Jilid 46/57

1.6K 18 0
                                    

Ceng Ceng gelagapan, akan tetapi dadanya menjadi lega dan kini lenyaplah kekagetan dan kemarahan yang tadi menyelinap di dalam hatinya. Kini dia mengerti bahwa orang tua bertopeng buruk itu sama sekali tidak berniat kurang ajar kepadanya. Sebaliknya malah, kembali Topeng Setan menyelamatkannya! Dia tahu bahwa cara penyelamatan ini pun suatu pengorbanan diri juga, karena dengan memberikan hawa cadangan itu kepadanya, berarti Topeng Setan sendiri akan cepat kehabisan napas!

Keharuan memenuhi hati Ceng Ceng dan saat Topeng Setan melepaskan 'ciumannya', dia merangkul pinggang kakek itu serta merapatkan tubuhnya sebagai tanda terima kasihnya. Kini Ceng Ceng dapat bertahan dan mereka terus berenang ke suatu arah tertentu, secara untung-untungan karena mereka tidak dapat melihat arah mana yang terdekat ke pantai.

Setiap kali Ceng Ceng kehabisan napas, Topeng Setan lalu 'menciumnya' seperti tadi untuk memindahkan hawa murni dan sampai tiga kali dia melakukan hal ini yang berarti menyambung napas dan umur gadis itu. Ceng Ceng tidak meronta lagi, dan setiap kali dia dicium, dia memejamkan matanya dan sungguh aneh, dalam keadaan tercium itu, yang amat terasa olehnya, dia membayangkan wajah... pemuda laknat yang telah memperkosanya! Dia sendiri merasa heran. Dicobanya untuk membayangkan wajah Pangeran Yung Hwa, mengkhayal bahwa pangeran yang tampan dan menarik itulah yang menciumnya, akan tetapi tetap saja wajah pemuda laknat itu yang muncul!

Ketika akhirnya, secara kebetulan sekali mereka dapat mendarat di pantai terdekat, keduanya sudah kehabisan napas. Mereka terengah-engah di pantai, dengan tubuh bawah masih terendam air dan tubuh atas rebah di atas lumpur, dada mereka terasa seperti akan meledak, terengah-engah seperti ikan-ikan terdampar di daratan. Akan tetapi anak ular naga itu masih terus digenggam tangan kanan Ceng Ceng, dan tubuh ular yang ekornya buntung itu masih membelit lengannya dengan kuat.

Sementara itu, jauh di tengah telaga, orang-orang lihai masih terus sibuk melawan ular naga yang mengamuk dan mereka sibuk pula berusaha mencari Topeng Setan dan Ceng Ceng. Ada pun Hong Kui dan Kian Bu yang tadi terlempar ke air ketika balok tiang layar dihantam oleh ekor ular naga, kini sudah berhasil menyelamatkan diri ke atas sebuah pecahan perahu.

Melihat ekor ular itu yang masih berdarah itu, Hong Kui terus saja memasukkannya ke dalam mulutnya dan Kian Bu merasa ngeri melihat betapa mulut yang bentuknya indah itu, bibir yang selalu merah basah dan yang sudah sangat dikenalnya dengan ciuman-ciumannya yang hangat dan mesra, kini mengunyah daging, tulang dan kulit ular yang berdarah itu sampai terdengar suara berkerotakan ketika tulang-tulang ekor ular kecil itu hancur digilas oleh gigi-gigi kecil kuat dari Hong Kui.

Sedikit pun wanita itu tidak kelihatan merasa jijik, maka kini Kian Bu mulai mengerti bahwa Hong Kui sebenarnya sama sekali tidak takut kepada ular! Terbukalah matanya bahwa selama ini wanita itu memang sengaja memancing dan merayunya dan dia merasa alangkah bodoh dirinya. Tetapi biar pun kenyataan ini membuat dia kehilangan perasaan cinta terhadap Hong Kui, namun tidak melenyapkan rasa tertariknya. Wanita itu sudah memperkenalkan kenikmatan yang luar biasa kepadanya dan dia masih merasa sayang untuk melepaskannya!

Kalau tadinya Kian Bu hampir mengakui dan percaya bahwa dia jatuh cinta kepada Hong Kui, semenjak peristiwa memperebutkan ular itu, ia yakin bahwa sebetulnya tidak ada kasih di hatinya terhadap wanita ini, melainkan hanya nafsu kesenangan karena wanita ini memang hebat dan pandai sekali menghibur dan menyenangkan hatinya. Dan melihat Hong Kui mengunyah dan makan ekor ular itu mentah-mentah, timbul juga rasa kasihan di hatinya karena dia maklum bahwa wanita itu terpaksa melakukan hal ini karena khawatir kalau-kalau bagian yang hanya sedikit itu akan terampas orang lain! Akan tetapi, yang sedikit ini pun cukuplah karena seketika itu juga Hong Kui merasa betapa tekanan panas di pusarnya akibat keracunan telah lenyap sama sekali begitu ekor ular itu memasuki perutnya!

Topeng Setan sudah dapat memulihkan pernapasannya. Pundak kirinya terasa sakit bukan main, berdenyut-denyut sampai terasa di ubun-ubun kepalanya, kaki kanannya yang kena hantaman ekor ular naga juga masih terasa setengah lumpuh. Lebih-lebih lagi hatinya seperti ditusuk-tusuk kalau dia teringat akan lengan kirinya yang buntung. Akan tetapi semua penderitaan lahir batinnya ini dilupakannya seketika ketika dia menoleh kepada Ceng Ceng yang juga sudah tidak begitu terengah-engah seperti tadi.

"Cepat kau makan ular itu. Ular inilah obat yang akan menghilangkan semua racun yang mengancam nyawamu. Cepatlah, Ceng Ceng." Topeng Setan berkata.

Ceng Ceng menoleh kepadanya. Wajahnya pucat, sebagian tertutup rambutnya yang terurai awut-awutan dan basah kuyup. Begitu menoleh dia melihat lengan kiri yang buntung itu dan mendadak Ceng Ceng memandang ular di tangannya dengan wajah beringas. "Ular sialan! Ular itu telah membuat lenganmu buntung, Paman. Aku benci ular itu!" Ceng Ceng lalu melemparkan ular itu ke telaga!

"Aihhh... kau... kau gila...!" Topeng Setan berteriak kaget sekali.

Cepat dia terjun ke air dan berenang mengejar ular itu. Untung ular itu sudah menjadi lemah dan setengah mati karena sejak tadi kepalanya digenggam oleh Ceng Ceng dan ekornya telah buntung, maka dia tidak menyelam dan hanya berenang lambat-lambat ke sana-sini sehingga mudah bagi Topeng Setan untuk menangkap dan membawanya berenang ke pinggir. Ceng Ceng sudah merangkak dan duduk di atas tanah yang keras di tepi telaga ketika Topeng Setan mendarat.

"Kau harus makan daging ular ini dan minum darahnya." dia berkata.

"Ular sialan itu, biarlah aku tidak berobat lagi, Paman."

"Kau harus!"

"Tidak...!"

"Aku akan memaksamu!"

Ceng Ceng yang pada dasarnya berhati keras itu, mendengar ucapan ini dan melihat sikap yang keras dan marah dari Topeng Setan, lupa kalau orang itu telah kehilangan lengannya dan dia meloncat bangun sambil mengepal kedua tangannya. "Tidak! Tidak sudi! Coba kau memaksaku kalau berani."

"Mengapa tidak berani? Hanya ular ini obatnya yang akan menyelamatkan nyawamu, Ceng Ceng."

Tiba-tiba Topeng Setan menyerbu dan Ceng Ceng berusaha mengelak, akan tetapi dia kalah cepat, dan sebuah totokan pada pundaknya membuat dia roboh dan tak dapat bergerak lagi. Akan tetapi sebelum dia roboh, lengan Topeng Setan sudah menahannya dan dia lalu direbahkan dengan hati-hati di atas rumput.

"Karena kau berkeras menolak, aku terpaksa menggunakan kekerasan ini, Ceng Ceng. Ular ini harus cepat kau pergunakan sebagai obat, kalau sampai mereka mengejar ke sini, ular ini akan terampas dan kau akan celaka. Maafkan aku, terpaksa aku melakukan ini padamu..."

Topeng Setan mencari sehelai daun teratai lebar, membuatnya dengan susah payah sebagai tempat air dan sementara itu dia menjepit leher ular dengan jari kakinya yang dilepaskan dari sepatunya yang basah, lalu dengan jari-jari tangannya yang panjang dia menggulung dan menggenggam ular itu dalam kepalannya, dan mengerahkan tenaga menghimpitnya! Tentu saja kepala dan tubuh ular itu menjadi hancur dan cairannya mengucur ke dalam mangkok daun teratai itu, cairan yang terdiri dari darah dan perasan tubuh ular itu, cairan kuning kemerahan yang dipandang dengan mata jijik oleh Ceng Ceng.

"Cairan ini mengandung obat mujarab, akan tetapi juga mengandung racun ular itu yang akan mematikan bagi orang biasa. Akan tetapi karena tubuhmu sudah kebal racun, maka racun ular ini tidak akan mengganggu, bahkan mungkin akan mendatangkan suatu keuntungan bagimu, Ceng Ceng. Mestinya tidak dihidangkan secara begini saja, yang agak menjijikkan, akan tetapi apa boleh buat, kita masih belum aman benar dan obat ini perlu secepatnya kau minum."

Ceng Ceng yang sudah lumpuh kaki tangannya itu hanya menjawab pendek, "Aku tidak mau!"

"Maaf...!" Topeng Setan kembali menggerakkan jari tangannya.

"Aaaahhhh!" Mulut Ceng Ceng terbuka dan tak dapat tertutup kembali!

Topeng Setan lalu menuangkan cairan itu ke dalam mulut yang terbuka itu! Ceng Ceng mencium bau yang amat amis dan busuk, maka dia tidak mau menelan cairan yang sudah berada di mulutnya itu.

"Maaf, terpaksa aku...!" Topeng Setan lalu menggunakan telunjuk dan ibu jarinya untuk memencet kedua lubang hidung Ceng Ceng.

Dipencet lubang hidungnya seperti itu, Ceng Ceng tak dapat bernapas dan gelagapan sehingga terpaksa cairan itu tertelan olehnya. Dia dicekoki cairan ular yang menjijikkan itu. Topeng Setan itu lalu membebaskan totokannya dan Ceng Ceng bangkit duduk, meludah berkali-kali akan tetapi cairan itu telah memasuki perutnya.

"Kau maafkanlah aku, Ceng Ceng..."

Suara itu demikian penuh permohonan dan penyesalan sehingga kemarahan Ceng Ceng sudah sebagian terusir pergi. Apa lagi dia ingat bahwa semua yang dilakukan oleh Topeng Setan itu semata-mata adalah untuk menolongnya. Dan penolakannya tadi pun hanya karena berduka dan menyesal mengapa untuk mencari ular itu Topeng Setan sampai mengorbankan lengannya.

"Mengapa kau minta maaf?" tanyanya pendek.

"Maaf bahwa aku terpaksa memaksamu minum cairan obat itu."

"Engkau memaksaku karena aku menolak dan engkau melakukan itu karena engkau hendak menolongku, Paman."

"Maaf, bahwa aku harus memencet hidungmu, menotokmu, dan mencekokkan obat itu kepadamu."

"Sudahlah, obat sudah masuk ke perutku, mengapa diributkan lagi?"

"Dan maafkan aku... aku tadi terpaksa mengoper hawa murni kepadamu secara itu..." Topeng Setan memalingkan mukanya membelakangi Ceng Ceng, lalu bangkit berdiri dan memasuki hutan tak jauh dari situ.

Ceng Ceng juga bangkit dan mengikutinya memasuki hutan itu. Di bawah sebatang pohon, Topeng Setan lalu berusaha membuat api, akan tetapi karena tangannya tinggal satu, sukarlah dia menggosok-gosokkan kayu kering untuk membuat api.

Ceng Ceng merebut kayu kering itu. Dia lalu membuat api dan menyalakan api unggun. Tanpa bicara keduanya duduk di dekat api unggun itu. Topeng Setan merenung ke dalam api, sedangkan Ceng Ceng memandang wajah yang buruk itu.

"Kenapa kau minta maaf tentang itu, Paman? Kalau kau tidak melakukannya, tentu saat ini aku sudah menjadi mayat dengan perut kembung penuh air."

Topeng Setan menoleh dan mereka saling pandang. Pengalaman hebat yang baru saja mereka alami berdua itu masih menegangkan hati mereka. Ketika dua pasang mata itu bertemu, Topeng Setan cepat mengelak dan menunduk. "Kini bagaimana... perasaan tubuhmu, Ceng Ceng?"

Ceng Ceng juga sadar betapa dia tadi memandang orang itu dengan sinar mata penuh kagum, penuh rasa syukur dan terima kasih, maka dia cepat-cepat menjawab sambil merasakan keadaan tubuhnya, "Rasanya enak dan hangat... dan rasa muak itu lenyap, Paman."

"Hemm... aku yakin bahwa engkau akan sembuh sama sekali. Engkau telah terbebas dari bahaya maut, Ceng Ceng." Suara itu terdengar girang.

Ceng Ceng merasa jantungnya seperti ditusuk. "Apa artinya itu? Dan untuk nyawaku yang tidak berharga ini engkau harus mengorbankan lengan kirimu! Ah, Paman...!"

Topeng Setan menoleh ke kiri memandang ke arah pundaknya yang buntung. "Ah, ini? Tidak begitu hebat. Sekali waktu manusia akan kehilangan sesuatu yang berharga di luar kehendaknya, Ceng Ceng. Kalau dia dapat menghadapi peristiwa itu dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, maka tidaklah terlalu menyiksa hati benar..."

Ceng Ceng memandang dengan mata terbelalak. "Kau... kau kehilangan lengan kiri dan tidak tersiksa hatimu karenanya?"

Topeng Setan menggelengkan kepalanya. "Ceng Ceng, segala peristiwa yang terjadi menimpa diri kita tidak mengandung suka atau pun duka, tidak mengandung sesuatu yang ada hubungannya dengan batin. Suka atau pun duka hanyalah permainan batin, permainan hati dan pikiran. Betapa pun akan hebatnya pikiranku menyiksa hati, tetap saja lenganku tidak akan dapat tumbuh kembali. Karena itu, mengapa harus dipikirkan? Permainan pikiran hanya akan menimbulkan derita batin, menimbulkan perasaan duka, menimbulkan sengsara dan menimbulkan kebencian, dendam dan permusuhan belaka."

Ceng Ceng makin terheran-heran. Manusia ataukah apa yang bersembunyi di dalam topeng itu?

"Paman, setelah segala pengorbanan besar yang kau derita karena aku, setelah segala yang kau lakukan demi aku, setelah segala budi yang berlimpah-limpah bertumpuk yang kau lakukan untukku, maukah engkau memenuhi permintaanku ini? Aku... aku ingin sekali melihat wajahmu, Paman."

Topeng Setan kelihatan terkejut sekali, tersentak kaget dan melangkah mundur seperti terhuyung sampai punggungnya menabrak batang pohon di belakangnya, kepalanya digelengkan dan matanya terbelalak menatap wajah Ceng Ceng.

"Tidak...! Tidak..., janganlah kau minta itu... Kau boleh memerintahkan apa saja padaku Ceng Ceng, kau boleh menyuruh dan minta apa saja, aku akan melaksanakan dan menuruti... akan tetapi yang satu ini... jangan pernah kau memaksa aku menanggalkan topengku..."

"Kenapa, Paman? Antara kita... mengapa engkau segan memperlihatkan mukamu? Kita sudah senasib sependeritaan, aku merasa kita bukan orang lain lagi, sudah berkali-kali aku hutang budi dan hutang nyawa kepadamu, yang sampai mati pun takkan mampu kubalas. Aku hanya ingin melihat manusia yang paling baik dan paling mulia terhadap diriku di dunia ini, mengapa kau menolak?"

"Aku... aku tidak bisa membuka topeng ini, akan terlalu mengerikan..., wajahku sangat mengerikan, jauh lebih buruk dari topeng ini. Engkau akan menjadi ketakutan dan aku khawatir engkau akan menjadi jijik dan muak, bahkan benci melihatku. Jangan, Ceng Ceng, jangan kau memaksa aku membuka topeng ini. Kau boleh membukanya kalau kelak aku sudah mati..."

Ceng Ceng menundukkan muka, menarik napas panjang. "Aku tidak akan memaksamu, Paman. Sungguh pun aku yakin bahwa betapa pun buruk rupamu, aku tidak akan dapat merasa takut, apa lagi jijik dan muak, apa lagi membencimu. Bagaimana mungkin aku bisa membenci seorang yang telah berkorban sedemikian hebat untukku? Aku jadi heran sekali apa yang terjadi antara wanita yang... kau bunuh itu dengan engkau. Kalau aku menjadi dia, agaknya... aku mau melakukan apa saja untuk seorang semulia engkau ini, Paman. Apakah bibi itu melakukan hal yang amat menyakitkan hatimu?"

Topeng Setan menghela napas panjang, agaknya lega karena Ceng Ceng tidak lagi memaksanya membuka topeng. Dia duduk kembali bersandar batang pohon, kemudian menjawab, "Tidak, Ceng Ceng, dia seorang wanita yang amat hebat, tiada keduanya di dunia ini, akan tetapi aku... aku telah membunuhnya..."

"Kasihan sekali engkau, Paman..."

Topeng Setan agaknya ingin mengalihkan percakapan karena dia lalu berkata, "Ceng Ceng, engkau sekarang sudah sembuh, engkau tidak terancam lagi oleh racun, bahkan dengan latihan I-kin-keng yang telah kuajarkan, semua ilmu beracun yang kau pelajari dari Ban-tok Mo-li sehingga tubuhmu beracun akan lenyap, dan... aku sendiri masih belum tahu akibat aneh apa yang akan didatangkan oleh khasiat anak naga yang telah memasuki tubuhmu. Sekarang, sebaiknya kalau kau kembali ke kota raja, kau... kau temui Pangeran Yung Hwa itu..."

"Eh, mengapa, Paman?" Ceng Ceng bertanya dengan kaget sekali.

"Engkau seorang gadis yang amat baik, seorang wanita berjiwa pahlawan, engkau telah mengalami banyak kesukaran dan seorang wanita seperti engkau berhak untuk hidup mulia dan bahagia. Pangeran Yung Hwa itu, dia... dia seorang bangsawan tinggi, putera Kaisar, dia terpelajar tinggi, tampan dan baik hati. Dan yang terutama sekali, dia cinta kepadamu, Ceng Ceng. Kau pergilah kepadanya..."

Ceng Ceng menggeleng kepala keras-keras. "Tidak! Dia boleh cinta kepadaku, akan tetapi aku... aku tidak berharga..."

"Hemmm, jangan kau berkata begitu, Ceng Ceng. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak cinta kepada pangeran itu? Aku teringat akan pemuda tampan yang berilmu tinggi, adik dari Puteri Milana, putera dari Pendekar Super Sakti yang bernama Suma Kian Lee itu. Dia pun cinta kepadamu, Ceng Ceng. Baik Pangeran Yung Hwa mau pun Suma Kian Lee keduanya adalah pemuda-pemuda pilihan yang sukar dicari tandingannya di dunia ini. Kau kembalilah ke kota raja, kau berhak hidup bahagia. Apakah engkau mencinta Suma Kian Lee...?"

"Tidak, Paman. Sama sekali tidak mungkin! Dia adalah pamanku sendiri!"

"Ehhh...?!" Topeng Setan kelihatan terkejut sekali mendengar hal ini. "Putera Pendekar Super Sakti itu... pamanmu?"

Ceng Ceng mengangguk dan hatinya terasa perih ketika dia teringat kepada Kian Lee. Pemuda itu pun amat baik kepadanya, bahkan dia tahu bahwa Kian Lee cinta padanya, sehingga dia dapat membayangkan betapa hancur hati Kian Lee ketika memperoleh kenyataan-kenyataan bahwa dia ternyata adalah keponakannya sendiri! Pemuda itu pun demikian mencintanya sehingga rela mengorbankan dirinya sendiri ketika berusaha mengobatinya sampai kedua tangannya keracunan.

"Rahasia itu terbuka ketika aku bertemu dengan Paman Gak Bun Beng. Itulah sebabnya mengapa aku pernah mengatakan kepadamu, Paman, bahwa she-ku bukanlah Lu, melainkan Wan. Ayahku adalah Wan Keng In, kakak tiri Paman Suma Kian Lee. Ayahku adalah putera tiri Pendekar Super Sakti, dia... ayahku itu... dia amat jahat, Paman...."

Ceng Ceng kemudian menceritakan riwayat dirinya, diceritakan semua tanpa ada yang disembunyikan bahwa dia hidup di Bhutan dengan kakeknya yang ternyata adalah kakek buyutnya, betapa tadinya dia mendengar dari kakeknya bahwa ayah kandungnya adalah Gak Bun Beng yang sudah mati seperti ibunya.

Betapa dia mengawal Puteri Syanti Dewi yang menjadi kakak angkatnya itu sehingga mengalami banyak kesengsaraan, betapa kemudian dia bertemu dengan Gak Bun Beng dan mendengar akan semua riwayat ibunya yang diperkosa oleh Wan Keng In yang memakai nama Gak Bun Beng. Semua diceritakannya dengan panjang lebar, didengarkan dengan mata terbelalak dan penuh perhatian oleh Topeng Setan.

Setelah mendengar semua itu, Topeng Setan lalu menarik napas panjang. "Akan tetapi, riwayatmu itu bahkan mengangkat derajatmu, Ceng Ceng. Engkau adalah cucu tiri dari Pendekar Super Sakti, dan engkau adalah adik angkat dari Puteri Bhutan, bahkan kakek buyutmu adalah seorang bekas panglima pengawal yang setia. Engkau cukup berharga bahkan untuk seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa itu sekali pun, engkau sudah terlalu berharga. Dia amat mencintamu, Ceng Ceng, bahkan dia sampai menolak dikawinkan dengan Puteri Syanti Dewi karena dia cinta padamu. Mari kuantar engkau menjumpainya, Ceng Ceng..."

"Paman...! Janganlah engkau berkata demikian, Paman...!" Dan tiba-tiba Ceng Ceng menangis tersedu-sedu karena dia teringat akan keadaan dirinya.

"Eh, ehhh... Ceng Ceng, kenapa...?" Topeng Setan bertanya, suaranya gemetar.

Ceng Ceng mengusap air matanya dan memandang wajah bertopeng buruk itu, yang menjadi seperti wajah iblis ketika tertimpa cahaya api unggun yang merah. "Baiklah, kau boleh mendengar semua, Paman. Engkau sudah kuanggap seperti pamanku sendiri seperti ayah sendiri, seperti sahabatku yang termulia di dunia ini, bahkan sebagai satu-satunya orang yang menjadi sahabatku. Aku... aku sama sekali tidak berharga, Paman, apa lagi bagi seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa. Aku hanyalah seorang yang menanti kematian..."

"Eh, apa maksudmu?"

"Paman... aku... aku telah tertimpa mala petaka yang lebih hebat dari pada kematian. Aku telah ternoda, aku telah diperkosa orang..." Dengan terengah-engah dan terputus-putus Ceng Ceng menceritakan melapetaka hebat di dalam goa itu ketika dia diperkosa oleh pemuda laknat itu.

"Dia kutolong, akan tetapi dia malah memperkosa aku, Paman... Dia, si laknat itu, dia bernama Kok Cu, murid Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir. Mendiang kakek Lauw Ki Sun yang tewas dan jenazahnya kau kubur di depan kuil itu, dialah yang menceritakan kepadaku siapa adanya manusia iblis itu. Kakek itu adalah pelayan dari Dewa Bongkok dan pemuda yang merusak hidupku itu adalah murid Si Dewa Bongkok, dialah orang yang kau gambar itu, Paman. Aku harus menemukannya, engkau harus membantu aku untuk membalas dendam setinggi langit dan sedalam lautan ini. Aku bersumpah tidak akan berhenti sebelum dapat membunuhnya. Dan setelah aku berhasil membunuhnya, mudah-mudahan dengan bantuanmu karena dia lihai sekali, Paman, sesudah itu, aku... aku akan membunuh diri, untuk apa hidup menderita aib yang hebat ini...?"

Topeng Setan bangkit berdiri, mengepal tinjunya, matanya terbelalak, tampak seluruh urat di dadanya yang telanjang karena bajunya dirobek untuk membalut pundak kirinya, dan dari kedua mata yang terbelalak lebar itu jatuh air matanya satu demi satu, seperti butir-butir mutiara runtuh dari untaiannya. Dadanya bergelombang dan terdengar rintihan aneh keluar dari mulutnya yang berbibir tebal sekali itu.

Ceng Ceng memandang dengan amat heran. Melihat Topeng Setan berdiri seperti iblis berdiri, dengan air mata bercucuran seperti itu, hati Ceng Ceng seperti diremas-remas rasanya. Dia tahu bahwa orang bertopeng ini juga amat mencintanya sehingga orang itu kini menderita pukulan batin yang hebat setelah mendengar ceritanya. Melihat orang yang sudah buntung lengannya karena dia itu kini menangis, Ceng Ceng memandang dengan bibir gemetar, kemudian menggigil dan bibir itu mewek-mewek menahan tangis.

Dan akhirnya Ceng Ceng menubruk dan merangkul pinggang Si Buruk Rupa itu sambil menangis sesenggukan. Sampai mengguguk Ceng Ceng menangis. Dia melepaskan seluruh kedukaan dan penyesalan hatinya, menumpahkan semua rasa penasaran yang bertumpuk-tumpuk dan dia seolah-olah memeluk gunung yang kokoh kuat, yang akan dapat dipergunakan sebagai sandaran hidup ketika dia sendiri sudah hampir tidak kuat menahan penderitaan yang menimpanya.

Dengan lengan kanannya, Topeng Setan memeluk dan jari-jari tanngannya mengelus kepala gadis itu penuh keharuan dan kasih sayang.

"Paman... Paman... ahh... Paman... hu-hu-huuuhh..." Ceng Ceng menangis seperti anak kecil, air matanya membasahi dada yang bidang, kuat, tegap dan berkulit putih halus, merupakan kontras yang aneh dengan kulit wajah yang buruk itu.

"Tenanglah, Ceng Ceng. Kuatkan hatimu... dan hadapilah kenyataan hidup seperti ini... jangan kau putus harapan, Ceng Ceng. Aku... aku bersumpah akan melindungimu dan membantumu menemukan kebahagiaan..."

"Paman, kau bilang tadi... kau akan meninggalkan aku... kau menyuruh aku pergi ke kota raja..."

"Sekarang tidak lagi, Ceng Ceng. Aku baru akan pergi setelah melihat engkau menemui kebahagiaan hidup. Janganlah kau khawatir, aku akan mempertaruhkan nyawaku demi kebahagiaanmu."

"Paman... uhu-hu-huuu, Paman..." Ceng Ceng makin menjadi tangisnya karena hatinya terharu sekali mendengar ucapan yang keluar dengan suara gemetar itu.

"Paman, mengapa kau begini baik kepadaku. Mengapa...?" Ceng Ceng mengguncang-guncang tubuh yang dipeluknya itu. "Dan mengapa dia... dia begitu jahat... dia merusak hidupku... mengapa...?"

Topeng Setan tidak menjawab, hanya mengelus-elus rambut itu dan membiarkan Ceng Ceng menumpahkan semua rasa penasaran hatinya. Setelah gelora perasaan itu agak mereda di hati Ceng Ceng, Topeng Setan lalu mengajak gadis itu pergi dari situ.

"Kita harus segera pergi melanjutkan perjalanan. Mereka tentu akan mengejar terus dan sebelum luka di pundakku sembuh, amat berbahaya menghadapi lawan berat, Ceng Ceng."

"Baik, Paman. Aku hanya menurut dan ikut padamu." Ceng Ceng menjawab dan dia tahu bahwa mulai saat itu, untuk segala urusan, sampai kepada urusan mencari musuh besarnya, dia harus mengandalkan pamannya yang buruk rupa dan penuh rahasia ini, yang kini dipercayanya setelah dia saksikan kehebatan sepak terjangnya.

Maka berangkatlah mereka meninggalkan hutan itu menuju ke selatan karena menurut rencana Topeng Setan, mereka akan pergi ke sebelah selatan kota raja, di markas kaum sesat yang dulu menjadi markas kaum Tiat-ciang-pang, di mana Ceng Ceng telah diangkat menjadi bengcu (ketua) oleh kaum sesat dan Topeng Setan bersama-sama Tek Hoat menjadi pembantu-pembantunya. Di tempat itu mereka akan bersembunyi dan beristirahat sampai luka di pundak Topeng Setan sembuh sama sekali.

Hukum karma seperti yang dikenal oleh kita semua adalah lingkaran setan berupa roda-roda sebab akibat yang saling berkaitan dan tidak akan ada habisnya karena semua itu digerakkan oleh pikiran manusia yang membentuk nafsu-nafsu sebagai lanjutan dari setiap peristiwa yang terjadi atas diri manusia sendiri. Dari suatu sebab timbullah akibat, dan akibat lain sehingga menjadi lagi si sebab juga si akibat dan sebaliknya.

Sebagai contohnya, terjadi suatu peristiwa di mana kita dirugikan orang lahir mau pun batin. Mungkin kejadian ini pun merupakan akibat dari sebab-sebab terdahulu, akan tetapi kita menganggapnya sebagai sebab dan peristiwa itu mendatangkan kemarahan dan dendam sehingga tentu saja menimbulkan akibat yang terjadi dari pihak kita, membalas dendam dan sebagainya sebagai reaksi.

Reaksi dari kita ini terhadap pihak luar yang kita anggap merugikan, kembali dapat menjadi suatu aksi yang memancing reaksi lain dari pihak luar itu sehingga dengan demikian, si reaksi menjadi aksi dan sebaliknya. Dengan adanya kenyataan ini, maka yang membentuk lingkaran setan yang disebut hukum karma sesungguhnya adalah kita sendiri, pikiran kita sendiri yang selalu siap untuk melakukan reaksi.

Sebaliknya, kalau dengan kesadaran mendalam kita menghadapi peristiwa yang merugikan kita itu sebagai suatu peristiwa yang wajar, sebagai suatu kenyataan yang habis sampai di situ saja, tidaklah timbul dendam, kemarahan, kebencian, harapan atau lain macam perasaan lagi dan patahlah lingkaran setan itu! Jelas bahwa mengingat-ingat masa lalu, baik itu setahun yang lalu, kemarin atau semenit yang lalu, disambung dengan membayangkan masa depan, baik itu nanti, besok atau kelak, merupakan pembentukan lingkaran setan atau hukum karma tadi. Batin yang bebas dari masa lalu dan masa depan, akan bebas pula dari hukum karma.

Sekali kita membiarkan diri terseret oleh hukum karma, hidup akan terombang-ambing dan menjadi permainannya, yang sesungguhnya adalah permainan dari nafsu-nafsu keinginan dan hasil pikiran kita sendiri. Setiap peristiwa yang terjadi tidak bersifat senang atau susah, yang terjadi adalah suatu kenyataan sungguh pun kejadian itu sendiri tidak akan terlepas dari keadaan yang dibentuk oleh kita sendiri. Suka atau duka akan terjadinya peristiwa itu terletak dalam penanggapan kita. Siapa mengejar suka tak dapat tidak pasti berkenalan dengan duka karena suka atau duka hanya permainan dari pikiran sendiri yang menilai, membanding, memilih, membenarkan atau menyalahkan.

Kita tidak berani meninggalkan semua ini, karena kita takut untuk menjadi 'bukan apa-apa', dan kita menganggap bahwa melepaskan semua suka duka hidup, berarti kita akan menjadi kosong melompong, tidak berarti apa-apa dan kita menjadi ngeri untuk kehilangan arti kita! Oleh karena itu pula, dengan membuta kita melanjutkan semua ini, melanjutkan kehidupan seperti yang sudah-sudah, sungguh pun setiap hari kita ditimpa kesengsaraan dan menjadi permainan konflik-konflik, dari konflik batin sendiri sampai konflik antar manusia sampai ke perang-perang yang berkobar di seluruh pelosok dunia. Dan dipermainkan oleh konflik dan kesengsaraan ini kita namakan hidup.....

KISAH SEPASANG RAJAWALI (seri ke 8 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang