Jilid 12/57

2.2K 23 0
                                    

Dia jengkel sekali, marah sekali. Melawan dengan tenaga, tidak mampu, bahkan kalah jauh sekali. Melawan dengan maki-makian, ternyata pemuda itu pun pandai sekali bicara, bahkan setiap kata-katanya menusuk perasaan! Dia kalah segala-galanya!

Perasaan ini membuat dia terasa begitu nelangsa, teringat dia akan kakeknya, karena kalau ada kakeknya, tentu tidak ada manusia berani bersikap begini kurang ajar kepadanya. Selama hidupnya, ketika kakeknya masih ada, dia belum pernah mengalami penghinaan seperti ini. Juga kalau ada Syanti Dewi yang biar pun halus dan lemah namun amat berwibawa itu, agaknya dia ada yang membela. Sekarang, dia seorang diri dan dihina orang tanpa mampu melawan sedikit pun.

Teringat akan ini, biar pun pada dasarnya Ceng Ceng bukan seorang dara yang cengeng, bahkan amat keras hati dan pantang menangis karena iba diri, kini tak dapat menahan tangisnya dan dia menundukkan muka, menutupi kedua matanya yang mengalirkan air mata.

Siapakah pemuda tampan yang amat lihai itu? Dia ini bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan, pemuda ini semenjak meninggalkan ibunya di puncak Bukit Angsa di lembah Huang-ho, telah banyak mengalami hal yang hebat-hebat. Selama dua tahun dia menjadi murid Sai-cu Lo-mo dan memperoleh ilmu kepandaian yang amat tinggi, kemudian petualangannya sebagai Si Jari Maut dengan menggunakan nama Gak Bun Beng untuk merusak nama musuh pembunuh ayahnya yang sudah meninggal itu dan kemudian setelah dia dikalahkan oleh Puteri Milana yang membuat dia malu dan penasaran sekali, dia bertemu dengan Kong To Tek bekas tokoh Pulau Neraka yang telah mewarisi kitab-kitab peninggalan dua orang Iblis Tua dari Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin.

Karena Kong To Tek menderita sakit ingatan, tokoh ini yang melihat wajah Tek Hoat mirip sekali dengan Wan Keng In yang telah meninggal, mengira bahwa dia berhadapan dengan Wan Keng In dan menyerahkan pusaka-pusaka peninggalan dua orang Iblis Tua itu kepada Tek Hoat, berikut pedang pusaka Cui-beng-kiam yang ampuh dan catatan pembuatan obat perampas ingatan yang amat luar biasa. Karena mencobakan obat perampas ingatan dan obat penawarnya kepada Kong To Tek, maka kakek ini waras kembali dan melihat dia tertipu, dia hendak membunuh Tek Hoat, namun kalah dan bahkan dia yang terbunuh oleh Tek Hoat yang telah menjadi lihai sekali!

Dengan hati girang Tek Hoat yang telah mewarisi ilmu kepandaian hebat, bahkan masih ada dua buah kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin yang dianggap gurunya dan yang belum dilatihnya, pemuda ini lalu pergi hendak pulang ke rumah ibunya di puncak Bukit Angsa, membawa dua buah kitab dan sebatang pedang.

Kini dia tidak sudi lagi menyamar dengan nama Gak Bun Beng. Dia telah menjadi seorang yang berilmu tinggi, dan dia menganggap bahwa di dunia ini tidak akan ada yang dapat melawannya, maka dia berhak menggunakan namanya sendiri dan hendak mencari nama besar dengan cara yang akan menimbulkan kegemparan di dunia!

Akan tetapi alangkah kecewa hatinya sesudah dia tiba di puncak Bukit Angsa, dia mendapatkan rumah ibunya kosong dan ibunya tidak berada lagi di rumah itu. Bahkan melihat bekas-bekasnya, agaknya sudah lama ibunya meninggalkan rumah itu tanpa meninggalkan pesan apa pun dan kepada siapa pun. Tek Hoat menjadi jengkel dan marah kepada ibunya, lupa bahwa dialah yang telah melanggar janji. Ketika pergi dahulu, dia berjanji untuk pulang menengok ibunya setiap tahun, akan tetapi dia telah pergi hampir empat tahun lamanya dan baru ini dia pulang!

Terpaksa dia pergi meninggalkan Bukit Angsa lagi dengan tujuan mencari ibunya, dan terutama sekali mencari nama besar di dunia kang-ouw. Pertama-tama dia harus mengunjungi Bu-tong-pai dan memberi hajaran kepada para tokoh Bu-tong-pai yang telah berani menghinanya empat tahun yang lalu! Kedua, dia akan mencari Puteri Milana di kota raja dan akan menantangnya untuk menebus kekalahannya dua tahun yang lalu! Kemudian dia akan membuat geger dunia kang-ouw dan minta diakui sebagai jagoan nomor satu, lalu dia akan menantang Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman Majikan Pulau Es!

Dengan cita-cita besar itu, pergilah Tek Hoat dari Bukit Angsa. Akan tetapi sebelum semua cita-citanya terkabul, dia bertemu dengan rombongan Pek-lian-kauw dan dalam bentrokan kecil antara dia dengan para tokoh Pek-lian-kauw, dia telah memperlihatkan kepandaiannya yang dahsyat. Para tokoh Pek-lian-kauw tertarik, lalu membujuknya dan membawa pemuda yang masih hijau ini pergi menghadap Pangeran Tua, yaitu Pangeran Liong Bin Ong di kota raja!

Pertemuannya dengan Pangeran Liong Bin Ong membuat terbuka mata pemuda ini bahwa jalan satu-satunya untuk mencari kedudukan tinggi, juga membuat nama besar dan melakukan kegemparan di dunia, adalah membantu pangeran ini. Kalau sampai mereka berhasil merampas tahta kerajaan, tentu dia akan memperoleh pangkat tinggi dan siapa tahu terdapat kesempatan baginya untuk kelak merampas mahkota sendiri dan menjadi kaisar! Lamunan muluk-muluk ini membuat Tek Hoat untuk sementara melupakan urusan pribadinya dan mulailah dia mengabdi kepada Pangeran Tua yang mengangkatnya menjadi pengawal kepala dan menugaskannya mewakili pangeran ini mengadakan kontak dengan para pembantu pangeran di luar kota raja.

Ketika Kaisar Kang Hsi melamar Puteri Syanti Dewi di Bhutan untuk diperisteri adik tirinya, Pangeran Liong Khi Ong, adik tiri Pangeran Tua, diam-diam Pangeran Tua ini tidak setuju. Tentu saja dia tidak setuju karena ikatan keluarga itu akan memperkuat kedudukan kaisar atau kakak tirinya sendiri di dunia barat. Karena itulah maka diam-diam dia mengusahakan agar pernikahan itu gagal dan dia lalu mengirim sogokan dan bujukan kepada Raja Muda Tambolon, seorang pemberontak di daerah Bhutan untuk menghalangi diboyongnya Puteri Syanti Dewi di daratan besar. Bahkan dia mengutus orang kepercayaannya yang baru, Ang Tek Hoat untuk menyelidiki ke Bhutan dan membantu usaha penggagalan pernikahan itu.

Demikianlah singkatnya keadaan Ang Tek Hoat yang muncul di Bhutan sebagai seorang pemuda yang menyembunyikan mukanya di balik caping lebar ketika Puteri Syanti Dewi hendak mandi. Kemudian melihat bahwa pasukan Raja Muda Tambolon berhasil, dia diam-diam membayangi sang puteri bersama Ceng Ceng yang melarikan diri.

Dia pula yang menyamar sebagai pedagang garam untuk membantu dua orang gadis pelarian itu lolos, kemudian dia menyamar sebagai tukang perahu. Semua itu dilakukan agar dia dapat mengamat-amati dua orang gadis itu, dan terutama sekali agar Puteri Syanti Dewi tidak sampai lolos dan dapat mencapai kota raja. Kalau saatnya tiba, dia akan 'menggiring' sang puteri ini dan dihaturkan kepada majikannya, kemudian terserah keputusan Pangeran Liong Bin Ong.

Hanya dia harus mengakui bahwa diam-diam dia tertarik dan terpesona oleh kecantikan dan sikap halus sang puteri, sehingga diam-diam membayangkan betapa akan gembiranya kalau dia dapat menduduki pangkat tinggi, kalau mungkin kaisar, dengan seorang isteri seperti puteri Bhutan ini! Baru sekali ini Tek Hoat merasa tertarik kepada seorang wanita, dan biasanya dia memandang rendah kaum wanita.

Akan tetapi, rencananya menjadi berantakan karena kenakalan Ceng Ceng yang melemparkan buntalannya ke sungai. Padahal buntalan itu berisi pedang Cui-beng-kiam! Tentu saja dia tidak mau kehilangan pedang itu dan cepat meloncat ke air sehingga perahu itu hanyut sendiri. Dia melakukan pengejaran sambil berenang secepatnya. Namun tetap saja tidak dapat mencegah terjadinya tabrakan sehingga perahu itu terguling.

Cepat dia meloncat ke darat dan lari di sepanjang tepi sungai dan akhirnya dia melihat Ceng Ceng dalam keadaan pingsan hanyut di air. Dia segera menolong gadis itu, namun tidak berhasil menolong Puteri Syanti Dewi, sama sekali dia tidak mimpi bahwa puteri itu telah ditolong oleh seorang yang namanya akan membuat dia terkejut seperti melihat mayat hidup, yaitu Gak Bun Beng musuh besarnya, pembunuh ayahnya yang telah dianggapnya mati itu.

Tek Hoat yang memiliki watak amat luar biasa, kejam, dingin, tak mengenal sedikit pun perasaan iba, penuh dendam dan penuh kebencian terhadap manusia umumnya, hanya mengejar keuntungan diri pribadi saja, betapa pun juga bukanlah seorang yang mudah hanyut oleh nafsu birahi.

Dia seorang pemuda yang kuat luar dalam, kuat pula perasaannya yang seperti membeku dingin sehingga ketika dia menolong Ceng Ceng, mengempiskan perut dara itu yang penuh air, kemudian menanggalkan pakaian Ceng Ceng karena pakaian itu basah kuyup. Melihat bentuk tubuh yang sedang mekar dan menggairahkan itu, dia sama sekali tidak terangsang! Bahkan secara kasar dia menolong Ceng Ceng karena marah, menganggap gadis ini yang menghancurkan rencananya sehingga dia terpisah dari Syanti Dewi. Kemudian setelah melihat nyawa Ceng Ceng tertolong, dia mengenakan jubahnya pada gadis itu dan menangkap ayam, memanggangnya, kemudian dia memancing ikan. Selanjutnya kita telah mengetahui apa yang terjadi.

Kini, melihat Ceng Ceng menangis, Tek Hoat mengerutkan alisnya. Hatinya seperti ditusuk-tusuk atau diremas-remas. Memang ada keanehan pada diri Tek Hoat, keanehan yang seolah-olah tidak normal, yaitu dia tidak tahan melihat orang menangis, atau lebih tepat, melihat wanita menangis! Mungkin saja hal ini timbul dan menjadi wataknya karena di waktu dia masih kecil, sering sekali dia melihat ibunya menangis sesenggukan dan terisak-isak dengan sedihnya, bahkan hampir setiap malam dia melihat ibunya menangis seorang diri dan kalau ditanya kenapa menangis, ia hanya menggeleng kepalanya.

Boleh jadi Tek Hoat merupakan pemuda keras hati dan dingin yang tiada keduanya di dunia, apa lagi setelah dia mempelajari ilmu-ilmu mukjijat dari dua Iblis Tua Pulau Neraka, wataknya menjadi makin tidak lumrah. Namun kesan mendalam karena tangis ibunya setiap malam itu masih melekat di hatinya sehingga kini, melihat Ceng Ceng menangis, dia seolah-olah mendengar ibunya menangis dan hatinya seperti diremas-remas!

"Aihh, kenapa kau menangis?" tanyanya sambil membalikkan tubuh, duduk menghadapi gadis itu.

Ditanya dengan suara yang halus seperti itu, makin menjadi-jadi tangis Ceng Ceng, akan tetapi segera ditahannya ketika teringat bahwa yang menegurnya adalah pemuda yang memanaskan dan menjengkelkan hatinya itu.

Dia mengintai dari celah-celah jari tangannya dan dengan heran dia melihat betapa pemuda itu amat pucat wajahnya, pandang matanya sayu dan amat berduka, agaknya menderita sekali melihat dia menangis!

"Sudahlah, mengapa menangis? Aku tidak akan mengganggumu dan kalau tadi kau tersinggung, sudahlah kau maafkan aku dan jangan menangis..." Suaranya halus dan lunak, bahkan agak gemetar!

Hal ini mengherankan hati Ceng Ceng sehingga otomatis tangisnya berhenti. Teringat dia akan kata-kata pemuda itu tadi ketika dia menyerangnya, "Melihat orang mengamuk masih mending, asal jangan melihat orang menangis!"

Agaknya pemuda ini memiliki 'kelemahan', pikirnya. Yaitu tidak tahan melihat orang menangis! Teringat akan ini, Ceng Ceng lalu menangis lagi sesenggukan! Diam-diam dia mengintai dari celah-celah jari tangannya, melihat betapa pemuda itu memejamkan matanya, menggigit bibirnya kemudian berkata dengan lantang, "Harap kau jangan menangis!"

Akan tetapi Ceng Ceng menangis terus, memaksa diri menangis sungguh pun kini tidak ada air matanya yang keluar, karena memang tangisnya tangis buatan, disembunyikan di balik kedua tangannya. Karena dia tertarik melihat sikap pemuda yang aneh itu dia lupa akan kemarahan dan kedukaannya, maka tentu saja sukar baginya untuk benar-benar menangis.

Tek Hoat makin tersiksa. Suara sesenggukan itu persis suara ibunya di waktu malam. "Nona, kau maafkan aku dan jangan menangis. Kau lihat aku tidak melakukan sesuatu kepadamu, bukan? Kalau aku berniat buruk, betapa mudahnya aku memperkosamu ketika kau pingsan. Akan tetapi aku tidak berniat buruk..."

"Uhuuuu... huuhhh... huuuu...!" Ceng Ceng memperhebat tangisnya dan dari celah-celah jari tangannya dia melihat betapa pemuda itu pun makin hebat penderitaannya. "Kau... kau... telah menanggalkan pakaianku, engkau telah menelanjangi aku, berarti engkau telah menghinaku uh-hu-huuu...!"

"Nanti dulu, jangan menangis, nona. Memang benar aku telah menanggalkan semua pakaianmu, kemudian mengenakan jubahku ini kepadamu. Akan tetapi, kalau tidak begitu, habis bagaimana? Pakaianmu basah kuyub, engkau terancam bahaya maut dan satu-satunya cara untuk menolongmu hanya mengeluarkan air dari perutmu, kemudian mengeringkan pakaianmu. Aku melakukan semua itu hanya untuk menolongmu, untuk menyelamatkan nyawamu..."

"Uhu-hu-hu, bohong... huuuu... bagaimana pun juga, kau telah menghinaku dan setelah kau melihat aku telanjang, bagaimana aku tidak akan malu setengah mati? Bagaimana aku dapat bertemu pandang denganmu? Uhu-hu-huuu..."

"Kalau begitu jangan memandang aku..."

Ceng Ceng menangis makin hebat sampai menggerung-gerung. Dari celah-celah jari tangannya dia melihat benar betapa pemuda itu menjadi makin gelisah dan bingung, bahkan kemudian berkata, "Sudahlah, jangan menangis. Sekarang apa yang harus kulakukan untuk menebus dosa, asal kau jangan menangis..."

"Kau harus berjanji... tidak, harus bersumpah...!"

"Baiklah, aku bersumpah. Bersumpah bagaimana?"

"Keluarkan sapu tanganmu, untuk saksi sumpah."

Tek Hoat yang ingin agar dara itu benar-benar menghentikan tangisnya, maka terpaksa dia mengeluarkan sapu tangannya. Sesungguhnya, pemuda ini bukanlah seorang yang begitu bodoh. Akan tetapi dia benar-benar tidak tahan mendengar dan melihat wanita menangis, dan kalau saja bukan Ceng Ceng, tentu dia sudah menggerakkan tangan membunuhnya. Dia tidak bisa melakukan itu, dia membutuhkan dara ini. Bukankah dara ini sahabat baik Puteri Syanti Dewi? Dengan perantaraan Ceng Ceng ini dia masih ada harapan untuk mendapatkan puteri itu, kalau saja puteri itu masih hidup, dan dia yakin masih karena dia tidak melihat mayatnya.

"Baik, inilah sapu tanganku," katanya mengeluarkan sapu tangan, tidak melihat betapa Ceng Ceng menggosok-gosok keras kedua matanya sehingga menjadi makin merah dan basah air mata ketika dia menurunkan tangan menyambut sapu tangan itu.

"Taruh tanganmu di sapu tangan ini dan bersumpahlah!" kata Ceng Ceng mengulurkan sapu tangan di tangannya. Terpaksa Tek Hoat meletakkan tangannya di atas sapu tangan yang berada di telapak tangan Ceng Ceng.

"Bersumpahlah bahwa kau tidak akan menggangguku," kata dara itu.

"Aku bersumpah tidak akan mengganggumu," Tek Hoat mengulang.

"Dan kau tidak akan memandangku."

"Hehhh...? Habis bagaimana? Aku kan punya mata!" pemuda itu membantah.

"Kalau kau memandangku, aku akan teringat bahwa aku pernah telanjang di depan matamu dan aku akan mati karena malu."

"Habis bagaimana? Apakah kalau bertemu denganmu aku harus memejamkan mata?"

"Terserah, memejamkan mata atau membalik belakang atau menutupi mata dengan sapu tangan, pendeknya kau tidak boleh melihat aku!"

"Baiklah..." Di dalam hatinya Tek Hoat memaki.

"Bersumpahlah bahwa kau selalu akan menutupi atau memejamkan mata jika bertemu denganku."

"Aku berjanji akan selalu menutupi atau memejamkan mataku kalau bertemu."

"Dan kau akan selalu menurut kata-kataku, kau akan mengajarkan ilmu silatmu yang tinggi kepadaku, dan engkau akan mencarikan enci Syanti sampai bertemu, dan engkau akan..."

"Wah, tidak jadi saja kalau begitu!" Tek Hoat lantas berseru keras sambil menurunkan tangannya dari sapu tangan. "Masa aku harus bersumpah begitu banyak? Pula, tidak mungkin aku mengajarkan ilmu silat, dan tidak mungkin harus menurut segala kata-katamu."

Melihat ini Ceng Ceng maklum bahwa dia sudah terlalu jauh dalam tuntutannya, maka cepat dia berkata, "Baik, kalau begitu ulangi dua sumpahmu itu saja, bersumpah bahwa kalau sampai melanggarnya, engkau akan mati muda dan sapu tangannya ini menjadi saksinya!"

Karena ingin lekas beres agar dara itu tidak rewel lagi, dia berkata, "Akan tetapi sebagai imbalannya, kau pun harus bersumpah bahwa kau tidak akan menangis lagi!"

"Baik, aku bersumpah takkan menangis lagi kalau kau sudah bersumpah."

Tek Hoat menarik napas panjang dan meletakkan tangannya di atas sapu tangan lalu berkata, "Aku..."

"Sebutkan namamu!"

"Aku... Ang Tek Hoat, bersumpah bahwa aku tidak akan mengganggumu..."

"Sebutkan namaku, Lu Ceng!"

"...bahwa aku tidak akan mengganggu Lu Ceng, dan bahwa aku akan selalu menutupi atau memejamkan mata kalau bertemu dengan Lu Ceng dan kalau aku melanggar sumpah ini, biarlah aku mati muda dan sapu tangan ini menjadi saksi!"

Ceng Ceng girang sekali lalu menyimpan sapu tangan itu di sakunya. "Heiii, kau mau melanggar sumpah? Hayo pejamkan mata atau, membalik! Aku mau berganti pakaian!"

Tek Hoat yang terlupa dan membuka mata memandang tadi, cepat-cepat memejamkan mata dan memutar tubuhnya membalik, diam-diam dia mengutuk diri sendiri mengapa dia mau bersumpah seperti itu. Akan tetapi, dia sudah terlanjur bersumpah dan memang dia memerlukan gadis ini untuk dapat bertemu kembali dengan Syanti Dewi dan melaksanakan cita-citanya terhadap puteri Bhutan itu.

Kalau segala itu sudah tercapai, membunuh gadis ini apa sih sukarnya? Biarlah sementara ini dia mengalah dulu. Pula, dia juga merasa kurang enak dan tidak aman kalau harus melanggar sumpahnya. Siapa tahu, sumpah itu benar-benar manjur dan kalau dilanggarnya dia akan mati muda! Dia bergidik! Nanti dulu, ya! Dia masih memiliki banyak cita-cita yang belum terlaksana. Pokoknya hanya terletak pada sapu tangan itu. Jika kelak dia membunuh gadis ini, atau setidaknya merampas kembali sapu tangannya, berarti sumpahnya sudah punah karena tidak ada lagi saksinya!

Dengan hati gembira Ceng Ceng segera mengganti jubah yang kedodoran itu dengan pakaiannya sendiri, menyimpan sapu tangan di balik kutangnya, dan sambil berganti pakaian dia memandang punggung pemuda itu dengan tersenyum. Dia menang! Tak disadarinya lagi, dia memberes-bereskan pakaian dan rambutnya agar kelihatan patut. Dia mempersolek diri untuk pemuda itu tanpa disadarinya!

"Aku sudah selesai!" akhirnya dia berkata, ingin melihat pemuda itu memandangnya dengan kagum. Setelah mengenakan pakaiannya sendiri, tentu dia akan tampak lebih cantik!

Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak menoleh, bahkan melanjutkan memancing ikan dan tiba-tiba mengangkat tangkai pancingnya dan seekor ikan lele yang gemuk menggelepar-gelepar.

Ceng Ceng kecewa, akan tetapi segera teringat. Celaka! Pemuda itu tentu tidak akan memandangnya! Karena sumpah itu! Perlu apa dia bersolek? Wah, serba berabe kalau begini. Tetapi dia tahu bahwa pemuda ltu lebih repot lagi karena harus menghindarkan pandang matanya darinya. Biar tahu rasa dia! Pikiran ini mengusir kekecewaannya.

"Nona Ceng..."

"Tak usah nona-nonaan. Aku biasa disebut Ceng Ceng."

"Hemm... Ceng Ceng, apakah kau tidak lapar?" tanya Tek Hoat tanpa menoleh.

"Tentu saja."

"Nah, ini ada sisa ayam panggang..."

"Aku tak sudi makan sisamu!"

"Kalau, begitu, ikan ini kau boleh ambil dan bakar."

Tanpa menoleh Tek Hoat menyerahkan ikan itu yang diterima oleh Ceng Ceng dan tak lama kemudian Ceng Ceng sudah memanggang daging ikan yang gemuk dan makan dengan lahapnya tanpa menawarkannya kepada Tek Hoat.

Hari mulai gelap, senja telah mendatang.

"Kita harus pergi mencari majikan..."

"Apa? Siapa kau maksudkan?"

"Siapa lagi kalau bukan Puteri Syanti Dewi?"

"Tek Hoat, kau jangan sembarangan omong, dan aku bukanlah pelayannya. Mengerti?"

Tek Hoat mengangguk-angguk dan merasa girang. Tidak keliru dia mengalah kepada gadis liar ini, kiranya sudah diaku sebagai adik angkat. Kalau dia membunuhnya, tentu sukar baginya untuk berbaik dengan Syanti Dewi.

"Kau tergila-gila kepada kakakku, ya?"

Tek Hoat terkejut, akan tetapi hanya mengangguk. Dia masih duduk membelakangi Ceng Ceng.

"Wah, tidak enak benar begini! Masa aku bicara dengan... pinggul saja?"

Tek Hoat tersenyum akan tetapi menahan gelak tawanya. "Habis bagaimana? Aku tidak berani melanggar sumpah."

"Wah, kau menghadap ke sini dan memejamkan mata, masa tidak bisa?"

"Lebih tidak enak lagi buat aku, terus memejamkan mata, masa seperti orang buta."

"Kalau begitu, tutup saja dengan sapu tangan."

"Sapu tanganku sudah kau bawa."

Terpaksa Ceng Ceng memberikan sapu tangannya sendiri yang berbau harum. Tek Hoat menerimanya, menutupkan sapu tangan itu di depan matanya dan mengikatkan kedua ujung di belakang kepala, kemudian membalik menghadapi Ceng Ceng. Gadis itu tersenyum lebar menutupi mulutnya. Lucu sekali, seperti anak kecil bermain-main!

"Ceng Ceng, kau mengatakan aku tergila-gila kepada kakakmu? Memang bukan tergila-gila, melainkan aku... aku jatuh cinta kepadanya."

"Hemmm, bagus! Betapa pun juga, engkau bukan pemuda yang buruk rupa dan masih muda lagi. Dari pada kakakku itu menikah dengan Pangeran Liong Khi Ong yang kabarnya sudah hampir lima puluh tahun usianya, lebih baik menikah denganmu."

"Benarkah?" Tek Hoat bertanya girang.

"Ya. Dan aku suka membantumu agar enci-ku suka kepadamu, asal saja engkau tidak melanggar sumpahmu. Kalau kau melanggar, tidak saja engkau tidak dapat berkenalan dengan enci Syanti Dewi, malah engkau akan mampus di waktu usiamu masih muda. Sayang, kan?"

Kembali dia tersenyum dan menutupi mulutnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Tek Hoat dapat melihatnya dari balik sapu tangan sutera yang tipis itu! Akan tetapi pemuda ini pun tidak berani memandang langsung, takut akan sumpah.

"Hari telah malam, tidak mungkin kita mencari enci Syanti. Malam ini gelap tidak ada bulan. Lalu bagaimana kita akan melewatkan malam?"

"Tak jauh dari sini, di tepi sungai ini terdapat sebuah kuil tua yang kosong. Kita dapat bermalam di situ dan tempat itu memang tidak jauh dari Sungai Nu-kiang. Besok pagi-pagi, kita mencari lagi, mendengar-dengarkan, mungkin ada nelayan yang tahu bagaimana nasib enci-mu itu."

Lega hati Ceng Ceng. "Kalau begitu, mari kita ke kuil." Dia bangkit berdiri dan pergi.

"Haii, bagaimana aku bisa berjalan kalau mataku ditutup begini?"

Ceng Ceng tersenyum. "Bodoh, kalau begitu mengapa tidak dibuka?"

"Kalau dibuka, mana bisa jalan bersama? Aku tidak mau berjalan dengan mata terpejam, salah-salah bisa terjatuh ke dalam sungai!"

Ceng Ceng tertegun dan bingung. "Habis bagaimana?"

"Kecuali kalau kau sudi menuntun..."

Karena hari sudah hampir gelap dan hutan itu kelihatannya menakutkan, terpaksa Ceng Ceng menyambar tangan pemuda itu dan menuntunnya. "Jalan ke mana?" dia bertanya.

"Terus saja menurutkan aliran sungai ini," jawab Tek Hoat yang diam-diam merasa geli dan juga bangga bahwa kini dia dapat membalas. Sesungguhnya dia dapat melihat melalui sapu tangan tipis itu, akan tetapi biarlah, biar gadis itu tahu rasa, pikirnya. Betapa pun juga, gadis yang liar dan galak ini ternyata cukup baik, mau menuntunnya.

Mereka tiba di kuil kosong. Karena ruangan yang merupakan kamar tertutup hanya sebuah, maka Ceng Ceng berkata, "Aku tidur di sini dan biar kau tidur di mana sesukamu asal jangan di kamar ini." Berkata demikian dia lalu menutupkan daun pintu. Perbuatan ini sia-sia saja karena biar pintu ditutup, jendela di kamar itu melongo tanpa daun! Lalu dia membuat api unggun dan tidak mempedulikan lagi kepada Tek Hoat.

Pemuda ini luar biasa, pikirnya. Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan kalau pemuda ini berwatak jahat, sukar untuk melawannya. Dan dia... agak aneh rasanya. Mengapa hatinya tidak enak mendengar pengakuan pemuda itu yang mencinta Syanti Dewi? Mengapa dia tidak puas? Mengapa dia tadi merasa jantungnya berdebar-debar ketika tangannya menggandeng tangan Tek Hoat? Seolah-olah ada getaran dari tangan itu yang menyentuh hatinya, menimbulkan rasa girang yang luar biasa. Mengapa?

Celaka, jangan-jangan dia telah jatuh hati seperti yang hanya dikenalnya dalam cerita dongeng! Itukah cinta? Memang pemuda itu cukup segala-galanya untuk menjatuhkan hati seorang gadis, memang patut dicinta. Betapa tidak? Tampan, gagah perkasa, lucu dan pandai mengalah. Biar pun agak kasar, akan tetapi buktinya tidak suka melakukan pelanggaran susila. Wah, jangan-jangan aku jatuh cinta kepadanya, bisik Ceng Ceng sebelum tidur.

Menjelang tengah malam dia terbangun karena mimpi ditelanjangi oleh Tek Hoat! Ditelanjangi selagi dia sadar dan anehnya, dia diam saja. Setelah kelihatan pemuda itu hendak merabanya dan hendak memeluknya, barulah dia meronta dan terbangun! Bulu tengkuknya berdiri. Kalau tadi bukan mimpi, melainkan sungguh-sungguh terjadi, tentu dia akan membunuh pemuda itu! Atau, kalau dia kalah, dia akan melawan mati-matian, kalau perlu mempertaruhkan nyawa untuk membela kehormatannya. Bedebah! Dia memaki pemuda itu akan tetapi segera teringat bahwa yang dikalahkan pemuda itu hanya dalam mimpi saja! Mungkin kenyataannya tidak demikian, buktinya Tek Hoat juga tidak melakukan sesuatu terhadap dirinya.

Tiba-tiba dia bangkit duduk. Terdengar suling ditiup orang amat merdu dan indahnya. Akan tetapi hanya lapat-lapat terdengar, agaknya dari jauh. Ceng Ceng membereskan rambut dan pakaiannya, kemudian meloncat keluar melalui jendela. Biar pun tidak ada bulan malam itu, namun langit bersih terhias bintang sejuta, cukup memberi cahaya penerangan di permukaan bumi. Dia melangkah dengan hati-hati, mencari-cari, akan tetapi ternyata Tek Hoat tidak berada di kuil itu! Ke mana perginya pemuda itu? Buntalannya pun tidak nampak.

Ceng Ceng mulai bergidik. Ngeri dia memikirkan bahwa dia ditinggal sendirian saja di kuil tua itu. Kuil yang biasanya dalam dongeng kalau sudah kosong dan kuno begitu selalu dihuni oleh siluman-siluman! Cepat dia keluar dari kuil dan mendengar suara suling lapat-lapat dari depan, dia lalu melangkah maju menuju ke arah suara itu.

Tak lama kemudian dia sudah mengintai dari balik pohon, memandang ke arah Tek Hoat yang berdiri di tepi sungai besar. Sungai Nu-kiang! Kiranya dia telah berada di tepi sungai itu, di mana anak sungai dari hutan memuntahkan airnya ke situ dan di tepi sungai tampak Tek Hoat yang tadi meniup suling. Kini pemuda itu sudah berhenti meniup suling dan menyelipkan kembali sulingnya.

Yang menarik perhatian Ceng Ceng adalah sebuah perahu besar yang bergerak mendekat pantai di mana pemuda itu berdiri, sebuah perahu yang indah dan mewah, dan tampak diterangi lampu-lampu sehingga dia melihat beberapa orang berpakaian tentara mengiringkan seorang berpangkat tinggi yang mewah pakaiannya ke pinggir perahu. Ceng Ceng mengintai penuh perhatian dan memasang pendengarannya agar dapat mendengarkan apa yang akan terjadi. Dia melihat Tek Hoat memberi hormat kepada pembesar itu dari pantai sambil berkata, "Maafkan, hamba tidak sempat melapor karena hamba tidak dapat meninggalkan gadis itu sebelum dia tidur."

"Hemm, Ang Tek Hoat, ceritakan semua yang terjadi. Kami sudah mendengar akan lenyapnya puteri itu, akan tetapi belum jelas bagaimana. Apa saja yang telah kau lakukan selama melakukan tugas yang diperintahkan saudara tua kami Liong Bin Ong?"

"Rombongan penjemput puteri itu telah berhasil dihancurkan oleh Tambolon, dan puteri itu bersama pelayannya yang sudah diangkat saudara, berhasil meloloskan diri, akan tetapi hamba terus membayangi mereka. Bahkan hamba telah berhasil mengajak mereka naik perahu hamba..."

"Bagus! Bagaimana puteri itu? Benarkah amat cantik?" tanya pembesar itu.

"Memang cantik jelita seperti bidadari, dan paduka beruntung sekali..."

"Aahhh, sayang sekali dia harus dikorbankan demi cita-cita," orang setengah tua itu menghela napas. "Akan tetapi, kalau semuanya berhasil dia akan tetap menjadi selirku! Aku Liong Khi Ong bukanlah orang yang suka menyia-nyiakan waktu... eh, Tek Hoat, lalu bagaimana? Di mana dia?"

"Harap paduka sudi memaafkan hamba. Terjadi kecelakaan, perahu bertabrakan dan terguling. Hamba berhasil menyelamatkan adik angkatnya akan tetapi belum berhasil menemukan Puteri Syanti Dewi..."

"Hahh? Bodoh! Habis bagaimana? Celaka, jangan-jangan dia terjatuh ke tangan orang-orangnya kaisar!"

"Hamba akan mencarinya sampai dapat besok pagi, kalau andai kata dia terampas oleh orang lain, hamba akan merampasnya kembali, harap paduka jangan khawatir," kata Tek Hoat.

"Hemm, baik. Apa perlu kau dibantu pasukan?"

"Tidak perlu, Ong-ya. Hamba lebih leluasa bekerja sendiri. Hamba tanggung akan bisa menemukan puteri itu, asal dia belum tewas."

"Bagus, kami akan menanti saja di kota raja, di sana masih banyak urusan dan kau harus cepat kembali, banyak tugas menantimu."

"Baik, Ong-ya..."

Tiba-tiba Ceng Ceng yang bengong terlongong itu terkejut karena mendengar suara berkeresekan di belakangnya. Dia menoleh dan melihat seorang laki-laki berpakaian hitam, berjenggot panjang berdiri tepat di belakangnya. Dia hampir berteriak dan membuka mulut.

"Eekkk... eeekkk...!" Mulutnya telah dibungkam tangan kiri orang tua dan sebelum dia sempat melawan, pundaknya sudah ditotok dan dia roboh lemas dalam rangkulan orang itu.

"Ssstt, diam... jangan bergerak... aku bukan musuh melainkan sahabatmu dan sahabat Puteri Syanti Dewi..." Setelah berkata demikian dan melihat Ceng Ceng mengangguk, orang itu menotok lagi dan Ceng Ceng terbebas.

Dara ini terkejut dan heran. Demikian banyaknya orang pandai di sini. Pemuda itu lihai dan orang ini pun hebat kepandaiannya! Dia memandang sejenak. Orang itu mukanya membayangkan kegagahan, matanya sipit seperti orang mengantuk, alisnya tebal dan kepalanya agak botak. Jenggotnya panjang, usianya tentu sudah ada lima puluh tahun, pakaiannya biasa saja seperti pakaian petani. Melihat orang itu memperhatikan ke depan, dia pun lalu memandang lagi. Kini tampak betapa pemuda itu berbisik-bisik di dekat perahu dengan si pembesar tinggi yang ternyata adalah Pangeran Liong Khi Ong, tunangan Syanti Dewi!

Ceng Ceng berdebar-debar. Bingung dia dan diam-diam dia memaki-maki Tek Hoat. Kiranya pemuda itu adalah kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong! Akan tetapi apa artinya ini semua? Kalau dia kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong, mengapa dia bersikap begitu aneh, tidak bersama anggota rombongan lainnya yang dipimpin oleh pengawal kaisar Tan Siong Khi? Mengapa bertindak secara rahasia? Dan apa pula artinya kata-kata pangeran itu bahwa Syanti Dewi terpaksa harus dikorbankan demi cita-cita? Ceng Ceng menjadi bingung dan tidak bergerak sama sekali, hanya melihat betapa Tek Hoat telah pergi dengan cepat menuju ke kuil kembali, sedangkan perahu mewah itu pun bergerak ke tengah sungai.

"Cepat, mari pergi dari sini. Kalau dia kembali dan dapat menyusul kita, celaka. Kita berdua bukanlah lawannya," bisik laki-laki setengah tua berjenggot panjang itu.

"Hemm, mengapa aku harus menurut kata-katamu? Siapa tahu bahwa kau lebih jahat lagi dari pada dia?"

"Nona Lu, percayalah kepadaku. Mungkin kakekmu Lu Kiong belum pernah menyebut namaku, akan tetapi aku mengenal baik Lu-lo-enghiong bekas pengawal kaisar. Aku adalah rekan dari Tan Siong Khi. Aku sudah mendengar bahwa kakekmu gugur, dan aku hampir mengerti semuanya, kecuali beberapa hal."

"Apakah yang terjadi? Siapakah sebenarnya pemuda bernama Ang Tek Hoat itu?"

"Sstt, marilah kita segera pergi," kakek itu mendesak.

"Tidak, sebelum kau menjawab pertanyaanku."

"Dia seorang manusia luar biasa, ilmu kepandaiannya sangat tinggi..."

"Aku sudah tahu!"

"Tapi dia adalah pengawal Pangeran Liong Bin Ong, pangeran yang merencanakan pemberontakan. Bahkan pangeran itulah yang mengatur pencegatan rombongan hingga kakekmu tewas. Pemuda itu tangan kanannya dan Pangeran Liong Khi Ong tadi telah menyalah gunakan niat baik kaisar yang menjadi kakaknya sendiri. Mereka itu demi cita-cita pemberontakan tidak segan-segan melakukan kekejian, bila perlu membunuh Puteri Syanti Dewi dan engkau."

"Ohhhh..."

"Marilah, nona. Demi keselamatanmu sendiri dan keselamatan Syanti Dewi."

Dengan hati penuh kengerian Ceng Ceng lalu mengikuti laki-laki itu melarikan diri. Dia percaya penuh karena bukankah dia sudah menyaksikan dan mendengarkan sendiri pertemuan dan percakapan antara Pangeran Liong Khi Ong dan Ang Tek Hoat? Kiranya pemuda itu seorang mata-mata pemberontak! Kiranya justru musuh dari kerajaan kaisar dan kerajaan Bhutan, hendak mencelakakan Syanti Dewi! Bahkan yang merencanakan pencegatan rombongan yang mengakibatkan terbunuhnya kakeknya, adalah para pemberontak itu! Dan dia sudah tertarik hatinya oleh Tek Hoat.

"Ahhhh...!"

"Ada apa, nona Lu?" tanya kakek itu.

"Tidak apa-apa..." jawab Ceng Ceng karena yang terasa nyeri adalah jauh di dalam lubuk hatinya, bukan badannya.

Setengah malam penuh mereka berjalan terus, melalui hutan-hutan dan pegunungan. Dalam perjalanan ini, kakek tadi menceritakan keadaan kerajaan yang diancam pemberontakan, dan memperkenalkan dirinya. Dia adalah seorang pengawal kaisar pula, di bawah Tan Siong Khi dan bernama Souw Kee It. Dia bertugas untuk menyelidiki secara diam-diam keadaan rombongan itu.

Tentu saja dia tidak secepat Pendekar Super Sakti yang juga melawat ke Bhutan dan berhasil menolong Raja Bhutan, akan tetapl sebagai seorang penyelidik yang tahu akan keadaan negara, dia mempunyai pendengaran dan penciuman yang lebih tajam. Dia mendapatkan rahasia dari pemberontak yang menaruh tangan-tangan kotor ke dalam pencegatan itu, maklum bahwa raja liar Tambolon juga digerakkan oleh tangan kotor dari kota raja sendiri. Dia telah melihat pula sepak terjang Tek Hoat yang hebat, dan maklumlah dia bahwa dia bukan pula lawan pemuda itu. Maka ketika memperoleh kesempatan, dia mengajak lari Ceng Ceng.

Mendengar semua penuturan ini, Ceng Ceng makin terheran-heran dan bingung. Tak disangkanya bahwa pernikahan Syanti Dewi akan membawa akibat sedemikian hebat dan peristiwa itu terlibat dengan pemberontakan yang ruwet.

"Bagaimana dengan enci Syanti Dewi?" tanyanya dengan khawatir.

"Sudah kuselidiki, nona. Kabarnya puteri itu juga tertolong secara ajaib oleh seorang nelayan tua yang tidak dikenal siapa sebenarnya. Cara menolongnya amat ajaib hingga sukar aku mempercayai cerita mereka itu. Tetapi, laki-laki gagah yang menolongnya itu telah pergi bersama sang puteri. Sekarang yang saya ingin ketahui adalah, ke manakah rencana nona dan sang puteri tadinya setelah terpaksa meninggalkan kakek Lu yang gugur?"

"Kakek meninggalkan pesan agar supaya kami pergi ke kota raja, minta perlindungan dan bantuan kepada Puteri Milana..."

Souw Kee It mengangguk-angguk. "Memang tepat sekali pesan kakekmu. Akan tetapi beliau tidak tahu akan perubahan di kota raja. Kalau engkau dan Puteri Syanti Dewi sudah tiba di kota raja dan berada di tangan Puteri Milana, kiranya setan pun tidak ada yang berani mengganggu. Akan tetapi, justeru perjalanan menuju ke kota raja itulah yang amat sukar dan berbahaya. Kaki tangan mereka sudah disebar di mana-mana untuk menangkap kalian berdua."

"Ouhhh, habis bagaimana?"

"Harap nona jangan khawatir. Aku juga mempunyai teman-teman, dan nanti akan kita atur bagaimana membawa nona pergi ke timur dengan selamat. Akan tetapi, kurasa tidak tepat kalau nona pergi ke kota raja sebelum bertemu dengan Puteri Syanti Dewi. Kalau kita berhasil sampai ke timur, lebih baik kalau nona untuk sementara berlindung di benteng yang dikuasai Jenderal Kao Liang di tapal batas utara ibu kota."

Hati Ceng Ceng agak lega mendengar bahwa Syanti Dewi juga tidak tewas dan telah tertolong orang pandai, sungguh pun dia bingung memikirkan mengapa begitu banyak orang pandai muncul? Siapakah penolong Syanti Dewi dan ke mana perginya kakak angkatnya itu?

Dua hari kemudian, tibalah mereka di sebuah dusun dan di sini terdapat pasukan kaisar yang masih setia kepada kaisar. Souw Kee It lalu mendandani Ceng Ceng sebagai seorang prla, lengkap dengan kumis palsu sehingga andai kata Tek Hoat sendiri bertemu dengannya kiranya akan sulitlah untuk mengenalnya, demikian pendapat Ceng Ceng ketika dia memperhatikan wajahnya sendiri di depan cermin. Setelah membawa bekal secukupnya, Souw Kee It bersama Ceng Ceng lalu menunggang kuda-kuda pilihan, melanjutkan perjalanan mereka ke timur.

KISAH SEPASANG RAJAWALI (seri ke 8 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang