadi seorang dara remaja yang cantik dan gagah, dengan kepala dilindungi sebuah caping lebar.
"Karena perjalanan ke utara, ke benteng di mana Jenderal Kao Liang berada merupakan perjalanan yang cukup sukar dan melelahkan, melalui daerah tandus, maka sebaiknya klta mengganti kuda di dusun ini."
"Apakah di sini engkau juga mempunyai kawan-kawan, Souw-lopek?"
"Tidak, akan tetapi dusun ini terkenal sebagai tempat pusat perdagangan kuda. Banyak kuda Mongol yang baik dijual di dusun ini, dan kita hanya menukarkan kuda kita yang sudah lelah dengan menambah sedikit uang."
Benar saja, setelah mereka memasuki dusun itu, di tengah-tengah dusun terdapat sebuah pasar kuda yang amat besar dan luas dan terdapat ratusan ekor kuda diperjual belikan di tempat ini.
"Kau bawa kuda kita ke bagian sana, bagian penjualan, dan aku akan memilih kuda-kuda baru di sebelah sini. Kalau aku yang menjual, karena aku laki-laki, harganya akan kurang tinggi."
"Eh, mengapa begitu, Lopek (paman tua)?" tanya Ceng Ceng terheran.
Souw Kee It tersenyum. "Karena, biasanya para pencuri kuda adalah kaum pria. Jarang ada wanita, biar wanita kang-ouw sekali pun, mau mencuri kuda."
"Wah, jadi kalau yang menjual disangka pencuri kuda, kudanya lalu ditawar murah-murahan? Mengapa ada orang yang mau membeli kuda curian?"
"Hemm, kau masih belum tahu akan ketamakan manusia di dunia ini, Nona. Curian atau bukan, asal mendatangkan keuntungan besar, tentu diterima dengan tangan terbuka. Sudahlah, kau yang menjual ke sana, berikan kalau ditawar kurang leblh dua ratus tail untuk dua ekor ini, kemudian kau bawa uangnya ke sini untuk membeli dua ekor kuda baru. Aku yang memilih, karena kalau tidak pandai memilih, bisa ditipu mentah-mentah oleh para pedagang kuda yang amat licik dan cerdik itu. Kuda sakit dibilang sehat, kuda tua dibilang muda."
Ceng Ceng mengangguk, lalu menuntun dua ekor kuda itu menuju ke seberang di mana terdapat banyak tengkulak kuda sedang memeriksa kuda yang akan dijual. Begitu tiba di tempat itu, beberapa orang pedagang kuda sudah berlarian datang menyambut Ceng Ceng.
"Nona, kudamu sudah amat lelah, memang sepatutnya dijual segera!" kata seorang di antara mereka.
"Agaknya sudah melakukan perjalanan yang amat jauh, lihat tapal kakinya menipis dan urat pahanya menggembung!" kata orang kedua.
"Kalau tidak cepat dipelihara baik-baik bisa terkena penyakit," kata orang ketiga.
Ceng Ceng membiarkan para tengkulak kuda itu ribut-ribut menurunkan nilai dua ekor kudanya. Kalau saja dia belum mendengarkan penjelasan Souw Kee It tentang siasat para pedagang kuda, tentu dia akan marah atau setidaknya akan merasa bimbang dan kecewa. Akan tetapi, sekarang dia hanya tersenyum, lalu berkata dengan lantang, "Kalian boleh menjelek-jelekkan dua ekor kudaku ini sesuka hati dan seenak perutmu, akan tetapi kalau tidak dua ratus tail, dua ekor kuda ini tidak akan kujual!"
"Ha-ha-ha, pintar sekali!" Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan memuji, perlahan saja namun cukup terdengar oleh Ceng Ceng, karena orang yang memuji itu berada dekat di tempat itu. Dia melirik dan melihat dua orang pemuda remaja yang berwajah tampan, berdiri memandangnya penuh kagum. Kekaguman yang tidak disembunyikan. Terutama sekali pemuda kedua yang agaknya sedikit lebih muda, yang wajahnya berseri gembira.
Melihat Ceng Ceng melirik ke arahnya, pemuda ini lalu menggerakkan kepalanya sedikit sehingga kuncir rambutnya yang tebal itu bergerak melilit lehernya sendiri. Pemuda yang tercekik dan terlilit lehernya oleh rambutnya sendiri membuat gerakan seperti orang mendelik dan lidahnya terjulur, sambil berkata dengan nada mengejek kepada para pedagang kuda itu. "Hekkk... hekkk... mau mencekik malah tercekik... mampus..., kena batunya sekarang..."
"Bu-te, jangan kurang ajar...!" Pemuda pertama yang agak lebih tua dan yang sikapnya pendiam menegur dengan suara lirih.
Senang hati Ceng Ceng. Dia tidak menganggap pemuda itu kurang ajar karena dia tahu bahwa pemuda itu mengejek para pedagang kuda. Timbullah rasa persahabatan dalam hatinya dan dia menoleh kepada mereka, lalu tersenyum kecil, kemudian menghadapi para pedagang kuda.
"Bagaimana, apakah kalian mau membeli kudaku yang kelelahan, buruk, berpenyakitan ini? Dua ekor untuk dua ratus tail, tidak kurang sedikit pun juga!"
Para pedagang itu saling pandang, menggaruk-garuk kepala. Memang perkiraan Souw Kee It tadi sudah tepat. Dua ratus tail untuk dua ekor kuda pilihan itu tidaklah mahal, akan tetapi juga tidak terlalu murah. Memang harga 'pasaran'. Melihat sikap nona muda itu demikian tegas, dan jelas tidak mungkin untuk dikelabui dengan aksi-aksi palsu, mereka tidak banyak bicara lagi lalu menghitung dua ratus tail perak, diserahkan kepada Ceng Ceng yang membungkusnya dengan kain lebar yang sudah disiapkan oleh Kee It sebelumnya. Kemudian dia meninggalkan tempat setelah melirik lagi kepada dua orang pemuda tadi.
"Lee-ko dia hebat sekali! Mari kita berkenalan..."
"Hushh, jangan kurang ajar di tempat umum begini. Kau bisa dimaki orang, Bu-te..."
"Tapi, dia tentu seorang gadis kang-ouw, dan tentu suka berkenalan. Apa sih jahatnya orang berkenalan?"
Dua orang muda itu bukan lain adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Seperti kita ketahui, kakak beradik ini setelah menyelamatkan rombongan hartawan yang diganggu oleh para tosu Pek-lian-kauw, melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja dan pada hari itu berhenti di dusun untuk membeli kuda.
Melihat adiknya nekat hendak mengikuti dara cantik jelita yang menjual kuda tadi, terpaksa Kian Lee mendampingi karena dia tidak ingin melihat adiknya membuat ribut di tempat ramai itu. Tiba-tiba Kian Lee memegang tangan adiknya, lalu dengan gerakan mukanya dia menunjuk ke depan.
Kian Bu juga sudah melihat seorang laki-laki kurus yang berada di belakang gadis itu. Jelas tampak oleh keduanya bahwa laki-laki itu tentulah seorang pencopet yang sedang mengincar buntalan uang yang berada di tangan kiri gadis itu.
Tiba-tiba, di tempat yang agak sepi, di tempat perbatasan antara bagian penjualan dan bagian pembelian kuda-kuda di pasar itu, laki-laki kurus tadi bergerak cepat sekali, tangannya meraba buntalan. Tampak pisau berkilau dan agaknya pencopet itu bukan ingin merebut semua buntalan melainkan hendak merobek buntalan dan mengambil uang dari dalamnya.
"Plakk...! Krekk...! Aduhhh...!" laki-laki itu memegangi lengannya yang patah tulangnya, sedangkan pisaunya terlempar entah ke mana.
Kiranya begitu ada gerakan orang, Ceng Ceng sudah menggerakkan tangan kanannya sambil memutar tubuh, dan sekali dia menampar, pergelangan tangan laki-laki kurus yang memegang pisau itu menjadi patah tulangnya.
"Ampunkan saya... anak-anak saya kelaparan..." Orang itu berkata dengan muka pucat dan tubuh gemetar ketakutan karena kalau sampai semua orang turun tangan, dia akan menjadi mayat di tempat itu.
Ceng Ceng mengeluarkan sepotong uang perak dan melemparkannya ke depan orang itu. "Ambillah dan pergilah!"
Pencopet itu mengambil uang perak dengan tangan kiri, lalu mengangguk dan cepat menyelinap pergi. Melihat ini, Kian Lee dan Kiam Bu terbelalak kagum.
"Wah, kiranya seorang yang lihai!" Kian Bu hampir bersorak karena baru sekali ini dia melihat seorang dara cantik jelita yang memiliki kepandaian tinggi seperti itu.
"Dia tentu seorang pendekar wanita dunia kang-ouw seperti yang sering diceritakan oleh Ibu, maka lebih baik kita jangan mengganggunya," kata Kian Lee yang merasa kagum sekali.
Kian Bu bersungut-sungut kecewa. Apa lagi ketika melihat ada seorang laki-laki gagah setengah tua yang menghampiri gadis itu, kemudian mereka membeli dua ekor kuda, Kian Bu tidak berani melanjutkan niatnya menghampiri.
"Hemm, aku masih merasa penasaran, Lee-ko. Apa sih salahnya kalau aku hanya ingin berkenalan?"
"Adikku, harus kuakui bahwa engkau tidak bersalah. Akan tetapi, sejak kecil kita hidup di tempat terasing dari pergaulan umum, maka tentu saja kita berdua merasa bebas. Ketahuilah bahwa kehidupan umum di daerah daratan ini tidaklah bebas sama sekali, kehidupan manusia sudah dibelenggu dan diikat oleh segala macam peraturan, di antara peraturan-peraturan itu ialah bahwa menegur seorang wanita yang bukan keluarga dan bukan kenalannya merupakan perbuatan yang kurang ajar!"
"Aneh dan tidak adil! Kalau tidak lebih dulu menegur, mana bisa kenal? Pula apa sih jeleknya kalau hanya menegur untuk berkenalan saja? Nona itu tadi pun bercakap cakap dengan para pembeli kuda, padahal mereka pun belum saling mengenal."
"Itu lain lagi namanya, kan ada keperluannya, jual beli kuda?"
"Wah, serba salah! Peraturan yang licik sekali. Baik buruknya kan tergantung dari niat yang terkandung di dalam perbuatan, bukan si perbuatan itu sendiri. Seorang pria menegur seorang wanita untuk berkenalan, masa tidak boleh? Peraturan macam apa itu?"
"Itu namanya peraturan kesusilaan, Adikku. Dan masih banyak lagi aturan-aturan antara pria dan wanita, apa lagi kalau kita sudah tiba di kota raja, sama sekali tidak boleh dilanggarnya."
"Hemm, daratan begini luas akan tetapi seperti penjara saja!"
"Memang, kita manusia hidup seperti dalam penjara, dikurung dan dibelenggu oleh segala macam peraturan dan hukum. Akan tetapi, semua itu sudah menjadi kebiasaan umum, kalau dilanggar, kau akan dianggap liar dan kurang ajar, tidak tahu kesopanan dan lain sebagainya sehingga engkau akan dianggap jahat dan dimusuhi."
"Konyol!" Kian Bu makin tidak puas dan makin penasaran.
Memang pemuda itu belum mau mengerti akan semua kebiasaan di dunia 'sopan' ini. Hidup di Pulau Es tentu saja merasa bebas, tidak terikat oleh peraturan apa pun karena mereka hanya hidup bersama ayah dan ibunya, sedangkan pertemuan yang kadang kala dengan para nelayan yang menjelajah di pulau-pulau agak jauh dari Pulau Es, juga merupakan pertemuan dengan orang-orang sederhana yang hidup wajar dan polos, tidak banyak terikat oleh segala macam peraturan.
Kini darah mudanya yang menuntut sehingga timbul daya tarik terhadap kaum wanita, tetapi menghadapi penghalang yang besar sekali dan dirasakannya amat mengganggu kebebasannya. Berbeda dengan Kian Lee yang sungguh pun keadaan hidupnya di Pulas Es tiada bedanya dengan Kian Bu, namun pemuda ini memperhatikan semua yang diceritakan tentang dunia ramai oleh ibunya, bahkan suka membaca-baca kitab tentang sejarah dan kehidupan di dunia ramai. Oleh karena itu biar pun dia baru sekali ini turun ke daratan besar, namun segala peraturan tidaklah terlalu mengejutkan hatinya dan dapat dihadapinya dengan tenang dan sabar.
Maka, Kian Bu hanya dapat memandang saja ketika melihat gadis yang mengagumkan hatinya itu meloncat ke atas kuda bersama kakek itu, lalu keduanya membalapkan kuda keluar dari dusun itu. Hatinya ingin sekali menegur, bertanya dan berkenalan, tetapi dia memaksa diri diam saja, hanya memandang dan makin tertarik hatinya ketika melihat betapa dara itu mengerling ke arah mereka sambil tersenyum manis!
"Siapakah mereka...?" Souw Kee It bertanya setelah mereka keluar dari dusun.
"Hi-hik-hik, pemuda-pemuda yang lucu." Ceng Ceng lalu menceritakan pertemuannya dengan dua orang muda itu ketika dia menjual kuda.
"Hemm, mereka mencurigakan. Nona, kita harus berhati-hati."
"Kau sendiri mengatakan bahwa ini daerah aman, Lopek."
"Benar, memang tadinya kuanggap demikian. Akan tetapi di dalam pasar kuda tadi, aku melihat banyak mata yang memandang kepadaku secara sembunyi. Hal seperti itu sudah terlalu sering kualami sehingga aku dapat merasakannya. Juga, kalau aku tidak salah, aku melihat wajah seorang kakek yang menyelinap di antara banyak orang, padahal kalau aku tidak salah ingat, itu adalah wajah seorang tosu Pek-lian-kauw. Dan kabarnya Pek-lian-kauw juga sudah memasukkan tangan-tangan kotor ke dalam usaha pemberontakan ini."
"Ihhh...!" Ceng Ceng menjadi kaget mendengar ini.
"Keadaan menjadi berbahaya kalau begini, Nona." Souw Kee It mengerutkan alisnya dan menahan kudanya agar dia dapat menerangkan lebih jelas lagi. "Kalau sampai di dusun itu terdapat orang-orangnya pemberontak tanpa diketahui oleh Jenderal Kao, maka hal itu hanya berarti bahwa kaki tangan pemberontak sudah menyelundup ke utara. Mungkin saja di antara para pembantu Kao-goanswe sendiri ada yang sudah terpengaruh. Dan ini berbahaya bagi pertahanan di utara."
"Habis, apa yang kini hendak kau lakukan, Lopek?" Ceng Ceng bertanya, khawatir juga mendengar suara orang tua itu yang amat serius.
Tiba-tiba kakek itu memandang ke depan dan matanya terbelalak, kemudian berkata, "Tenang, tidak usah khawatir, akan tetapi siap menghadapi mereka itu. Kurasa mereka bukan orang-orang yang mengandung niat baik..."
Ceng Ceng juga memandang ke depan dan tampaklah olehnya dua orang tosu dan dua orang laki-laki yang dikenalnya sebagai dua di antara para pembeli kuda tadi telah menghadang di depan. Kuda tunggangan empat orang itu ditambatkan pada pohon tak jauh dari situ dan jelaslah bahwa keempat orang ini memang sengaja menunggu dan menghadang mereka di tempat ini!
"Lopek, hajar saja mereka!" Ceng Ceng berteriak dengan gemas dan kedua tangannya sudah meraba sepasang pisau belati yang diselipkan di pinggangnya.
Memang mereka sudah bersiap sedia dan Souw Kee It telah memberikan dua batang pisau itu sebagaimana yang dipilihnya sendiri ketika pengawal itu menawarkan senjata apa yang paling digemarinya.
"Kau hadapi dua orang mata-mata yang menyamar sebagai pedagang kuda itu, dan biarlah aku yang menghadapi dua orang tosu Pek-lian-kauw itu," bisik Souw Kee It.
Ceng Ceng mengangguk. Dengan tenang keduanya turun dari atas kuda, menambatkan kuda mereka di pohon lalu menghampiri empat orang yang mengawasi gerak-gerik mereka tanpa berkata-kata itu. Biar pun dia merasa amat gemas dan marah, namun Ceng Ceng tidak berani sembrono turun tangan, melainkan membiarkan pengawal itu yang bicara.
"Jiwi-totiang (bapak pendeta berdua) agaknya mempunyai keperluan denganku maka sengaja menanti di sini. Ada keperluan apakah?" Souw Kee It lantas bertanya sambil menghadapi kedua orang tosu itu.
Dua orang tosu itu tidak menjawab, melainkan membuat gerakan membuka jubah depan mereka, yang menutupi jubah di dalam dan tampaklah lukisan teratai putih di depan dada mereka. Tentu saja Souw Kee It sudah tahu sebelumnya bahwa dua orang tosu itu adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw, akan tetapi dia berpura-pura kaget dan tidak mengerti.
"Kalau tidak salah, ji-wi adalah tosu dari Pek-lian-kauw. Ada keperluan apakah dengan kami paman dan keponakan?"
"Souw Kee It, tidak perlu kau berpura-pura lagi!" Tiba-tiba seorang di antara mereka, tosu yang ada tahi lalatnya di dagu, berkata mengejek. "Dan tidak perlu lagi mengaku dia ini keponakanmu. Ketika dia masih menjadi pemuda berkumis, memang kami ragu-ragu. Souw Kee It, dan kau Nona! Hayo katakan di mana adanya Puteri Syanti Dewi!"
Souw Kee It terkejut juga. Demikian hebat gerakan para pemberontak ini sehingga mata-matanya tersebar ke mana-mana, bahkan perjalanannya bersama Ceng Ceng, penyamaran dara itu pun diketahui belaka oleh tosu-tosu ini. Yang tidak mereka ketahui, seperti yang dia sendiri pun belum mengetahui, adalah di mana adanya Putri Syanti Dewi. Hal ini melegakan hatinya, juga melegakan hati Ceng Ceng, karena berarti bahwa Syanti Dewi belum terjatuh ke tangan kaum pemberontak.
"Pemberontak hina dina!" bentak Souw Kee It dan tanpa banyak cakap lagi pengawal ini sudah meloncat ke depan, menerjang sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi segulungan sinar terang.
Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu juga sudah mencabut pedang masing-masing dan menangkis sambil membalas dengan serangan dahsyat. Namun, mudah saja serangan mereka ditangkis oleh Souw Kee It dan melihat gerakan-gerakan mereka, hati pengawal kawakan ini menjadi lega karena dia yakin akan dapat mengatasi mereka.
Dia mengkhawatirkan Ceng Ceng yang juga sudah membentak nyaring dan menerjang maju, yang langsung disambut oleh dua orang pedagang kuda palsu itu dengan golok mereka. Terdengar suara nyaring berdencing berkali-kali ketika dua orang pedagang kuda palsu itu sibuk menangkis sinar terang dari sepasang belati di tangan Ceng Ceng yang menyambar-nyambar ganas ke arah mereka!
Tersenyumlah Souw Kee It menyaksikan sepak terjang dara dari Bhutan itu. Hebat dan lincah, sehingga dia maklum bahwa dia tidak perlu mengkhawatirkan Ceng Ceng. Hal ini membuat dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi dua orang tosu dari Pek-lian-kauw.
"Nona Lu, mari cepat robohkan mereka!" bentaknya karena pengawal ini maklum bahwa para kaki tangan pemberontak ini mempunyai banyak kawan dan kalau mereka datang mengeroyok, keadaan akan menjadi berbahaya.
"Baik, Lopek!" Ceng Ceng memang tadinya ingin mempermainkan dua orang lawannya, kini mendengar seruan itu dia lalu memperhebat permainan sepasang pisau belatinya sehingga dua orang itu terdesak hebat!
Souw Kee It juga telah mengerahkan tenaga mengeluarkan kepandaiannya. Pedangnya bergulung-gulung sinarnya, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada dua orang pengeroyoknya yang main mundur terus. Terdengar bentakan keras dua kali dari mulut pengawal itu dan robohlah dua orang tosu itu, roboh untuk tidak bangun kembali karena dada mereka tertembus pedang!
"Haiiitttttt...!" Ceng Ceng yang merasa penasaran memekik. Pisaunya menyambar dan berhasil merobek pipi kanan seorang lawan yang berteriak-teriak kesakitan.
"Aku mencari bantuan...!" Seorang di antara mereka berteriak dan lari meninggalkan kawannya yang robek pipinya.
"Lari ke mana?" Ceng Ceng membentak, tangan kirinya bergerak dan pisau belati yang kiri meluncur ke depan, mengejar lawan yang lari itu.
"Augghhh...!" Orang itu roboh dan pisau belati hanya tampak gagangnya saja menancap di punggungnya.
Orang kedua yang terluka pipinya menjadi nekat, akan tetapi kaki kiri Ceng Ceng telah menendang tepat mengenai pergelangan tangannya sehingga golok yang dipegangnya terlepas dan sebelum dia sempat mengelak, pisau belati Ceng Ceng sudah bersarang di dadanya, membuat dia roboh terjengkang dan tewas tak lama kemudian.
Ceng Ceng mencabut dua batang pisaunya, membersihkan senjata itu di pakaian korbannya sambil mendengarkan pesan Souw Kee It, "Nona, sudah jelas bahwa pihak pemberontak telah mengetahui keadaan kita. Hal ini membuktikan bahwa kaki tangan pemberontak telah menguasai pula daerah ini dan mungkin sekali sudah ada mata-mata yang menyelinap ke dalam pasukan penjaga tapal batas. Hal ini berbahaya sekali. Jenderal Kao adalah seorang panglima yang amat setia, akan tetapi kalau dia dikelilingi pemberontak tanpa diketahuinya, amatlah berbahaya. Sekali pertahanan di tapal batas ini bobol, bahaya utara akan membanjir ke selatan dan merupakan ancaman besar."
"Jika begitu, kita cepat menghadap Jenderal Kao untuk menceritakan keadaan, Lopek."
Souw Kee It menggelengkan kepala. "Kita harus membagi tugas. Di benteng terdekat sebelah barat sana yang bertugas sebagai seorang komandan seorang sahabatku. Aku akan pergi ke sana untuk cepat memperingatkan sahabatku itu agar dia dapat bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sedangkan engkau, Nona, harap kau lanjutkan perjalanan ini ke utara. Karena lebih tiga puluh li lagi dari sini, engkau akan tiba di benteng di mana kau dapat menghadap Jenderal Kao sendiri dan kau ceritakan segala yang kau telah ketahui dan dengar dari aku mengenai keadaan di ibu kota."
Ceng Ceng mengangguk. "Baik, Lopek."
Souw Kee It mengeluarkan sebuah benda dan memberikan itu kepada Ceng Ceng sambil berkata, "Kau bawalah tek-pai ini sebagai pelindung kalau terjadi sesuatu. Aku sendiri tidak memerlukannya karena Panglima Kim yang akan kuhubungi adalah wakil dari Jenderal Kao dan adalah bekas sahabatku ketika kami bersama bertugas di kota raja. Kalau kau menghadapi kesukaran dari pihak pasukan, tek-pai ini tentu akan menyelamatkanmu."
Ceng Ceng menerima benda itu yang ternyata adalah sebuah tek-pai, yaitu sepotong bambu yang merupakan sebuah tanda bahwa pemegangnya telah diberi kuasa oleh pihak atasan. Biasanya, jika kaisar memberi kekuasaan kepada seseorang ponggawa untuk melakukan suatu pekerjaan penting, ponggawa ini diberi sebuah tek-pai. Akan tetapi tek-pai yang diserahkan oleh Souw Kee It kepada Ceng Ceng adalah tanda kuasa yang diberikan oleh Puteri Milana.
"Berangkatlah, Nona dan hati-hatilah di jalan. Kurasa tidak akan ada gangguan lagi seperti tadi setelah Nona berada di dekat benteng pasukan Jenderal Kao."
Mereka lalu berpisah dan Ceng Ceng lalu membalapkan kudanya menuju ke utara. Ada pun Souw Kee It sendiri juga lalu meloncat ke atas kudanya, memutar kudanya menuju ke kiri di mana dia tahu ada markas dari pasukan yang dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao, yaitu Panglima Kim. Pencegatan oleh tosu Pek-lian-kauw tadi terjadi di daerah kekuasaan pasukan Panglima Kim, maka dia perlu sekali harus cepat memberi tahu bekas sahabatnya itu agar dapat mengadakan operasi pembersihan karena dia yakin bahwa tentu daerah ini telah kemasukan kaki tangan pemberontak.
Memang daerah yang merupakan front kedua ini dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao Liang, yaitu Panglima Kim Bouw Sin yang dahulu pernah menjadi pengawal kaisar, rekan dari Souw Kee It. Panglima Kim Bouw Sin yang berusia lima puluh tahun ini bertubuh kecil tinggi, bermata tajam dan dia merupakan seorang yang ahli dalam ilmu perang, selain ahli pula dalam ilmu silat.
Dahulunya dia hanya seorang guru silat yang karena kepandaiannya yang tinggi maka banyak putera bangsawan menjadi muridnya di kota raja. Akhirnya dia diangkat menjadi pengawal dan memang orang she Kim ini amat rajin dan pandai pula mengambil hati bekas-bekas muridnya yang banyak terdapat di antara para pangeran sehingga akhirnya dia terus naik pangkat sampai menjadi wakil Jenderal Kao Liang dan mengepalai puluhan ribu prajurit di tapal batas utara.
Akan tetapi, kenaikan demi kenaikan yang membawanya ke tempat yang lebih tinggi dan mulia, kedudukan demi kedudukan yang telah dicapainya itu sama sekali tidak pernah memadamkan api cita-cita yang selalu berkobar di dalam dada Kim Bouw Sin. Tidak pernah membuat dia merasa puas dan cukup. Cita-cita atau ambisinya terus meningkat dan kedudukan wakil panglima komandan perbatasan masih jauh dari pada memuaskan hatinya yang penuh ambisi, karena di sana, jauh di tinggi, masih tampak kedudukan panglima, kedudukan menteri-menteri, perdana menteri, panglima tertinggi dan kaisar sendiri!
Ambisi ini yang lalu menyeretnya untuk diam-diam bersekutu dengan Pangeran Liong Bin Ong dan biar pun secara terang-terangan dia menjadi wakil panglima di perbatasan utara, namun gelap-gelapan dia adalah pemimpin pemberontak, kepercayaan Liong Bin Ong yang sudah siap melakukan gerakan besar di utara!
Seperti halnya Kim Bouw Sin, seperti pula dapat kita lihat dalam penghidupan manusia sehari-hari, betapa kita ini dicengkeram, dibuai dan dipermainkan oleh cita-cita, oleh ambisi.
Cita-cita dan ambisi adalah masa depan sehingga kita hidup seperti dalam mimpi, hidup dituntun oleh masa depan sehingga kita menjadi seperti buta akan masa kini, saat ini, tidak dapat melihat segala keindahan dan kebahagiaan saat ini karena mata kita selalu kita tujukan ke depan dan ke atas! Kita selalu mementingkan tujuan, sehingga terjadilah kepalsuan-kepalsuan dalam cara atau tindakan karena semua itu dituntun dan diatur demi mencapai tujuan!
Karena mementingkan tujuan, maka timbullah perbµatan-perbuatan yang palsu, karena yang penting bukanlah caranya lagi, melainkan tujuannya. Timbullah anggapan palsu bahwa tujuan menghalalkan secara cara! Maka terjadilah segala kepalsuan yang dapat kita lihat sehari-hari di dalam kehidupan kita.
Betapa demi tujuan mendapatkan keuntungan, kita tak segan-segan untuk mencapainya dengan cara apa pun, dengan judi, dengan korupsi, dengan menyuap, dengan penipuan dagang, dengan penyelundupan, dan banyak lagi macamnya. Semua itu kita lakukan demi untuk satu tujuan, yaitu mencari keuntungan! Lebih hebat lagi adalah, demi tujuan mencapai kemenangan, kita manusia saling bunuh-membunuh dalam perang, bahkan tidak segan-segan memakai nama Tuhan, negara, bangsa dan lain-lain yang hanya merupakan suatu cara palsu untuk mencapai tujuan, yaitu kemenangan tadi!
Umumnya kita menganggap bahwa cita-cita atau ambisi mendatangkan kemajuan! Jika tidak bercita-cita, tak ada kemajuan, demikian kita berkata dan anggapan atau pendapat ini telah berakar di dalam hati dan pikiran. Akan tetapi kalau kita mau membuka mata dan mempelajarinya, benarkah demikian? Benarkah ambisi mendatangkan kemajuan?
Kalau kita ukur kemajuan dengan lembaran uang, mungkin ada benarnya, yaitu bahwa ambisi mendatangkan uang! Akan tetapi, apakah itu suatu kemajuan? Apakah itu dapat dikatakan maju kalau menjadi kaya-raya karena korupsi, karena dagang gelap, karena penipuan dan lain-lain? Apa artinya kaya-raya kalau batinnya miskin? Dapatkah kekayaan mendatangkan kebahagiaan? Tanya saja kepada para hartawan dan semua akan menjawab pertanyaan itu dengan geleng kepala!
Yang penting adalah sekarang ini! Saat ini! Tindakan ini! Cara ini! Bukan tujuannya, bukan cita-citanya! Kalau caranya atau tindakannya benar, tujuannya pun benar! Biar pun tujuannya benar, kalau caranya tidak benar, tujuannya pun menjadi tidak benar! Dari pada membiarkan pikiran melamun dan membayangkan tujuan atau cita-cita atau ambisi di masa depan, hal-hal yang belum ada dan hanya merupakan khayal belaka, marilah kita tujukan seluruh perhatian kita kepada saat ini, saat demi saat sehingga apa yang kita lakukan, apa yang kita ucapkan, semua kita lakukan dengan kesadaran sepenuhnya, dengan perhatian sepenuhnya, sehingga kita dapat menghayati hidup ini saat demi saat! Dengan demikian akan timbul kewaspadaan, kita dapat melihat yang palsu sebagai palsu dalam diri kita sendiri dan di luar diri kita.
Souw Kee It sama sekali tidak pernah mengira bahwa bekas sahabat dan rekannya itu kini telah menjadi orang kepercayaan Pangeran Liong Bin Ong. Dia datang dan menghadap bekas temannya yang telah menjadi wakil panglima perbatasan itu. Akan tetapi begitu dia menceritakan tentang pencegatan dua orang tosu Pek-llan-kauw dan dua orang kaki tangan pemberontak lain yang berhasil dibunuhnya, seketika dia disergap, dikeroyok dan akhirnya, dalam perlawanan mati-matian, pengawal kaisar yang gagah perkasa ini tewas di depan kaki Panglima Kim Bouw Sin!
Souw Kee It telah menceritakan betapa pengawal itu bersama adik angkat Puteri Syanti Dewi telah tiba di utara dan bahkan telah mengetahui bahwa di utara terdapat kaki tangan pemberontak! Dan sekarang gadis itu telah menuju ke markas Jenderal Kao! Hal ini tentu saja menggegerkan hati Kim Bouw Sin dan kawan-kawannya. Maka setelah menyingkirkan mayat pengawal Souw Kee It, Panglima Kim Bouw Sin segera memanggil semua sekutunya untuk mengadakan perundingan kilat!
Yang hadir dalam perundingan itu selain Panglima Kim Bouw Sin sendiri, juga dua orang utusan Pangeran Liong Bin Ong yang menjadi penghubung, dan tiga orang kepala suku Mongol yang memusuhi pemerintah. Memang Kim Bouw Sin amat cerdik. Untuk memperkuat kedudukannya dan memperkuat barisan kalau kelak tiba masanya bahwa pasukannya harus digerakkan ke selatan, diam-diam dia telah mengadakan persekutuan dengan suku-suku liar di luar tembok besar dan telah mengadakan kontak dengan tiga orang kepala suku Mongol itu.
"Rahasia telah terbuka, mungkin sekarang Jenderal Kao telah mendengar dari gadis itu," demikian antara lain Panglima Kim berkata kepada lima orang itu. "Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu terlalu sembrono, turun tangan tanpa melihat keadaan lawan lebih dulu. Selain mereka gagal, juga tentu akan menimbulkan kecurigaan di hati Jenderal Kao."
"Bagi Pangeran Liong, hal itu tidak membahayakan," kata seorang di antara tiga orang utusan Pengeran Liong Bin Ong, "karena kabar pemberontakan itu hanya merupakan desas-desus yang tidak ada buktinya. Akan tetapi tidaklah demikian dengan kedudukan ciangkun (panglima) di sini. Jenderal Kao terkenal keras, dan sebagai bawahannya Ciangkun tentu dapat dia perlakukan sesuka hatinya."
"Itulah yang memusingkan kepalaku!" Panglima Kim menghantam meja di depannya. "Kecuali kalau dia dapat disingkirkan lebih dulu, lebih pagi dari pada rencana semula! Tetapi, pasukannya belum dapat kita kuasai seluruhnya sehingga hal itu tentu amat sukar dilakukan."
"Bukankah Jenderal Kao gemar sekali melakukan penyelidikan dan perondaan sendiri, hanya dikawal oleh tiga belas orang pengawalnya yang terkenal?" berkata seorang di antara utusan Pangeran Liong. "Bagaimana kalau digunakan akal untuk memancingnya keluar bersama para pengawalnya itu dan kita sergap dia?"
Kim Bouw Sin mengangguk. "Memang ada rencana itu, tetapi kalau ketahuan bahwa dia tewas, tentu akan timbul kegemparan dan mungkin pasukan yang setia kepadanya akan menimbulkan keributan. Kecuali kalau pasukannya sudah dapat kita kuasai atau... kalau dapat melenyapkannya tanpa menimbulkan jejak..."
Tiba-tiba seorang kepala suku Mongol yang kumisnya panjang bergantungan dari kanan kiri mulai menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan semua orang yang hadir. "Dapat sekarang!" Teriaknya sehingga semua orang memandangnya penuh perhatian. "Sumur maut! Tempat itu pasti dapat kita pergunakan untuk memancing dan menjebak Jenderal Kao!"
Enam orang itu segera bicara berbisik-bisik mengatur rencana, mereka menggunakan siasat keji untuk membunuh Jenderal Kao tanpa diketahui orang dan menimbulkan kesan bahwa jenderal itu terbunuh oleh suku bangsa liar yang memusuhi pemerintah. Panglima Kim Bouw Sin kelihatan girang bukan main, wajahnya berseri gembira, dalam hatinya dia merasa betapa dia dan sekutunya melalukan sesuatu yang cerdik dan yang benar!
Demikianlah keadaan batin orang yang telah diracuni oleh cita-cita. Demi tercapainya cita-cita itu, segala cara dianggapnya baik dan benar belaka. Yang baik dan yang benar hanya diukur dari keuntungan bagi diri pribadi. Yang menguntungkan diri sendiri, lahir mau pun batin, maka sudah baik dan benarlah itu! Dengan pedoman hidup seperti ini di antara kita semua, herankah kita kalau dunia ini selalu kacau dan ribut, kekerasan, permusuhan dan peperangan terjadi di seluruh dunia?
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH SEPASANG RAJAWALI (seri ke 8 Bu Kek Siansu)
AkcjaSeri ke 8 dari Bu Kek Siasu