Jilid 35/57

1.9K 26 0
                                    

"Mundur kalian...!" Mauw Siauw Mo-li berteriak nyaring.

Dan ketika belasan orang pasukan itu mundur, dia sudah melemparkan bola-bola hitam berturut-turut sebanyak lima buah ke arah Ceng Ceng. Gadis ini maklum bahwa lawan mempergunakan senjata rahasia yang aneh dan belum dikenalnya, maka cepat dia menjatuhkan diri dan bergulingan. Untung saja dia melakukan pengelakan secara ini, karena ketika bola-bola itu terbanting ke atas tanah terdengar ledakan-ledakan dan tentu Ceng Ceng akan terluka kalau saja dia tidak bergulingan di atas tanah.

Ceng Ceng terkejut bukan main. Cepat dia menggerakkan pedang menangkis sambil meloncat bangun ketika wanita itu menubruknya dan mengirim tusukan, tusukan maut yang nyaris mengenai perutnya. Tetapi berkat keampuhan Ban-tok-kiam yang membuat lawannya menjadi jeri dan tidak berani beradu pedang secara langsung, Ceng Ceng mampu meloncat tinggi dan terus mencelat ke atas genteng, lalu melarikan diri! Dia maklum akan kelihaian wanita itu dan kalau pasukan pemberontak sampai datang lebih banyak lagi, lebih-lebih kalau sampai Hek-tiauw Lo-mo muncul, tentu dia akan celaka.

"Kejar dia...!" Mauw Siauw Mo-li berteriak sambil meloncat naik ke atas genteng dengan gerakan yang luar biasa cepatnya.

Untung bahwa Ceng Ceng telah lebih dulu menghilang di atas genteng, kalau tidak agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan diri karena dalam hal ginkang, dia pun kalah jauh kalau dibandingkan dengan Siluman Kucing itu. Mauw Siauw Mo-li terus mencari dengan penasaran, bahkan mendatangkan pasukan lebih banyak lagi. Biar pun pasukan bantuan dari Teng-bun berhasil mengalahkan dan hampir membasmi habis pasukan liar Tambolon, namun pasukan pemberontak itu sendiri kehilangan banyak sekali anggota tentara dan jika dia atau suheng-nya tak mampu menangkap Tambolon dan para pembantunya, mati atau hidup, hati Mauw Siauw Mo-li belum puas.

Ceng Ceng berlari-larian, kadang-kadang di atas genteng, kemudian meloncat turun dan menyelinap di antara bayangan-bayangan rumah yang gelap. Ketika dia berhenti sebentar di belakang sebuah rumah, tiba-tiba terdengar suara bisikan, "Lu-bengcu... mari sini...!"

Ceng Ceng terkejut, apa lagi ketika dapat mengenali Raja Tambolon dan dua orang pembantunya yang lihai itu. Kiranya Tambolon, Liauw Kui Si Petani Maut dan Si Siucai Yu Ci Pok bersembunyi di dalam rumah kosong itu! Biar pun hatinya tidak suka, namun Ceng Ceng yang sedang dikejar-kejar Mauw Siauw Mo-li dan pasukannya itu segera meloncat masuk melalui pintu kecil di belakang rumah yang dibuka oleh Tambolon. Mereka berempat segera menutup pintu dan memasuki rumah kosong. Ceng Ceng memandang ruangan yang diterangi lentera itu penuh harapan, akan tetapi hatinya kecewa ketika dia tidak melihat Topeng Setan di situ.

"Untung ada kalian di sini..." kata Ceng Ceng. "Akan tetapi di mana adanya Topeng Setan?"

"Hemmm... justru kami hendak bertanya kepadamu, Lu-bengcu. Di manakah Topeng Setan pembantumu itu?"

Mendengar suara dan melihat sikap Raja Tambolon, Ceng Ceng terkejut, apa lagi ketika melihat bahwa tiga orang itu membuat gerakan mengurungnya, Tambolon di depannya sedangkan dua orang pembantu raja di kanan kirinya, sikap mereka seperti orang yang marah kepadanya.

"Eh, apa maksudmu, Raja Tambolon?" Ceng Ceng bertanya dengan sikap biasa.

"Ha-ha-ha, engkau masih pandai berpura-pura lagi! Sikap dan maksudku sudah jelas! Engkau telah menjebloskan kami ke dalam perangkap. Engkau telah menyebabkan pasukan kami terbasmi habis, dan kini pembantumu itu tidak tampak bayangannya dan engkau masih berpura-pura lagi, Nona."

Di dalam hatinya Ceng Ceng terkejut sekali. Akan tetapi dia cerdik dan dia berkata dengan nada suara dan penasaran. "Raja Tambolon, begitu tidak tahu terima kasihkah engkau? Apakah engkau tidak melihat betapa aku tadi hampir celaka oleh pasukan yang dipimpin wanita lihai itu? Kalau usaha kita tidak berhasil karena keburu datang bala bantuan dari Teng-bun, apakah itu salahku? Mengapa engkau tidak menyalahkan pasukanmu sendiri yang tidak becus dan kurang mampu?!"

Raja Tambolon yang sudah kehilangan segala-galanya itu masih bisa tertawa lepas. Kemudian dia berkata, "Nona Lu Ceng, kalau tadi kami tidak melihat betapa engkau dikejar-kejar, tentu sekarang engkau sudah mati di tanganku! Namun jangan mengira bahwa hal itu sudah cukup bagi kami. Tidak hadirnya Topeng Setan di sampingmu memperkuat dugaan kami bahwa kalian telah mempermainkan kami dan oleh karena engkaulah maka kini pasukanku terbasmi habis. Mana bisa aku mendiamkannya saja hal ini? Tidak! Untuk meyakinkan hatiku bahwa engkau tidak mengkhianati aku, engkau tidak boleh lagi berpisah dari sampingku."

Berdebar jantung Ceng Ceng mendengar ucapan ini. Sudah cukup jelas baginya apa yang terkandung di dalam hati raja liar ini. Akan tetapi untuk mengulur waktu sambil memutar otaknya mencari akal dia berpura-pura tidak mengerti dan kemudian bertanya, "Maksudmu?"

"Ha-ha-ha! Pasukanku boleh terbasmi habis, akan tetapi aku masih mempunyai dua orang sahabat dan pembantuku yang setia ini, ditambah lagi memiliki engkau yang cantik jelita, muda lagi pintar dan cerdik sebagai sahabat dan penghiburku, sebagai permaisuriku! Dengan adanya kita berempat, mudah bagi kita untuk menghimpun pasukan lagi dan membangun sebuah negara yang kuat, ha-ha-ha!"

Makin berdebar rasa jantung Ceng Ceng. Tepat seperti telah diduganya. Akan tetapi melihat Tambolon dan dua orang pembantunya itu menghadapi dengan sikap bersiap untuk menghalangi dia melarikan diri, dia masih berkata, "Hemm, rencanamu memang bagus sekali, akan tetapi bagaimana dengan Topeng Setan?"

"Dia? Ha-ha-ha, kalau memang dia itu bukan pengkhianat dan saat ini tidak bergabung kepada musuh, dia pun bisa menjadi orang kelima, bisa menjadi pembantuku. Tetapi kalau dia tidak muncul, persetan dengan dia. Kita berempat sekarang juga harus kabur keluar dari kota terkutuk ini!"

"Engkau memang manusia hina!" Tiba-tiba Ceng Ceng membarengi makiannya itu dengan gerakan kedua tangannya yang menyebar jarum-jarum hitam beracun yang tadi diam-diam sudah disiapkannya di kedua tangannya.

"Ehhhh!"

"Heiitttt!"

"Hyaattt!"

Tambolon dan dua orang pembantunya itu memang bukan orang-orang sembarangan. Mereka bertiga itu selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga sudah puluhan tahun menghadapi segala macam keadaan sehingga tentu saja mereka sudah waspada akan akal yang dipergunakan Ceng Ceng tadi yang mereka anggap tiada lebih sebagai akal kanak-kanak saja. Maka begitu kedua tangan dara itu bergerak dan ada sinar hitam menyambar ke arah mereka, tiga orang ini sudah bergerak cepat, membuang diri ke bawah dan bergulingan sehingga serangan jarum-jarum beracun yang mendadak itu dapat mereka elakkan.

Akan tetapi kesempatan ini cukup bagi Ceng Ceng untuk secepat kilat meloncat keluar dari rumah itu melalui jendela, terus berloncatan ke atas genteng melarikan diri karena dia maklum bahwa menghadapi tiga orang pandai itu dia tidak akan mampu menang.

"Ha-ha-ha, betina liar, kau hendak lari ke mana?" Tambolon berseru dan bersama dua orang pembantunya, dia mengejar dengan cepat. Mereka bertiga juga mempunyai ilmu meringankan tubuh yang membuat gerakan mereka cepat sekali sehingga setelah melewati empat wuwungan rumah, Ceng Ceng yang meloncat turun telah dikurung lagi di sebelah kebun kosong yang sunyi.

"Ha-ha-ha-ha, sungguh hebat! Makin liar dan hebat engkau melawan, akan makin manis dan mesra kalau engkau sudah terjatuh ke dalam pelukanku, ha-ha!" Tambolon tertawa bergelak.

"Tambolon, manusia iblis! Kau hanya dapat menguasai aku kalau aku sudah menjadi mayat!" Ceng Ceng berteriak sambil mencabut pedangnya, yaitu Ban-tok-kiam yang mengeluarkan hawa mukjijat dan menyeramkan.

Dengan nekat Ceng Ceng yang maklum bahwa melarikan diri pun percuma saja lalu menerjang maju dan menggerakkan pedangnya yang mengandung hawa beracun itu dengan sengit dan membabi buta. Akan tetapi jangankan dikurung bertiga, baru melawan seorang di antara mereka saja Ceng Ceng tidak akan mampu menang.

Petani Maut Liauw Kui menggerakkan pikulannya dan senjatanya ini saja sudah cukup untuk menahan gulungan sinar pedang Ban-tok-kiam sehingga tidak dapat bergerak leluasa karena selalu terhalang oleh pikulan yang digerakkan secara lihai sekali. Sedangkan dari kanan kiri, Yu Ci Pok yang menggunakan sepasang senjata poan-koan-pit terus mengancam dengan totokan-totokan cepat dan Tambolon yang tertawa itu menggunakan kedua lengannya yang panjang berbulu itu untuk menerkam tubuh Ceng Ceng!

Tentu saja Ceng Ceng menjadi sibuk sekali. Semua kepandaian telah dikeluarkannya, bahkan dia telah menggunakan pukulan tangan kiri beracun, juga menggunakan ludah yang telah menjadi beracun karena pengerahan ilmunya, namun tiga orang lawan itu terlalu kuat baginya. Hanya karena Tambolon menghendaki dia hidup-hidup sajalah maka dia masih belum roboh. Kalau mereka itu ingin membunuhnya, tentu sudah sejak tadi dia tewas. Justru karena tahu bahwa dia akan ditangkap hidup-hidup dan dijadikan barang permainan oleh Tambolon, Ceng Ceng merasa ngeri.

Dia tidak takut mati, akan tetapi dia menggigil penuh kengerian kalau teringat betapa dia akan diperkosa dan dipermainkan oleh raja liar itu. Teringat akan pengalamannya ketika diperkosa orang, Ceng Ceng ingin menjerit. Dia tidak sudi dijadikan permainan oleh Tambolon, akan tetapi dia pun tidak ingin mati sebelum mampu membalas sakit hatinya kepada Kok Cu, pemuda murid Si Dewa Bongkok yang telah memperkosanya. Tidak, dia tidak ingin mati sebelum dapat berhadapan dengan Kok Cu! Akan tetapi dia pun tidak sudi menderita perkosaan lagi, perkosaan yang lebih mengerikan dan lebih menghina kalau dia sampai tertangkap oleh Tambolon!

"Cringgg...!"

Tiba-tiba pedang Ban-tok-kiam yang bertemu dengan pukulan Petani Maut tidak dapat dia tarik kembali, seolah-olah melekat pada pikulan itu. Pada saat itu, ujung senjata pensil di tangan siucai itu menyentuh jalan darah di pergelangan tangan kanannya. Ceng Ceng menjerit dan terpaksa melepaskan pedangnya karena lengannya itu seketika menjadi lumpuh.

"Ha-ha-ha, kuda betina liar! Apakah engkau masih belum mau jinak?" Tambolon yang sudah menyambar pedang Ban-tok-kiam itu kini tertawa bergelak.

Ceng Ceng mengeluarkan suara melengking nyaring dan dengan penuh kenekatan dia menerjang dengan pukulan kedua tangannya ke arah dada Tambolon.

"Plakk...! Dukkk!"

Tubuh Ceng Ceng terjengkang dan dia roboh bergulingan ketika pukulannya ditangkis dan tubuhnya didorong oleh Tambolon sambil tertawa-tawa itu.

"Wah, kuda betina seperti ini harus ditudukkan dan dijinakkan sekarang juga, jika tidak, dia akan bertingkah terus! Liauw Kui, Yu Ci Pok, pegang dia, biar dia merasakan dan mengenal siapa yang berkuasa di sini! Ha-ha-ha!" Tambolon tertawa-tawa dan dengan gerakan tenang mulai menanggalkan jubah luarnya.

Ceng Ceng membelalakkan matanya. Dia akan diperkosa begitu saja, dengan kedua orang itu memegangnya dan Tambolon menggagahinya.

"Tidaaaakkk...! Jangaaan...!" jeritnya penuh kengerian ketika dua orang lihai itu mulai mendekatinya. Dia masih duduk di atas tanah karena kepalanya agak pening ketika dia terbanting tadi.

"Hemm, engkau perawan liar memang harus dipaksa!" Si Petani berkata dan bersama Yu Ci Pok dia menubruk ke depan.

"Plak! Plakk!"

"Eihhhh...?"

"Heiiii...!"

Tiba-tiba Liauw Kui dan Yu Ci Pok terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak kepada Kian Lee yang sudah berdiri di situ dengan sikap tenang akan tetapi mukanya merah dan alisnya berkerut, matanya seperti bercahaya di tempat gelap itu ketika dia memandang kepada mereka.

"Raja Tambolon, kiranya selain menjadi raja orang-orang liar kau sendiri juga seorang manusia biadab!" Kian Lee berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka raja tinggi besar itu.

Sementara itu, Ceng Ceng yang masih saja terduduk tadi memandang kepada Kian Lee tanpa mengenalinya. Dia menduga-duga siapa adanya pemuda tampan dan gagah perkasa yang muncul secara tiba-tiba dan yang sekali menangkis membuat dua orang pembantu Tambolon terhuyung mundur itu.

Tadi Kian Lee sedang menyaksikan kehancuran pasukan liar Tambolon yang didesak oleh pasukan-pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun ketika tiba-tiba dia melihat bayangan-bayangan orang berkelebatan cepat sekali di atas genteng. Ketika melihat seorang wanita dikejar tiga orang, dia merasa heran, apa lagi melihat betapa gerakan mereka amat cepat. Ketika mendengar percakapan mereka dan tahu bahwa tiga orang laki-laki itu adalah Tambolon dan dua orang pembantunya, Kian Lee makin menaruh perhatian.

Tetapi dia baru turun tangan membantu ketika melihat dengan hati kaget dan berdebar aneh bahwa gadis yang dikeroyok itu bukan lain adalah Lu Ceng, saudara angkat Syanti Dewi, penolong Jenderal Kao Liang, gadis yang telah beberapa kali dijumpainya dan yang tidak pernah meninggalkan lubuk hatinya itu! Begitu dia mengenal Ceng Ceng, cepat dia bergerak dan menangkis dua orang yang hendak menangkap gadis itu.

Tambolon memandang dengan matanya yang lebar dan ganas, kemudian tertawa lagi karena dia memandang rendah kepada pemuda yang baru muncul itu. "Liauw dan Yu, kalian bereskan bocah lancang itu, biar aku menjinakkan sendiri betina liar ini karena kita tidak mempunyai banyak waktu." Sambil berkata demikian, dia sudah menubruk Ceng Ceng yang baru saja hendak bangkit berdiri.

"Keparat!" Kian Lee membentak akan tetapi ketika dia bergerak maju, Yu Ci Pok sudah mengirim totokan bertubi-tubi dengan sepasang poan-koan-pit ke arah jalan-jalan darah berbahaya di depan tubuh Kian Lee, sedangkan Liauw Kui sudah mengayun pikulannya menghantam ke arah kepalanya.

Kian Lee terpaksa mengelak. Ketika dia melirik, ternyata Ceng Ceng sudah menyambut tubrukan itu dengan tendangan kakinya. Ditendang seperti itu, Tambolon tertawa saja dan ketika tendangan mengenai perutnya, bukan dia yang roboh, bahkan Ceng Ceng sendiri yang terjengkang dan terbanting telentang di atas rumput. Sambil tertawa, Tambolon menubruk tubuh gadis yang sudah telentang itu.

"Dessss...!"

"Auggghhh...!" Tambolon berteriak keras sekali.

Dia masih sempat menangkis dorongan tangan orang yang tiba-tiba muncul di samping, dan ketika kedua dengan itu bertemu, Tambolon terpelanting dan hampir roboh. Dia cepat meloncat dan menghadapi laki-laki yang baru muncul itu. Laki-laki itu setengah tua, berpakaian sederhana dan sikapnya tenang, namun pandang matanya membuat Tambolon bergidik karena pandang mata itu tajam seolah-olah menembus jantungnya.

"Huh, banyak manusia lancang yang sudah bosan hidup!" Tambolon berteriak marah sekali.

"Suheng...!" Kian Lee menjadi girang melihat bahwa yang muncul itu adalah Gak Bun Beng.

Bun Beng hanya tersenyum kepadanya, tetapi dia tidak sempat bicara karena Tambolon yang marah karena kehendaknya selalu dirintangi orang itu telah menerjangnya dengan dahsyat. Raja liar itu memang hebat. Dia adalah keturunan seorang Panglima Mongol yang berilmu tinggi dan sekarang serangannya itu dibarengi dengan pekik dahsyat yang mengandung khikang kuat sekali sedangkan tangannya yang memukul ke arah Bun Beng juga mengandung pengerahan tenaga sinkang yang amat besar.

Bun Beng sudah mendengar akan kehebatan Raja liar ini dan kini melihat gerakan pukulan itu yang didahului oleh suara angin pukulan bersiutan diam-diam dia menjadi kagum juga. Sungguh mengagumkan dan jarang ada, seorang manusia biadab yang hidupnya liar dapat memiliki tingkat kepandaian seperti ini. Maka dia pun dengan cepat menggerakkan tangannya, didorong ke depan untuk menyambut hantaman lawan itu.

Melihat ini Tambolon menjadi girang. Selama ini, dia terkenal dengan pukulan mautnya dan belum pernah ada orang berani menerima pukulannya yang memiliki kekuatan ribuan kati. Batu karang pun pecah terkena pukulannya dan hawa pukulannya dapat membuat air di dalam sumur bergelombang! Kini lawannya yang sederhana ini berani menyambut pukulannya, dasar mencari jalan kematian yang cepat, pikirnya.

"Dessss...!"

Dua telapak tangan bertemu di udara didahului oleh bertemunya hawa pukulan yang amat hebat dan akibatnya membuat Tambolon terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Hampir dia tidak dapat percaya akan kenyataan ini dan memandang dengan mata terbelalak. Orang ini sama sekali tidak bergoyang! Mana mungkin ini? Dia menjadi penasaran sekali, dan bagaikan seekor kerbau mengamuk, dia menyerbu lagi, sekarang menggunakan kedua tangannya untuk memukul.

"Plak! Desss...!"

Makin hebat pukulan Tambolon, semakin hebat pula dia terguncang ketika ditangkis, sehingga kini dia terhuyung ke belakang sampai lima langkah!

"Darrr...! Darrr...!"

Dua buah benda meledak dan untung bahwa mereka semua yang berada di situ adalah orang-orang pandai sehingga dapat mengelak dan mengebut pecahan-pecahan yang menyambar ke arah mereka. Muncullah pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li!

"Ahh, badai besar! Berlindung...!" Teriakan Tambolon ini merupakan isyarat kepada dua orang pembantunya bahwa bahaya yang tak terlawan telah datang dan mereka perlu melarikan diri.

Liauw Kui dan Yu Ci Pok yang juga menghadapi lawan berat karena pemuda tampan itu ternyata mampu menghadapi senjata mereka dengan gerakan cepat, maklum akan teriakan pemimpin mereka dan cepat mereka meloncat ke dalam gelap, mengikuti arah perginya Raja Tambolon.

"Hi-hik, ini dia Si Perempuan Jalang!" Mauw Siauw Mo-li membentak ketika dia melihat Ceng Ceng.

"Ha-ha-ha, cantik... cantik...!" Hek-tiauw Lo-mo terkekeh.

Ceng Ceng yang baru saja terlepas dari bahaya tadi masih berdiri dengan muka pucat memandang kepada dua orang yang datang menolongnya. Kini melihat munculnya Mauw Siauw Mo-li dengan pasukan pemberontak, juga munculnya Hek-tiauw Lo-mo yang sudah dia ketahui amat lihai, menjadi putus harapan.

"Hek-tiauw Lo-mo iblis busuk!" bentaknya sambil meloncat ke depan dan menghantam raksasa itu karena Hek-tiauw Lo-mo yang berada paling dekat dengannya.

"Ha-ha-ha, kiranya engkau ini?" Hek-tiauw Lo-mo tertawa, dan karena ia maklum bahwa gadis ini memiliki ilmu tentang racun yang amat berbahaya, ia lalu mengerahkan tenaga beracun dan menangkis sambil terus menampar.

"Plakk! Bukk...!"

Tubuh Ceng Ceng terbanting karena selain pukulannya kena ditangkis, juga pundaknya terkena tamparan tangan beracun Ketua Pulau Neraka yang amat lihai itu.

"Hek-tiauw Lo-mo manusia keji!" Kian Lee yang tadinya hendak mengejar Tambolon, melihat Ceng Ceng roboh terpukul, menjadi marah sekali dan dia sudah menerjang raksasa itu dengan pukulan tangannya.

"Dukk-dukk-dessss!"

Tiga kali lengan pemuda itu beradu dengan Hek-tiauw Lo-mo dan melihat betapa kakek itu ternyata kuat sekali, Gak Bun Beng sudah meloncat maju menggantikan Kian Lee menerjang Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi terkejut setengah mati ketika merasa betapa angin pukulan yang keluar dari kedua tangan Gak Bun Beng menimbulkan angin besar dan amat kuatnya.

"Sute, kau selamatkan dulu gadis itu dan tinggalkan tempat ini...!" Bun Beng berseru.

Kian Lee cepat meloncat ke dekat Ceng Ceng yang masih rebah. Saat dia mengangkat bangun gadis itu, Ceng Ceng mengeluh.

"Ah, engkau terluka, Nona. Mari kupondong keluar dari kepungan mereka..."

Akan tetapi Ceng Ceng menggeleng kepalanya. "Tidak usah... aku... aku akan melawan mereka... sampai napas terakhir..."

"Tidak, Nona. Suheng-ku mampu menahan mereka, marilah..."

Tetapi kembali Ceng Ceng menolak dan tiba-tiba terdengar suara ketawa mengejek. "Hi-hik, percuma kau membujuk, orang muda yang tampan. Dia sudah keracunan dan akan mampus. Engkau sungguh hebat, muda, ganteng, dan lihai. Menyerahlah saja, dan engkau akan menikmati kesenangan bersama aku, hi-hik!" Dari dada wanita itu lalu terdengar suara mirip suara kucing.

Kian Lee terkejut, cepat dia meloncat berdiri melindungi di depan Ceng Ceng yang masih duduk di atas tanah sambil memegangi pundaknya yang tadi terpukul oleh Hek-tiauw Lo-mo. "Hemm, kiranya engkau yang disebut Siluman Kucing itu?"

Dia teringat akan penuturan Kim Hwee Li, puteri Ketua Pulau Neraka tentang bibi gurunya yang lihai ini, yang katanya malah lebih lihai dari pada Hek-wan Kui-bo yang telah melukai pahanya dengan obat peledak. Mengertilah dia sekarang bahwa yang melepaskan senjata peledak sehingga menakutkan Tambolon tadi adalah wanita ini.

Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih rapi dan menarik sekali. "He-hemm... kiranya engkau sudah mengenal aku, pemuda ganteng? Kebetulan sekali kalau begitu..."

"Sumoi, apa perlunya mengobrol? Cepat tangkap atau bunuh mereka dan lekas kau membantuku!" Tlba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berteriak.

Kiranya Ketua Pulau Neraka ini mulal terdesak oleh Gak Bun Beng! Makin lama Hek-tiauw Lo-mo menjadi makin kaget dan heran melihat betapa lawannya ini benar-benar amat hebat kepandaiannya sehingga semua ilmu pukulannya yang beracun mampu ditangkisnya tanpa melukainya, bahkan dia yang selalu tergetar dan terdorong oleh hawa pukulan yang kadang-kadang panas dan kadang-kadang dingin amat luar biasa.

Mauw Siauw Mo-li lalu memberi aba-aba dan para prajurit pemberontak serentak maju mengepung dan mengeroyok. Ceng Ceng yang masih menyeringai kesakitan sudah melompat berdiri dan mengamuk dengan kaki tangannya, karena pedangnya Ban-tok-kiam telah dirampas oleh Tambolon. Biar pun bertangan kosong, gadis ini masih hebat sekali karena dia menggunakan pukulan-pukulan beracun, sehingga setiap prajurit pemberontak yang terkena pukulannya tentu terjungkal dan tak dapat bangkit kembali. Akan tetapi setiap kali merobohkan lawan dengan pengerahan tenaga, dara ini mengeluh lirih dan makin lama gerakannya menjadi makin lemah.

Kian Lee mengamuk sambil melindungi Ceng Ceng sedapat mungkin. Karena sebagian besar perhatiannya dicurahkan untuk melindungi gadis itu dan dia telah berkali-kali menghalau bahaya yang mengancam Ceng Ceng dengan merobohkan penyerang gelap dari belakang gadis itu, maka dia masih belum mampu mengalahkan Mauw Siauw Mo-li yang memang amat lihai Itu.

Gerakan Siluman Kucing itu cepat sekali, ginkang-nya sudah mencapai tingkat tinggi sehingga karena dia tidak berani mendekati Ceng Ceng, maka sukar baginya untuk dapat merobohkan wanita itu. Sedangkan Gak Bun Beng yang mulai mendesak hebat kepada Hek-tiauw Lo-mo, juga terpaksa harus membagi tenaganya untuk menghadapi pengeroyokan prajurit-prajurit pemberontak yang makin banyak itu.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan-ledakan agak jauh, disusul sorak-sorai dan pekik banyak sekali manusia yang agaknya datang dari luar tembok kota. Tak lama kemudian, terdengar teriakan-teriakan di antara prajurit pemberontak yang berlari-larian di dekat tempat itu.

"Celaka, barisan pemerintah menyerbu benteng!"

"Kita telah dikurung!"

"Kita terjebak...!"

"Mereka telah membobolkan pintu gerbang di tiga tempat!"

Teriakan-teriakan itu terdengar dengan jelas dan membikin panik para pengeroyok, termasuk Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li.

"Sumoi, apa artinya itu?" Beberapa kali ketua Pulau Neraka itu berteriak sambil terus mundur dari desakan Bun Beng, mengandalkan pengeroyokan puluhan orang prajurit itu.

"Entah, Suheng...!" Mauw Siauw Mo-li menjawab bingung dan dia pun tidak begitu mendesak lagi kepada Kian Lee sehingga pemuda ini dengan leluasa dapat membantu dan melindungi Ceng Ceng dari pengeroyokan puluhan orang prajurit pemberontak yang sudah menjadi gelisah itu.

Suara gemuruh itu semakin lama semakin dekat dan tak lama kemudian makin banyak prajurit pemberontak yang lari cerai-berai, agaknya ketakutan.

"Hai...! Tikus-tikus bernyali kecil, pengecut-pengecut tak tahu malu!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah. "Kenapa kalian berlari-larian? Apa yang terjadi?" Suaranya nyaring sekali mengatasi suara hiruk-pikuk dan dia telah meninggalkan Gak Bun Beng yang masih dikeroyok oleh puluhan orang prajurit pemberontak.

"Barisan pemerintah telah menyerbu ke dalam kota Koan-bun seperti banjir! Kita telah terjebak dan dikurung!" Seorang perwira pemberontak menjawab dengan muka pucat.

Hek-tiauw Lo-mo terkejut sekali. Ia dan sumoi-nya mencampuri urusan pemberontakan karena kebetulan saja melihat gerakan para pemberontak dan ingin 'membonceng' agar dapat memperoleh kedudukan dan kemuliaan, maka mereka sudah menawarkan diri membantu. Siapa tahu, belum apa-apa sudah tampak gejala kegagalan pemberontakan ini, bahkan kini mereka terhimpit di dalam kota Koan-bun.

"Sumoi, tidak lekas pergi mau tunggu apa lagi?!" teriaknya, karena Ketua Pulau Neraka ini pun jeri menghadapi Gak Bun Beng yang memiliki kepandaian amat tinggi itu.

Akan tetapi tiba-tiba datang pasukan pemerintah di tempat itu dan seorang pemuda tinggi besar meloncat dengan gerakan kilat dan tahu-tahu telah berada di depan Hek-tiauw Lo-mo sambil membentak, "Hek-tiauw Lo-mo pencuri rendah! Kiranya engkau berada di sini pula menjadi kaki tangan pemberontak. Hayo cepat kembalikan sebagian kitab yang kau curi dari Istana Gurun Pasir!"

"Orang muda lancang mulut! Siapa kau...?!"

"Aku adalah murid majikan Istana Gurun Pasir yang diutus Suhu untuk merampas kembali kitab pusaka dan memberi hajaran kepada pencurinya."

"Bocah sombong!" Biar pun telah berkali-kali bertemu lawan tangguh, Hek-tiauw Lo-mo masih memandang rendah orang lain dan menghadapi pemuda tinggi besar itu dia pun memandang rendah, lalu menyerang dengan tiba-tiba.

"Dessss...!"

Pukulan majikan Pulau Neraka itu ditangkis oleh pemuda itu dan kagetlah Hek-tiauw Lo-mo ketika tangkisan itu membuat dia terdesak ke belakang. Baru dia percaya bahwa murid Si Dewa Bongkok ini lihai sekali. Akan tetapi tentu saja untuk mengembalikan kitab yang hanya sebagian berada di tangannya itu dia merasa sayang. Dia masih belum berhasil merampas sebagian dari kitab yang berada di tangan Ketua Lembah Bunga Hitam, yaitu Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek sehingga dia belum dapat mempelajari isi kitab dengan sempurna.

"Kok Cu...! Jahanam engkau...!" Mendadak terdengar jerit melengking dan Ceng Ceng sudah lari menghampiri pemuda tinggi besar itu dan menyerang dengan pukulan ganas, mengerahkan seluruh tenaga saktinya.

Kao Kok Cu, pemuda itu, terbelalak memandang Ceng Ceng yang menyerangnya bagai orang terpesona, sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis.

"Bukkkk! Bukkk!"

"Nona Lu Ceng...!" Kian Lee yang menjadi terkejut sekali sudah meninggalkan para pengeroyoknya dan berteriak memanggil sambil meloncat ketika dia melihat Lu Ceng seperti orang gila menyerang dan memukul Kok Cu.

Pada saat itu, Hek-tiauw Lo-mo sudah meloncat jauh dan melarikan diri bersama Mauw Siauw Mo-li, dan Kok Cu hanya berdiri bengong setelah dipukul dadanya dua kali oleh Ceng Ceng. Dara itu setelah memukul dua kali dengan pengerahan tenaga sekuatnya, mengeluh dan terguling roboh. Untung Kian Lee cepat menyambarnya sehingga dia tidak terbanting roboh dan pingsan di dalam pelukan Kian Lee.

Gak Bun Beng juga sudah loncat mendekat. Melihat wajah Ceng Ceng yang agak kehijauan itu, pendekar ini terkejut bukan main karena dia maklum bahwa dara itu telah menderita luka hebat akibat racun! Dia memandang Kok Cu dengan alis berkerut dan melihat pemuda tinggi besar itu pemimpin pasukan pemerintah dan agaknya kenal dengan Kian Lee, dia bertanya, "Lee-sute, siapa dia ini?"

"Suheng, dia adalah saudara Kao Kok Cu, putera Jenderal Kao."

Bu Beng mengangguk. "Ahhh...!" Kemudian dia berkata, "Sute, cepat kau bawa pergi nona ini. Dia terluka dan keracunan hebat."

Kok Cu yang masih berdiri bengong memandang Ceng Ceng yang pingsan di dalam pelukan Kian Lee berkata, "Saudara Kian Lee, kau bawalah nona ini, ikutlah perwira ini agar mendapat perawatan sebaiknya."

Dia memerintahkan seorang perwira yang segera mengajak Kian Lee yang memondong tubuh Ceng Ceng itu pergi meninggalkan tempat itu. Kok Cu kini berhadapan dengan Gak Bun Beng, keduanya saling pandang penuh selidik karena masing-masing dapat menduga akan kelihaian mereka. Kok Cu yang mendengar Kian Lee menyebut suheng kepada laki-laki setengah tua ini, diam-diam terkejut. Dia sudah tahu sekarang bahwa Kian Lee dan Kian Bu adalah putera-putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, tentu saja ilmu kepandaian mereka hebat sekali. Dan laki-laki setengah tua yang sederhana dan tenang ini adalah suheng mereka!

Sebenarnya dia ingin sekali berkenalan dengan orang yang berilmu tinggi ini, akan tetapi hatinya sudah dibuat gelisah bukan main oleh pertemuan dengan Ceng Ceng, gadis penolong ayahnya akan tetapi juga gadis yang mendendam sakit hati setinggi langit sedalam lautan kepadanya! Gadis yang diperkosanya sewaktu dia berada dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh racun jahat. Dan yang menjadi biang keladi peristiwa memalukan ini adalah Ketua Lembah Bunga Hitam dan Ketua Pulau Neraka, dua orang yang mencuri kitab suhu-nya. Merekalah yang membuat dia keracunan hebat itu sehingga dia melakukan perbuatan keji terhadap Lu Ceng!

"Kiranya engkau adalah putera Kao-goanswe? Sungguh menggembirakan sekali, bagai mana pasukan pemerintah bisa datang begini tepat? Di mana ayahmu?" Gak Bun Beng bertanya.

"Semua ini adalah berkat jasa Nona Lu Ceng itu yang telah mengatur siasatnya...," Kok Cu berkata akan tetapi matanya memandang ke arah larinya Hek-tiauw Lo-mo.

"Ah..., maksudmu...?" Gak Bun Beng tercengang.

"Dia membujuk Tambolon menyerang Koan-bun dan selagi pemberontak dan pasukan Tambolon bertempur sendiri, barisan pemerintah bergerak, sebagian menyerbu Koan-bun, sebagian dipimpin Puteri Milana memotong jalan dan sebagian dipimpin Ayah menyerbu Teng-bun malam ini juga."

"Ahhh... sungguh hebat!" Bun Beng memuji.

"Maaf, saya harus mengejar Hek-tiauw Lo-mo!" Kok Cu berkata.

Cepat dia meninggalkan Bun Beng dan sekali berkelebat tubuhnya sudah lenyap dari situ, membuat Bun Beng mengikutinya dengan pandang mata kagum sekali. Pendekar ini terheran-heran dan masih tercengang dengan jalannya peristiwa yang begitu cepat dan tidak tersangka-sangka.

Dia tadi pun seperti juga Kian Lee, menonton dengan penuh keheranan betapa pasukan yang dipimpin oleh Tambolon menyerbu Koan-bun dan seperti juga sute-nya itu, dia menolong banyak penduduk yang diganggu oleh tentara kedua pihak. Terheran-heran hati pendekar ini melihat munculnya begitu banyak orang pandai. Mula-mula Tambolon dengan dua orang pembantunya yang lihai, kemudian Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li yang tidak kalah lihainya. Yang terakhir muncul pemuda putera Jenderal Kao itu! Pemuda itu pun amat lihai, akan tetapi anehnya, mengapa Nona Lu Ceng itu begitu melihatnya lalu menyerangnya dengan penuh kebencian?

Akan tetapi pendekar ini tidak mau memusingkan hal itu. Dia lalu membantu pasukan pemerintah yang telah melakukan perang mati-matian melawan pasukan pemberontak dan pertempuran terjadi di seluruh kota sampai keesokan harinya. Kota Koan-bun mengalami perang yang luar biasa hebatnya, dimulai dari penyerbuan pasukan liar yang dipimpin oleh Tambolon lalu dilanjutkan oleh pasukan pemerintah yang menumpas pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun sebagai bala bantuan. Kalau tadinya pasukan Tambolon membasmi pasukan yang bertahan di Koan-bun, kemudian tiba giliran pasukan liar itu yang dibasmi oleh pasukan besar pemberontak dari Teng-bun, kini pasukan pemerintah turun tangan melakukan pukulan terakhir kepada barisan pemberontak.

Yang patut dikasihani adalah penduduk kota Koan-bun. Sukarlah bagi mereka untuk mengatakan mana kawan dan mana lawan karena semua anak buah pasukan selalu mengganggu mereka. Kota mereka menjadi neraka yang penuh dengan mayat dan orang-orang luka, darah membanjir setiap tempat dan banyak rumah yang habis terbakar.

Pertempuran-pertempuran mengerikan itu berlangsung sampai dua hari lamanya, tentu saja menjatuhkan korban manusia di kedua pihak yang banyak sekali. Akan tetapi akhirnya Koan-bun jatuh ke tangan barisan pemerintah yang dipimpin oleh Panglima Thio Luk Cong dan Kao Kok Cu yang sudah tidak kelihatan lagi bayangannya sejak dia melakukan pengejaran terhadap Hek-tiauw Lo-mo untuk merampas kembali kitab suhu-nya yang dicuri oleh Ketua Pulau Neraka itu.

Mulai malam itu, dimulai dengan penyerbuan pasukan Tambolon ke dalam kota Koan-bun, terjadilah perang yang seru dan dahsyat, yang mengerikan karena sejak malam itu sampai beberapa hari lamanya di kota itu terjadi pembunuhan dan pembantaian antara manusia, bahkan antara bangsa sendiri sehingga puluhan ribu manusia tewas di ujung senjata tajam!

Tidak hanya di Koan-bun terjadi perang yang hebat dan kacau-balau, akan tetapi juga di tengah jalan antara Koan-bun dan Teng-bun, di mana barisan yang dipimpin oleh Puteri Milana melakukan pencegatan dan barisan pemberontak yang menyerbu ke Koan-bun untuk menumpas pasukan Tambolon itu tidak dapat lagi kembali ke Teng-bun karena dihadang dan disergap oleh barisan Milana ini, bahkan Sang Puteri yang melihat betapa pihak musuh amat lemah lalu memecah barisannya, sebagian lalu menuju ke Teng-bun untuk membantu barisan penyerbu Teng-bun yang merupakan barisan inti dipimpin sendiri oleh Jenderal Kao Liang dibantu oleh Suma Kian Bu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Pangeran Liong Khi Ong tertunda niatnya yang keji untuk memaksa Syanti Dewi menjadi miliknya dengan jalan memperkosanya ketika mendadak ada laporan bahwa Koan-bun telah diserang oleh pasukan Tambolon. Gangguan ini sekaligus mengusir nafsu birahinya dan malam itu dia tidak berani tidur, selalu berdekatan dengan Panglima Kim Bouw Sin agar dapat mengetahui keadaan.

Mereka semua mengharapkan bahwa pasukan besar yang dikirim dari Teng-bun ke Koan-bun dan yang dibantu oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li itu akan berhasil menumpas pasukan liar Tambolon. Akan tetapi tentu saja mereka menjadi gempar ketika datang laporan bahwa pasukan yang menggempur Tambolon di Koan-bun itu telah terhimpit oleh barisan pemerintah yang secara tiba-tiba saja muncul. Bahkan kini barisan pemerintah yang amat kuat sedang menuju ke Teng-bun!

Panglima Kim Bouw Sin segera mengumpulkan para pembantunya dan menyusun kekuatan untuk mempertahankan benteng Teng-bun. Menjelang pagi muncullah musuh yang ditunggu-tunggu itu, disertai suara gemuruh yang menggetarkan hati semua prajurit pemberontak yang sudah berjaga-jaga di benteng dan di luar benteng. Panglima Kim Bouw Sin sendiri dengan beberapa orang panglima pembantunya berdiri di atas benteng untuk meninjau keadaan.

Barisan pemerintah itu belum melakukan gerakan, dan memang Jenderal Kao Liang menanti sampai matahari terbit! Dia ingin melakukan gertakan lebih dulu dengan harapan untuk menggetarkan dan mengecilkan hati para prajurit pemberontak yang dahulu adalah bekas anak buahnya. Setelah matahari timbul di ufuk timur, Jenderal Kao Liang yang menunggang kuda ditemani oleh Suma Kian Bu, mendekati menara di sudut tembok benteng itu, di mana terdapat panglima pemberontak Kim Bouw Sin dan para perwira pembantunya, sedangkan Pangeran Liong Khi Ong yang berada pula di situ menyembunyikan diri, tidak ingin dikenal orang sebelum usaha pemberontakan berhasil seluruhnya.

"Kim Bouw Sin pemberontak hina dina!" Jenderal Kao berseru sambil mengerahkan tenaganya sehingga suaranya terdengar oleh mereka yang berada di menara dan juga oleh sebagian besar prajurit pemberontak yang sudah berjaga di atas tembok benteng. "Apakah engkau masih belum insyaf betapa pemberontakanmu telah mendekati akhir dan kehancuran? Koan-bun sudah terjatuh kembali ke tangan kami! Pasukanmu yang ke sana malam tadi telah habis terbasmi, demikian pula sekutumu Tambolon sudah dihancurkan! Lebih baik engkau segera menakluk dan mengakui dosamu dari pada mengorbankan nyawa ribuan prajurit yang hanya terkena hasutanmu!"

"Keparat dia! Hujani anak panah!" Pangeran Liong Khi Ong membentak marah sekali karena dia maklum betapa berbahayanya suara jenderal itu terdengar oleh para prajurit, karena jenderal itu merupakan seorang tokoh besar dalam ketentaraan yang amat disegani. Dia sudah melihat betapa wajah para pengawal dan prajurit yang berada di menara itu berubah pucat mendengar suara ini.

"Lepaskan anak panah!" Tiba-tiba Kim Bouw Sin memberi aba-aba, karena dia sendiri pun marah dan merasa tidak mampu untuk menjawab ucapan Jenderal Kao di bawah itu.

Para prajurit pasukan panah segera melakukan perintah ini dan anak panah meluncur ke bawah seperti hujan banyaknya. Melihat ini, Kian Bu cepat memutar pedang yang diterimanya dari Jenderal Kao. Tampaklah segulungan sinar berkilauan yang membuat anak panah yang menyambarnya runtuh semua. Juga Jenderal Kao telah memutar pedangnya, kemudian berkata kepada Kian Bu. "Taihiap, kau lindungilah aku. Aku harus membalas kecurangan mereka itu!"

Kian Bu lalu meloncat turun dari atas kudanya dan bergerak-gerak memutar pedangnya yang sekarang berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti mereka berdua. Jenderal Kao lalu menurunkan busur dan memasang anak panah, membidik ke atas dan tak lama kemudian terdengarlah suara berdesing ketika sebatang anak panah meluncur dengan kecepatan seperti kilat ke arah panglima pemberontak Kim Bouw Sin yang melihat penyerangan anak buahnya dengan penuh harapan.

"Ciangkun, awas...!" Lam-thian Lo-mo yang selalu mendampingi panglima pemberontak ini bersama Pak-thian Lo-mo, berseru dan cepat dia menarik tangan panglima itu hingga tubuhnya tertarik ke samping. Terdengar teriakan nyaring ketika seorang perwira yang berdiri di belakang panglima pemberontak ini roboh, lehernya tertembus anak panah dan dia tewas seketika.

Jenderal Kao dan Kian Bu telah meninggalkan tempat berbahaya itu, maka dimulailah perang yang amat dahsyat di sekeliling tembok benteng kota Teng-bun. Mula-mula hujan anak panah dari kedua pihak, kemudian setelah Panglima Kim Bouw Sin melihat bahwa kekuatan barisan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang itu tidak besar, kurang dari separoh jumlah pasukannya yang berjaga di Teng-bun, dia lalu memerintahkan pasukan untuk menyerbu ke luar, dibantu oleh barisan anak panah dan batu-batu yang menghalau setiap usaha musuh yang hendak naik ke tembok benteng.

Maka terjadilah perang tanding di luar pintu gerbang benteng sebelah selatan. Memang perhitungan Kim Bouw Sin tepat. Jumlah pasukannya jauh lebih besar dan dia hendak menggunakan keunggulan jumlah pasukan ini untuk menggempur dan menghancurkan pasukan Jenderal Kao. Akan tetapi Jenderal Kao Liang adalah seorang pemimpin yang banyak siasatnya.

Segera dia memberi komando melalui bunyi terompet dan pasukan-pasukannya lalu berpencar, sebagian lari ke pintu gerbang di timur dan sebagian lagi menyerbu melalui sungai di barat kota Teng-bun. Melihat ini, dengan sendirinya Kim Bouw Sin harus pula membagi bagi pasukannya. Karena gerakan Jenderal Kao yang merubah-ubah jumlah pasukannya amat cepat, kadang-kadang di selatan hanya ada sedikit pasukan dan agaknya mengerahkan kekuatan untuk menggempur pintu gerbang timur, akan tetapi ketika pihak pemberontak mengerahkan tenaga menjaga di timur, kiranya yang di selatan itulah justru yang lebih kuat sehingga penjagaan-penjagaan dan pertahanan-pertahanan di benteng itu menjadi kacau dan panik.

Tetapi, karena Kim Bouw Sin adalah panglima yang tadinya menjadi pembantu Jenderal Kao, dia pun amat ahli mengatur penjagaan sehingga dengan jumlah pasukan yang jauh kalah banyak itu, agaknya tidak mudah bagi Jenderal Kao untuk menduduki kota benteng Teng-bun yang amat kuat itu. Perang telah berlangsung dua hari dua malam dan hanya diseling waktu untuk menyusun kekuatan di pihak masing-masing.

Pada hari ketiga, datanglah barisan bantuan dari selatan yang dipimpin oleh Puteri Milana, yang memimpin sisa pasukannya setelah berhasil membantu pasukan yang dipimpin oleh Panglima Thio Luk Cong yang telah merebut kembali kota Koan-bun. Tentu saja bantuan ini amat menggirangkan hati Jenderal Kao Liang dan disusunlah kekuatan baru dan dengan dahsyat barisan gabungan ini lalu melakukan hantaman-hantaman yang menggetarkan dan mengguncangkan tembok benteng kota Teng-bun berikut semangat perlawanan para prajurit pemberontak yang memang sudah gentar ketika mendengar bahwa Jenderal Kao Liang yang mereka takuti itu kini dibantu oleh Puteri Milana yang telah mereka kenal pula itu.

Biar pun pihak pemberontak masih mampu mempertahankan dirinya selama tiga hari tiga malam, namun kedudukan mereka telah goyah. Pasukan telah gelisah dan para penjaga yang mempertahankan pintu-pintu gerbang telah turun semangat dan sangat kelelahan.

Semua ini tentu saja diketahui baik oleh Pangeran Liong Khi Ong yang menjadi makin gelisah. Selama sepekan ini dia tidak bisa tidur dan selalu gelisah. Dia dan kakaknya memang merupakan orang-orang yang berambisi besar, akan tetapi sekali-kali bukan orang peperangan, maka menyaksikan perang di depan hidungnya dia menjadi gelisah bukan main, dan dikuasai ketakutan yang mencekam hatinya setiap saat.

Demikian takutnya dia hingga dia melarang Tek Hoat meninggalkan dirinya. Tentu saja Tek Hoat juga tidak berani membantu dan bahkan pemuda ini merasa girang karena dia dapat menjaga agar pangeran ini tidak melakukan hal yang amat dikhawatirkannya terhadap diri Syanti Dewi.

Ketika Pangeran Liong Khi Ong mendengar bahwa pihak musuh yang masih juga belum berhasil membobol benteng Teng-bun itu kabarnya dibantu oleh pasukan baru di bawah pimpinan Puteri Milana, dia menjadi pucat ketakutan. Memang sejak dahulu dia merasa jeri terhadap Puteri Milana yang dalam persaingan di istana selalu memihak lawannya, yaitu Perdana Menteri Su.

Kim Bouw Sin menenangkan hati pangeran ini dengan mengatakan bahwa pasukan mereka tidak akan kalah, dan andai kata keadaan mendesak dan berbahaya, pangeran itu masih dapat menyelamatkan diri dengan sebuah kereta melalui pintu rahasia yang keluar ke dalam hutan di sebelah barat benteng. Akan tetapi akhirnya Panglima Kim Bouw Sin harus mengakui akan kekuatan musuh setelah pasukan yang dipimpin Puteri Milana datang membantu Jenderal Kao Liang. Atas permintaannya, terpaksa Pangeran Liong membolehkan Tek Hoat membantu Panglima Kim Bouw Sin.

Mulailah Tek Hoat terjun ke medan pertempuran bersama Siang Lo-mo. Mereka bertiga ini memang berhasil membangkitkan semangat para prajurit pemberontak, dan kini pertempuran secara berhadapan mulai terjadi di dua pintu gerbang. Pihak tentara pemerintah makin mendesak dan akhirnya, pada hari keempat, bobollah pintu selatan diserbu oleh pasukan yang dipimpin sendiri oleh Puteri Milana dibantu oleh Suma Kian Bu. Amukan dua orang keturunan Pendekar Super Sakti itu sedemikian hebatnya sehingga menggiriskan hati para prajurit pemberontak yang terus mundur memasuki kota.

Siang Lo-mo yang mengamuk di pintu barat dan timur merobohkan banyak prajurit musuh, mendengar akan bobolnya pintu gerbang selatan. Selagi mereka hendak lari membantu para penjaga di pintu gerbang selatan itu, tiba-tiba ada perwira-perwira yang memanggil mereka dan ternyata bahwa mereka dipanggil oleh Pangeran Liong Khi Ong untuk mengawal pangeran itu keluar dari Teng-bun.

Panglima Kim Bouw Sin mengerahkan pasukan istimewa, dengan panah api berhasil menghalau pasukan musuh yang telah menyerbu masuk melalui pintu gerbang selatan. Melihat pasukannya banyak yang roboh dan panik oleh hujan anak panah berapi, terpaksa Milana dan Kian Bu menarik kembali pasukan itu keluar dari pintu gerbang dan kembali pintu gerbang dikuasai oleh pihak pemberontak yang menutupnya dengan pintu besi yang tadi sudah ambruk, menjaganya kuat-kuat dan memasang barisan panah di tempat itu. Untung malam tiba sehingga pihak pasukan pemerintah menghentikan serangan dan mundur, menghimpun kembali tenaga untuk dipakai menyerang lagi pada keesokan harinya.

Tek Hoat kembali ke gedung tempat tinggal Pangeran Liong Khi Ong. Tubuhnya lelah karena dia ikut bertempur sejak pagi sampai sore. Pakaiannya berlepotan darah korban yang dirobohkannya dan pahanya berdarah, luka sedikit oleh tombak para pengeroyok yang amat banyak jumlahnya dalam perang sampyuh tadi.

Dia mulai merasa bosan berperang, kebosanan yang menyerangnya sejak dia bertemu dengan Syanti Dewi. Dia merasa bahwa semua orang, termasuk dia, menjadi alat-alat yang dipergunakan oleh beberapa orang terutama Pangeran Liong Bin Ong dan Liong Khi Ong untuk merebut kemuliaan di kota raja! Biar pun dia membantu pemberontak dengan hasrat ingin memperoleh kedudukan yang tinggi kelak, namun harus diakuinya bahwa dia pun hanya merupakan alat dari dua orang pangeran itu, dan andai kata pemberontakan itu berhasil kelak, sudah terbayang olehnya bahwa dia tentu hanya akan menjadi orang bawahan dua pangeran itu, karena bukan hal yang mudah untuk mencapai kedudukan tertinggi.

Dan dia merasa pula bahwa betapa pun tinggi kedudukan yang diperolehnya kelak, kalau dia melihat Syanti Dewi menjadi barang permainan Liong Khi Ong, hatinya tidak akan pernah mengalami kebahagiaan. Sekarang pun, hatinya gelisah karena dia pagi tadi harus membantu perang, dan dia tidak dapat lagi mengawasi pangeran tua mata keranjang itu. Bagaimana kalau ketidak-hadirannya tadi membuka kesempatan bagi Pangeran Liong Khi Ong untuk memaksa Syanti Dewi menuruti keinginannya?

Sungguh pun dia tahu bahwa rasa ketakutan hebat kiranya tidak memberi kesempatan kepada Pangeran Liong Khi Ong untuk ingat akan nafsunya terhadap Syanti Dewi, namun tetap saja hati Tek Hoat berdebar tegang, mukanya menjadi panas dan dia mengepal tinjunya ketika dia menghampiri gedung tempat tinggal Pangeran Liong Khi Ong yang kelihatan sunyi itu.

Tiba-tiba dia menyelinap di balik pohon ketika dia mendengar suara roda kereta. Dia mengenal kereta itu, kereta yang disediakan untuk Pangeran Liong Khi Ong. Dan di dalam kereta itu duduk Siang Lo-mo! Hatinya curiga. Dia pun sudah mendengar bahwa kereta itu memang disiapkan oleh Panglima Kim Bouw Sin untuk Sang Pangeran, dapat dipergunakan oleh Pangeran Liong Khi Ong untuk lari mengungsi apa bila keadaan berbahaya, melalui sebuah pintu rahasia yang menembus hutan di sebelah barat benteng. Cepat dia menggunakan kepandaiannya untuk berlari di belakang kereta dan karena roda kereta itu menimbulkan bunyi yang cukup keras, maka betapa pun lihainya Siang Lo-mo, mereka tidak tahu bahwa ada orang yang lari di belakang kereta, dekat sekali.

"Mengapa kita yang disuruh mengawal Pangeran, bukan Ang Tek Hoat?" terdengar oleh Tek Hoat suara Pak-thian Lo-mo.

"Ha-ha, apakah engkau tidak dapat melihat kenyataan? Dari penuturan Hek-wan Kui-bo saja sudah jelas bahwa pemuda sombong itu jatuh cinta kepada puteri Bhutan itu! Tentu saja Pangeran juga tahu tentang urusan ini, maka dia akan ditinggalkan di sini untuk membantu Panglima Kim sedangkan sebaliknya kita dan Hek-wan Kui-bo yang disuruh mengawal sampai Pangeran dan puteri Bhutan itu tiba di kota raja."

"Untung kita!" Pak-thian Lo-mo berkata dengan nada suara gembira. "Benteng ini tidak akan dapat dipertahankan lebih lama lagi. Dan kita sudah akan berada di kota raja kalau benteng itu jatuh ke tangan musuh!"

"Sstttt..., kita sudah sampai, sebaiknya tidak bicara tentang itu," bisik Lam-thian Lo-mo.

Kereta itu berhenti di belakang istana yang gelap. Agaknya Pangeran yang hendak melarikan diri itu menghendaki demikian dan segalanya sudah diatur sebelumnya.

Sepasang kakek kembar yang lihai itu meloncat turun dari dalam kereta. "Kau tunggu di sini sebentar!" kata Lam-thian Lo-mo kepada kusir kereta yang berpakaian seperti prajurit dan yang duduk di bagian depan kereta itu, memegang cambuk panjang.

Kusir itu menjawab singkat, "Baik, Locianpwe."

Memang semua prajurit yang bertugas dekat dengan Pangeran dan Panglima Kim mengenal dua orang kakek kembar yang lihai ini dan semuanya menyebut mereka 'locianpwe'. Ketika dua orang kakek itu dengan cepat lari memasuki gedung, kusir itu duduk menanti, memandang ke kanan kiri yang amat sunyi. Sesuai dengan kehendak pangeran, supaya tempat itu dikosongkan sehingga tidak ada penjaga yang melihat keberangkatannya karena hal itu mendatangkan pengaruh kurang baik bagi semua prajurit yang harus mempertahankan benteng itu sampai saat terakhir.

Beberapa saat kemudian dengan sikap tergesa-gesa tampak Pangeran Liong Khi Ong yang memakai pakaian biasa, menyamar sebagai seorang pedagang, menggandeng tangan Syanti Dewi yang juga memakai pakaian biasa, setengah menyeret dara itu keluar dari gedung menuju ke kereta yang menanti di belakang gedung. Wajah Syanti Dewi kelihatan pucat dan jelas bahwa puteri ini kelihatan marah dan tidak suka, akan tetapi dia dipaksa oleh pangeran itu dan di belakang mereka ini berjalan Pak-thian Lo-mo, Lam-thian Lo-mo, dan Hek-wan Kui-bo. Tidak ada orang lain lagi yang mengawal mereka. Lam-thian Lo-mo lalu membukakan pintu kereta, dan Pangeran Liong Khi Ong menarik tangan puteri itu untuk memasuki kereta.

Di depan pintu kereta, Syanti Dewi merenggutkan tangannya sambil berkata, suaranya tetap tenang akan tetapi penuh penyesalan dan kemarahan. "Pangeran, sungguh tidak kusangka bahwa engkau ternyata hanya seorang pengecut yang akan melarikan diri setelah melihat benteng ini terkepung musuh. Dan tidak kusangka bahwa aku akan dipaksa begini, seolah-olah aku berada di tangan sekelompok penjahat. Biarlah aku ditinggalkan di sini saja, aku tidak ingin ikut dengan Pangeran ke kota raja."

"Aih, mana bisa, manis! Engkau adalah calon isteriku, ke mana pun harus kubawa serta. Maafkan aku, selama berada di tempat ini aku kurang perhatian terhadap dirimu karena kita menghadapi perang. Akan tetapi di kota raja nanti, hemm... kita akan bersenang-senang..."

"Tidak! Kita bukan tunangan lagi! Aku dahulu suka menuruti kehendak ayahku karena ayahku sebagai Raja di Bhutan menerima pinangan langsung dari Kaisar Kerajaan Ceng-tiauw. Akan tetapi ternyata bahwa engkau sekarang malah memberontak kepada Kerajaan Ceng! Tentu saja saya tidak sudi menerima pinangan seorang pemberontak yang hina!" Sikap puteri itu kini marah sekali dan dia berdiri tegak dengan pandang mata menghina kepada pangeran yang berdiri dengan canggung di depannya itu.

"Pangeran, mengapa melayaninya? Semua wanita dari tingkat apa pun juga selalu cerewet!" Lam-thian Lo-mo berkata.

"Heh-heh-heh-heh, Lam-thian Lo-mo, jangan lancang begitu mulutmu memaki orang perempuan!" Hek-wan Kui-bo mencela sambil tertawa.

"Perempuan memang harus cerewet dan galak, baru menarik, seperti mawar dengan durinya." Pak-thian Lo-mo yang biasanya pendiam itu kini memberi komentar. Lam-thian Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo menyambut komentar ini dengan tertawa, dan Pangeran Liong tertawa juga.

Syanti Dewi maklum bahwa tidak ada gunanya lagi bicara dengan pangeran ini, tidak ada gunanya memasukkan segala alasan berdasarkan kesusilaan dan kesopanan kepada pangeran tua yang sudah bebal ini karena dia melihat sudah bahwa tidak ada bedanya antara pangeran ini dengan tiga orang tua seperti iblis itu. Hanya pada lahirnya saja pangeran ini halus dan terpelajar, namun di dalam batinnya dia malah lebih parah dari orang-orang kasar ini.

Maka dia membuang muka, tidak mempedulikan lagi kepada mereka dan memasuki kereta sendiri karena dia pikir lebih baik begitu dari pada dipaksa. Dia masih merasa beruntung bahwa keadaan perang di Teng-bun membuat pangeran itu belum sempat mengganggunya. Dia akan menghadapi apa saja yang akan menimpa dirinya dengan tabah, masih belum terlambat baginya untuk menggunakan pisau yang disembunyikan di dalam lipatan bajunya apa bila saatnya tidak memberi harapan lagi kepadanya.

Pangeran Liong Khi Ong masih tertawa ketika dia pun masuk ke dalam kereta dan duduk di dekat Syanti Dewi. Sepasang kakek kembar dan Hek-wan Kui-bo juga masuk dan duduk di depan mereka sebagai pengawal.

"Kusir dungu! Hayo jalan!" Lam-thian Lo-mo membentak ke arah kusir yang duduk tegak di belakang kuda agak tinggi itu. Sejak tadi kusir ini tidak berani menengok dan pura-pura tidak melihat atau mendengar apa yang terjadi di depan pintu kereta tadi.

"Baik, Locianpwe!" jawabnya otomatis dengan suaranya yang tinggi dan parau.

Kereta bergerak setelah terdengar cambuk meledak dan melecut di atas kepala empat ekor kuda itu. Kuda-kuda itu meringkik dan tak lama kemudian kereta berjalan cepat sekali menuju ke barat.

"Locianpwe, saya belum tahu harus pergi ke mana...," kusir itu berkata dengan suara lirih seolah-olah dia merasa takut terhadap para penumpangnya.

"Pangeran, harap memberitahukan jalannya," Lam-thian Lo-mo berkata.

"Terus saja," kata Pangeran Liong Khi Ong, karena hanya dia sendiri dan Panglima Kim Bouw Sin serta beberapa orang perwira kepercayaan yang laln saja yang tahu akan tempat itu, termasuk Tek Hoat. "Setelah tiba di pintu gerbang barat, lalu membelok ke selatan kurang lebih satu li."

Kusir itu mencambuk kuda dan kereta meluncur cepat di malam gelap itu menuju ke barat. Orang-orang yang melihat bahwa kusir kereta itu adalah orang yang berpakaian prajurit, tidak ada yang menduga siapa yang berada di dalamnya, hanya mengira bahwa penumpangnya tentulah seorang di antara para perwira tinggi.

Setelah tiba di pintu gerbang barat yang terjaga kuat dan membelok ke selatan, kereta memasuki sebuah kebun yang tidak terawat dan akhirnya, di tempat yang amat sunyi ini, Pangeran Liong Khi Ong menyuruh Siang Lo-mo membuka sebuah pintu rahasia yang tertutup rumpun ilalang dan cara membukanya digerakkan oleh alat rahasia yang tersembunyi di dalam batang pohon yang berlubang. Setelah kereta itu menerobos pintu rahasia di tembok benteng yang sunyi itu, Siang Lo-mo menutupkan kembali dari luar dan kereta lalu melanjutkan perjalanannya. Ternyata di sebelah luar tembok itu adalah sebuah hutan yang lebat, gelap dan sunyi.

"Terus masuk ke dalam hutan," Pangeran Liong berkata. "Kita sembunyi di dalam hutan malam ini, besok pagi baru melanjutkan perjalanan ke selatan."

Setelah kereta tiba di dalam hutan, Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo turun dari kereta, melihat-lihat keadaan. Hutan itu sunyi dan mereka merasa lega.

"Kita menanti sampai pagi dan tentu pihak musuh sudah mulai menyerang benteng lagi," kata Pangeran itu. "Semua perhatian mereka akan tercurah ke benteng sehingga kita memperoleh kesempatan untuk melanjutkan perjalanan dengan aman. Dari sini kita harus ke barat sampai keluar dari hutan dan tiba di lereng bukit dan dari sana mulailah kita menuju ke selatan."

Kusir kereta itu turun pula dan tanpa mengeluarkan suara dia melepaskan empat ekor kuda itu, membawanya ke tempat yang banyak rumputnya dan membiarkan mereka makan rumput. Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo sudah membuat api unggun dan duduk di sekeliling api sambil bercakap-cakap.

Pangeran Liong Khi Ong dan Syanti Dewi berada di dalam kereta. Hek-wan Kui-bo yang memandang ke kereta itu berkata lirih sambil terkekeh, "Heh-heh, Pangeran sampai lupa dingin, tidak turun dari kereta."

"Nenek tua, apa engkau tidak tahu senangnya orang berpengantinan?" Lam-thian Lo-mo juga terkekeh.

"Hi-hik, agaknya di dalam kereta itu Pangeran merasa lebih hangat dari pada di dekat api ini." Hek-wan Kui-bo tertawa lagi.

Akan tetapi tak lama kemudian tiga orang datuk kaum sesat itu sudah bicara dengan serius, suara mereka berbisik-bisik karena mereka kini terlibat dalam percakapan yang amat penting bagi mereka, yaitu tentang gerakan pemberontak yang mulai terpukul oleh barisan pemerintah. Mereka bertiga itu, seperti juga Ang Tek Hoat, bersedia membantu pemberontakan karena mereka hendak mengejar kedudukan dan kemuliaan di hari tua mereka.

Sekarang, melihat kenyataan betapa pasukan pemberontak mulai dihajar oleh barisan pemerintah yang jauh lebih kuat, semangat mereka juga menurun. Akan tetapi mereka masih belum kehilangan harapan selama mereka masih mengawal Pangeran Liong Khi Ong yang mereka tahu mempunyai kedudukan mulia di kota raja. Selama mereka masih menjadi pembantu-pembantu kedua orang Pangeran Liong, harapan masih terbuka bagi mereka. Setidaknya sebagai pengawal-pengawal Pangeran Liong kedudukan mereka pun sudah cukup terhormat di kota raja.....

KISAH SEPASANG RAJAWALI (seri ke 8 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang