Jilid 37/57

1.8K 18 0
                                    

"Kenapa... kenapa engkau berusaha menolongku dengan menempuh bahaya? Kau bisa keracunan dan mati!"

Suma Kian Lee tersenyum dan menggeleng kepala. "Aku tidak akan mati, Nona, dan andai kata mati pun kalau dapat menyelamatkan engkau dari bahaya maut, hatiku akan puas."

"Hemm, kau siapakah namamu?"

"Namaku Suma Kian Lee dan... ohhh, engkau kenapa, Nona?" Dia hendak menubruk maju dan sudah mengulur tangan, tetapi dia tidak berani memegang atau menyentuh tubuh itu demi kesopanan.

Ceng Ceng memegang kepalanya yang terasa pening sekali. Dia menguatkan dirinya dan membuka matanya lagi.

"Engkau pernah kulihat... ahhh, lupa lagi aku di mana..."

"Di pasar kuda, dan kedua kalinya di waktu engkau hendak ditangkap oleh Hek-tiauw Lo-mo...." Kian Lee berhenti sebentar dan memandang wajah yang cantik itu penuh perhatian, karena dia teringat betapa jauh bedanya keadaan dara itu dalam dua kali pertemuan itu. Yang pertama dara itu kelihatan lincah jenaka dan gembira, akan tetapi yang kedua kalinya dara itu menjadi dingin dan amat ganas.

"Dan yang ketiga kalinya aku dan adikku melihat engkau di rumah Jenderal Kao di kota raja, akan tetapi engkau terus berlari pergi. Nona Lu, biarkan aku mengobatimu, kalau engkau sudah sembuh baru kita bicara lagi." Kian Lee khawatir sekali melihat wajah cantik yang kehijauan itu.

Ceng Ceng menggeleng kepala, lalu bangkit berdiri, agak terhuyung dan dia terpaksa berpegang kepada punggung kursi. "Tidak, tidak ada gunanya. Engkau tidak akan dapat menyembuhkan aku, tidak ada yang dapat menyembuhkan... biarkan aku pergi saja dari sini..."

"Heh! Siapa bilang tidak ada orang dapat menyembuhkan? Aku belum pernah melihat penyakit yang tak dapat kusembuhkan!"

Kian Lee cepat menengok, dan dengan mata sayu Ceng Ceng yang pandang matanya berkunang itu pun menoleh ke arah pintu.

"Sute, kau kenapa...?" Gak Bun Beng cepat menghampiri Kian Lee, menangkap tangan pemuda itu dan memeriksanya. "Ahh, kau keracunan!" Pendekar itu berseru kaget.

"Dia... dia keracunan... ketularan oleh racun di tubuhku..." Ceng Ceng berkata lemah. "Biarkan aku pergi..." Dia terhuyung hendak menuju ke pintu.

"Dia telah keracunan hebat, dan pemuda ini pun keracunan," kata kakek yang datang bersama Gak Bun Beng, seorang kakek yang aneh, membawa tongkat dan pandang matanya tidak acuh. "Akan tetapi jangan mengira aku tidak dapat menyembuhkan!" Kakek ini adalah Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok.

Seperti telah diketahui kakek ini adalah ahli pengobatan yang pernah bertemu dan bahkan mengadu kepandaian dengan Gak Bun Beng yang ketika itu sedang sakit dan melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi. Biar pun wataknya aneh bukan main, Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Bertangan Sakti) ini adalah seorang yang benci terhadap pemberontakan, maka begitu mendengar bahwa Koan-bun dan Teng-bun diserbu oleh pasukan-pasukan pemerintah, dia cepat datang dan membantu. Kebetulan dia bertemu dengan Gak Bun Beng di Koan-bun.

Kehadiran seorang ahli pengobatan tentu saja penting sekali bagi Bun Beng karena di dalam perang terjatuh banyak korban yang perlu dengan pengobatan, apa lagi dia juga teringat gadis yang telah menderita keracunan hebat, maka dia mengajak Sin-ciang Yok-kwi untuk menyusul Kian Lee setelah dia menyelesaikan bantuannya terhadap serbuan tentara pemerintah.

"Yok-kwi, kalau begitu cepat obati mereka. Nona ini adalah Nona Lu Ceng, seorang nona muda yang berjiwa pahlawan, dan pemuda ini sute-ku."

Lu Ceng menudingkan telunjuknya ke arah Gak Bun Beng. "Engkau mengenal aku, akan tetapi siapakah kau...?"

Kian Lee seakan-akan hendak menutupi sikap suheng-nya, maka cepat dia berkata, "Nona Lu, dia ini adalah suheng-ku, Gak Bun Beng... Ehh, kenapa?" Dia terkejut sekali melihat Ceng Ceng membelalakkan matanya, memandang kepada Gak Bun Beng bagai orang melihat setan, kemudian dia menggeleng kepala keras-keras.

"Bohong! Gak Bun Beng sudah mati...!" Dan dia pun terguling dan tentu akan terbanting jatuh kalau tidak ditangkap oleh Kian Lee yang selalu siap di dekatnya. Dara itu telah pingsan.

"Suheng..." Kian Lee memandang Gak Bun Beng.

Dari pandang mata ini saja cukup jelaslah bagi pendekar itu apa yang terkandung di dalam hati sute-nya itu. Hatinya merasa terharu, karena dia pun pernah merasakan dorongan cinta kasih pertama seperti yang dialami sute-nya pada saat itu. Maka dia lalu menoleh kepada Sin-ciang Yok-kwi.

"Yok-kwi, kalau kau tidak cepat menolong mereka berdua ini, pandanganku terhadap kemampuanmu akan menurun!" kata Bun Beng dengan muka sungguh-sungguh.

Sin-ciang Yok-kwi tidak menjawab, alisnya berkerut dan kedua tangannya sudah mulai memeriksa Ceng Ceng yang direbahkan kembali oleh Kian Lee di atas pembaringan. Makin dalam kerut di muka kakek itu dan beberapa kali dia mengeluarkan seruan aneh. Sampai lama dia memeriksa tubuh Ceng Ceng, kemudian dia membalik kepada Kian Lee yang duduk di pinggir pembaringan lalu memeriksa pemuda itu, memeriksa kedua tangannya yang menghijau sampai ke bawah siku, memeriksa detik jantungnya pula. Kakek itu terhenyak ke atas kursi, matanya memandang kosong melalui pintu kamar itu.

"Yok-kwi, bagaimana?" Bun Beng bertanya dengan penuh kekhawatiran karena pada wajah tabib pandai itu nampak kebingungan.

Yok-kwi menggelengkan kepala dan menghela napas panjang. "Baru sekali ini aku berhadapan dengan keadaan yang luar biasa sekali!" katanya dan menoleh ke arah Ceng Ceng dengan pandang mata penuh keheranan.

"Pukulan yang diterima oleh gadis ini pasti sudah akan mematikan orang lain karena racun yang terkandung di dalamnya amat luar biasa. Akan tetapi gadis ini tidak mati, bahkan di samping racun pukulan itu, di seluruh tubuhnya terdapat hawa beracun yang membuat dia berbahaya sekali bagi orang lain, racun yang kehijauan dan pemuda ini pun terkena racun yang terkandung di seluruh tubuhnya itu. Luar biasa sekali! Gadis ini bisa dinamakan manusia beracun!"

"Cukup semua keterangan itu! Yang penting, bisakah engkau menyembuhkannya, Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok?" Bun Beng membentak tak sabar.

Kakek itu memandang kepada Bun Beng. "Gak-taihiap, engkau tahu bahwa aku adalah seorang tabib yang sanggup mengobati segala macam penyakit dan luka yang beracun sekali pun. Akan tetapi mengobati seorang manusia beracun? Sungguh tidak mungkin bagiku. Pemuda ini dapat kuobati, apa lagi sute-mu ini memiliki sinkang yang murni dan amat kuat. Akan tetapi gadis ini... terus terang saja aku hanya mampu memberi obat penawar yang melenyapkan rasa nyeri sehingga dia tidak akan terlalu tersiksa. Akan tetapi... kalau dia dapat bertahan sampai satu bulan saja sudah amat luar biasa namanya. Mungkin dalam belasan hari saja dia sudah harus mati..."

"Tidak...!" Tiba-tiba Kian Lee yang biasanya bersikap tenang itu berteriak. "Suheng, tidak mungkin membiarkan dia mati...!"

Gak Bun Beng menarik napas panjang. "Sute, bukan kitalah yang menentukan tentang hidup atau mati. Kita hanya dapat berusaha, dan tentu saja kita harus berusaha sedapat mungkin untuk menyembuhkan Nona Lu ini. Yok-kwi, sebagai orang yang telah berani memakai julukan Setan Obat, tidak malukah engkau kalau harus mengatakan bahwa engkau tidak mengenal cara penyembuhan bagi nona ini?"

Kakek ahli obat itu memandang Bun Beng dengan mata melotot, kelihatan marah sekali. "Gak Bun Beng, engkau terlalu mendesak dan memandang rendah padaku!" Kemudian dia menarik napas panjang. "Di dunia ini, hanya ada Pulau Es yang terkenal dengan ketinggian ilmu silatnya, sayang tidak terbuka bagi semua orang dan hanya dikenal oleh orang-orang seperti engkau dan keluarga Pulau Es sehingga Pulau Es menjadi tempat dalam dongeng, kemudian ada tokoh yang luar biasa ilmunya tentang racun dan dia adalah Ban-tok Mo-li, namun sayang tidak ada seorang pun tahu di mana nenek iblis itu berada. Ada lagi tempat yang dikenal dalam dongeng, yaitu Istana Gurun Pasir yang kabarnya ditempati oleh orang yang seperti dewa dan ahli pula tentang segala macam racun. Kemudian orang keempat adalah suheng-ku, yang dalam kepandaian tentang racun dan pengobatan boleh menjadi guruku, akan tetapi suheng yang berjuluk Yok-sian (Dewa Obat) telah meninggal, sedangkan dua orang anaknya entah ke mana aku sendiri pun tidak tahu. Kau lihat, Gak-taihiap, di dunia ini yang dapat mengobati Nona ini kiranya hanyalah Ban-tok Mo-li, atau manusia dewa di Gurun Pasir, atau Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, yaitu gurumu sendiri."

"Suheng, biar kubawa dia ke Pulau Es, minta pertolongan ayah...," Kian Lee berkata penuh semangat.

"Apa...? Jadi pemuda ini adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?" Yok-kwi bertanya sambil memandang dengan mata terbelalak kagum. Ketika dia melihat Gak Bun Beng mengangguk membenarkan, dia cepat berkata, "Ah, maaf... maaf... sungguh beruntung aku dapat memperoleh kesempatan bertemu dengan puteranya, sungguh pun tidak beruntung dapat melihat ayahnya."

"Sute, kiranya akan terlambat kalau membawanya ke Pulau Es," Bun Beng berkata kepada pemuda itu. "Engkau sudah mendengar keterangan Yok-kwi tadi bahwa Nona Lu hanya dapat bertahan selama satu bulan, sedangkan perjalanan ke sana sedikitnya akan makan waktu satu bulan lebih."

"Suheng, habis bagaimana lagi baiknya? Locianpwe, saya harap dapatlah Locianpwe menolongnya..." Kian Lee menghadapi dua orang sakti itu dengan sikap bingung. Hal ini tidak perlu diherankan karena biar pun Kian Lee seorang pemuda gemblengan yang memiliki kepandaian tinggi dan biasanya berwatak tenang, namun kini melihat dara yang dicintanya terancam bahaya maut, dia menjadi gelisah sekali.

"Harap tenang, orang muda yang gagah perkasa. Tepat seperti yang dikatakan oleh Suheng-mu tadi, kita manusia hanya dapat berusaha, dan untuk dapat berusaha dengan baik kita perlu memiliki batin yang tenang. Biarlah sekarang aku memberi obat penawar kepadanya agar dia terbebas dari rasa nyeri, dan kedua tanganmu pun perlu diberi obat agar bersih dari hawa beracun."

"Yok-kwi, hawa beracun di kedua tangan sute-ku biarlah kukeluarkan dengan sinkang..."

"Jangan, Gak-taihiap. Engkau telah melihat sendiri betapa sute-mu ketularan begitu dia berusaha mengobati gadis itu dengan kekuatan sinkang. Hawa beracun hijau ini aneh sekali dan hawa inilah yang telah membuat Nona Lu menjadi manusia beracun. Cara pengobatanmu dengan sinkang tentu akan membuat engkau ketularan pula." Kakek itu mencegah, lalu dia membuat ramuan obat-obatan yang aneh-aneh dan yang bahannya sebagian dicarinya sendiri di dalam hutan.

Setelah diobati oleh Yok-kwi, diberi minum obat dan kedua lengannya digosok, benar saja warna menghijau itu lenyap dari kedua lengan Kian Lee. Kemudian Ceng Ceng yang masih setengah pingsan itu diberi minum obat oleh Yok-kwi, dan dia kemudian meninggalkan beberapa bungkus obat kepada Kian Lee untuk digodok dan diberi minum kepada Ceng Ceng setiap hari. Obat itu cukup untuk sebulan lamanya.

Kakek itu lalu berkata kepada Bun Beng, "Gak-taihiap. Aku memang harus malu kalau sampai tidak dapat menyembuhkan Nona Lu. Karena itu, aku akan pergi mencari obat untuknya. Syukur kalau aku dapat bertemu dengan penghuni Istana Gurun Pasir, atau Ban-tok Mo-li, atau mungkin keponakan-keponakanku yang hilang. Kalau sampai aku tidak berhasil, biarlah kubuang saja nama julukanku Yok-kwi."

Gak Bun Beng terkejut sekali dan merasa menyesal bahwa ucapannya yang pernah dikeluarkannya itu diterima dengan sungguh-sungguh oleh Setan Obat ini. "Ahh, Yok-kwi, aku tidak bermaksud demikian..."

Akan tetapi Yok-kwi tertawa dan menjura kepadanya, lalu kepada Kian Lee. "Sudah demikianlah keputusan hatiku. Di samping itu, melakukan sesuatu untuk putera Pendekar Super Sakti merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan besar bagiku. Selamat tinggal, mudah-mudahan aku tidak akan terlambat memperoleh obat itu." Tanpa dapat dicegah lagi, Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok pergi meninggalkan kota Koan-bun yang sudah aman kembali dan mulai dibersihkan dari mayat-mayat yang bergelimpangan itu.

Dengan penuh ketekunan Kian Lee merawat sendiri gadis itu dan dua hari kemudian barulah Ceng Ceng siuman dari pingsan atau setengah pingsan itu. Dia membuka mata, menoleh ke kanan kiri, kemudian melihat Kian Lee duduk tertidur di atas kursi dekat pembaringannya, dia bangkit duduk. Tubuhnya tidak terasa sakit lagi, ringan dan enak. Teringatlah dia akan semua yang dialaminya, terutama sekali teringat dia akan wajah seorang laki-laki setengah tua yang gagah perkasa, laki-laki yang mengaku bernama Gak Bun Beng!

Padahal nama ayahnya adalah Gak Bun Beng. Akan tetapi ayahnya yang telah menyia-nyiakan ibunya itu telah mati. Tentu hanya sama namanya saja, pikirnya. Lalu dia memandang kepada pemuda itu. Pemuda yang tampan sekali, dan gagah perkasa, dan... tentu pemuda ini mencintanya. Jantung Ceng Ceng berdebaran aneh. Pemuda ini tentu telah merawatnya, dan menjaganya!

Sedikit gerakan Ceng Ceng itu cukup membangunkan Kian Lee. Dia memandang dan cepat bertanya, "Engkau sudah dapat bangun? Syukurlah, Nona...," nada suaranya girang dan penuh harapan. "Bagaimana rasanya tubuhmu...?"

Ceng Ceng menatap wajah itu, hatinya diliputi keharuan. "Saudara Suma Kian Lee... bagaimana tanganmu...?"

Kian Lee mengulurkan kedua tangannya, memandang tangannya sambil berkata, "Ah, tidak apa-apa, sudah disembuhkan oleh Yok-kwi."

"Berapa lamanya aku tidur... ehh, tak sadarkan diri?"

"Ah, aku khawatir sekali, Nona Lu. Engkau pingsan dan mengigau, mengeluh selama dua hari dua malam..."

Kian Lee bergidik kalau teringat betapa nona itu dalam pingsannya atau tidurnya selalu gelisah, bahkan sering berteriak-teriak lirih seperti orang ketakutan yang dianggapnya tentulah akibat rasa takutnya ketika hendak diperkosa oleh Tambolon dahulu itu.

"Dua hari dua malam...? Dan selama itu... kau terus merawat dan menjaga aku...?"

Kian Lee tersenyum. "Ahh, itu sudah semestinya, Nona. Habis, engkau membutuhkan perawatan. Engkau telah mendapat obat penawar dari Yok-kwi, yang untuk sementara dapat melenyapkan rasa nyeri, akan tetapi... ah...," Kian Lee tergagap mengingat bahwa sebenarnya gadis ini masih belum sembuh sama sekali dan masih berada dalam cengkeraman maut!

"Yok-kwi Locianpwe sedang mencarikan obat penyembuh bagimu... ehhh, Nona, kau... kau menangis?"

Ceng Ceng menundukkan mukanya dan menghapus beberapa titik air matanya. Hatinya terharu dan seperti ditusuk-tusuk rasanya. Pemuda ini selain telah mempertaruhkan nyawa sendiri ketika berusaha menyedot racun dari tubuhnya, juga telah merawat dan menjaganya selama dua hari dua malam dan jelas bahwa pemuda itu agaknya tidak makan dan tidak tidur, buktinya wajahnya pucat lesu dan tadi sampai tertidur di atas kursi! Pemuda yang begini tampan dan gagah, berbudi mulia, telah menyatakan cinta kasihnya lewat perbuatannya, cinta kepada dia yang tidak berharga lagi!

Makin diingat tentang keadaannya, makin terharu dan sakit rasa hatinya. Pemuda-pemuda pilihan telah jatuh cinta kepadanya. Pangeran Yung Hwa, seorang pangeran putera Kaisar yang tampan, terpelajar tinggi, halus, romantis dan jujur! Kini, seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa tingginya, tampan dan gagah perkasa! Mereka itu jelas amat mencintanya, akan tetapi dia... ah, dia telah menjadi setangkai bunga yang layu, tidak berharga lagi, telah diperkosa oleh seorang pemuda laknat, seorang pemuda biadab.

Tiba-tiba dia teringat!

"Ah, di mana dia...?" Tiba-tiba Ceng Ceng meloncat turun dari pembaringan akan tetapi cepat Kian Lee memegang lengannya dengan halus.

"Nona, hati-hatilah. Engkau belum sembuh... beristirahatiah dulu..."

Ceng Ceng sadar bahwa sikapnya terlalu kasar. Dia menoleh ke kanan kiri, mencari kalau-kalau pemuda tinggi besar yang menjadi musuhnya, pemuda yang bernama Kok Cu, pemerkosanya, berada di situ. Dia tidak mimpi! Dia telah bertemu dua kali!

Bayangan berkelebat di pintu dan Ceng Ceng siap untuk menyerang kalau yang datang ini adalah musuh besarnya. Akan tetapi yang muncul di pintu adalah laki-laki setengah tua yang mengaku bernama Gak Bun Beng. Ceng Ceng bengong dan terduduk kembali di atas pembaringan.

"Gak-suheng...," Kian Lee berkata menyambut suheng-nya.

Bun Beng tersenyum. "Ahhh, Nona Lu sudah sadar kembali? Syukurlah, bagaimana rasanya tubuhmu?"

Ceng Ceng tidak menjawab. Jantungnya berdebar keras dan dengan hati tak sabar lagi dia bertanya setelah mendengar Kian Lee menyebut orang ini Gak-suheng. "Apakah namamu Gak Bun Beng?"

Bun Beng dengan tenang lalu menarik sebuah bangku dan duduk menghadapi gadis yang duduk kembali di pinggir pembaringan itu. Memang dia sudah merasa tertarik dan heran melihat sikap Ceng Ceng sebelum jatuh pingsan ketika gadis itu mendengar namanya disebut, dan mendengar gadis itu menyatakan bahwa yang bernama Gak Bun Beng sudah mati!

"Benar, Nona Lu Ceng. Namaku memang Gak Bun Beng. Apakah engkau pernah pula mendengar namaku itu?"

"Mendengar...? Apakah engkau murid Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?" Ceng Ceng pernah mendengar kakeknya dulu bilang bahwa ayahnya yang bernama Gak Bun Beng bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar sakti, murid majikan Pulau Es yang berjuluk Pendekar Super Sakti!

Pertanyaan ini mengejutkan Bun Beng dan Kian Lee. "Benar sekali, Nona. Dari mana Nona mengetahui namaku?"

Wajah Ceng Ceng yang agak kehijauan itu tiba-tiba menjadi pucat, matanya terbelalak memandang wajah Bun Beng dan jantungnya berdebar tidak karuan seolah-olah dia melihat setan di tengah hari. "Harap... harap kau jangan membohongi aku...," katanya gagap. "Gak Bun Beng murid Pendekar Super Sakti itu telah mati...! Dia adalah ayah kandungku, sudah mati, jangan kau berani-berani memalsukan namanya!"

"Ohhh...!"

"Ahhhh...!"

Bun Beng dan Kian Lee terkejut dan saling berpandangan.

"Aihh, Nona Lu, sadarlah... ingatlah... ah, harap kau istirahat dulu..." Dengan hati penuh iba karena mengira bahwa nona ini menjadi bingung dan telah berubah ingatan karena menderita keracunan, Kian Lee sudah bangkit dari bangkunya, menghampiri Ceng Ceng dan dengan sikap lemah lembut berusaha membujuk gadis itu untuk berbaring kembali.

"Sute, biarkan dia. Ada apa-apa di balik semua ini." Bun Beng berkata dan sute-nya duduk kembali, memandang dengan penuh kecemasan. Bun Beng melihat bahwa Ceng Ceng tidak bicara seperti seorang yang hilang atau berubah ingatan, melainkan dengan sungguh-sungguh.

"Nona Lu Ceng," katanya tenang sambil memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. "Engkau adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi dan diberi nama Candra Dewi, bukan?"

Ceng Ceng mengangguk, matanya masih memandang Gak Bun Beng dengan rasa penasaran karena mengira bahwa orang ini berani sekali memalsukan nama ayahnya yang sudah meninggal dunia.

"Syanti Dewi sudah banyak bercerita tentang dirimu."

"Kak Syanti...? Engkau mengenalnya? Di mana dia?"

"Tentu saja aku mengenalnya. Aku menyelamatkannya dari air sungai..."

"Ah, syukurlah..."

"Dan kini pun dia telah diselamatkan dari tangan pemberontak. Nona Lu, sepanjang pendengaranku dari cerita Syanti Dewi, engkau sejak kecil tinggal di Bhutan. Benarkah demikian?"

Ceng Ceng mengangguk lagi. Terlalu banyak hal-hal aneh terdengar olehnya sehingga sukar baginya untuk membuka suara.

"Jika sejak kecil engkau berada di Bhutan, bagaimana engkau dapat mengenal nama Gak Bun Beng yang kau katakan sebagai ayah kandungmu?"

"Memang dia ayah kandungku! Kongkong yang bercerita kepadaku," katanya kemudian.

"Pernahkah engkau bertemu dengan ayah kandungmu itu?"

Ceng Ceng menggeleng kepala.

"Siapakah nama kakekmu?"

"Kakek adalah Lu Kiong..."

"Yang menurut cerita Syanti Dewi tewas ketika melindungi engkau dan Syanti Dewi?" Bun Beng menyambung.

"Benar."

"Dan nama ibumu?"

"Ibuku bernama Lu Kim Bwee..." Ceng Ceng kini terkejut memandang Bun Beng yang meloncat berdiri dari bangkunya.

"Lu Kim Bwee...? Di mana dia sekarang?" tanyanya penuh semangat.

"Ibuku...? Dia... dia sudah mati..." Ceng Ceng berkata dan dia memejamkan matanya. Teringat bahwa ayah bundanya sudah mati, juga kongkong-nya, dan dia sendiri tertimpa mala petaka hebat, dia merasa betapa sengsara hidupnya!

"Ahhh...!" Bun Beng berseru kembali dan duduk di atas bangkunya, menghela napas panjang. "Nona Lu, harap kau suka menceritakan kepadaku, apa saja yang diceritakan oleh kongkong-mu itu kepadamu, tentang orang bernama Gak Bun Beng itu."

Hati Ceng Ceng merasa tegang. Sikap dua orang itu, yang dia tahu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, menimbulkan dugaan di hatinya bahwa memang ada sesuatu yang aneh, suatu rahasia mengenai keadaan dirinya. Kakeknya jelas adalah seorang Han, bahkan menurut pengakuan kakeknya, dahulu kakeknya adalah seorang pengawal Kaisar yang setia, maka kakeknya selalu menanamkan kesetiaan dan kepahlawanan padanya.

Akan tetapi mengapa kakeknya dan ibunya meninggalkan tanah air dan berada di Bhutan yang begitu jauh? Tentu ada rahasia di balik itu semua, dan dia merasa bahwa saat terbukanya rahasianya itu hampir tiba. Maka dengan singkat namun jelas dia pun menuturkan keadaan dirinya dan kakeknya.

"Kongkong adalah seorang bekas pengawal Kaisar yang mengundurkan diri dan tinggal bersamaku di Bhutan," dia bercerita sambil menatap wajah Bun Beng dan pura-pura tidak melihat betapa sepasang mata Kian Lee seperti melekat dan bergantung kepada bibirnya, mata yang sinarnya penuh kemesraan dan kasih sayang! "Kongkong bernama Lu Kiong dan ibu sudah tidak ada. Menurut penuturan Kongkong, ayah kandungku bernama Gak Bun Beng dan ibuku yang bernama Lu Kim Bwee telah meninggal dunia karena merana dan berduka ditinggal pergi oleh ayah kandungku itu."

"Ahh... sungguh kasihan engkau, Kim Bwee..." Bun Beng mengeluh.

Jantung Ceng Ceng makin berdebar tegang. Orang ini jelas mengenal ibuku, pikirnya! Akan tetapi dia melanjutkan. "Mendengar penuturan Kongkong, aku lalu menyatakan hendak mencari dan menegur Ayah atas perbuatannya terhadap Ibu, tetapi... Kongkong bilang bahwa ayahku yang bernama Gak Bun Beng, murid Pendekar Super Sakti dari Pulau Es itu telah mati. Nah, begitulah cerita Kongkong kepadaku."

"Tidak, Nona Lu Ceng. Orang yang bernama Gak Bun Beng itu belum mati. Kakekmu dan ibumu salah sangka... akulah orang yang mereka maksudkan itu..."

Ceng Ceng mengeluarkan jerit tertahan. Mukanya menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada Gak Bun Beng. "Kalau... kalau begitu... engkau... Ayaaahh...!" Ceng Ceng sudah menubruk ke depan, merangkul pinggang pendekar itu dan menangis tersedu-sedu.

Gak Bun Beng membiarkan gadis itu menangis di dadanya, kemudian baru dia berkata dengan halus, "Nona, tenanglah Nona, dan duduklah baik-baik untuk mendengarkan penuturanku..."

"Suheng! Jadi dia... dia ini... puterimu...?" Kian Lee juga bertanya.

"Tenang, Sute. Dan engkau pun boleh mendengarkan penuturan ini karena... ahhh, Tuhan saja yang Maha Tahu dan mengatur segala sesuatu di dunia ini sehingga terjadi hal seperti yang kuhadapi ini, karena engkau pun... agaknya ada kepentingan dalam hal ini. Semoga Tuhan memberi kekuatan kepada kita bertiga. Duduklah, Nona Ceng..."

Ceng Ceng melepaskan pelukannya, melangkah mundur dan duduk kembali ke atas pembaringan. Wajahnya pucat, matanya memandang penuh kekagetan dan keraguan pada Bun Beng. "Engkau... engkau ayah kandungku, mengapa..." Dia tidak melanjutkan ketika melihat sinar mata penuh iba terpancar dari mata pendekar itu, dan karena itu keheranannya bertambah. Tadi mendengar ayah kandungnya masih saja menyebutnya nona, dia sudah terkejut dan terheran sekali.

"Sayang sekali, Nona Ceng, sungguh sayang sekali bahwa terpaksa aku mengaku bahwa aku bukan ayah kandungmu. Ah, aku akan bersukur kepada Tuhan andai kata benar aku adalah ayah kandungmu. Aku akan merasa bahagia dan bangga mempunyai seorang anak seperti engkau..."

Makin terbelalak mata Ceng Ceng. Jelas bahwa kata-kata dari Bun Beng itu merupakan tikaman hebat yang membuyarkan semua harapan dan kebahagiaannya tadi. Mukanya seperti muka mayat hidup yang berwarna kehijauan.

"Ah, Nona... tabahkanlah hatimu..." Kian Lee berkata dan tanpa terasa lagi, tidak malu-malu lagi kepada suheng-nya karena dia seolah-olah tak sadar apa yang dilakukannya, dia memegang tangan Ceng Ceng.

Gadis itu terisak, memejamkan matanya, membiarkan air matanya bertitikan jatuh ke atas kedua pipinya dan dia menggenggam erat-erat tangan pemuda itu, seolah-olah dia minta bantuan dan kekuatan dari Kian Lee.

Bun Beng melihat ini semua dan hatinya tertusuk. "Kalian berdua tenanglah dan beri kesempatan kepadaku untuk bercerita dengan tenang."

Ceng Ceng sadar kembali, menarik tangannya, memandang kepada Kian Lee dengan mata basah dan bersinarkan terima kasih, kemudian menghapus air matanya, menarik napas panjang. "Hidupku memang selalu dirundung kemalangan dan kekecewaan demi kekecewaan menimpa diriku. Mengapa perjumpaan kembali dengan ayah kandung pun direnggut dari harapanku! Gak Bun Beng, kalau benar engkau bukan ayah kandungku, setelah tadi engkau menghidupkan kembali ayah kandungku yang telah mati... engkau jelaskanlah ini semua. Demi Tuhan, kau beri penjelasan akan semua ini!" Suaranya setengah menjerit.

Bun Beng menarik napas panjang. "Aku semakin kagum kepadamu, Nona. Engkau menghadapi pukulan batin yang hebat itu dengan tabah. Kian Lee-sute, kuharap engkau pun dapat mencontoh kegagahan dan ketabahan hati Nona ini."

Kian Lee memandang kepada suheng-nya dengan heran, akan tetapi dia mengangguk. Dua orang muda kini menanti dengan penuh perhatian dan suasana menjadi sunyi dan hening sekali sebelum Bun Beng mulai bercerita.

"Dahulu di waktu aku masih muda, belasan tahun, hampir dua puluh tahun yang lalu, terdapat seorang pemuda sesat yang melakukan banyak sekali perbuatan jahat, di antaranya memperkosa wanita, akan tetapi ilmu kepandaiannya tinggi sekali..."

"Pemuda semacam itu harus dibunuh!" Ceng Ceng berseru, marah karena dia teringat akan pemuda yang memperkosa dirinya.

Bun Beng tersenyum. Dara ini mengingatkan dia akan watak Giam Kwi Hong, murid dan keponakan Pendekar Super Sakti. Lalu dia melanjutkan. "Pemuda sesat itu bermusuhan dengan aku, maka dia selalu menggunakan namaku dalam melakukan perbuatannya yang sesat itu. Pada suatu hari, aku mengejar pemuda itu dan tiba di tepi telaga, di mana terdapat sebuah pondok tempat peristirahatan seorang gagah bernama Lu Kiong..."

"Kakekku..."

"Dan seorang gadis cantik bernama Lu Kim Bwee..."

"Ibuku..."

"Ya, tetapi Lu Kim Bwee itu sesungguhnya bukan anak kakek itu, melainkan cucunya!"

"Ahhh...!" Ceng Ceng terheran-heran dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Lu Kiong adalah seorang bun-bu-cwan-jai (ahli surat dan ahli silat), bekas pengawal yang setia. Ketika mendengar bahwa pemuda sesat yang kucari-cari berada di sekitar telaga, Kakek Lu Kiong lalu membantuku untuk mencari dan mengejar pemuda itu. Akan tetapi ketika malam itu dia dan aku pergi berpencar melalui kanan dan kiri telaga, mengelilingi telaga mencari pemuda sesat itu, ternyata orang jahat itu diam-diam memasuki pondok dan memperkosa Lu Kim Bwee."

"Ahhhh...!" Ceng Ceng meloncat ke atas dan mengepal tinjunya, penuh kemarahan. "Katakan, siapa penjahat laknat itu?"

"Dia sekarang sudah tidak ada lagi, Nona." Bun Beng berkata.

Ceng Ceng menjadi lemas kembali, duduk dan dua titik air matanya meloncat keluar, teringat betapa sama nasib ibunya dan dia!

"Celakanya, penjahat itu melakukan perbuatan biadab itu di dalam kegelapan dan dia memang sengaja melakukan hal itu dengan memakai namaku, sehingga Kakek Lu dan Kim Bwee menuduhku! Kakek Lu menuntut agar aku mengawini Kim Bwee. Karena aku tidak merasa melakukan perbuatan biadab itu, aku menolak dan mereka lalu memusuhi aku. Bahkan kemudian, bekerja sama dengan wanita-wanita lain yang telah dibuat sakit hati oleh penjahat itu yang mengaku namaku, Lu Kim Bwee dan beberapa orang lain itu mengeroyok aku dan aku terjatuh ke dalam jurang. Mereka tentu mengira bahwa aku telah mati, Padahal sebenarnya tidaklah demikian kenyataannya. Aku masih hidup dan semenjak itu aku tidak lagi bertemu dengan Lu Kim Bwee. Demikianlah, Nona. Agaknya ibumu itu, Lu Kim Bwee, bersama kakeknya, Lu Kiong, lalu pindah ke Bhutan, mungkin untuk menghindarkan aib karena agaknya ibumu telah mengandung sebagai akibat perbuatan pemuda sesat itu. Kemudian engkau terlahir dan tentu saja kakekmu masih menganggap bahwa Gak Bun Beng yang memperkosa ibumu, maka dengan sendirinya kakekmu menceritakan bahwa ayah kandungmu adalah Gak Bun Beng. Padahal tidak demikianlah kenyataannya."

"Penjahat terkutuk!" Kian Lee memaki marah. "Siapakah manusia jahat itu, Suheng?"

"Janganlah kau memaki dia, Sute. Dia sudah meninggal dunia dan tentu dia pun telah menyesalkan semua perbuatannya. Dia itu bukan orang lain..."

"Siapa dia?" Ceng Ceng mendesak ketika melihat Bun Beng meragu. "Siapa penjahat yang memperkosa ibuku dan menjadi ayah kandungku itu?"

"Namanya adalah Wan Keng In..."

"Ya Tuhan...!" Kian Lee menjerit, mukanya pucat.

"Eh, mengapa engkau...?" Ceng Ceng terkejut melihat Kian Lee yang kini menundukkan muka yang disembunyikan di balik kedua tangannya.

Melihat keadaan Kian Lee, Bun Beng menghela napas panjang. Betapa kejam nasib mempermainkan mereka bertiga! Dia dapat merasakan kehancuran hati Ceng Ceng tadi, dan kini kehancuran hati Kian Lee, yang melihat kenyataan bahwa dara yang dicintanya itu ternyata adalah keponakannya sendiri, karena Wan Keng In adalah putera ibunya dari lain ayah. Bun Beng bangkit berdiri meninggalkan kamar itu menuju ke kamarnya sendiri, membiarkan dua orang muda itu menghadapi kenyataan itu berdua saja.

"Saudara Kian Lee, kau kenapakah...?" Kini Ceng Ceng memegang lengan Kian Lee dan mengguncangnya.

Kian Lee menahan napas, mengerahkan kekuatan batinnya untuk mengatasi pukulan hebat itu, kemudian menurunkan tangan. Ceng Ceng terkejut melihat wajah yang kini menjadi pucat, mata yang sayu dan agak cekung itu karena memang Kian Lee menjadi agak kurus dan lemas.

"Ceng-ji, (Anak Ceng), engkau she Wan, dan jangan menyebut aku saudara karena aku adalah pamanmu!"

"Ehhh...?"

"Ketahuilah bahwa Wan Keng In itu adalah putera ibu kandungku, dari lain ayah. Ibuku sebelum menjadi isteri ayahku, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, menjadi isteri orang lain she Wan dan mempunyai anak Wan Keng In itu. Kau... kau maafkan aku... Wan Ceng... bahwa aku... sebagai pamanmu, telah... pernah... jatuh cinta padamu. Nah, sudah kuakui sekarang, agak lega hatiku. Namun... tentu saja hal itu tak mungkin lagi... aku adalah siok-hu-mu (pamanmu) dan engkau keponakanku..."

"Paman...!" Ceng Ceng menubruk dan mereka berpelukan.

Ceng Ceng merasa suka dan berhutang budi kepada pemuda yang halus ini dan biar pun tahu betapa akan mudah bagi dia untuk jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti ini, di samping pemuda seperti Pangeran Yung Hwa. Akan tetapi jangankan terdapat kenyataan bahwa pemuda ini adalah pamannya sendiri, andai kata tidak demikian pun, mana mungkin dia berani membalas cinta seorang seperti Suma Kian Lee ini? Apa lagi setelah diketahuinya bahwa pemuda itu adalah putera dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es! Dia sudah tidak berharga lagi!

"Paman, maafkanlah saya...!" Hatinya seperti diremas mengingat betapa tanpa sengaja dia telah menghancurkan hati pamannya yang baik ini, mematahkan cinta kasih yang bersemi di hati pemuda ini.

"Sudahlah, Ceng Ceng, sudahlah. Tuhan sudah menghendaki demikian dan memang sebaiknya begini dari pada menghadapi kenyataan bahwa cintaku hanya sepihak. Bagiku sama saja, Ceng Ceng, engkau tetaplah seorang keluarga dekat dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mengusahakan pengobatan bagimu. Engkau masih dalam cengkeraman bahaya maut..." Tiba-tiba Kian Lee berhenti dan kaget karena tanpa disengaja dia telah membuka rahasia itu.

"Jangan ragu-ragu, Sioksiok (Paman). Dalam keadaan setengah sadar aku pun samar-samar mendengar dari kakek tukang obat ini bahwa aku hanya dapat bertahan hidup sampai sebulan saja, bukan?"

Kian Lee mengangguk. "Tetapi dia sedang berusaha untuk mencarikan obat bagimu, Ceng Ceng. Dan aku akan pergi mencari Ayah, karena menurut Yok-kwi, yang dapat mengobatimu hanyalah Ayah, atau Ban-tok Mo-li..."

"Ban-tok Mo-li sudah mati."

"Bagaimana engkau bisa tahu?"

"Karena aku muridnya."

"Ahhh!" Kian Lee terkejut dan sekarang mengertilah dia mengapa gadis ini berubah menjadi dingin dan aneh. Kiranya telah menjadi murid nenek iblis itu. "Kata Yok-kwi, tubuhmu mengandung racun sehingga dia tidak mampu menyembuhkanmu. Kalau engkau murid Ban-tok Mo-li, tentu kau dapat mengobati sendiri."

"Tidak bisa, Sioksiok. Ilmuku belum sedemikian tingginya dan pukulan Hek-tiauw Lo-mo amat hebat. Akan tetapi, biarlah... aku tidak takut menghadapi kematian... dan pula, hidup lebih lama lagi untuk apakah?"

"Ceng Ceng...!"

"Benar, Paman. Hidupku penuh dengan kesengsaraan dan mala petaka selalu datang menimpa diriku..."

"Ceng Ceng, jangan putus harapan," Kian Lee berkata, hatinya sendiri seperti ditusuk pisau dan dia maklum bahwa tidak akan mudah baginya untuk menyembuhkan lukanya sendiri ini.

Tiba-tiba seorang prajurit penjaga muncul dan berkata bahwa di luar ada seorang tamu yang mengaku bernama Topeng Setan dan hendak bertemu dengan Nona Lu Ceng.

"Topeng Setan?" Kian Lee berseru kaget.

Akan tetapi Ceng Ceng tersenyum. "Dia pembantuku, Paman."

Dari luar terdengar suaira memanggil, "Lu-bengcu...!"

"Eh, siapakah yang berteriak itu?"

"Itulah Topeng Setan, pembantuku. Sioksiok, ketahuilah bahwa keponakanmu yang sesat ini telah menjadi seorang bengcu kaum sesat di dekat kota raja dan Topeng Setan adalah pembantuku."

Ceng Ceng lalu keluar dari kamar itu diikuti oleh Kian Lee yang masih bengong saking herannya. Bun Beng juga keluar dari kamarnya dan mereka bertiga lalu keluar dari gedung itu.

Topeng Setan sudah berdiri di depan gedung, dan dia menjura ketika melihat Ceng Ceng. "Harap Bengcu maafkan saya yang terlambat menghadap karena saya tidak tahu bahwa Bengcu berada di sini."

"Tidak apa. Aku telah bertemu dengan musuh-musuh berat, terkena pukulan-pukulan dari Tambolon dan kemudian terpukul oleh Hek-tiauw Lo-mo sehingga keracunan hebat. Topeng Setan, aku telah ditolong oleh mereka ini. Kau harus memberi hormat, pemuda ini adalah siok-hu Suma Kian Lee dan ini adalah..." Dia meragu ketika memandang kepada Gak Bun Beng karena tidak tahu harus menyebut apa kepada orang yang tadinya dianggap sebagai ayahnya itu.

"Menurut hubungan keluarga, sebut saja aku supek-hu (uwak seperguruan)," Bun Beng membantunya sambil tersenyum.

"Dia ini supek-hu Gak Bun Beng," Ceng Ceng melanjutkan.

Topeng Setan menjura kepada Kian Lee dan Bun Beng. "Terima kasih kepada Ji-wi Taihiap (Dua Pendekar Besar) yang telah menyelamatkan Bengcu kami." Kemudian Topeng Setan berkata lagi kepada Ceng Ceng, "Karena Bengcu menderita luka parah, marilah kita pergi mencari obatnya."

Ceng Ceng mengangguk. "Supek, dan Siok-hu, aku akan segera pergi bersama Topeng Setan..."

"Eh, Ceng Ceng, engkau masih sakit. Kita sedang menanti kembalinya Yok-kwi yang mencarikan obat untukmu," Gak Bun Beng berkata.

"Ceng Ceng, harap kau menanti di sini. Aku akan mengusahakan sekuat tenaga untuk mencarikan obat bagimu. Aku akan ke Pulau Es...," kata Kian Lee.

"Tidak perlu, Supek dan Sioksiok, terima kasih atas kebaikan kalian. Akan tetapi, kurasa lebih baik kalau aku pergi saja dan tidak merepotkan kalian lagi... aku... aku... ahhh, aku lebih senang merantau...!" Ceng Ceng mengangguk kemudian pergi dari situ tanpa menoleh lagi.

Topeng Setan menjura dengan hormat kepada Bun Beng dan Kian Lee. "Harap Ji-wi jangan khawatir, saya akan mengusahakan sampai Bengcu kami sembuh kembali," katanya perlahan, kemudian dia pergi menyusul Ceng Ceng.

Kian Lee hendak mencegah, akan tetapi Bun Beng memegang tangannya. "Sebaiknya begitu, Sute. Dan kulihat Topeng Setan itu bukan orang sembarangan. Mungkin saja dia dapat mengusahakan kesembuhannya."

Mereka berpandangan dan Kian Lee menunduk, tidak menjawab, hanya mengangguk. Hatinya terasa kosong, seolah-olah semangatnya ikut pergi terbawa oleh Ceng Ceng, gadis yang menjadi cinta pertamanya akan tetapi yang ternyata adalah keponakannya sendiri itu.

"Kita harus menyusul ke Teng-bun, melihat keadaan di sana dan menemui Syanti Dewi dan Kian Bu sute. Kabarnya Syanti Dewi telah diselamatkan di sana." Bun Beng berkata lagi dan Kian Lee hanya mengangguk sunyi.....

KISAH SEPASANG RAJAWALI (seri ke 8 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang