Demikianlah sedikit gambaran keadaan kota raja, dan sudahlah sepatutnya kalau Gak Bun Beng merasa gelisah karena memang dia sedang menuju ke tempat yang amat gawat, yang setiap saat dapat meletus menjadi perang pemberontakan yang dahsyat. Namun, tujuan yang utama Gak Bun Beng bukanlah untuk menyelidiki kota raja atau untuk melihat keselamatan Milana, melainkan untuk mengantar Syanti Dewi. Andai kata tidak ada Puteri Bhutan ini yang ditolongnya, kiranya mendengar apa pun tentang kota raja dan istana, tidak akan menggerakkan hatinya untuk mengunjungi tempat itu.
Di sepanjang perjalanan, semakin dekat dengan kota raja semakin tampaklah suasana pertentangan. Bahkan di antara rakyat sendiri, ada yang pro dan ada yang anti kepada kaisar dan putera mahkota. Hal ini lumrah karena rakyat, betapa pun juga menyadari bahwa pemerintah yang sekarang adalah pemerintah penjajah yang bagaimana pun tidak bisa mendapatkan dukungan sepenuhnya dari lubuk hati mereka.
Syanti Dewi memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat. Gak Bun Beng tak tanggung-tanggung mengajarkan rahasia-rahasia ilmu silat tinggi, bahkan dia telah mengoperkan hawa sinkang gabungan Swat-im-sinkang (Tenaga Inti Salju) dan Hui-yang-sinkang (Tenaga Inti Api) yang amat mukjijat dari dalam tubuhnya ke dalam tubuh dara itu.
Sampai pingsan Syanti Dewi menerima tenaga dahsyat ini, dan bagi Gak Bun Beng sendiri, pengoperan tenaga sinkang ini membuat dia selama tiga hari tiga malam harus berdiam diri mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya. Dengan memiliki dasar tenaga sinkang gabungan ini, biar pun ilmu silat yang dimainkan oleh Syanti Dewi masih sama dengan beberapa bulan yang lalu, akan tetapi kelihaiannya naik menjadi sepuluh kali lipat! Juga, biar pun dalam waktu singkat itu dia hanya menerima jurus-jurus baru yang tidak lebih dari belasan macam saja banyaknya, namun jurus-jurus ini sudah cukup untuk dipergunakan melindungi diri dari ancaman lawan yang amat kuat pun!
Mereka sudah menyeberangi Sungai Huang-ho dan tiba di kota Ban-jun di sebelah barat kota raja. Hari sudah siang ketika mereka memasuki kota itu dan karena kota raja sudah dekat dan mereka telah melakukan perjalanan yang melelahkan sekali, Gak Bun Beng mencari sebuah rumah penginapan.
Akan tetapi baru saja mereka sampai di jalan perempatan, mendadak terdengar suara hiruk-pikuk dan tampak dari jauh mendatangi sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda besar dan dikusiri oleh seorang yang berpakaian tentara dan yang memegang golok. Dari simpangan yang lain tampak belasan orang yang juga berpakaian tentara, dipimpin oleh seorang perwira dan mereka ini membalapkan kuda mengejar kereta itu! Kemudian betapa kagetnya hati Gak Bun Beng dan Syanti Dewi ketika melihat anak panah berapi menyambar ke arah kereta dan dalam sekejap saja kereta itu terbakar!
"Ohhh...!" Syanti Dewi berseru, seruannya kabur di dalam seruan-seruan semua orang yang melihat peristiwa itu dan yang segera lari cerai berai bersembunyi di balik-balik rumah penduduk.
"Kita harus menolong penumpang...!" kata pula puteri ini.
Gak Bun Beng memegang tangan dara itu, mencegahnya bertindak lancang. Dia masih tidak tahu siapa penumpang kereta, siapa pula yang mengejar dan melepaskan anak panah berapi itu. Sementara itu, perwira yang memimpin belasan orang prajurit sudah tiba di situ. Kusir kereta itu bangkit berdiri dan berusaha melawan dengan goloknya, akan tetapi karena di belakangnya ada api berkobar, dan gerakan perwira itu tangkas sekali, ketika kuda perwira itu loncat mendekat dan pedang perwira itu menyambar, robohlah kusir itu dari atas kereta, terjungkal di atas tanah jalan sedangkan dua ekor kuda yang panik karena 'dikejar' api di belakang mereka itu, terus membalap sambil meringkik-ringkik.
Kini Gak Bun Beng tidak dapat tinggal diam lagi. Apa dan siapa pun yang bermusuhan, kusir itu tewas dan penumpang kereta terancam maut. Dia harus menolongnya dulu dan baru kemudian mendengar urusannya. Bagaikan kilat tubuhnya melesat berkelebat dan angin menyambar dan pendekar itu telah lenyap. Syanti Dewi kagum bukan main, akan tetapi juga khawatir ketika melihat bayangan Gak Bun Beng melesat ke dalam kereta yang terbakar. Akan tetapi hatinya lega ketika melihat pendekar itu melesat ke luar lagi memondong seorang pemuda yang terluka ringan di pahanya.
"Keparat, berani engkau mencampuri urusan kami?" Perwira itu bersama belasan orang prajuritnya sudah menerjang maju kepada Gak Bun Beng yang menurunkan pemuda itu di tepi jalan dekat Syanti Dewi.
"Hemmm, kalian terlalu kejam!" Gak Bun Beng berkata lalu menerjang ke depan karena dia tidak ingin pemuda itu diserang. "Dewi, lindungi dia!" katanya dan begitu perwira itu sudah dekat, dia menyambut pedang yang menusuknya dengan sentilan jari tangannya.
"Tringg... krekkk!" Pedang itu patah menjadi dua!
Gak Bun Beng lalu berkelebat di antara mereka, dan ke mana pun dia berkelebat, tentu senjata seorang prajurit penunggang kuda patah atau terlempar. Dua orang prajurit menghampiri pemuda yang terluka itu dengan golok terangkat, akan tetapi Syanti Dewi yang sudah siap dengan dua buah batu sebesar kepalan tangannya, menggerakkan tangan kanan dua kali. Terdengar teriakan mengaduh dan dua batang golok terlepas dari tangan yang disambar batu itu.
"Mundur...! Pergi...!" Perwira itu memberi aba-aba. Pasukan kecilnya yang telah 'dilucuti' senjatanya itu tidak menanti perintah kedua, terus membalikkan kuda dan terjadilah lomba balap kuda yang ramai, meninggalkan debu mengebul tinggi.
Gak Bun Beng menarik napas panjang. Hatinya lega bahwa urusan itu bisa diselesaikan sedemikian mudahnya. Namun betapa kagetnya ketika dia menoleh ke tempat Syanti Dewi berada, dia hanya melihat dara ini saja sedangkan pemuda yang terluka ringan dan hampir mati terbakar dalam kereta tadi tidak tampak lagi. Cepat dia menghampiri Syanti Dewi.
"Apa yang terjadi? Mana dia?"
"Dia telah pergi, paman. Dia hanya menanyakan nama paman, kemudian mengatakan bahwa dia berterima kasih sekali, bahwa selama hidupnya dia tidak akan melupakan budi paman."
"Dalam keadaan terluka itu dia pergi?"
Syanti Dewi mengangguk. "Dia tidak mau ditahan, agaknya tergesa-gesa sekali. Dan dia hanya menyatakan bahwa namanya adalah Yung Hwa."
"Hemm... sungguh aneh sekali. Mari kita pergi dari kota ini, Syanti Dewi, aku tidak mau menjadi perhatian orang."
Memang pada saat itu orang-orang sudah mulai berkumpul dan menghampirinya sambil membicarakan kegagahannya saat menolong penumpang kereta dan melawan belasan orang pasukan tadi. Akan tetapi sebelum ada yang sempat bertanya, Gak Bun Beng sudah menggandeng tangan Syanti Dewi dan cepat-cepat meninggalkan kota itu, tidak menengok ketika mendengar ada orang-orang menegur dan memanggilnya menyuruh berhenti. Tentu saja orang-orang itu hanya melongo, dan laki-laki perkasa itu tentulah seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw yang memang selalu bersikap dan berwatak aneh.
Peristiwa itu menambah dorongan bagi Gak Bun Beng dan Syanti Dewi untuk cepat menuju ke kota raja. Mereka dapat menduga bahwa tentu bentrokan yang terjadi itu ada hubungannya dengan kerusuhan di kota raja. Sama sekali Gak Bun Beng tidak menyangka bahwa yang ditolongnya itu adalah salah seorang putera kaisar sendiri! Dia adalah Pangeran Yung Hwa, adik Pangeran Mahkota Yung Ceng.
Pangeran Yung Hwa itulah tadi yang tergila-gila mendengar kecantikan Syanti Dewi dan ingin menikah dengan puteri itu. Tentu saja Gak Bun Beng dan Syanti Dewi tidak tahu sama sekali akan urusan itu, juga bagi pangeran muda yang tampan itu, sama sekali tidak pernah mimpi bahwa puteri yang membuatnya tergila-gila itu pernah berdiri di depannya, bahkan sudah menolongnya dengan merobohkan dua penyerangnya dengan sambitan batu, pernah dia bercakap-cakap dengan puteri itu!
Tentu saja dia hanya mengira bahwa wanita muda yang menolongnya itu hanyalah seorang dara kang-ouw yang lihai saja. Juga dia masih terlalu muda untuk mendengar nama Gak Bun Beng yang hanya dikenal oleh golongan yang lebih tua karena selama belasan tahun ini nama Gak Bun Beng tidak pernah disebut-sebut orang lagi, apa lagi memang orangnya telah menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Dengan cepat Gak Bun Beng melanjutkan perjalanan karena dia ingin cepat-cepat melihat keadaan kota raja. Apa lagi ketika di sepanjang jalan setelah makin dekat kota raja dia melihat banyaknya pasukan-pasukan kecil yang hilir mudik dan kelihatan sibuk sekali.
Kelihatannya memang amat gawat keadaannya. Di sepanjang jalan dia terus mencari keterangan, tapi para penduduk juga hanya mengetahui sedikit sekali tentang keadaan sedalam-dalamnya dari kota raja yang diliputi penuh rahasia itu, hanya mengatakan bahwa di sekitar kota raja muncul banyak orang-orang aneh dan lihai, seolah-olah semua tokoh kang-ouw dan para datuk kaum sesat muncul dari tempat pertapaan mereka, semua orang sakti turun dari pegunungan dan semua iblis keluar dari neraka!
Dan bahwa sekarang sering sekali tampak perondaan pasukan tentara dari kota raja dan banyak terjadi pertempuran, bahkan antara pasukan dengan pasukan lain sehingga membingungkan dan mendatangkan rasa takut kepada rakyat jelata.
Beberapa hari kemudian, tibalah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi di depan pintu gerbang kota raja sebelah barat. Di depan pintu gerbang ini, Gak Bun Beng berhenti dan termenung dengan muka berubah pucat. Terbayanglah olehnya semua pengalamannya belasan tahun yang lalu dan jantungnya berdebar tegang ketika teringat bahwa di dalam lingkungan tembok kota raja inilah adanya wanita yang pernah dan masih dicintanya. Puteri Milana!
Pintu gerbang itu terbuka lebar dan terjaga oleh sepasukan penjaga yang bersenjata lengkap dan yang memandangi orang-orang yang lalu lalang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kalau ada orang yang kelihatan mencurigakan, tentu akan dipanggil dan diperiksa.
Akan tetapi keadaan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi sama sekali tidak mencurigakan. Wajah Gak Bun Beng bukanlah wajah yang menyeramkan, bahkan seperti seorang petani biasa saja yang tampan, sedangkan biar pun wajah Syanti Dewi mempunyai kecantikan yang khas, namun kecantikannya yang mirip kecantikan wanita Mancu ini malah menyelamatkannya dari kecurigaan para penjaga. Apa lagi karena kulit mukanya sudah agak gelap terbakar sinar matahari selama berpekan-pekan, dia mirip seorang gadis dusun biasa saja sungguh pun amat manisnya.
"Paman, hayo, kita masuk. Mengapa paman berdiri saja di sini?" Syanti Dewi menegur dan menarik tangan pendekar itu.
"Ahh... eh... benar kau... mari..." kata Gak Bun Beng, suaranya agak parau dan gemetar.
"Paman, engkau kenapakah? Mukamu pucat sekali seperti orang sakit."
"Sakit? Siapa...? Aku sakit? Ah, tidak...!" jawab Gak Bun Beng, namun kedua kakinya tersaruk-saruk seolah-olah tubuhnya menjadi lemah kehabisan tenaga.
"Agaknya kau sedang masuk angin, paman. Biar kubawakan buntalan itu." Syanti Dewi mengambil buntalan dari tangan Gak Bun Beng dan memandang pamannya itu penuh kekhawatiran.
Ternyata Gak Bun Beng memang sedang menderita tekanan batin yang hebat. Tidak hanya dia teringat akan segala peristiwa belasan tahun lalu, yang mendatangkan rasa duka, terharu, dan khawatir, akan tetapi kemudian dia teringat bahwa mereka telah tiba di tempat tujuan! Ini berarti bahwa dia akan segera berpisah dari Syanti Dewi.
Kenyataan ini merupakan palu godam yang menghantam perasaan hatinya dan lebih parah lagi karena dia mendapat kenyataan betapa berat rasa hatinya untuk berpisah dari samping gadis ini! Kesadaran akan hal inilah yang benar-benar menghimpit hatinya. Mengapa jadi demikian? Mengapa dia menjadi berat berpisah dari samping gadis ini?
Biar pun Syanti Dewi sudah mengatakan akan suka ikut selamanya dengan dia, namun dia bukanlah seorang laki-laki yang mempergunakan kelemahan seorang gadis untuk menyenangkan diri sendiri. Tidak! Apa akan jadinya dengan Syanti Dewi, puteri Raja Bhutan, gadis bangsawan tinggi yang biasa hidup mulia itu apa bila ikut dengan dia? Menjadi seorang perantau yang tidak menentu makan, pakaian dan rumahnya? Tidak! Tidak! Tentu, saja dia tidak bisa menceritakan kepada Syanti Dewi bahwa bayangan perpisahan itulah yang amat memberatkan hatinya, yang memukul batinnya, di samping bayangan pertemuannya dengan Milana!
Mereka melewati pintu gerbang dengan aman. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan serombongan pasukan masuk melalui pintu gerbang itu. Syanti Dewi masih memandang pamannya yang menunduk saja.
"Lakukan pengawasan ketat dan jangan lupa, kalau dua iblis itu berani muncul di sini, cepat laporkan padaku!"
Suara bisikan yang tidak terdengar oleh orang lain karena diucapkan perlahan dan dari jarak jauh itu masih dapat ditangkap oleh pendengaran Gak Bun Beng, dan ada sesuatu dalam suara itu yang membuatnya terkejut dan cepat dia menoleh ke kiri. Seketika mukanya menjadi semakin pucat bagaikan mayat, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga, kedua tangan dikepal dan dia tak bergerak seperti arca.
Matanya memandang seperti orang yang hilang ingatan kepada seorang wanita cantik jelita dan gagah perkasa yang menunggang kuda besar dan berada di depan pasukan berkuda itu dan wanita inilah yang tadi bicara kepada perwira di sampingnya. Wanita itu usianya kurang lebih tiga puluh tujuh tahun, tubuhnya masih padat dan tinggi semampai, menunggang kuda dengan tegak. Tubuhnya tertutup mantel putih, rambutnya disanggul tinggi-tinggi dan yang membuat Gak Bun Beng hampir pingsan adalah wajah yang cantik itu kelihatan begitu kurus, begitu muram kehilangan cahayanya yang dahulu selalu berpancar dari wajah Milana!
Hatinya menjerit. "Milana...!" akan tetapi mulutnya tidak mengeluarkan suara apa-apa.
Syanti Dewi terkejut bukan main. Dia cepat menengok dan dia pun melihat wanita yang menunggang kuda itu. Segera rombongan itu lewat dan lenyap. Dia menoleh kembali kepada pamannya yang keadaannya masih payah. Kini Gak Bun Beng menggigit bibir bawahnya, alisnya berkerut dan bibirnya berbisik-bisik tanpa suara.
"Paman...! Ada apakah...? Paman...!"
Gak Bun Beng terhuyung dan cepat tangannya ditangkap oleh Syanti Dewi, kemudian dia menuntun pendekar itu ke pinggir jalan, terus diajaknya berjalan ke tempat yang sunyi. Tak jauh dari situ tampaklah huruf-huruf besar yang menyatakan bahwa di situ terdapat sebuah rumah penginapan.
"Paman, kita beristirahat di penginapan itu, ya?"
Gak Bun Beng hanya mengangguk dan memejamkan matanya. Syanti Dewi berkhawatir sekali. Dengan hati-hati dia menuntun Gak Bun Beng ke rumah penginapan itu dan minta disediakan sebuah kamar. Melihat gadis itu menuntun laki-laki yang kelihatannya menderita sakit, pelayan cepat menyediakan kamar dan Syanti Dewi segera menuntun Gak Bun Beng memasuki kamar.
Gak Bun Beng melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan rebah telentang dengan muka tetap pucat. Dia menderita pukulan batin yang amat hebat. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali perasaan terharu melihat betapa Milana kini telah berubah menjadi sekurus dan sepucat itu.
"Aku menyiksanya... aku menyiksa batinnya... ahhh, aku menyiksanya...," demikian jerit hati Gak Bun Beng dan dia memejamkan matanya.
Syanti Dewi duduk di pinggir pembaringan dan dipegangnya dahi pendekar itu. Panas! "Aih, kau panas sekali, paman. Kau sakit! Kau demam..."
Gak Bun Beng membuka matanya, memandang Syanti Dewi sekejap, kemudian segera memejamkannya kembali. Dia menggeleng kepala dan berkata lemah, "Tidak apa-apa, Dewi... sebentar juga sembuh... tidak apa-apa..."
"Paman, ahhh, paman, aku khawatir sekali. Kau tadi begitu pucat seperti mayat setelah melihat wanita itu! Siapakah wanita cantik dan gagah yang menunggang kuda itu tadi, paman?"
"Milana... dialah Milana...!" Ketika mengucapkan nama ini, seakan-akan hatinya menjerit memanggil nama kekasihnya. "Milana...!"
Mendengar nama ini, Syanti Dewi terkejut. "Sang Puteri Milana...?"
Gak Bun Beng mengangguk lagi dan memejamkan matanya.
Syanti Dewi mengulang nama itu dan memandang penolongnya penuh selidik, lalu dia mengangguk-angguk. Digenggamnya tangan pendekar itu ketika dia berkata, "Maafkan kelancanganku, ya, paman? Diakah wanita yang yang paman cinta? Sang Puteri Milana itu?"
Sejenak Gak Bun Beng tak menjawab, bibirnya menggigil, matanya terpejam, kemudian dia mengangguk.
"Aihhhhh...!" Syanti Dewi tertegun, sama sekali tidak menduga bahwa penolongnya ini mempunyai hubungan cinta kasih dengan cucu kaisar sendiri!
Diam-diam dia mengakui bahwa memang patutlah kalau penolongnya ini mencinta wanita itu, karena memang wanita tadi itu hebat. Begitu cantik, begitu gagah dan begitu agung! Akan tetapi, mengapa wanita itu tidak menahan kepergian pendekar ini? Apakah cinta kasih wanita itu kurang mendalam? Kasihan pendekar ini, sampai sekarang masih menderita hebat karena cinta kasihnya terputus!
"Kalau begitu, antarkan aku kepadanya, paman. Atau aku mencari sendiri, aku akan menghadapnya dan akan kutegur dia, akan kukatakan betapa dia telah membuat hidupmu sengsara, betapa dia telah berlaku kejam terhadapmu, betapa dia sepatutnya harus..."
"Hush...! Jangan berkata begitu, Dewi. Akulah yang meninggalkannya. Cintaku padanya sedemikian mendalam sehingga aku tidak mau karena menikah denganku dia akan sengsara. Lihat, dia begitu agung, seorang puteri Istana! Cucu kaisar dan puteri Majikan Pulau Es, seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Super Sakti! Sedangkan aku... ah, riwayatku hanya memalukan untuk dibicarakan, seorang rendah, miskin dan..."
"Dan semulia-mulianya orang, yang tak dapat melihat ini tentu matanya buta!" Syanti Dewi melanjutkan.
"Tidak, Syanti Dewi. Kau tidak mengerti. Aku rela memutuskan hubungan kami, dan aku rela menderita kalau dia berbahagia. Karena itu, aku pun tak pernah menampakkan diri. Sekarang karena terpaksa aku berada di sini dan... dan melihat dia... ahh, Dewi, apakah kau tidak melihat bagaimana wajahnya tadi?"
"Cantik dan agung, paman. Tetapi... hemm, memang kurus dan pucat, agak murung..."
"Dia menderita, Dewi. Aku mengenal benar wajahnya. Dia menderita, dan semua itu karena aku... ohhh..." Gak Bun Beng memejamkan mata erat-erat, mulutnya terkancing.
"Paman...! Paman...!" Syanti Dewi menjerit dan karena jeritannya itu pelayan tadi berlari masuk. Melihat betapa orang yang dipanggil 'paman' oleh gadis itu pingsan dan kaku ia pun ikut menjadi bingung sekali.
"Lekas... ohhh, lekas panggilkan tabib...!" Syanti Dewi memohon dan pelayan itu lalu lari keluar untuk memanggil ahli pengobatan yang kebetulan toko obatnya tidak begitu jauh dari situ.
Syanti Dewi sendiri cepat membuka baju Gak Bun Beng, lalu dia meletakkan telapak tangannya di dada pendekar itu dan mati-matian mengerahkan sinkang yang diajarkan oleh Gak Bun Beng. Napasnya sendiri sampai terengah-engah, wajahnya pucat, akan tetapi dia nekat terus menyalurkan sinkang.
Akhirnya Gak Bun Beng sadar. Cepat dia menangkap tangan Syanti Dewi dan berkata, "Anak bodoh...! Lekas kau bersila dan atur napasmu baik-baik!"
Syanti Dewi girang sekali melihat penolongnya sudah siuman, maka dia menurut dan bersila. Sekarang Gak Bun Beng yang membantunya dengan menempelkan telapak tangannya ke punggung dara itu. Syanti Dewi sehat dan pulih kembali tenaganya, akan tetapi keadaan Gak Bun Beng makin lemah.
"Ahhh, gejolak batin yang belasan tahun kutekan, dalam hari ini terbebas dari tekanan sehingga seolah-olah api dalam sekam, kini menyala, atau seperti air dibendung, kini pecah bendungannya. Mana aku kuat menahan? Tapi jangan khawatir, Dewi, aku sudah sadar sekarang, hanya tinggal lemas. Tubuhku lemah sekali dan perlu beristirahat agak lama. Kita tunda saja pergi menghadap dia..."
"Menghadap Puteri Milana? Tak perlu kau terlalu banyak memikirkan urusanku, paman. Kalau kau menghendaki menghadap kapan saja pun boleh. Kalau tidak pun, aku juga tidak ingin masuk istana. Yang paling perlu kau harus berobat sampai sembuh."
Pelayan datang bersama sinshe ahli obat. Setelah memeriksa nadi dan mendengarkan dada, sinshe tua itu mengangguk-angguk. "Orang muda, jangan terlalu banyak pikiran. Memang sedang masanya dunia kacau dan ribut-ribut, akan tetapi bukan kita sendiri yang merasakannya, melainkan orang sedunia. Perlu apa gelisah dan berduka? Tenang dan bergembiralah dan tanpa obat pun kau akan sembuh. Akan tetapi perlu kuberi obat untuk menjaga jantungmu."
Setelah membuat resep dan menerima uang biaya dari Syanti Dewi, sinshe itu lalu pergi dan si pelayan cepat membelikan obat dari resep itu. Sambil memasak obat di dalam kamar, Syanti Dewi memperhatikan dan menjaga Gak Bun Beng yang masih rebah telentang.
"Sinshe itu memang pandai..." kata Gak Bun Beng. "Sungguh pun dugaannya keliru, namun sifat penderitaanku dia tahu semua. Dan dia menyebutku orang muda, betapa lucunya!"
Biar pun suara Gak Bun Beng masih gemetar dan lemah, membuat Syanti Dewi terharu dan khawatir, namun teringat akan nasehat sinshe tadi Syanti Dewi berkata dengan tertawa dan suaranya gembira, "Hi-hik, paman. Apanya yang lucu? Memang kau masih muda, malah engkau masih... perjaka lagi, hi-hi-hik!"
Gak Bun Beng coba untuk tersenyum. "Bagaimana kau tahu?" Memang sesungguhnya, Gak Bun Beng yang sudah berusia empat puluh tahun itu masih perjaka, belum pernah dia mengadakan hubungan badani dengan wanita!
"Tentu saja tahu! Bukankah engkau tak pernah kawin? Itu berarti masih perjaka!"
Gak Bun Beng tak menjawab. Dia terharu sekali karena dia tahu bahwa sebetulnya hati dara itu gelisah memikirkan bagaimana nanti kalau dia ditinggal di istana, memikirkan sakitnya. Namun gadis itu sengaja memaksa diri bergembira dan mengajak berkelakar agar dia lekas sembuh. Betapa luhur budi dara ini!
Dengan penuh ketekunan Syanti Dewi merawat Gak Bun Beng, memberinya minum obat, bahkan menyuapi Gak Bun Beng ketika makan bubur, tetap tak membolehkan pendekar itu bangkit dan makan sendiri. Akhirnya, dengan hati diliputi penuh keharuan, Gak Bun Beng tertidur nyenyak.
Sore harinya, melihat Gak Bun Beng masih tidur terus, hati Syanti Dewi menjadi tidak enak. Bagaimana kalau terus tidur dan tidak akan bangun kembali? Membayangkan pendekar itu 'mati' Syanti Dewi menjadi panik. Kacau hatinya, maka dia lalu bertanya kepada pelayan dan menuju ke rumah obat menemui sinshe tadi, memberitahukan bahwa obat telah diminumkan dan menanyakan mengapa setelah minum obat lalu tertidur terus sejak tadi sampai sekarang.
"Bagus, bagus...!" Sinshe itu mengangguk-angguk. "Jangan ganggu dia. Makin banyak tidur makin baik. Dia gelisah dan berduka. Tidur, istirahat, dan bergembira adalah obat yang paling mujarab."
Legalah hati Syanti Dewi dan dengan hati dan langkah ringan dia kembali ke rumah penginapan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat keributan terjadi di rumah penginapan itu. Dua orang kakek yang aneh sekali telah berada di ruangan depan penginapan dan berhadapan dengan lima orang pelayan. Karena mereka itu ribut-ribut tepat di depan pintu kamar Gak Bun Beng, maka Syanti Dewi jadi terhalang tak dapat masuk dan dia menjadi khawatir sekali.
Sejenak dia memandang dengan penuh keheranan dan kengerian. Kedua orang kakek itu memang luar biasa sekali. Wajah keduanya persis sehingga mudah diduga tentu mereka adalah orang-orang kembar. Akan tetapi pakaian mereka berbeda jauh, seperti bumi dengan langit. Yang seorang bermuka merah, tubuhnya hanya tertutup oleh sebuah celana pendek sehingga dari pinggang ke atas dan dari paha ke bawah sama sekali telanjang, memakai sepatu pun tidak!
Adapun kakek yang kedua, mukanya putih, pakaiannya lengkap, terlalu lengkap malah, karena di luar pakaiannya dia memakai mantel bulu tebal, seolah-olah dia selalu merasa dingin sedangkan yang seorang seolah-olah kegerahan terus! Dua kakek ini lagi marah-marah.
"Kami juga mampu bayar, mengapa kami tidak boleh memakai kamar ini?" bentak yang bermantel bulu.
"Maaf, loya. Kamar ini sudah ada tamunya, bahkan kini sedang sakit. Harap ji-wi suka memakai kamar yang berada di dalam atau di belakang."
"Tidak! Kami memerlukan kamar paling depan! Hayo suruh si sakit itu keluar dan pindah ke belakang. Kami berani bayar tiga kali lipat!"
"Tapi, loya..."
"Heh-heh, kamu minta mampus?" Tiba-tiba yang setengah telanjang itu membentak sambil terkekeh, tangannya menepuk meja di sebelahnya dan... permukaan meja itu menjadi hangus seperti dibakar!
Para pelayan terkejut sekali dan tidak berani bicara lagi, sedangkan Syanti Dewi yang menyaksikan demonstrasi tadi juga terkejut. Mengertilah dia bahwa kakek setengah telanjang itu memiliki sinkang yang amat hebat sehingga mampu membakar meja! Dia lalu menyelinap dari samping, mendorong daun jendela kamar Gak Bun Beng.
Akan tetapi dia melihat pendekar itu sudah bangkit dan duduk, dan ketika melihat Syanti Dewi, dia berkata, "Biarlah kubereskan urusan di luar."
"Jangan, paman... mereka... mereka lihai sekali..."
Tentu saja kata-kata ini hanya disambut dengan senyum saja oleh Gak Bun Beng dan dia lalu turun dari pembaringan, terhuyung dan membuka pintu kamarnya. Melihat dua orang kakek itu menghadapi lima orang pelayan yang ketakutan, Gak Bun Beng lalu mengerutkan alisnya dan berkata, "Andai kata ji-wi sedang sakit dan aku yang sehat, tentu dengan senang hati aku mengalah dan memberikan kamar ini untuk ji-wi. Akan tetapi karena keadaan kita sebaliknya, sungguh tidak patut kalau ji-wi hendak memaksa para pelayan. Harap saja ji-wi suka memandang aku yang sedang sakit dan bersedia untuk mengambil kamar di dalam saja."
"Heh-heh-heh-heh, apa kau juga ingin mampus?" Kembali kakek setengah telanjang berkata dan dia menggunakan telapak tangannya mendorong meja tadi dan... seketika keempat kaki meja itu amblas ke dalam lantai yang keras, seolah-olah lantai itu terbuat dari agar-agar saja!
Melihat ini Gak Bun Beng mengerutkan alisnya. "Hemm, kau memang hebat, akan tetapi berwatak buruk sekali!"
Gak Bun Beng melangkah maju dan sekali kakinya dihempaskan ke lantai, meja yang kakinya amblas tadi mencelat ke atas sampai ada setengah meter dari lantai!
Dua orang kakek itu terkejut sekali, saling pandang, kemudian menghadapi Gak Bun Beng. "Bagus, engkau merupakan lawan yang boleh juga! Kau menantang kami, ya?"
Serta merta kakek bermantel tebal itu menghantam ke depan dengan telapak tangan kanan. Mendengar sambaran angin ini dan merasakan betapa ada hawa yang amat dingin datang menyambarnya, Gak Bun Beng terkejut dan maklumlah dia bahwa kakek ini adalah seorang ahli Im-kang, maka dia pun cepat menyambut dengan telapak tangan kiri.
"Plakkk!"
Pada saat itu kakek setengah telanjang juga sudah menghantam dengan telapak tangan terbuka pula, dan Gak Bun Beng merasa betapa hawa yang menyambarnya amatlah panasnya. Maka dia pun menyambut dengan tangan kanannya.
"Plakk!"
Dua orang kakek ini terkejut dan berseru, "Aughhh...!" dan muka mereka menjadi pucat.
Tentu saja kedua orang kakek itu tidak mengenal siapa yang mereka serang. Kakek kembar ini pernah kita jumpai, yaitu ketika mereka bersama kawan-kawannya yang semua berjumlah dua puluh orang menyerbu ke Pulau Es dan dapat dihalau pergi oleh Pendekar Super Sakti, dua orang isteri dan dua orang puteranya. Si muka putih yang selalu bermantel itu adalah Pak-thian Lo-mo sedangkan si muka merah yang setengah telanjang itu adalah Lam-thian Lo-mo.
Kedua kakek kembar ini memang memiliki keistimewaan masing-masing. Kalau si baju tebal itu seorang ahli tnaga sakti Im-kang yang selalu kedinginan adalah si setengah telanjang itu seorang ahli Yang-kang yang selalu kepanasan. Akan tetapi, sekali ini mereka bertemu dengan Gak Bun Beng, seorang ahli dalam tenaga sinkang Inti Salju dan Inti Api, maka dengan sendirinya dia berani menghadapi pukulan panas dengan hawa yang lebih panas sedangkan pukulan dingin dia hadapi dengan hawa yang lebih dingin lagi!
"Ouhhhh...!" Kedua orang kakek itu mengerahkan tenaganya karena Pak-thian Lo-mo si ahli Im-kang mulai menggigil kedinginan sedangkan Lam-thian Lomo si ahli Yang-kang mulai berpeluh kepanasan.
Untung bagi mereka bahwa Gak Bun Beng tidak mempunyai niat membunuh orang, dan lebih untung lagi bahwa pendekar sakti itu sedang sakit, maka pengerahan tenaga ini membuat Gak Bun Beng terbatuk-batuk dan muntah darah! Kesempatan ini digunakan oleh kakek kembar itu untuk segera menarik tangan masing-masing, kemudian melihat lawannya muntah darah, mereka berdua menyerang lagi dengan hebatnya!
Gak Bun Beng menggerakkan kedua tangannya. Biar pun dia menggoyang-goyangkan kepala untuk mengusir kepeningan kepalanya dan mengusir kunang-kunang yang tampak ribuan di depan matanya, dia masih bisa menangkis setiap pukulan yang datang dengan cepatnya sehingga kedua kakek itu merasa amat terheran-heran dan terkejut bukan main! Belum pernah mereka menghadapi lawan yang sehebat dan setangguh ini setelah Pendekar Super Sakti!
Tentu saja mereka menjadi penasaran dan kini mereka mengeluarkan senjata mereka, yaitu sabuk baja yang berupa pecut. Terdengarlah bunyi meledak-ledak ketika kedua kakek itu menggerakkan senjata mereka menyerang Gak Bun Beng.
Pendekar ini berusaha mengelak, bahkan menangkis dengan lengannya yang penuh dengan hawa sinkang. Namun karena pandang matanya berkunang dan dia terhuyung-huyung, ada beberapa pukulan yang mengenai tubuhnya sehingga dia terluka cukup berat.
Pada saat itu Syanti Dewi telah meloncat masuk ke dalam kamar, menyambar buntalan dari meja dan melihat betapa Gak Bun Beng dikeroyok dan terhuyung-huyung, dia lalu menjerit.
Pada saat itu, terdengarlah derap banyak kaki kuda dan sesosok bayangan menyambar masuk disertai bentakan nyaring seorang wanita. "Sepasang iblis laknat, kalian berani mengacau kota raja?"
"Sing-sing...!" Dua sinar terang menyambar ke arah dua orang kakek itu.
"Trang-trang...!"
Dua batang pisau terbang itu dapat disampok pecut baja, namun kedua kakek itu terkejut ketika tangan mereka terasa tergetar, tanda bahwa dua batang pisau terbang itu diluncurkan oleh orang yang memiliki tenaga hebat. Wanita yang bukan lain adalah Puteri Milana ini sudah membentak lagi dan sinar-sinar halus menyambar, kini serangan jarum-jarum halus menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh bagian depan dari kedua orang kakek kembar.
"Hayaaaa...!" Dua orang kakek itu berteriak dan dengan cepat mereka memutar pecut untuk melindungi tubuh sambil meloncat keluar dari rumah penginapan di mana mereka disambut oleh sepasukan pengawal yang cukup lihai.
Sementara itu, ketika Milana melihat orang yang tadi dikeroyok oleh dua kakek kembar itu terhuyung dan dipapah oleh seorang gadis cantik, dia cepat membalikkan tubuhnya mengejar kedua kakek kembar yang sudah merobohkan dua orang pengawal. Dengan pedangnya yang berkilauan Milana menerjang dan kedua orang kakek itu terpaksa harus mengerahkan kepandaian mereka karena wanita ini benar-benar amat lihai, apa lagi dibantu oleh banyak sekali pengawal yang mengurung mereka.
"Paman, kau... terluka..." Syanti Dewi memeluk tubuh yang terhuyung itu.
"Dewi... cepat... cepat bawa aku pergi... jangan sampai dia melihatku...!"
Syanti Dewi tadi telah melihat kedatangan Milana dan dia kagum meyaksikan kehebatan puteri itu. Setelah dekat dan melihat wajah Milana terkena sinar penerangan, barulah dia melihat betapa cantiknya puteri itu, walau pun wajah itu begitu pucat, begitu dingin dan muram seperti kehilangan cahayanya. Kini mendengar ucapan Gak Bun Beng, dia menjadi bingung. Mengapa penolongnya ini selalu hendak menghindarkan diri dari kekasihnya?
"Dewi, cepat... aku tak tahan lagi..." Bun Beng berbisik. "Ke sana... melalui jendela..."
Syanti Dewi tidak berani membantah dan memapah penolongnya itu memasuki kamar dan membantunya keluar melalui jendela. Ketika mereka lewat di samping rumah mereka melihat betapa pertempuran masih berlangsung dengan hebat sungguh pun kedua orang kakek itu terkepung dan terdesak oleh pedang Milana. Akan tetapi pada saat itu Milana kebetulan melirik ke arah Gak Bun Beng yang juga sedang memandang ke arah pertempuran.
"Gak-twako...!" Seruan lirih ini terdengar di antara suara beradunya senjata dan teriakan orang-orang.
Akan tetapi Gak Bun Beng mengenal suara Milana, maka cepat dia memondong tubuh Syanti Dewi dan melesat pergi dengan kecepatan kilat, tidak mempedulikan bahwa tenaganya sudah hampir habis. Dia berlari terus, meloncati tembok pintu gerbang, akan tetapi ketika dia sudah meloncat turun ke tempat gelap, dia terguling dan roboh pingsan di tempat gelap itu!
"Paman...! Paman...!" Syanti Dewi berbisik-bisik dekat telinga pendekar itu, akan tetapi Gak Bun Beng tidak bergerak.
Sementara itu, Milana yang terkejut bukan main melihat orang yang tadi dikeroyok dua orang kakek dan agaknya terluka itu lewat di samping rumah bersama seorang gadis cantik, karena dia mengenal wajah Gak Bun Beng! Agaknya tidak mungkin salah lagi. Di antara selaksa wajah orang laki-laki, dia akan mengenal wajah Gak Bun Beng, pria yang penah dicintanya dan masih dicintanya itu. Biar pun laki-laki setengah tua itu berkumis dan berjenggot, akan tetapi dia tidak pangling melihat mulutnya, hidungnya, terutama mata dan pandang matanya.
Karena perhatiannya tertarik, apa lagi karena meninggalkan gelanggang pertempuran untuk berusaha mengejar Gak Bun Beng, kedua orang kakek kembar itu tidak terdesak lagi dan sambil berseru keras mereka lalu meloncat dan melarikan diri pula.
"Mereka lari!"
"Kejar...!"
Barulah Milana sadar ketika mendengar teriakan-teriakan ini. Cepat dia memerintahkan para pengawal untuk mengejar dua orang kakek itu, juga dia memerintahkan sebagian pasukan lagi untuk cepat mencari orang yang bersama dengan gadis cantik yang tadi dikeroyok oleh dua orang kakek. Dari keterangan pelayan dia mendengar betapa laki-laki itu datang ke losmen dalam keadaan sakit dan dirawat oleh gadis yang agaknya adalah keponakan laki-laki itu.
Milana termenung mendengar keterangan pelayan. Melihat wajahnya, apa lagi melihat kenyataannya bahwa dalam keadaan sakit masih mampu menahan pengeroyokan dua orang kakek lihai, jelas bahwa orang tadi tentulah Gak Bun Beng. Akan tetapi kalau benar dia, mengapa lari darinya? Mengapa tidak menemuinya? Dan sakit apakah? Ke mana perginya? Bimbanglah hati Milana dan dia sendiri membantu pencarian itu. Bukan mencari sepasang kakek kembar, melainkan mencari Gak Bun Beng. Baginya kakek kembar itu bukan hal penting, hanya merupakan orang-orang dari golongan sesat yang mencurigakan saja.
Semalam suntuk dia dan pasukannya mencari dan akhirnya, menjelang pagi keesokan harinya, terpaksa dia pulang dengan hati parah, penuh kebimbangan dan penyesalan. Dia telah melihat kekasihnya, akan tetapi belum ada ketentuan juga.
Bagaimana dengan keadaan Syanti Dewi dan Gak Bun Beng yang karena terlampau banyak mempergunakan tenaga, apa lagi karena sudah terluka dalam pertempuran melawan Siang Lo-mo, yaitu kakek kembar itu? Dapat dibayangkan betapa bingungnya rasa hati Syanti Dewi. Dia mengerahkan tenaganya, memondong tubuh Gak Bun Beng untuk dibawa pergi dari pintu gerbang utara itu. Akan tetapi sebelum dia melangkah jauh, dia mendengar suara hiruk-pikuk dan melihat serombongan pasukan berlari-lari mendatangi.
Tentu saja dia terkejut melihat obor-obor di tangan para prajurit itu. Dilihatnya bahwa di bawah pintu gerbang itu terdapat sebuah sungai dengan jembatannya, maka cepat dia membawa tubuh Gak Bun Beng turun ke bawah jembatan. Karena jalannya menurun dan agak sukar, dia takut kalau memondong tubuh penolongnya bisa tergelincir, maka terpaksa dia bersusah payah menarik atau menyeret tubuh Gak Bun Beng turun ke bawah jembatan di mana dia bersembunyi sambil memeluk pundak dan kepala Gak Bun Beng dengan hati berdebar penuh rasa khawatir dan ketegangan.
Sambil memangku kepala penolongnya, dia membasahi sapu tangannya dengan air sungai dan membasuh muka dan kepala pendekar itu, berbisik-bisik memanggil-manggil namanya. Ketika Gak Bun Beng tetap tidak menjawab, Syanti Dewi terisak dan mendekap kepala itu, menempelkan pipinya pada muka pendekar itu dan berbisik dekat telinganya. "Paman Gak... jangan kau mati... jangan tinggalkan aku sendiri, paman...!"
Akan tetapi karena takut, dia menahan isaknya sehingga hanya air matanya saja yang bercucuran, dia menangis tanpa suara. Setelah keadaan sunyi kembali dan pasukan itu dengan suara hiruk-pikuk telah kembali memasuki pintu gerbang, barulah Syanti Dewi berani bergerak. Dengan susah payah dia berhasil juga menyeret tubuh Gak Bun Beng keluar dari bawah jembatan, kemudian memondong tubuh pendekar itu dan secepat mungkin dia membawa Gak Bun Beng pergi jauh dari tempat itu.
Sampai dua hari dua malam Bun Beng pingsan tak sadarkan diri sama sekali, ditangisi oleh Syanti Dewi di dalam sebuah hutan yang besar dan liar. Berkali-kali Puteri Bhutan ini memanggil-manggil, mengguncang-guncang tubuh pendekar itu, kemudian diseling tangisnya terisak-isak sambil menyatakan penyesalan hatinya kepada Puteri Milana yang dianggapnya kejam!
Pada hari ketiga, saking lelahnya, Syanti Dewi yang duduk bersandar batang pohon tertidur atau setengah pingsan. Dia lelah bukan main, lelah, lemas karena lapar dan haus yang sama sekali tak dihiraukannya, dan mengantuk karena semenjak melarikan diri bersama Bun Beng dia sama sekali belum tidur. Pagi-pagi tadi, lewat tengah malam, dia menangis dengan putus harapan. Didekapnya kepala Bun Beng yang dipangkunya, karena dia menganggap bahwa pendekar itu tentu tidak dapat sadar kembali. Akhirnya dia tertidur atau setengah pingsan, bersandar pada batang pohon sambil tetap memangku kepala Gak Bun Beng yang masih belum sadar.
Ketika Bun Beng siuman dan membuka matanya, pertama-tama yang diingatnya adalah Milana, maka dia terbelalak melirik ke kanan kiri, takut kalau-kalau Milana berada di situ. Tiba-tiba dia duduk dan membalik, memandang kepada Syanti Dewi yang masih pula bersandar pohon, dengan muka pucat dan masih ada bekas air mata. Bun Beng mengeluh lirih. Dia telah tidur atau pulas dengan kepala di atas pangkuan gadis itu! Dan mereka telah berada di dalam hutan besar! Padahal, seingatnya, dia memondong gadis ini berlari secepatnya dari kota raja, melompati benteng pagar tembok kota raja lalu dia terguling dan tidak ingat apa-apa lagi.
"Dewi...!" Bun Beng berkata lirih, setengah menduga bahwa tentu Syanti Dewi yang menyelamatkannya, membawanya sampai ke dalam hutan lebat itu.
Biar pun hanya lirih saja panggilan ini, Syanti Dewi membuka kedua matanya. Ketika dia melihat Bun Beng sudah duduk di depannya, memandangnya dengan sepasang mata yang penuh perasaan haru, dia menggosok-gosok kedua matanya, takut kalau-kalau dia hanya bermimpi, kemudian, ketika melihat bahwa Bun Beng tetap masih duduk di depannya, tidak pingsan lagi, bukan main girangnya rasa hati dara ini.
"Paman ! Aihh, paman... syukurlah bahwa paman telah sadar! Ahhh, betapa sengsara dan takut hatiku selama dua hari dua malam ini melihat paman hanya diam tak pernah bergerak..."
Bun Beng memegang kedua tangan dara itu dan memandang tajam. "Apa katamu? Selama dua hari dua malam aku... aku tak sadarkan diri?"
Syanti Dewi hanya mengangguk dan baru sekarang terasa oleh dara itu betapa lapar perutnya, betapa lelah tubuhnya.
"Dan selama ini engkau... engkau telah memaksa diri melarikan aku ke sini... dan... dan merawatku...?" Bun Beng menelan ludahnya menahan keharuan hatinya.
Kembali Syanti Dewi mengangguk. Kemudian berkata lirih, "Aihhh, paman Gak. Bagai mana aku dapat merawatmu? Aku sudah bingung sekali, hampir putus harapan ketika pagi tadi melihat engkau seperti... seperti mati. Aku takut sekali..."
Bun Beng menggenggam kedua tangan yang kecil itu, suaranya gemetar ketika dia berkata, "Dewi... kau... kau seorang... anak yang baik sekali."
Hati dara itu girang bukan main. Setelah Bun Beng siuman, dia tidak mengkhawatirkan apa-apa lagi, tidak takut apa-apa lagi. "Paman, engkau tentu lapar sekali, dua hari dua malam tidak makan apa-apa, tidak minum apa-apa. Sekarang aku akan mencari buah-buahan untukmu."
Namun Gak Bun Beng tidak melepaskan tangan dara itu. "Dewi, katakanlah, apakah selama ini engkau juga pernah makan?"
Syanti Dewi menunduk dan menggeleng kepala.
"Dan pernah minum?"
Kembali Syanti Dewi menggeleng kepala.
Bun Beng menghela napas. "Luar biasa sekali! Engkau seorang gadis yang luar biasa sekali. Seorang yang berhati sangat mulia, engkau seorang puteri budiman. Cara bagai manakah engkau dapat melarikan aku ke tempat ini, Dewi?"
Wajah yang agak pucat itu sekarang menjadi merah dan Syanti Dewi lalu menceritakan betapa hampir saja mereka tertangkap oleh sepasukan tentara kalau saja dia tidak cepat menyeret Bun Beng ke kolong jembatan. Kemudian dia menceritakan betapa dia membawa lari Bun Beng tanpa tujuan tertentu, pokoknya asal dapat menjauh dari kota raja, sejauh mungkin.
"Aku hanya tahu bahwa paman tidak ingin dilihat... orang, maka aku membawa paman menjauh dari kota raja sedapat mungkin. Akan tetapi aku merasa heran sekali mengapa paman melarikan diri begitu paman melihat Puteri Milana? Mengapa paman tidak ingin dia melihat paman? Bahkan aku mendengar pula dia mengenali dan memanggil paman malam itu. Mengapa, paman?"
Gak Bun Beng menunduk, menghela napas panjang, lalu menggeleng-geleng kepala. "Aku... aku tidak kuat menghadapinya... aku... aku... ahhhh, aku hanya seorang laki-laki yang bodoh."
Hening sampai lama. Bun Beng tetap menunduk dan Syanti Dewi mencoba untuk dapat menyelami perasaan pendekar itu dengan menatap tajam wajah yang sangat muram itu. Kemudian terdengar Syanti Dewi bertanya, suaranya lirih. "Paman Gak, sedemikian besarkah cintamu terhadap Puteri Milana?"
Bun Beng tak menjawab, hanya menarik napas panjang, lalu untuk membelokkan bahan pembicaraannya. Dia kemudian berkata, "Dewi, kita harus segera kembali ke kota raja. Aku akan mengantarkanmu sampai ke luar pintu gerbang, dan kau masuk sendiri serta langsung menghadap Puteri Milana. Ceritakanlah riwayatmu tanpa menyebut-nyebut namaku, dan aku yakin dia akan suka menolongmu."
"Aku hanya mau menghadap dia kalau bersamamu, paman."
"Ah, engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat menemuinya."
"Kalau begitu aku pun tidak sudi menghadapnya!" Jawaban Syanti Dewi ini agak keras, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya seperti biasa yang penuh kehalusan, seolah-olah baru satu kali ini dia marah-marah.
Bun Beng mengangkat muka memandang. "Mengapa, Dewi? Bukankah engkau jauh-jauh dari Bhutan dikirim ke kota raja oleh ayahmu untuk menjadi mantu kaisar?"
"Tidak, tidak! Paman sudah tahu sendiri akan semua akal busuk yang bersembunyi di balik kepura-puraan perjodohan itu! Aku tidak sudi! Pula, dahulu aku hanya mau karena ada adik Ceng di sampingku. Sekarang adik Ceng hilang, mungkin tewas, dan sebagai gantinya adalah paman. Karena itu, tanpa paman, aku tidak sudi harus pergi sendiri ke istana. Lebih baik aku... mati di sini..."
Bun Beng memegang tangan dara itu. "Tenanglah, tidak ada yang memaksamu, Dewi. Kalau begitu, kita harus melanjutkan perjalanan ke utara. Aku mau menemui Jenderal Kao Liang. Di kota raja sedang terjadi pergolakan dan agaknya dia yang menguasai banyak pasukan saja yang akan dapat menyelamatkan kota raja dan sekaligus mewakili aku mengurus urusanmu dengan kaisar. Percayalah, tidak akan ada yang memaksamu, Dewi. Aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk mencegah siapa pun yang berani mati memaksamu."
Wajah yang jelita itu berseri. "Baik, paman. Ke mana pun paman membawaku pergi, aku akan suka ikut, asal jangan menyuruh aku pergi seorang diri. Wah, perutku lapar sekali, tentu paman juga. Biar aku mencari buah-buah..."
Bun Beng sudah menyambitkan batu kecil yang digenggamnya dan kelinci gemuk yang menyusup di antara semak-semak itu mati seketika. "Nah, itu ada kelinci gemuk yang menyerahkan dagingnya, Dewi. Ambillah."
Tadi Syanti Dewi terkejut menyaksikan gerakan pendekar itu, akan tetapi mendengar ucapannya, dia tertawa lalu berlari-lari dan membuka-buka semak-semak itu. Dan benar saja, di sana ada seekor kelinci gemuk yang telah mati dengan kepala pecah disambar batu, masih hangat tubuhnya. Sambil tertawa gembira Syanti Dewi lalu menguliti dan memanggang daging kelinci. Setelah Bun Beng siuman kembali, terusirlah semua kekhawatiran dan kedukaan dari hati dara ini yang sebaliknya menjadi riang gembira kembali, sungguh pun tubuhnya masih terasa amat lelah.
Tetapi ternyata pukulan batin yang diderita oleh Gak Bun Beng dalam pertemuannya dengan Milana, ditambah dengan luka dalam yang dideritanya ketika dalam keadaan tidak sehat dia bertanding melawan Siang Lo-mo, dua orang kakek kembar di kota raja itu, membuat pendekar ini lemah dan sakit. Ditambah lagi kenyataan yang menusuk hatinya, yang mendatangkan rasa khawatir dan bingung, kenyataan yang dirahasiakan yaitu sikap Syanti Dewi kepadanya, sikap yang amat baik, mengandung kasih sayang, sikap yang hanya dapat diperlihatkan seorang wanita yang jatuh cinta, membuat dia makin menderita batinnya.
Dia memandang gejala ini sebagai datangnya suatu bahaya yang amat besar, yang amat mengkhawatirkan bagi kehidupan Syanti Dewi. Walau pun dara ini tidak pernah menyatakan dengan mulut, biar pun mungkin dara itu sendiri masih belum sadar akan perasaan hatinya sendiri, akan tetapi Bun Beng sudah dapat menduganya, melihat dari pandang matanya, gerak-geriknya, suaranya.
Hal ini menimbulkan rasa nyeri di hatinya. Tidak, betapa pun juga, dia takkan menyeret dara yang amat berbudi ini ke dalam hidupnya yang serba canggung dan sengsara. Dia tidak akan mengulangi riwayat penuh duka seperti yang dialaminya dengan Milana. Memang betapa akan amat mudahnya untuk jatuh cinta kepada seorang dara seperti Syanti Dewi, seorang dara yang berbudi mulia, halus dan penuh perasaan. Akan tetapi tidak! Dia bukanlah seorang yang hanya mementingkan kesenangan dirinya sendiri saja.
Perang yang terjadi dalam batin Bun Beng menambah luka dalam yang dideritanya dalam pertandingan berat sebelah ketika melawan kakek kembar dalam keadaan sakit itu. Karena itu, perjalanan ke utara bersama Syanti Dewi itu dilakukan dengan susah payah dan lambat, bahkan akhirnya Bun Beng jatuh sakit lagi!
Di dalam perjalanan ini, di waktu dia terserang sakit, lebih jelas kenyataannya bahwa yang diduga dan ditakuti Bun Beng adalah benar. Perawatan yang dilakukan Syanti Dewi terhadap dirinya amat luar biasa, penuh ketelitian, penuh pengorbanan dan ketekunan. Diam-diam Bun Beng yang menderita sakit itu mengambil keputusan bahwa kalau dia sudah dapat bertemu dengan Jenderal Kao Liang, dia akan menyerahkan Syanti Dewi dalam perlindungan jenderal yang dipercayanya itu, kemudian dia akan pergi untuk selamanya, tidak akan mencampuri dunia ramai lagi, seperti dahulu sebelum bertemu dengan Syanti Dewi dan terpaksa mengantarkan dara itu ke kota raja.
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH SEPASANG RAJAWALI (seri ke 8 Bu Kek Siansu)
ActionSeri ke 8 dari Bu Kek Siasu