Jilid 7/57

2.3K 22 0
                                    

Akan tetapi, ketika mereka tiba di tengah hutan yang subur itu, mereka tertegun melihat seorang laki-laki sedang tidur di atas rumput, berbantal batu, kedua lengan bersilang depan dada dan mukanya tertutup oleh sebuah caping besar bundar. Seekor kuda yang kelihatan lelah sekali sedang makan rumput tak jauh dari laki-laki itu.

Panglima pasukan dan kakek Lu Kiong yang memang di sepanjang perjalanan sudah menduga akan datangnya penyerbuan pihak musuh, tentu saja menjadi curiga ketika melihat laki-laki itu. Akan tetapi karena merasa terlalu tinggi untuk menegur, panglima itu memanggil lima orang prajurit yang sedang duduk tak jauh dari situ dengan lambaian tangannya.

"Usir dia pergi! Sang puteri berkenan hendak mandi di mata air ini," katanya.

Lima orang prajurit itu dengan sikap gagah, galak dan langkah lebar menghampiri orang yang sedang tidur. "Heiii! Bangun! Sang puteri hendak mempergunakan tempat ini, kau pergi dan pindahlah tidur di lain tempat!" bentak seorang di antara para prajurit itu.

Akan tetapi orang itu tetap tidur, sama sekali tidak bergerak.

"Haiiii! Tulikah engkau?" bentak prajurit kedua.

"Apakah kau sudah mati barangkali?" bentak prajurit ketiga.

"Tak mungkin mati, lihat lututnya bergerak-gerak!"

Memang, orang yang tertidur itu lutut kanannya terangkat dan kini bergerak, akan tetapi terhenti lagi karena dibicarakan orang.

"Haiii, petani...! Lekaslah bangun dan pergi. Apakah kau ingin diseret?" bentak pula seorang prajurit.

Tetap saja orang itu tidak mau bergerak.

Melihat ini, seorang prajurit yang berkumis tebal memegang sebelah kaki orang itu, lalu menarik sekuat tenaga. Akan tetapi, betapa herannya semua orang melihat bahwa si kuat ini sama sekali tidak mampu membuat orang itu bergerak, bahkan menggerakkan kaki itu pun dia tidak mampu! Seolah-olah bukan orang yang ditarik-tariknya, melainkan patung batu yang luar biasa beratnya. Teman-temannya menjadi heran, dan penasaran, kemudian maju bersama dan lima orang itu membetot-betot tubuh orang yang tidur itu. Terdengar mereka mengeluarkan suara ah-ih-uh ketika mengerahkan tenaga, namun tetap saja orang yang dikeroyok lima ini tidak dapat digerakkan sedikit pun juga!

"Eh-eh, apakah engkau minta dipukul?" Seorang prajurit membentak dan kuda orang itu menjadi ketakutan melihat dan mendengar ribut-ribut sehingga binatang ini melarikan diri agak jauh dari tempat itu.

Karena orang itu tetap tidur dengan muka ditutup caping, lima orang prajurit itu menjadi hilang sabar, malu dan penasaran. Mereka berlima tidak mampu menggerakkan orang yang tidur ini. Jelas bahwa orang itu tidak tidur, maka mereka merasa dianggap ringan dan hina. Kini mereka berlima turun tangan menyerang dengan pukulan kalang kabut!

"Plak-plak-plak-duk-dukkk...!"

Aneh bukan main. Tanpa menurunkan topi yang menutupi seluruh mukanya, orang itu dapat menggerakkan kaki tangannya menangkisi semua pukulan. Bukan saja pukulan-pukulan itu tertangkis, bahkan lima orang prajurit itu akhirnya mundur sambil meringis, memegangi lengan mereka yang menjadi bengkak-bengkak terkena tangkisan orang yang masih tertutup mukanya oleh caping itu!

"Hemmm...!" Panglima sudah memegang gagang pedangnya, akan tetapi dia didahului oleh Ceng Ceng yang sekali melompat telah berada di dekat orang itu sambil berkata, suaranya lantang penuh teguran, "Kalau kau seorang gagah, tentu kau tahu bahwa tempat ini bukan hanya milikmu seorang, dan tentu kau mempunyai kesopanan untuk menyingkir karena ada wanita hendak mandi di sini!"

"Adik Candra... jangan...!" Tiba-tiba sang puteri berseru dan sudah lari mendatangi dan berkata dengan halus kepada orang yang mukanya masih ditutupi topi itu. "Harap kau suka pergi dari sini dan setelah kami selesai mempergunakan mata air ini, tentu saja kau boleh menempatinya lagi."

Tubuh itu bergerak-gerak sedikit, kemudian tangan kanannya meraba tanah, menepuk dengan pengerahan tenaga dan tubuhnya mencelat ke atas punggung kudanya yang berada agak jauh dari situ, kemudian kuda itu membalap pergi meninggalkan suara derap kaki dan sedikit debu mengepul. Semua itu dilakukan tanpa membuat capingnya terbuka!

"Hebat...!" Kakek Lu Kiong memuji dengan kagum.

"Mungkin dia mata-mata musuh..." bisik panglima komandan pasukan yang segera pergi dan memerintahkan para penyelidiknya untuk menyelidiki keadaan di sekitar hutan itu.

Kakek Lu Kiong mengerutkan alisnya, termenung dan meraba-raba jenggotnya, lalu berkata kepada panglima itu, "Dia adalah seorang Han, dan melihat gerak-geriknya, dia memiliki ilmu silat yang tinggi sekali. Sayang bahwa kita belum dapat melihat wajahnya sebelum dia pergi. Kurasa dia bukanlah mata-mata musuh, karena kalau dia mata-mata musuh, tentu tidak demikian perbuatannya, melainkan menyelidiki kita dengan diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Betapa pun juga, dia lihai sekali dan kita harus berhati-hati."

Juga Tan-ciangkun yang diberitahu tentang orang asing bercaping itu jadi termenung. "Saya mengenal banyak tokoh kang-ouw, dan tentu saja banyak yang bercaping dan berilmu tinggi. Mungkin saya dapat mengenalnya kalau melihat wajahnya. Akan tetapi karena jelas tidak mengganggu, bahkan dalam bentrokan itu dia tidak menewaskan seorang pun prajurit, kurasa dia tidak mempunyai niat buruk terhadap rombongan kita."

Sementara itu, Ceng Ceng dan sang puteri mandi di mata air. Mereka membicarakan juga laki-laki yang aneh tadi.

"Dia tentu orang jahat. Kalau tadi dia tidak lekas menyingkir, tentu aku akan menghajar dia!" kata Ceng Ceng yang merasa mendongkol juga karena orang asing itu dipuji-puji dan orang itu mendapat kesempatan untuk memamerkan kepandaiannya. Memang dara ini memiliki watak yang kadang-kadang keras tidak mau kalah, dan dia paling tidak senang melihat orang memamerkan kepandaiannya.

"Ahhh, belum tentu, adik Candra. Kurasa, melihat gerak-geriknya, dia bukanlah seorang jahat. Buktinya, dikeroyok demikian banyaknya prajurit, dia tidak membunuh seorang pun di antara mereka, padahal kalau melihat kepandaiannya, tentu dengan mudah dia mampu melakukan hal itu."

"Hemm, dia memang sengaja hendak memamerkan kepandaiannya!" bantah Ceng Ceng masih tak puas. "Kalau saja diberi kesempatan, akan kubuktikan bahwa lagaknya itu hanya kosong belaka!"

Maklum akan watak adik angkatnya, puteri itu hanya tersenyum dan tidak menyebut lagi perihal orang aneh itu. Juga para tokoh dalam rombongan itu tidak bicara lagi tentang orang aneh, dan orang itu hanya disebut-sebut dengan bisik-bisik di antara para prajurit. Namun, peristiwa itu mempertinggi kewaspadaan rombongan dan penjagaan dilakukan ketat malam itu. Karena para penjemput belum juga muncul, maka terpaksa mereka bermalam di hutan itu dengan membangun tenda-tenda darurat. Sang puteri dan Ceng Ceng, juga para pelayan wanita, tidur di dalam kereta joli.

Malam itu sunyi sekali setelah lewat tengah malam. Sebagian besar prajurit yang tidak bertugas jaga, tidur nyenyak karena mereka memang sudah lelah sekali. Akan tetapi mereka yang bertugas jaga, tetap berjaga dengan penuh kewaspadaan di tempat masing-masing. Perondaan dilakukan terus-menerus dari tempat penjaga yang satu kepada tempat penjaga yang lain. Juga kakek Lu Kiong, komandan pasukan, dan Tan-ciangkun tidak dapat tidur dan mereka bercakap-cakap di dalam tenda melewatkan waktu malam yang merupakan bahaya bagi mereka itu.

Di dalam kereta joli, Ceng Ceng dan Syanti Dewi juga tidak dapat tidur. Mereka sudah terbiasa dengan kamar yang serba lengkap, dengan pembaringan yang lunak sehingga tidur setengah duduk di kereta joli merupakan hal yang sukar dilakukan. Maka keduanya juga setengah berbaring sambil bercakap-cakap. Diam-diam keduanya merasakan sesuatu yang aneh dan seolah-olah ada tanda-tanda rahasia akan datangnya hal yang tidak mereka kehendaki. Setelah munculnya orang aneh siang tadi, segala sesuatu kelihatan penuh rahasia. Suara angin berdesir mempermainkan daun-daun pohon saja terdengar seperti bisikan-bisikan iblis dan siluman. Bayang-bayang pohon yang dibuat oleh sinar lentera penjagaan tampak seperti bayangan raksasa! Keadaan serba menyeramkan dan menegangkan.

"Kulik! Kulik! Kulik!"

Suara burung malam itu terdengar jelas sekali karena suasana yang amat sunyi. Suara itu memecah kesunyian dan Puteri Syanti Dewi menggerakkan kedua pundaknya. Tengkuknya terasa dingin meremang.

"Ihhhh... menyeramkan sekali...!" Bisiknya. "Adik Candra, hatiku terasa tidak enak sekali. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengan kita?"

Ceng Ceng juga merasa seram, namun dia menghibur hati kakak angkatnya dengan senyum lebar. "Apa yang dapat terjadi kepada kita? Engkau dikawal oleh lima ratus prajurit pilihan, enci Syanti."

"Lima ratus orang prajurit di tempat seperti ini tidaklah meyakinkan sekali, adik Candra. Aku mendengar bahwa di daerah perbatasan ini sering kali muncul gerombolan yang dipimpin oleh Raja Muda Tambolon yang biadab itu."

"Siapakah Raja Muda Tambolon yang terkenal itu, enci?".

Syanti Dewi bergidik. "Aku sendiri belum pernah melihat orangnya. Akan tetapi menurut kabar, dia adalah seorang peranakan Tibet dan Mongol, seorang laki-laki bertubuh raksasa yang amat sakti dan juga amat kejam, terutama sekali terhadap wanita."

"Hemmm, kejam terhadap wanita? Bagaimanakah?"

"Hihh, aku merasa ngeri baru mengingat cerita yang kudengar itu saja. Bayangkan, kalau Tambolon sudah menyerang sebuah dusun, dia akan membunuh semua laki-laki yang tidak mau menyerah, dan tidak ada seorang pun wanita yang dilepaskannya. Semua kanak-kanak dibunuh, dan wanita dari usia empat belas tahun ke atas, semua menjadi korban kebiadabannya. Kabarnya, dia sendiri akan memilih sedikitnya lima orang wanita tercantik untuk dia permainkan sampai bosan. Ada pun sisanya, semua diberikan begitu saja kepada para anak buahnya dan terjadilah peristiwa yang lebih mengerikan dari pada penyembelihan terhadap kaum pria dan anak-anak. Para wanita itu diperkosa di dalam rumah, di jalan-jalan, di sawah, di mana saja mereka ditemukan, bahkan di antara mayat-mayat suami dan atau saudara-saudara mereka."

"Keparat jahanam!" Ceng Ceng mendesiskan kata-kata ini penuh kebencian.

"Dan beberapa hari kemudian, wanita-wanita tua dibunuh, yang muda digiring sebagai orang tawanan atau lebih tepat lagi, sebagai alat hiburan mereka sampai kaum wanita itu mati atau bunuh diri. Anak-anak yang lahir dari perbuatan laknat ini kelak menjadi anak buah gerombolan. Kabarnya Tambolon sendiri merupakan hasil kelahiran dari perbuatan biadab seperti itulah."

"Hemm, kalau begitu biarlah mereka muncul. Ingin aku memenggal leher manusia iblis itu dengan pedangku sendiri!" Ceng Ceng berkata lagi.

Tiba-tiba, seolah-olah menjawab kata-kata Ceng Ceng, terdengar suara melengking tinggi berulang-ulang. Mula-mula suara itu datangnya dari arah barat, kemudian disusul dari selatan, timur dan utara. Suara melengking yang agaknya bukan keluar dari leher manusia, melainkan dari semacam alat tiup yang aneh. Segera terdengar teriakan-teriakan dan kegaduhan hebat di luar kereta joli.

"Apa itu...?" Syanti Dewi bertanya kaget dan mukanya pucat.

"Jangan keluar dulu, biar aku yang memeriksa!" Ceng Ceng sudah meloncat keluar dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat ratusan anak panah berapi datang bagaikan hujan menyerang tempat itu!

Di sana-sini sudah terjadi kebakaran pada tenda-tenda dan keadaan menjadi kacau. Para prajurit yang baru saja terbangun dari tidur dan dalam keadaan panik, lari ke sana ke mari sampai akhirnya teriakan-teriakan kakek Lu Kiong, komandan pasukan, Tan-ciangkun dan beberapa orang perwira lain dapat meredakan kepanikan. Pasukan-pasukan disusun dan dibagi empat, siap menghadapi serangan dari empat penjuru itu.

Tak lama kemudian, muncullah pihak musuh yang menyerang dari empat penjuru, dan terjadi pertempuran yang amat hebat. Perang yang terjadi di dalam gelap itu amat kejam dan dahsyat, namun sungguh tidak menguntungkan pihak pasukan Bhutan. Mereka sebagian besar baru saja bangun tidur, masih nanar dan agaknya pihak penyerang lebih tangkas dan lebih biasa dengan pertempuran di dalam hutan yang gelap. Selain itu, segera didapatkan kenyataan yang mengejutkan bahwa jumlah musuh luar biasa banyaknya, jauh lebih banyak dari pada jumlah pasukan Bhutan yang lima ratus orang itu. Juga di pihak musuh banyak terdapat orang-orang pandai dari bermacam suku bangsa. Ada pendeta Lama dari Tibet, ada orang Turki yang bersorban, orang Mongol dan juga orang Han!

Perang tanding mati-matian itu terjadi sampai hampir pagi. Ceng Ceng yang siap dengan pedang di tangan melindungi Syanti Dewi yang juga memegang pedang. Ada beberapa orang musuh dapat menyelundup masuk dan Ceng Ceng sudah merobohkan empat orang musuh, sedangkan Syanti Dewi sendiri yang selama hidupnya belum pernah bertempur, apa lagi membunuh orang, terpaksa membunuh seorang laki-laki tinggi besar yang hendak menangkapnya. Kini dengan muka pucat dan tubuh menggigil puteri itu memandang korbannya. Pedangnya tertinggal di dalam perut korban itu karena merasa terlalu ngeri untuk mencabut pedangnya!

Tiba-tiba kakek Lu Kiong datang dengan muka agak pucat. Seluruh pakaian kakek itu berlumur darah, dan mukanya penuh keringat. Pedang di tangan kakek ini pun penuh berlepotan darah dan kelihatannya dia lelah sekali. Seperti juga para prajurit dan para pimpinan, kakek ini telah ikut berperang dan mengamuk seperti seekor harimau.

"Ceng Ceng... cepatlah persiapkan diri dan tuan puteri! Kita harus melarikan diri, pihak musuh terlalu kuat!"

"Apa? Melarikan diri? Tidak, kongkong!" Ceng Ceng membantah marah. "Biarlah kita melawan sampai titik darah terakhir!"

"Hushhhhh! Kau kira kakekmu ini pengecut? Kita tidak boleh memikirkan diri sendiri, kita harus menyelamatkan sang puteri!"

Barulah Ceng Ceng teringat. Dia menoleh dan melihat Syanti Dewi berdiri pucat memandang orang yang telah ditusuk perutnya dengan pedangnya itu. Orang itu masih berkelojotan di depan kakinya!

"Bagaimana kita bisa melarikan sang puteri, kongkong? Tempat ini sudah terkurung."

"Cepat, kalian berdua pakai pakaian ini dan mari ikut dengan aku!" Kakek Lu Kiong memberikan dua stel pakaian petani kepada Ceng Ceng dengan nada memerintah. "Sekarang yang terpenting adalah menyelamatkan tuan puteri. Ini sudah diatur oleh kami, komandan pasukan, Tan-ciangkun, dan aku sendiri. Kita berdua harus dapat mengawal dan menyelamatkan puteri keluar dari tempat ini!"

Dua orang gadis itu tidak banyak membantah lagi, lalu mengenakan pakaian petani yang agak kebesaran itu, menutupi pakaian mereka sendiri, menguncir rambut seperti model laki-laki, kemudian tergesa-gesa mengikuti kakek itu menyelinap di antara pohon-pohon gelap. Sang puteri menyerahkan segenggam perhiasan berharga kepada Ceng Ceng untuk membantu membawanya sebagai bekal. Dengan perhiasan di kantung baju yang lebar, dan pedang disembunyikan di bawah baju, mereka bergerak di bawah pohon-pohon. Syanti Dewi telah mendapatkan kembali pedangnya setelah dicabut dari perut penyerangnya tadi dan dibersihkan darahnya pada pakaian korban.

Akan tetapi, di mana-mana mereka bertemu dengan pihak musuh dan beberapa kali terpaksa mereka terpaksa membuka jalan darah dan merobohkan musuh untuk dapat melanjutkan usaha mereka melarikan diri. Namun, kakek Lu Kiong sedapat mungkin menghindarkan diri dari pertempuran, memilih lowongan-lowongan untuk keluar dari dalam hutan tanpa diketahui musuh.

Akhirnya, setelah matahari pagi tersembul di antara daun-daun pohon, mereka bertiga telah berhasil lolos dan keluar dari dalam hutan di mana masih berlangsung perang yang amat hebat itu. Suara pertempuran masih terdengar jauh di luar hutan. Baru saja hati ketiga orang pelarian itu merasa lega karena dapat lolos, dan memasuki sebuah hutan kecil di antara gurun pasir yang hanya kadang-kadang saja menyelingi gundukan perbukitan, tiba-tiba terdengar bentakan keras dan lima orang sudah berdiri di depan mereka dengan golok terhunus di tangan!

"Ha-ha-ha-ha, sudah kuduga tentu akan ada yang menyelinap ke sini! Eh, kakek tua, apakah kalian ini anggota rombongan puteri... ehhhh! Kalian berdua ini begini tampan, persis perempuan... heiiii, bukankah kalian perempuan?" Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam bermata lebar menunjuk dengan goloknya ke arah muka Ceng Ceng dan Syanti Dewi.

"Ahhhh, dia puteri Bhutan! Tidak salah lagi! Aku pernah melihatnya, dia Puteri Bhutan!" tiba-tiba terdengar teriakan seorang tinggi kurus bermuka kuning. Mendengar ini, lima orang itu cepat maju mengurung.

"Ha-ha-ha-ha, benarkah itu, kawan? Kalau begitu, kita telah berhasil menjebak kakap dalam jaring kita! Ha-ha-ha, raja muda tentu akan memberikan hadiah banyak sekali kepada kita. Tangkap dia!" teriak si muka hitam, dialah yang agaknya menjadi pemimpin gerombolan lima orang kasar ini.

Si muka hitam dan si muka kuning sudah menggunakan golok mereka untuk menerjang kakek Lu Kiong, sedangkan tiga orang teman mereka menubruk Ceng Ceng dan Syanti Dewi.

"Plak-plak, dess!"

Tiga orang itu tersungkur karena Ceng Ceng sudah memukul dan menendang dua orang, sedangkan Syanti Dewi sendiri merobohkan seorang dengan sebuah tendangan kilat.

"Tranggg...! Cringgg...!"

Kakek Lu Kiong berhasil menangkis dua batang golok lawan, biar pun dia terkejut sekali karena ketika dia menangkis, dia merasa betapa dua kali pedangnya tergetar hebat, tanda bahwa si muka hitam dan si muka kuning itu memiliki tenaga sinkang yang kuat sekali!

Melihat tiga orang temannya tersungkur dan meloncat kembali, si muka hitam tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya memiliki kepandaian juga si puteri dan pelayannya...!"

"Mulut busuk! Aku bukan pelayan!" bentak Ceng Ceng yang marah sekali dan dia sudah menghunus pedangnya, demikian pula Syanti Dewi.

"Ha-ha-ha-ha, tangkap mereka, jangan sampai mereka terluka. Sang Puteri boleh untuk Raja Muda, akan tetapi si cantik liar itu untukku saja, ha-ha-ha!"

"Keparat!" Lu Kiong sudah menggerakkan pedangnya menyerang dan dapat ditangkis oleh si muka hitam. Segera terjadi pertandingan yang seru sekali antara kakek Lu Kiong dikeroyok dua orang yang ternyata memiliki ilmu silat yang tangguh juga.

Tiga orang anak buah mereka itu sudah mencabut golok dan kini menyerang Ceng Ceng dan Syanti Dewi. Akan tetapi karena mereka tidak berani melukai, sedangkan dua orang dara itu melawan mati-matian, tentu saja tiga orang itu menjadi kewalahan, betapa pun lihai ilmu silat mereka. Ceng Ceng mulai mendesak dengan pedangnya dan tiga puluh jurus kemudian, dia sudah merobohkan seorang pengeroyok dengan bacokan pedangnya yang hampir memisahkan kepala dari tubuh lawan itu!

Terdengar teriakan keras. Ceng Ceng melihat kakeknya juga telah berhasil merobohkan si muka kuning yang terbabat hampir putus pinggangnya, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa kakeknya juga terluka parah pada pundak kirinya sehingga bajunya penuh darah.

"Kongkong...!" Teriaknya sambil menangkis dua batang golok yang menyerangnya.

"Ceng Ceng, jaga sang puteri...!" kakek itu berteriak.

"Wuuuutttt... singgg...!" Golok itu menjadi sinar terang meluncur cepat sekali dari atas membacok ke arah kepala kakek Lu Kiong. Si muka hitam ternyata marah sekali melihat saudaranya tewas dan kini dia mengerahkan tenaga untuk membalas dendam.

"Tringggg... augghhh...!" Tubuh kakek Lu Kiong tersungkur dan dia bergulingan.

Ketika menangkis tadi, rasa nyeri menusuk pundak kirinya yang terluka sehingga dia kehilangan tenaga dan hanya dengan jalan menjatuhkan diri saja dia terbebas dari bacokan golok. Si muka hitam mengejar dan menghujankan bacokan. Namun kakek itu dengan sigapnya bergulingan sambil mengangkat pedang beberapa kali menangkis, lalu dengan teriakan keras dia sudah meloncat bangun dan segera terjadi pertandingan mati-matian antara kedua orang itu.

"Kakekmu terluka... bantulah dia, adik Candra!" Syanti Dewi berkata sambil pedangnya membacok ke arah lawan yang dapat ditangkis oleh lawan itu.

"Tidak, kita bereskan dulu dua ekor anjing ini!" Ceng Ceng berseru.

Dia mengerti bahwa puteri itu bukanlah lawan kedua orang yang cukup lihai ini, maka ia cepat memutar pedangnya. Kemarahan melihat kakeknya terluka menambah semangat dara ini. Dengan putaran pedang secepat kitiran, akhirnya ia berhasil menendang roboh seorang lawan. Tendangan dengan ujung sepatu yang tepat mengenai sambungan lutut sehingga orang itu berlutut tanpa mampu berdiri kembali.

"Singggg...!" Pedang di tangan Syanti Dewi menyambar.

"Tranggg...!"

Orang yang sudah berlutut itu berusaha menangkis, namun karena kedudukannya yang tidak baik, tangkisannya membuat goloknya terpental dan terlempar.

"Wuuttt...! Crottt!" pedang Ceng Ceng sudah menyambar dan merobek tenggorokannya.

Orang itu mengeluarkan suara seperti babi disembelih dan roboh terjengkang, darah muncrat-muncrat dari lehernya yang coba ditutupinya dengan telapak tangan. Melihat ini, Syanti Dewi loncat mundur dan membuang muka dengan penuh kengerian. Hampir dia muntah-muntah menyaksikan pemandangan yang mengerikan hatinya ini.

Ceng Ceng mengamuk dan menekan lawan yang tinggal seorang lagi itu. Orang itu kini menjadi panik karena kedua orang kawannya telah tewas. Setelah menangkis tiga kali dan selalu tangannya tergetar sehingga goloknya hampir terlepas, dia berteriak, meloncat ke belakang hendak lari.

"Robohlah...!" Teriak Ceng Ceng. Dengan gerakan indah dia melontarkan pedangnya ke depan. Pedang itu meluncur seperti anak panah dan menancap di punggung orang itu, menembus sampai ke dada. Dengan teriakan keras orang itu roboh terguling.

"Kongkong...!" Ceng Ceng menjerit ketika melihat kakeknya terhuyung, lalu kakek itu roboh di atas mayat si muka hitam yang baru saja dirobohkan dan ditewaskan.

Ternyata kakek yang kosen ini biar pun berhasil membunuh si muka hitam yang lihai, menderita luka pula karena kena bacokan golok si muka hitam yang mengenai dadanya sehingga dada itu terobek lebar!

"Kongkong...!" Ceng Ceng berlutut dan memangku kepala kakeknya. Wajahnya pucat dan matanya terbelalak penuh kegelisahan menyaksikan keadaan kakeknya yang telah terluka hebat dan seluruh pakaiannya berlepotan darah itu.

Kakek Lu Kiong membuka matanya, memandang kepada Ceng Ceng lalu kepada Syanti Dewi yang juga sudah datang berlutut di dekat Ceng Ceng. "Ceng Ceng, kau... kau selamatkan puteri... harus. Sekarang juga... pergilah kau ke kota raja... jumpai di sana Puteri Milana, dia sahabat mendiang ibumu. Lindungi puteri dengan nyawamu sebagai... sebagai keturunan seorang bekas pengawal setia..." Kakek itu menghentikan kata-katanya karena napasnya telah terhenti.

"Kongkong...!"

Ceng Ceng memeluk kepala kakek itu, kemudian dia mengangkat mukanya. Dia tidak menangis, walau pun ada dua butir air mata di pipinya yang pucat. "Engkau benar, kongkong! Kita adalah pengawal-pengawal setia sampai mati. Engkau gugur sebagai orang gagah, kongkong! Dan aku akan melanjutkan kegagahanmu." Dia melepaskan pelukannya dan dengan hati-hati dia merebahkan tubuh kakeknya itu di antara mayat-mayat lima orang lawan tadi.

"Marilah, enci. Kita harus cepat pergi dari sini sebelum musuh datang!"

"Tapi... tapi jenazah kakekmu..."

"Tidak apa! Kongkong akan tahu bahwa kita tidak sempat menguburnya. Biarlah semua orang melihat bahwa kongkong tewas di antara musuh-musuhnya dalam tugas sebagai seorang pengawal perkasa! Marilah...!" Sekuatnya Ceng Ceng berusaha menahan tangis karena sesungguhnya hatinya perih sekali harus meninggalkan mayat kakeknya seperti itu. Namun dia tahu bahwa kalau dia terlambat, musuh akan datang dan dia akan sukar sekali menyelamatkan sang puteri.

Puteri Syanti Dewi menahan isak, mengeluarkan sehelai kalung dan sambil berlutut mengalungkan benda itu di leher kakek Lu Kiong. "Ini adalah kalungku sendiri, biarlah sebagai tanda terima kasihku..." Dia terisak dan lengannya disambar oleh Ceng Ceng lalu diajaknya puteri itu melarikan diri. Hampir saja Ceng Ceng tadi menangis melihat sikap puteri itu, dan dengan mengeraskan hati dia setengah menyeret kakak angkatnya karena kalau dia menurutkan hati dan ikut menangisi jenazah kakeknya, keadaan mereka bisa berbahaya sekali.

Demikianlah, dengan menyamar sebagai dua orang petani yang melarikan diri karena terjadi perang, Ceng Ceng dan Syanti Dewi melewati gurun pasir, pegunungan dan hutan-hutan lebat menuju ke timur. Tentu saja perjalanan itu sukar bukan main bagi mereka berdua, seperti dua ekor ikan kecil yang dilepas di tengah lautan. Mereka tidak mengenal jalan. Satu-satunya yang mereka ketahui hanyalah bahwa kota raja Kerajaan Ceng berada jauh sekali di timur!

Mereka membawa bekal banyak perhiasan berharga, namun apa artinya semua itu kalau mereka selama belasan hari tidak pernah bertemu dengan orang lain? Mereka terpaksa harus makan binatang buruan dan daun-daun, minum dari air sungai dan mereka selalu dalam keadaan waspada dan gelisah karena mereka maklum bahwa sebelum tiba di kota raja, mereka selalu akan terancam bahaya karena pihak musuh, yaitu orang-orang bawahan Raja Muda Tambolon tentu melakukan pengejaran.

KISAH SEPASANG RAJAWALI (seri ke 8 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang