Jilid 31/57

1.9K 20 0
                                    

Tek Hoat yang tidak dapat menemukan musuh-musuhnya, dua orang pemuda lihai yang telah menghilang, apa lagi karena tidak dapat menemukan kembali Syanti Dewi, menjadi jengkel dan marah sekali. Dia menghubungi Panglima Kim Bouw Sin yang telah mengadakan perundingan dengan Raja Tambolon dan melaporkan bahwa di kota itu penuh dengan mata-mata musuh. Atas usulnya, pintu kota benteng itu ditutup dan pasukan-pasukan dikerahkan untuk mengadakan penggeledahan dan perondaan untuk menangkapi mata-mata musuh, terutama sekali tentu saja penggeledahan dari rumah ke rumah ini oleh Tek Hoat ditujukan untuk menemukan kembali Syanti Dewi!

Pasukan Tambolon mulai bergerak di bawah pimpinan Raja Tambolon itu sendiri, telah bersepakat dengan pihak pemberontak untuk membantu pemberontak, dan diberi ijin untuk menyerbu dusun Ang-kiok-teng di mana terdapat pasukan yang dipimpin oleh Thio-ciangkun, bahkan Kim Bouw Sin menyerahkan dusun itu untuk menjadi markas dari Raja Tambolon dan pasukannya. Tentu saja pasukan liar itu menjadi girang karena penyerbuan itu berarti perang, kemenangan, harta, makan minum berlimpah dan yang terutama sekali banyak perempuan tawanan!

Pangeran Tua Liong Khi Ong juga sudah meninggalkan kota itu untuk memasuki kota benteng Teng-bun bersama Panglima Kim Bouw Sin yang menyerahkan penjagaan dan pembersihan kota Koan-bun itu kepada seorang panglima yang mewakilinya setelah Koan-bun direbut. Juga Tek Hoat diharuskan mengawal Pangeran Liong ke depan benteng Teng-bun, pusat pemberontakan itu.

Biar pun hatinya menyesal sekali karena dia tidak berhasil menemukan Syanti Dewi, namun Tek Hoat tidak berani membantah, apa lagi saat itu memang merupakan saat yang penting di mana pihak pemberontak sudah siap mengerahkan kekuatan untuk sewaktu-waktu menyerbu ke selatan, yang diawali oleh penyerbuan pasukan liar Raja Tambolon ke dusun Ang-kiok-teng itu.

Para penduduk di kota Koan-bun kembali menjadi panik setelah pada hari-hari kemarin dibikin geger oleh berita munculnya pasukan liar dari Raja Tambolon. Kini mereka menjadi panik karena setiap rumah di dalam kota itu digeledah oleh prajurit-prajurit yang dipimpin oleh perwira-perwira yang kasar.

Perang memang merupakan puncak kekejaman dari manusia yang mengumbar hawa nafsunya yang tanpa batas itu. Setiap kesempatan di dalam keadaan kacau oleh perang selalu dipergunakan oleh manusia penguasa untuk memuaskan hawa nafsunya. Dalam penggeledahan dari rumah ke rumah ini pun, biar dalihnya adalah untuk pembersihan dan menangkapi mata-mata musuh, akan tetapi pelaksanaannya banyak diselewengkan oleh dorongan hawa nafsu sehingga terjadilah hal-hal yang amat aneh, kejam dan keji. Kesempatan ini dipergunakan oleh mereka yang berkuasa, dalam hal penggeledahan ini tentu saja para perwira yang memimpin pasukan penggeledahan bersama anak buahnya, untuk memeras dan menindas rakyat. Yang termasuk hartawan tentu tidak luput dari pemerasan uang.

Penyogokan atau sumbangan paksaan setengah merampok, mengambil benda-benda berharga yang kecil-kecil secara begitu saja. Yang tidak mampu menyogok, ada yang dipaksa menyogok dengan menyerahkan anak gadisnya untuk sekedar 'menghibur' Sang Perwira di dalam kamar selagi anak buahnya menggeledah ke seluruh rumah, dan tidak jarang peristiwa menyedihkan yang hanya berlangsung beberapa lama di dalam kamar itu disusul oleh peristiwa bunuh diri oleh Si Gadis yang dipaksa melayani Sang Perwira atau beberapa orang anggota tentara. Banyak pula orang yang ditangkap dengan tuduhan mata-mata dengan fitnah bermacam-macam hanya untuk pelampiasan kemarahan dan dendam pribadi!

Para pembantu, penyelidik dan mata-mata yang disebar oleh Jenderal Kao dan Puteri Milana, juga anggota Tiat-ciang-pang yang menganggap diri sendiri sebagai pejuang-pejuang, menjadi repot juga ketika melihat betapa banyak teman mereka telah tertawan dan pembersihan masih terus dilakukan. Setelah main kucing-kucingan di dalam kota, menghindarkan diri dari pengejaran para pasukan pemberontak sampai senja, akhirnya Si Gendut anak buah Tiat-ciang-pang bersama belasan orang temannya tiba di dekat dinding benteng yang amat tinggi, bingung karena mereka tidak memperoleh jalan keluar setelah benteng ditutup dan dijaga dengan ketat oleh pasukan pemberontak.

Cuaca senja remang-remang dan mereka berkelompok di dekat dinding yang sunyi itu, mencari akal bagaimana mereka akan dapat keluar dari tempat itu.

"Kita bongkar tembok saja."

"Ah, akan makan waktu terlalu lama."

"Selain itu juga berisik dan tentu ketahuan penjaga."

"Temboknya tebal sekali, tidak mudah membongkarnya tanpa alat lengkap."

Selagi mereka bercakap-cakap mencari akal, karena untuk meloncat ke atas tembok yang tinggi sekali itu adalah hal yang tidak mungkin, tiba-tiba seorang di antara mereka memberi isyarat, "Sssttt... ada orang...!"

Bagaikan segerombolan tikus melihat ada kucing datang, belasan orang ini menyelinap ke sana-sini dan sebentar saja mereka sudah lenyap bersembunyi! Si Gendut yang memimpin rombongan itu bersembunyi bersama seorang temannya yang masih muda dan tampan bernama A Ciang. Sambil bersembunyi mereka mengintai dan legalah hati Si Gendut ketika melihat bahwa yang datang dari jauh itu bukanlah seorang penjaga, bahkan bukan pula seorang pria, melainkan seorang wanita yang dari jauh kelihatan betapa pinggangnya ramping dan lengannya lemah gemulai menggairahkan.

"Ssst, A Ciang, dia itu wanita, tentu akan tertarik dan suka menolongmu. Kau mintalah tolong kepadanya agar dia suka mencarikan sehelai tali yang kuat untuk kita pakai melarikan diri. Kalau kita memasang kaitan dan melontarkan tali yang panjang ke atas dinding, kita tentu dapat memanjat naik dan keluar dari sini," berkata Si Gendut kepada temannya.

A Ciang mengangguk dan dia membereskan pakaiannya, kemudian keluar dari tempat persembunyiannya menanti datangnya wanita dari depan itu. Setelah wanita itu datang mendekat, A Ciang hanya melongo dan tidak bisa bicara! Dia terpesona menyaksikan wanita itu karena setelah dekat tampaklah seorang wanita yang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi kelihatan masih muda sekali, cantik jelita luar biasa, dengan wajah manis yang mengandung tantangan pada sinar mata dan senyumnya. Tubuhnya padat dan ramping penuh gerak hidup, lemas dan bajunya pada bagian dada demikian ketat menempel dadanya sehingga membayanglah sepasang buah dadanya yang menonjol. Pendeknya, selama hidupnya belum pernah A Ciang melihat seorang wanita secantik ini!

Ketika wanita itu melihat ada seorang laki-laki menghadangnya, dia memandang tajam dengan sepasang matanya yang indah, kemudian tersenyum mengejek, akan tetapi pandang matanya penuh selidik menatap wajah yang cukup bersih dan tampan dari A Ciang yang usianya baru dua puluh lima tahun itu.

"Engkau mau apa menghadang perjalananku?" Suara ini halus dan agak serak, seperti bisikan merayu, mulut dan bibir merah itu bergerak genit ketika bicara.

A Ciang menelan ludahnya sebelum menjawab. "Maaf... Nona, saya... saya, ehhh, ingin minta tolong kepada Nona..."

"Minta tolong apa? Dan mengapa banyak teman-temanmu bersembunyi dan mengintai? Apakah kalian perampok?"

Mendengar ini, A Ciang terkejut bukan main. Wanita ini tahu bahwa banyak temannya bersembunyi di sekitar tempat itu! Juga Si Gendut mendengar kata-kata ini maka dia lalu keluar, tubuhnya gendut seperti seekor katak besar keluar dari sarangnya, lalu dia memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk keluar karena percuma bersembunyi setelah wanita itu mengetahui akan keadaan mereka. Pula, seorang wanita tentu saja tidak akan membahayakan keadaan mereka.

"Mereka adalah kawan-kawanku...," A Ciang berkata.

Akan tetapi Si Gendut sudah maju dan menjura kepada wanita itu. "Kouw-nio (Nona), harap suka menolong kami. Kami harus dapat keluar dari dinding ini, kalau tidak kami akan dibunuh oleh serigala-serigala itu. Tolonglah kami, Kouw-nio, dengan mencarikan sehelai tali yang panjang dan kuat. Percayalah bahwa kami bukanlah orang-orang jahat, melainkan pejuang-pejuang yang rela mempertaruhkan nyawa dan badan demi negara dan rakyat..."

Wanita itu menggerakkan kedua alisnya. Manis sekali gerakan ini, apa lagi karena dia memang memiliki sepasang mata yang amat bagus. "Jadi kalian ini adalah mata-mata kerajaan?"

"Bukan, kami adalah orang-orang kang-ouw yang membantu pemerintah menghadapi pemberontak hina. Harap Nona suka membantu kami."

"Keluar dari tempat ini apa sih sukarnya? Mengapa harus menggunakan tali?"

"Ahhh, Kouw-nio, kalau tidak menggunakan tali lalu bagaimana? Apakah Kouw-nio juga mengetahui jalan keluar secara lain yang lebih aman?" Si Gendut bertanya.

Wanita itu menggelengkan kepala. "Aku tadi masuk ke sini juga melalui dinding ini, tapi tanpa tali."

Semua orang yang mendengar ini terkejut sekali dan memandang dengan terbelalak. "Tanpa tali...?" Si Gendut bertanya.

"Nona yang baik, harap Nona suka mengajari saya agar kami dapat keluar dari sini sebaiknya," kata A Ciang.

Wanita itu memandang kepada A Ciang, wajahnya berseri dan sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh, kemudian dia tersenyum. "Kalau kalian membutuhkan tali, tunggulah sebentar, aku akan mengambilkan untuk kalian." Setelah berkata demikian, wanita itu berjalan pergi dengan lenggang yang mempesonakan semua orang, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan khawatir hati mereka ketika melihat wanita itu berjalan menuju ke pos penjagaan yang kelihatan agak jauh dari tempat itu.

"Mampus! Dia melapor kepada penjaga!"

"Wah, dia siluman, kita akan celaka!"

"Hushhh, harap tenang dulu, kawan-kawan. Aku tidak percaya orang seperti dia akan mengkhianati kita, lihat dia sudah kembali!" kata A Ciang kepada teman-temannya dan benar saja, tampak wanita itu datang dan membawa segulung tali!

"Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku," kata wanita itu kepada A Ciang sambil terus melempar kerling dan senyum manis, membuat jantung pemuda itu seperti hampir copot rasanya. "Nah, ini tambangnya, bagaimana kalian akan naik?" tanya wanita itu sambil tersenyum mengejek, agaknya merasa geli menyaksikan tingkah delapan orang ini.

Si Gendut yang paling lihai di antara mereka, mengikatkan sepotong batu di ujung tali, kemudian dia melemparkan tali yang mengikat batu itu sambil memegangi ujung yang lain lagi. Batu itu meluncur tinggi dan melewati tembok sehingga tali itu tertarik dan menegang. Akan tetapi jangankan dipanjati orang, baru ditarik saja, batu itu sudah jatuh lagi melewati tembok yang tinggi sehingga terpaksa mereka menyingkir agar kepala mereka tidak kejatuhan batu. Berkali-kali Si Gendut mencoba namun selalu batu itu tidak dapat menyangkut sesuatu sehingga setiap kali ditarik tentu akan jatuh kembali.

"Sayang tidak ada besi pengait...," Si Gendut akhirnya berkata jengkel.

"Berikan padaku tali itu, biar aku yang membawanya ke atas," tiba-tiba wanita itu berkata.

Si Gendut meragu, akan tetapi A Ciang mengambil tali itu dari tangan Si Gendut dan menyerahkannya kepada wanita cantik itu. Tanpa diketahui orang lain, ketika A Ciang menyerahkan tali, jari mereka bersentuhan dan A Ciang hampir berseru kaget karena tangannya terasa tergetar dan ada hawa hangat sekali memasuki tubuhnya melalui jari tangan yang bersentuhan. Mukanya menjadi merah dan dia memandang kepada wanita aneh itu yang sudah melangkah dengan lenggang yang membuat buah pinggulnya seperti menari-nari, menghampiri tembok benteng, kemudian mengalungkan tali di pinggangnya, menekankan telapak kedua tangannya pada tembok itu, lalu menoleh, tersenyum manis kepada mereka semua lalu... mulailah dia mendaki tembok itu dengan enak, mudah dan cepat seperti gerakan seekor cecak merayap tembok! Oleh karena merayap naik itu, pinggangnya bergerak-gerak, membuat kedua buah pinggulnya dari bawah tampak melenggang-lenggok.

"Aihhh... dia lihai sekali...!"

"Dan cantik bukan main..."

"Seperti bukan manusia...!"

"Dia seperti Kwan Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) saja...!"

"Wanita hebat!"

"Betapa bahagianya pria yang memiliki dia!"

Demikian seruan-seruan belasan orang yang semua berdongak ke atas memandang setiap gerakan wanita itu tanpa berkedip. Dengan amat cepatnya, tahu-tahu wanita itu telah berada di atas tembok, berdiri sambil bertolak pinggang. Mantelnya yang berwarna merah tertiup angin berkibar seperti bendera dan kalau saja tidak ingat bahwa mereka adalah pelarian-pelarian yang dikejar-kejar, tentu mereka telah bertepuk tangan dan memuji.

Wanita itu lalu melepas gulungan tali dan memegang ujungnya dengan tangan kiri. "Panjatlah!" perintahnya.

Tentu saja semua orang merasa ragu-ragu. Gila, pikir mereka. Masa disuruh memanjat tali yang hanya dipegang oleh tangan wanita itu? Mana kuat?

"Talikan ujungnya...!" kata Si Gendut dengan bisikan dari bawah. Tentu saja wanita itu tidak dapat mendengarnya, demikian pikir teman-teman yang lain.

"Biar aku yang memanjat lebih dulu. Dia lihai sekali, tentu dia kuat menahan dengan tangannya," kata A Ciang dan dia segera memegang ujung tali dan mulai merayap naik menggunakan kedua tangan dan kakinya.

Benar saja. Tali itu tetap saja menegang, sedikit pun tidak tampak wanita itu mendapat kesulitan mempertahankan tali yang diganduli tubuh A Ciang! Melihat ini bergegas mereka mulai memanjat naik, dan biar pun pada tali itu kini bergantungan belasan orang, tetap saja wanita itu hanya menggunakan sebuah tangan untuk menahan sampai semua orang berada di atas tembok!

Setelah belasan orang itu berada di atas tembok, wanita cantik itu mengikatkan ujung tali di atas tembok dan melempar tali ke luar sehingga tergantung di luar tembok. "Nah, turunlah!" katanya halus sedangkan dia sendiri lalu meloncat ke bawah!

"Bukan main...!"

"Hebat sekali dia...!"

Semua orang memandang terbelalak melihat betapa wanita cantik itu terjun ke bawah dari tempat yang demikian tingginya, melayang seperti seekor burung saja karena dia mengembangkan kedua lengannya dan karena sebelumnya dia menalikan kedua ujung mantelnya pada pergelangan tangan, maka kini mantel merah itu berkembang dan melembung seperti sayap yang menahan tenaga luncuran tubuhnya! Dengan ringan sekali wanita itu hinggap di atas tanah, berjungkir balik tiga kali untuk mematahkan tenaga luncuran tubuhnya yang melayang tadi.

Sejenak semua orang memandang bengong, kemudian Si Gendut mendahului teman-temannya memegang tali dan merosot turun melalui tali itu, diikuti teman-temannya yang kini tergesa-gesa karena khawatir ketahuan oleh para penjaga. Setelah semua orang turun, wanita itu sekali tarik saja berhasil membikin putus ujung tali di atas tembok dan melemparkan tali itu ke atas tanah.

Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan terdengar derap kaki para penjaga yang melihat bayangan belasan orang yang sedang melarikan diri ini.

"Lari...! Kita berpencar...!" Si Gendut memberi komando dan mereka lari berserabutan ke pelbagai jurusan.

"Kau lari bersamaku, A Ciang!" tiba-tiba wanita itu berkata dan memegang tangan A Ciang. Dia mengenal nama pemuda tampan itu ketika mendengar seorang di antara mereka tadi menyebut namanya ketika mereka berbisik-bisik ketika merosot turun melalui tali

A Ciang tidak menjawab, bahkan tidak mungkin bisa membantah lagi karena tiba-tiba dia merasa tubuhnya 'diterbangkan' oleh wanita itu. Teman-temannya juga tidak ada yang memperhatikan karena mereka sedang sibuk mencari keselamatan masing-masing.

Mereka bukanlah orang-orang penakut yang melihat pasukan lalu lari, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang cerdik, maklum bahwa kalau menghadapi pasukan di dekat tembok benteng itu, tentu akan memancing datangnya semua pasukan dan belasan orang seperti mereka itu mana mampu menghadapi pasukan besar? Si Gendut memerintahkan agar mereka berpencar sehingga andai kata ada yang tertangkap atau terbunuh, tidak semua anggota rombongan itu menjadi korban seperti kalau nekat melawan di tempat berbahaya itu.

Komandan pasukan menjadi marah melihat bahwa belasan orang itu melarikan diri. Tahulah dia bahwa tentu mereka itu adalah mata-mata musuh yang banyak terdapat di dalam benteng dan baru saja melarikan diri. Dia lalu mendatangkan bala bantuan dan dengan lima puluh orang prajurit dia melakukan pengejaran. Komandan pasukan itu adalah seorang perwira muda yang tinggi besar dan gagah, memegang pedang dan menunggang seekor kuda putih.

Para anggota Tiat-ciang-pang makin panik melihat bahwa mereka dikejar pasukan dan cepat mereka melarikan diri di sebuah ladang yang penuh alang-alang liar. Juga wanita itu tadi bahkan telah mendahului mereka, telah membawa A Ciang menyusup ke dalam alang-alang yang tingginya sama dengan manusia.

Dia menggandeng tangan A Ciang dan terus menyusup sampai ke tengah-tengah ladang itu dan mereka seolah-olah tenggelam di dunia tersendiri yang sunyi dan yang terdengar hanya berkelisiknya alang-alang tertiup angin sehingga permukaannya berombak seperti air laut. Tidak tampak dari luar mereka itu, dan hanya kalau ada yang dekat dengan tempat itu saja mungkin dapat mendengarkan percakapan mereka yang aneh.

"Ahhh, Kouw-nio...!" Terdengar suara A Ciang gagap.

"Hemmm, kenapa? Apakah kau tidak suka padaku? Lihatlah aku ini... tidak sukakah engkau... hem...?" Suara bisik-bisik serak ini diakhiri dengan suara aneh seperti seekor kucing.

"...Koauw-nio... kau cantik sekali..."

"Kau suka? Aku suka kepadamu, A Ciang, dan kalau kau pun suka... hemm..."

"Kouw-nio... hemmm...!"

Tak terdengar lagi mereka bercakap-cakap, yang terdengar hanya berkereseknya daun alang-alang kering yang tertindas tubuh mereka, dan tak lama kemudian terdengarlah suara aneh, suara rintihan seperti seekor kucing, berngeong-ngeong tinggi rendah, kadang-kadang suara itu terdengar ganas seperti marah, kadang-kadang halus lembut seperti mengerang dan merintih. Suara ini terdengar terus-menerus sampai lama di tengah ladang ilalang itu sehingga kalau ada orang mendengarnya, tentu mereka akan menjadi serem.

Dan memang ada yang mendengar suara kucing mengeong dan merintih ini, yaitu Si Gendut dan kawan-kawannya yang hampir semua menyusup ke dalam ilalang akan tetapi berpencar. Mereka mendengar suara kucing ini. Bahkan seorang di antara mereka berbisik kepada teman yang kebetulan bersembunyi di dekatnya, "Keparat, di tempat begini ada kucing kawin!"

"Ihh, bagaimana kau tahu suara itu suara kucing kawin?"

"Coba dengarkan baik-baik dan ingat kalau malam-malam di atas genteng ada suara kucing indehoi, bukankah sama benar suaranya?"

Mereka berdua kini diam, mendengarkan dan bergidik. Memang tidak salah lagi, itulah suara kucing, suara kucing betina yang kadang-kadang bersuara ganas seperti sedang marah, kadang-kadang juga halus manja seperti merengek, kadang-kadang merintih. Menyeramkan!

Sementara itu, pasukan yang dipimpin perwira berpedang itu telah tiba di tepi ladang ilalang yang luas itu. Kuda yang mereka tunggangi meringkik-ringkik, dan perwira itu memandang dengan penasaran. "Serbu ke dalam ladang!" perintahnya kepada pasukan yang tidak berkuda. Belasan golok prajurit yang memegang perisai dan golok menyerbu ke dalam ladang itu.

Yang tampak hanya ujung topi besi mereka, ujung golok mereka bergerak-gerak maju ke tengah. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan berturut-turut robohlah enam orang prajurit, yang lain segera mundur kembali. Mereka diserang dari bawah oleh para pelarian yang mendekam di bawah ilalang, dan tentu saja sukar bagi mereka untuk mempertahankan diri. Para pelarian itu mendekam dan tidak bergerak, sukar diketahui di mana tempatnya, sedangkan para prajurit pemberontak yang mencari itu berjalan dan bergerak, tentu saja mudah sekali diserang secara tiba-tiba.

Perwira itu agaknya mengerti akan hal ini, maka dia pun memberi aba-aba agar sisa anak buahnya mundur dan keluar dari ilalang itu. Sejenak dia berpikir, kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan aba-aba, "Bakar...!"

Ladang ilalang itu pun dibakarlah! Sebentar saja api melahap ilalang kering dan makin lama makin menjalar ke tengah. Si Gendut dan teman-temannya tentu saja terkejut sekali dan cepat mereka melarikan diri, menyusup-nyusup ilalang menjauhi api yang mengancam mereka.

Sementara itu, suara kucing tadi masih terus terdengar seolah-olah tidak peduli akan ancaman api yang makin ke tengah. Tiba-tiba terdengar lengking tinggi mengerikan dan tampaklah tubuh wanita cantik tadi meloncat ke atas dalam keadaan hampir tidak berpakaian. Dia kini sibuk membereskan pakaiannya dan berloncatan, tidak menjauhi pasukan yang mengejar para pelarian yang lain, melainkan mendekati dengan jalan memutari api. Kemudian kedua tangannya bergerak bergantian dan terdengar ledakan-ledakan dahsyat. Tanah dan batu muncrat tinggi dan disusul asap hitam mengepul. Beberapa orang terlempar ke kanan kiri dan tidak dapat bangkit kembali, luka-luka parah oleh pecahan ledakan dahsyat tadi. Wanita itu dengan marahnya masih terus melempar benda bulat dan ledakan-ledakan terus terdengar susul-menyusul.

Perwira muda itu terkejut bukan main, maklum bahwa wanita itu menggunakan senjata peledak yang berbahaya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia memerintahkan pasukannya untuk mundur dan berlindung. Pasukan itu mundur dan meninggalkan dua puluh lebih prajurit yang tewas menjadi korban senjata-senjata peledak.

Si Gendut dan teman-temannya cepat berlari ke luar ladang ilalang, akan tetapi ketika dia berlari sampai di tengah ladang, hampir saja dia menginjak tubuh seorang laki-laki yang roboh telentang dalam keadaan telanjang bulat dan sudah mati. Ketika dia dan beberapa orang teman memeriksanya, kiranya itu adalah A Ciang yang sudah menjadi mayat. Anehnya, pemuda itu tewas dalam keadaan seperti orang tidur yang sedang mimpi indah saja, karena wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum!

Beramai-ramai mereka menggotong mayat ini setelah tergesa-gesa mengenakan kembali pakaian A Ciang yang berada di dekat pintu, membawanya pergi melarikan diri dari ladang ilalang, kemudian memasuki daerah pegunungan yang penuh dengan batu-batu gunung kapur yang bentuknya aneh-aneh tanpa ada sebatang pohon pun yang dapat tumbuh di situ. Tempat ini merupakan tempat persembunyian yang amat baik.

Dengan sedih juga terheran-heran akan kematian A Ciang, Si Gendut dan kawan-kawannya lalu mengubur mayat itu dengan menggali pasir gunung dan mereka pun tidak melihat lagi wanita cantik yang tadi telah menyelamatkan mereka dengan menyerang pasukan secara hebat menggunakan senjata-senjata mukjijat yang dapat meledak.

"Mengapa A Ciang mati?" Pertanyaan ini berkali-kali terdengar dan masih menggema di hati semua orang.

Mereka menduga-duga dan merasa heran sekali. Juga mereka makin kagum kepada wanita cantik itu yang ternyata amat lihai, juga berterima kasih karena tanpa wanita itu, tentu mereka tidak dapat keluar dari benteng dan tadi pun tanpa bantuannya, mereka tentu akan tertumpas di ladang ilalang! Akan tetapi kini wanita cantik itu tidak kelihatan lagi.

Siapakah sesungguhnya wanita yang penuh rahasia itu? Tentu pembaca sudah dapat menduganya kalau mengingat cerita Kim Hwee Li kepada Kian Lee. Wanita cantik ini adalah sukouw-nya yang kedua, sumoi dari ayahnya yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li Si Kucing Liar atau Siluman Kucing!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Hek-tiauw Lo-mo Si Raksasa Bertaring yang merampas kedudukan menjadi Ketua Pulau Neraka adalah seorang pelarian dari Korea. Sebelum menjadi ketua Pulau Neraka, dia telah memiliki kepandaian tinggi sekali dan kelihatannya bertambah ketika dia berhasil mencuri setengah dari kitab tentang racun dari Istana Padang Pasir milik Si Dewa Bongkok bersama-sama dengan Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek, bekas pelayan Si Dewa Bongkok yang kini menjadi Ketua Lembah Hitam.

Hek-tiauw Lo-mo ini mempunyai dua orang sumoi. Yang pertama adalah Hek-wan Kui-bo (Nenek Iblis Lutung Hitam) yang telah muncul membantu pemberontak dan melukai Kian Lee dengan senjata peledaknya, seorang nenek yang amat lihai. Ada pun yang kedua adalah Mauw Siauw Mo-li itulah!

Tidak ada orang mengenal nama aslinya, dia hanya dikenal di daerah utara, di antara orang-orang Mongol dan Mancu, sebagai Si Siluman Kucing atau Sang Kucing Liar. Mendengar nama Kucing Liar ini, orang-orang di daerah utara, betapa pun gagahnya dia, akan merasa seram dan ketakutan. Melihat orangnya, Si Kucing Liar ini memang sama sekali tidak menyeramkan, sebaliknya malah, setiap orang laki-laki, tua mau pun muda, kalau dia waras otaknya dan tidak buta, sudah tentu akan mengakui akan kecantikan Mauw Siauw Mo-li.

Cantik jelita dan manis sekali dia, wajahnya bulat telur dengan dagu kecil meruncing, tulang pipinya sedikit menonjol sehingga membuat lekuk yang manis, dahinya mulus melengkung halus dan putih, dihias anak rambut tipis halus di bawah rambut hitam yang disisir ke belakang, lalu rambut yang hitam subur dan amat panjang itu digelung dengan model indah sekali di atas kepala, seperti gelung kaum puteri istana, merupakan hiasan kepala yang aneh namun menarik. Rambutnya dihias pula dengan kembang-kembang terbuat dari emas dan batu kemala hijau.

Alisnya hitam kecil panjang tanpa dibantu alat hiasan, memang bagus bentuknya, dan sepasang matanya amat indah dan hidup, lebar dan bening sekali, kadang-kadang dapat mengeluarkan sinar tajam menembus jantung, kadang-kadang keras seperti baja dan dingin seperti salju, akan tetapi kadang-kadang, dibarengi suara rintihan seperti kucing merayu, mata itu mengeluarkan sinar yang halus lembut dan penuh kehangatan dan janji muluk. Bulu matanya lentik panjang, menambah keindahan sepasang mata itu.

Hidungnya sedang saja, akan tetapi mulutnya! Hemm, banyak pria menelan ludah kalau menatap mulutnya karena setiap gerak bibirnya mengandung janji kenikmatan dan kemesraan yang menggairahkan. Wajah yang cantik jelita ini masih ditambah lagi oleh bentuk tubuh yang langsing, ramping padat berisi dengan lekuk-lengkung yang penuh kewanitaan dan kelembutan.

Pendeknya, Si Kucing Liar ini memiliki tubuh yang agaknya memang khusus diciptakan untuk membangkitkan gairah birahi kaum pria, dan semua gerak-geriknya menunjukkan kecondongan yang khas seperti telah dikhususkan untuk bercinta. Akan tetapi di balik semua kecantikan yang mempesonakan ini bersembunyi sesuatu yang membuat semua orang bergidik dan merasa ngeri.

Wanita ini dapat membunuh siapa saja, kapan saja dan di mana saja tanpa berkedip! Dan kepandaiannya sedemikian hebatnya sehingga menggetarkan semua petualang di utara. Selain itu, yang membuat orang bergidik ngeri, adalah kebiasaan wanita ini yang suka mengeluarkan suara seperti seekor kucing, dan celakalah kalau terdengar suara ini. Pasti disusul dengan matinya seorang atau lebih dalam keadaan yang mengerikan!

Siluman kucing ini sebenarnya adalah seorang wanita yang kini menjadi setan yang haus akan belaian pria. Semenjak berusia enam belas tahun, dia telah menjadi janda karena setelah menikah selama satu tahun suaminya meninggal dunia! Di waktu menjanda, beberapa kali dia diambil isteri muda oleh bermacam orang, akan tetapi semua itu telah gagal.

Ada yang mati secara aneh, ada pula yang meninggalkannya karena mengejar lain perempuan. Semua pengalaman ini membuat dia menjadi seorang yang sangat binal. Kemudian dia diambil sebagai seorang peliharaan oleh seorang tokoh besar dari Korea, yaitu guru dari Hek-tiauw Lo-mo, seorang kakek yang bernafsu dan tenaganya melebihi orang-orang muda!

Setelah menjadi kekasih kakek ini, barulah ada yang kuat bertahan menjadi pasangan atau 'suami' wanita cantik ini sampai belasan tahun lamanya! Si kakek tidak pernah menjadi bosan karena memang kekasihnya ini muda, kuat dan cantik jelita, penuh gairah hidup dan penuh nafsu berapi-api. Sebaliknya, wanita itu pun merasa cukup puas karena Si Kakek memang luar biasa, seorang yang memiliki kesaktian hebat dan yang amat menyenangkan hatinya adalah karena dia yang disayang mulai menerima latihan-latihan ilmu-ilmu silat yang tinggi.

Demikianlah, dia menjadi kekasih dan juga murid, menjadi sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo, bahkan karena 'suaminya' amat sayang kepadanya, dia diberi ilmu-ilmu simpanan sehingga kepandaiannya dapat mengimbangi suheng-nya dan melebihi suci-nya! Namun, suami atau guru itu akhirnya menyerah juga terhadap sang kekasihnya yang tidak pernah mengenal puas dalam permainan cinta nafsu itu, juga menyerah terhadap usianya yang tinggi. Dia kemudian meninggal dunia, meninggalkan tiga orang muridnya.

Wanita cantik jelita yang baru berusia tiga puluh tahun itu kembali menjadi janda. Akan tetapi berbeda dengan dahulu, dia kini adalah seorang janda yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, juga merupakan seorang wanita berusia tiga puluhan yang telah 'matang', dan celakanya, nafsunya menjadi makin menggila, dia menjadi seorang wanita yang haus akan laki-laki dan semua kehausan itu dipuaskannya kapan saja dan di mana saja dia bertemu dengan pria yang muda dan tampan.

Tentu diculiknya pria itu, dirayunya dan hampir tidak ada pria yang dapat bertahan terhadap rayuan mautnya sehingga bagaikan mabok setiap pria yang dirayunya akan jatuh dalam pelukannya, dibuai oleh rayuan, belaian dan permainan cintanya sehingga seperti seekor lalat yang tertangkap di sarang laba-laba, meronta-ronta namun tak dapat lepas, dihisap sari tubuhnya perlahan-lahan sampai habis dan kering, kemudian mati dalam keadaan masih bermimpi nikmat!

Entah sudah berapa puluh, berapa ratus atau berapa ribu orang laki-laki yang telah menjadi korbannya. Celaka bagi Kucing Liar ini, makin dicari makin banyak dia memeluk pria yang menjadi korbannya, makin hauslah dia, makin tak terpuaskan dan dia masih terus mencari-cari karena dia pun rindu akan cinta kasih seorang pria saja. Kalau saja dia berhasil menemukan seorang pria yang dapat dijadikan teman hidup selamanya! Akan tetapi selalu pria yang dinikmatinya itu akan menjemukan hatinya kemudian, menimbulkan kebencian sehingga dibunuh tanpa pria itu sadar dari kenikmatan.

Ciri khas dari wanita ini adalah suara yang keluar dari kerongkongannya, suara seperti kucing, bahkan persis kucing dan suara ini otomatis keluar dari kerongkongannya apa bila perasaannya tersentuh dan bergelora, di waktu dia marah, bingung, senang dan terutama sekali di waktu dia bermain cinta! Dan suara kucing inilah yang membuat dia dijuluki orang Siluman Kucing atau Kucing Liar!

Selama bertahun-tahun ini, baik Hek-wan Kui-bo yang merupakan nenek buruk rupa, dan Mauw Siauw Mo-li yang cantik jelita, selalu berkeliaran di daerah utara, di antaranya gurun pasir dan pegunungan sehingga nama mereka hanya terkenal di kalangan suku bangsa Mongol, Mancu, dan di perbatasan Negara Korea. Dunia kang-ouw di selatan atau pedalaman tidak ada yang mengenal nama-nama ini. Akan tetapi karena mereka berdua menerima undangan dari suheng mereka, Hek-tiauw Lo-mo untuk datang ke Koan-bun, maka berangkatlah mereka sendiri-sendiri ke Koan-bun.

Seperti kita ketahui, nenek buruk Hek-wan Kui-bo Si Lutung Hitam telah membantu pemberontak karena dia melihat kesempatan untuk memperoleh keuntungan dengan mernbantu pemberontak. Ada pun Mauw Siauw Mo-li masih berkeliaran karena dia sudah mulai ketagihan karena sudah beberapa lama tidak pernah bertemu dengan pemuda tampan. Kebetulan dia melihat rombongan anggota Tiat-ciang-pang yang hendak keluar dari kota itu dan dia tertarik oleh A Ciang yang segera diincarnya sebagai korbannya malam itu.

Kini, Si Gendut dan teman-temannya melewatkan malam itu di daerah batu gunung berkapur itu. Malam terlalu gelap bagi mereka untuk dapat melanjutkan perjalanan mereka. Pada keesokan harinya, dari jauh mereka melihat pasukan berkuda datang lagi ke tempat itu. Mereka segera berunding. Kini jumlah mereka hanya tinggal lima belas orang.

"Kita tidak bisa lari," Si Gendut berkata. "Kalau kita melarikan diri, tentu akan tampak oleh mereka dan dikejar terus. Lebih baik kita bersembunyi dan setelah mereka pergi, baru kita melanjutkan perjalanan ke selatan, bergabung dengan pasukan pemerintah."

"Ihh... begitukah seharusnya sikap orang-orang gagah, hanya bersembunyi saja seperti segerombolan pengecut?" Tiba-tiba terdengar suara halus ini.

Mereka terkejut dan cepat menengok. Kiranya di belakang mereka telah berdiri wanita cantik yang malam tadi telah memukul mundur pasukan yang membakar ladang ilalang! Tentu saja mereka menjadi girang, akan tetapi juga merasa ngeri karena munculnya wanita ini seperti setan saja, tidak ada yang mengetahuinya dan tidak ada yang mendengarnya, pula, mereka juga masih bingung memikirkan kematian A Ciang yang demikian anehnya.

"Ahh, kiranya engkau yang datang, Kouw-nio? Kami amat berterima kasih atas bantuan Kouw-nio yang demikian besar dan maafkan kami yang tidak tahu bahwa Kouw-nio adalah seorang pendekar wanita yang memiliki kepandaian setinggi langit," kata Si Gendut.

Bibir yang merah itu mencibir, akan tetapi kelihatannya tambah manis!

"Kalau kalian memang bermusuhan dengan pasukan itu, kenapa kalian tak menyambut mereka dengan perlawanan?"

"Jumlah kami hanya lima belas orang, dan mereka ada lima puluh orang lebih..."

"Lima belas orang sudah terlalu banyak untuk menghadapi pasukan itu. Kalau kalian dapat membuat mereka terpencar dengan jalan menyelinap di balik batu-batu ini, dan menyerang mereka dengan tiba-tiba seperti kucing menerkam tikus, apa sih sukarnya mengalahkan mereka? Aku pun akan berpesta membantu kalian menghadapi mereka."

Semua, orang berseri wajahnya. "Dengan Kouw-nio sebagai pimpinan kami, apa lagi yang kami takuti? Kami tidak takut sekarang!" Si Gendut berkata.

"Benar, kami tidak takut kalau Kouw-nio yang sakti membantu kami!" teriak seorang lain, yaitu yang masih muda dan yang sejak tadi memandang ke arah dada wanita itu dengan mata seperti mata seekor anjing melihat tulang!

Mereka lalu keluar dari tempat persembunyian mereka, dan bersama Kucing Liar berdiri memperlihatkan diri menanti datangnya pasukan yang dipimpin oleh perwira muda berkuda putih itu. Perwira itu tinggi besar dan gagah, kelihatannya tangkas dan lihai.

"Kalian permainkan pasukan itu, akan tetapi berikan perwira itu kepadaku. Biar aku saja yang menghadapinya!" Mauw Siauw Mo-li berkata sambil tersenyum manis dan dari kerongkongannya keluar suara lirih melengking seperti suara kucing! Mendengar ini, Si Gendut dan teman-temannya menggigil dan merasa serem, teringat mereka akan suara kucing itu malam tadi ketika mereka berada di dalam ladang ilalang.

"Cepat menyebar dan bersembunyi...!" Wanita itu berkata dan begitu pasukan itu sudah mendekat, mereka menyelinap ke kanan kiri dan bersembunyi di balik batu-batu kapur itu. Akan tetapi Kucing Liar tidak bersembunyi, bahkan berdiri dengan dada yang sudah busung itu dibusungkan lagi dan matanya memandang tajam kepada perwira muda yang menahan kendali kudanya. Kuda putih itu meringkik, mengangkat kedua kaki depannya dan perwira itu mengayun pedangnya, gagah bukan main.

"Haii kalian mata-mata hina! Menyerahlah sebelum kami bunuh semua!"

Mauw Siauw Mo-li tersenyum. "Apakah engkau juga mau membunuh aku, Ciangkun (Perwira) muda yang gagah perkasa?" Dia malah melangkah maju menghampiri kuda yang meringkik-ringkik itu.

Perwira muda itu terkejut melihat bahwa di antara para mata-mata yang dikejarnya itu terdapat seorang wanita yang begini cantik dan menariknya. Akan tetapi karena dia maklum bahwa mata-mata pemerintah banyak pula orang yang pandai dan merupakan orang-orang berbahaya yang harus dibasminya, maka sambil berseru keras dia lalu menggerakkan kudanya maju ke depan menerjang wanita cantik itu sambil mengayun pedangnya.

Akan tetapi dengan mudah sekali Si Kucing Liar mengelak ke kiri. Empat orang prajurit menyambutnya dengan senjata golok mereka, menyerang dengan berbareng untuk membantu komandan mereka. Amat mudah bagi wanita itu untuk mengelak sambil tersenyum dan kaki tangannya bergerak, maka robohlah empat orang itu tanpa dapat bangkit kembali! Tentu saja Si Perwira Muda terkejut sekali, kudanya diputar dan kembali pedangnya menyerang dari atas kuda dengan dahsyat.

"Ihh, benarkah engkau kejam hendak membunuhku?" Mauw Siauw Mo-li bertanya halus sambil terkekeh dan matanya mengerling genit.

Pedang itu bersuitan menyambar-nyambar, namun tak pernah dapat menyentuh baju wanita itu yang mencelat ke sana-sini dengan kecepatan seperti gerakan seekor burung walet. Tiba-tiba dia berseru, "Turunlah kau!" dan sambil mengelak tangannya terus menyambar ke samping.

"Crotttt...!"

Tangan yang berjari kecil-kecil dan runcing halus itu masuk ke dalam perut kuda seperti ujung golok saja. Kuda putih itu meringkik kesakitan, melonjak-lonjak dan ketika perwira itu berusaha menenangkannya, kakinya ditarik dan robohlah dia, terjatuh dari atas kuda yang terus melarikan diri itu.

Melihat komandannya jatuh, delapan orang anggota pasukan cepat menerjang wanita itu sehingga Si Perwira sempat bangkit kembali. Maka dikeroyoklah wanita itu dan dikepung rapat. Namun, Mauw Siauw Mo-li hanya tersenyum-senyum saja, tubuhnya tidak banyak bergerak, seolah-olah menanti datangnya serangan. Hebatnya, siapa saja yang berani mendahului menyerangnya, kalau tidak roboh tentu senjatanya terlempar sebab dengan gerakan cepat sekali kaki atau tangan wanita cantik itu sudah menangkis tangan yang memegang pedang atau golok.

Sementara itu, Si Gendut dan kawan-kawannya juga mulai melakukan perang kucing-kucingan dan berhasil merobohkan banyak lawan dengan penyergapan tiba-tiba, lalu menyelinap dan lari bersembunyi lagi di belakang batu-batu yang amat banyak terdapat di tempat itu. Pasukan yang menunggang kuda sudah turun semua dari kuda masing-masing karena makin berbahayalah bagi mereka kalau mengejar sambil menunggang kuda.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan teriakan gemuruh. Ternyata yang datang adalah pasukan terdiri dari seratus orang, pasukan bantuan yang keluar dari kota Koan-bun karena perwira yang cerdik itu sudah mengirim seorang utusan berkuda untuk mendatangkan bala bantuan.

Melihat ini, paniklah para anggota Tiat-ciang-pang. Mereka lalu bersembunyi dan biar pun tetap melakukan perang kucing-kucingan atau perang gerilya, namun karena para anggota pasukan itu sekarang mengejar dan mencari mereka dengan berkelompok mengandalkan banyak orang, maka Si Gendut dan kawan-kawannya tidak berani lagi sembarangan menyergap seperti tadi.

Sementara itu, Mauw Siauw Mo-li dikepung dengan ketat sekali oleh banyak lawan. Biar pun tidak merasa gentar, wanita ini menjadi lelah dan jemu juga, maka sambil tertawa dia lalu meloncat ke belakang, melempar benda hitam ke depan.

"Darrrrr...!"

Benda itu meledak dan belasan orang prajurit musuh yang berdiri rapat itu roboh! Para pengeroyok dan pengepungnya terkejut dan kacau, lari berlindung ke kanan kiri. Hanya terdengar suara seperti kucing terpijak ekornya dan ketika mereka memandang lagi setelah asap hitam membubung ke atas, ternyata wanita itu telah lenyap.

"Kejar mereka! Cari mereka sampai dapat. Tangkap atau bunuh! Terutama wanita itu yang tentu menjadi pemimpin mereka!" Perwira itu dengan hati penasaran dan marah memberi aba-aba.

Terjadilah kejar-kejaran sampai sehari penuh. Wanita itu lenyap, dan belasan orang anggota Tiat-ciang-pang terpaksa terus melarikan diri dan selalu bersembunyi-sembunyi di balik batu-batu gunung sampai akhirnya mereka terdesak di pegunungan batu kapur terakhir, dekat gurun pasir. Kalau dikejar terus, mereka akan terpaksa lari ke arah padang pasir yang berbahaya. Akan tetapi, ketika itu hari telah berganti malam dan baik yang dikejar mau pun yang mengejar telah merasa lelah sekali sehingga masing-masing melewatkan malam sambil beristirahat.

Dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan para anggota Tiat-ciang-pang. Mereka dikejar-kejar sehari penuh, terus berlarian dan kini mereka mengaso tanpa ada ransum sama sekali sehingga selain kehabisan tenaga, mereka pun lapar dan lemas. Tidak demikian dengan pasukan itu yang tentu saja dapat makan dan minum ransum dari perlengkapan mereka.

Akan tetapi malam itu, di pihak pasukan yang jumlahnya kini seratus orang lebih itu terjadi keributan. Komandan mereka, Si Perwira Muda yang tadi masih tampak makan minum sambil duduk di atas batu-batu, tiba-tiba kini lenyap! Kejadiannya amatlah aneh. Ketika itu, perwira mereka masih tampak makan minum di dekat api unggun, wajahnya agak keruh karena perwira ini merasa jengkel sekali tidak dapat membasmi belasan orang buruannya. Tiba-tiba terdengar suara kucing. Di tempat yang sunyi menyeramkan itu terdengar suara kucing, tentu saja merupakan hal yang amat aneh dan semua orang menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dari mana datangnya suara kucing itu. Suara itu makin keras, seolah-olah Si Kucing makin dekat di tempat itu.

"Kucing keparat!" Seorang prajurit memaki sambil menyambar tombaknya. "Kalau kau dapat olehku, akan kusate dagingnya!"

"Haii, Lai-ciangkun ke mana?" Teriakan ini terdengar dari seorang prajurit yang tadi duduknya tidak jauh dari perwira itu.

Semua orang memandang dan terheran-heran. Kemudian berlarian mendatangi dan saling pandang, sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi. Perwira muda itu lenyap! Mangkoknya yang masih berisi sayuran yang agaknya baru saja dimakannya, terguling dan sepasang supitnya juga berceceran.

Semua orang mencari, akan tetapi tidak melihat jejak perwira dan lapat-lapat dari jauh terdengar suara kucing mengeong! Untuk mencari lebih jauh mereka tentu saja tidak berani sebab tak ada yang memerintah mereka, dan mereka tahu betapa berbahayanya mencari di waktu malam gelap itu, di mana sewaktu-waktu musuh dapat muncul dan menyerang mereka dari tempat gelap. Mereka terpaksa menanti-nanti dengan hati berdebar tegang, menanti datangnya pagi.

Sementara itu pula, di antara batu-batu gunung kapur di mana Si Gendut dan kawan-kawannya bersembunyi dengan tubuh lelah, perut lapar dan hati tegang penuh khawatir, juga terjadi peristiwa yang menegangkan. Karena pegunungan yang sunyi melengang itu tiba-tiba menjadi menyeramkan ketika mereka semua mendengar suara kucing mengeong-ngeong!

Dan suara kucing itu makin lama makin ramai, persis seperti keadaan mereka ketika bersembunyi di dalam ladang ilalang kemarin malam, suara kucing betina merengek-rengek, merintih-rintih dan seperti suara kucing kalau sedang memadu kasih di bawah terang bulan di atas genteng! Mendengar suara ini, mereka semua menjadi seram dan otomatis mereka saling mendekati dan berkumpul di dalam sebuah goa, bersama-sama mendengarkan suara yang menyeramkan itu. Jumlah mereka tinggal tiga belas orang karena ada beberapa orang yang tewas di waktu pertempuran gerilya siang tadi.

"Menyeramkan...!" Si Gendut mengomel.

"Tentu suara siluman kucing."

"Mengingatkan aku akan kematian A Ciang."

"Hushhh, jangan sembarangan. Mungkin itu memang kucing penduduk yang tersesat di sini."

"Ah, mana bisa! Kucing tersesat yang kebingungan atau ketakutan tentu suaranya satu-satu, berulang-ulang. Tapi itu... hemm, dengarkan... suaranya merengek tinggi rendah, persis suara kucing kawin!"

"Suaranya datang dari atas sana, di mana banyak batu-batu besar..."

"Sudah," kata Si Gendut akhirnya untuk meredakan ketegangan hati kawan-kawannya. "Suara apa pun adanya itu, besok pagi-pagi sekali kita melihatnya sambil melarikan diri. Kalau besok kita tidak dapat melarikan diri dari mereka itu, berarti kita semua akan mati konyol."

Suara kucing itu terdengar terus-menerus semalam suntuk, hanya kadang-kadang berhenti beberapa lama lalu diulang lagi. Hal ini mendatangkan suasana menyeramkan sehingga tiga belas orang pelarian itu sama sekali tidak dapat tidur dan hati mereka selalu tegang. Mereka menanti datangnya pagi dengan tidak sabar lagi. Di tempat sesunyi itu, gelap pekat lagi, dalam keadaan terancam pasukan musuh yang berada tidak jauh di belakang mereka, mendengar suara kucing yang penuh rahasia itu sungguh amat menegangkan hati dan syaraf mereka.

Pada keesokan harinya, baru saja terang tanah dan memungkinkan mereka bergerak, tiga belas orang ini sudah menyelinap di antara batu-batu menuju ke atas bukit terakhir yang penuh dengan batu-batu besar itu. Suara kucing sudah tak terdengar lagi sejak tadi.

Tiba-tiba mereka berhenti dan Si Gendut menudingkan telunjuknya ke depan, mereka semua berindap maju beberapa langkah untuk dapat melihat dengan jelas. Di dalam keremangan pagi, tampak olehnya seorang wanita yang pakaiannya awut-awutan setengah telanjang, sedang duduk di atas batu besar membelakangi mereka.

Rambut wanita itu hitam dan panjang sekali, agaknya dilepas dari sanggulnya, terurai ke bawah dan kini wanita itu sedang menyisiri rambutnya, kadang-kadang mengulet. Dipandang dari tempat itu, dia menyerupai seekor kucing besar yang sedang mengulet-ulet dan menjilat-jilati bulu-bulunya! Akan tetapi yang membuat tiga belas orang itu terbelalak dengan muka pucat adalah ketika mereka melihat sebujur tubuh pria tinggi besar telentang di dekat batu itu, telanjang bulat dan lehernya tampak merah penuh darah, akan tetapi mulutnya seperti orang tersenyum. Persis seperti keadaan A Ciang yang mati sambil tersenyum dan lehernya penuh guratan-guratan seperti dicakar kucing! Mereka bergidik! Apa lagi ketika melihat bahwa tak jauh dari tempat mayat itu rebah, terdapat setumpuk pakaian perwira!

Teringat kepada A Ciang, Si Gendut menjadi marah sekali. Jelas bahwa wanita siluman inilah yang telah membunuh A Ciang, maka dia lalu mengajak teman-temannya untuk menerjang maju sambil berseru, "Siluman kucing keparat!"

Dua belas orang meloncat dan menerjang, mengepung batu besar di mana wanita itu menyisir rambutnya. Yang seorang lagi, seorang muda dengan muka pucat, tidak ikut menyerang karena kedua lututnya sudah menjadi lemas dan menggigil tak dapat digerakkan. Pemuda ini bukan seorang penakut. Menghadapi musuh manusia, dia amat gagah berani tidak takut mati. Akan tetapi dia mempunyai kelemahan, yaitu takut sekali kepada setan dan iblis. Baru mendengar ceritanya saja, dia sudah menggigil. Apa lagi sekarang dia berhadapan dengan siluman kucing, siluman yang benar-benar! Maka dia tidak mampu bergerak, hanya menonton sambil bersembunyi, seluruh tubuhnya menggigil.

"Hi-hi-hik!" Wanita itu terkekeh genit sambil membalikkan tubuhnya dan bangkit berdiri di atas batu.

"Ahhh...!"

"Ohhhh...!"

"Kouw-nio...!"

Semua orang terbelalak memandang. Wanita itu bukan lain adalah Si Wanita Cantik yang telah menolong mereka, kini berdiri dengan tegak di atas batu, hanya memakai pakaian dalam yang tipis dan tembus pandangan sehingga tampak bentuk tubuhnya yang mulus dan menggairahkan, rambutnya terurai panjang sampai ke lutut, matanya bersinar-sinar.

"Kalian memaki aku siluman kucing keparat? Nggg...!"

Kembali terdengar suara lengking dahsyat seperti pekik kucing takut air, dan tiba-tiba mata mereka menjadi silau melihat berkelebatnya tubuh wanita itu melayang turun dan menyambar ke arah mereka.

Terdengar bunyi pekik susul-menyusul dan robohlah dua belas orang itu satu demi satu. Setiap kali jari-jari tangan Mouw Siauw Mo-li bergerak dan kukunya yang runcing merah itu menyambar, tentu seorang lawan roboh dan akhirnya tinggal Si Gendut yang menjadi marah dan menyerang dengan goloknya. Namun dengan mudah Kucing Liar itu mengelak, kemudian dari samping sambil mengelak tadi tangan kirinya menyambar ke depan.

"Crottt...! Retttt...!"

Tubuh Si Gendut terjengkang dan dari perutnya yang pecah oleh tusukan tangan kanan Mauw Siauw Mo-li memancar darah merah, sedangkan lehernya penuh dengan guratan kuku tangan kiri, juga mengucurkan darah.

Orang kurus pucat yang bersembunyi, memandang dengan terbelalak dan hampir saja dia pingsan. Hanya terdengar suara kucing menangis, makin lama makin lirih dan wanita itu sudah lenyap dari situ. Si Kurus Pucat ini memaksa kedua kakinya yang menggigil untuk pergi dari situ, menyelinap di antara batu-batu, jatuh bangun dan hampir terkencing-kencing saking takutnya, akan tetapi akhirnya dia dapat juga berlari jauh dan tujuannya hanya satu, yaitu kembali ke selatan dan melaporkan semua itu kepada pemimpinnya yang baru, yaitu Nona Lu atau Lu-bengcu.

Rombongan pasukan yang setelah pagi tiba kini berani mencari-cari komandannya, kini telah tiba di tempat itu. Dapat dibayangkan betapa geger keadaan mereka ketika menemukan komandan mereka dalam keadaan telanjang bulat telah menjadi mayat, mayat yang tersenyum seolah-olah ketika mati dia berada dalam keadaan yang amat menyenangkan. Dan tak jauh dari situ terdapat mayat-mayat dua belas orang buronan yang berserakan malang-melintang, semua terluka di leher oleh bekas-bekas cakaran seperti yang terdapat pula di leher perwira komandan mereka. Terpaksa pasukan ini menggotong mayat komandan mereka, kemudian kembali ke Koan-bun untuk melapor, dan di sepanjang perjalanan, tiada hentinya mereka bicara tentang semua keanehan itu yang muncul bersama dengan suara kucing.....

*****

KISAH SEPASANG RAJAWALI (seri ke 8 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang