Siapakah adanya tiga orang tosu yang gerak-geriknya penuh rahasia itu? Dan siapa pula rombongan hartawan yang hendak diganggunya? Untuk mengetahui ini, kita harus mengenal dulu keadaan pemerintahan pada saat itu.
Ternyata bahwa seperti juga di setiap pemerintahan, pada waktu itu banyak terdapat orang-orang yang membenci Pemerintah Mancu yang mulai memperbaiki keadaan pemerintahannya, bahkan berusaha sedapatnya untuk menarik simpati hati rakyat dengan usaha memperbaiki nasib rakyat kecil. Betapa pun juga, tetap saja ada di antara mereka yang penasaran dan menghendaki agar pemerintah penjajah itu lenyap dari tanah air mereka. Golongan ini yang tidak berani berterang melakukan penentangan terhadap pemerintah yang kuat lalu menyusup ke mana-mana dan di antaranya ada yang menyusup ke dalam tubuh alat negara yang berupa pasukan pemerintah!
Apa lagi pada waktu itu, kesempatan baik tiba bagi mereka yang diam-diam membenci Pemerintah Mancu. Kaisar Kang Hsi sudah tua dan seperti biasanya yang terjadi dalam sejarah kerajaan setiap kali sang raja sudah tua maka timbullah perang dingin di antara para pangeran yang bercita-cita mewarisi kedudukan kaisar yang amat diinginkan itu.
Biar pun putera mahkota yang ditunjuk untuk kelak menggantikan kaisar sudah ada, yaitu Pangeran Yung Ceng, namun banyak pangeran-pangeran yang lebih tua usianya, putera-putera selir, merasa iri hati dan selain ada yang menginginkan kedudukan kaisar, juga banyak yang memperebutkan pangkat-pangkat tinggi sebagai pembantu kaisar kelak.
Di antara mereka yang berambisi merampas kedudukan terdapat seorang pangeran tua, pangeran yang paling tua di antara para pangeran. Pangeran tua ini bernama Pangeran Liong Bin Ong, usianya sudah lima puluh tahun lebih karena dia dilahirkan dari seorang selir ayah Kaisar Kang Hsi. Jadi dia adalah adik tiri Kaisar Kang Hsi. Diam-diam Liong Bin Ong mengadakan hubungan dengan orang-orang kang-ouw yang membenci pemerintah, bahkan mengadakan kontak dengan suku bangsa liar di luar tembok besar, terutama bangsa Mongol yang masih menaruh dendam kekalahannya terhadap Mancu.
Di antara golongan-golongan yang mengadakan persekutuan pemberontakan ini ada terdapat perkumpulan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yang para pemimpinnya terdiri dari tosu-tosu yang sudah menyeleweng dari Agama To dan mempergunakan agama demi tercapainya ambisi pribadi berkedok agama, yaitu ambisi politik.
Tiga orang tosu yang pada malam itu dipermainkan oleh Kian Lee dan Kian Bu adalah angauta-anggota Pek-lian-kauw yang ditugaskan oleh pimpinannya untuk melakukan penyelidikan karena Pek-lian-kauw mendengar bahwa pemerintah pusat sedang mulai menaruh curiga terhadap persekutuan itu dan kabarnya mengirim utusan kepada Jenderal Kao Liang yang bertugas sebagai komandan yang menjaga tapal batas utara. Di dalam kabar yang diterima ini, pesuruh dari pemerintah pusat menyamar dan selain mengirim berita, juga membawakan biaya dalam bentuk emas dan perak. Tiga orang tosu itu bertugas untuk mengawasi dan kalau dapat merampas semua itu.
Ada pun hartawan yang sedang melakukan perjalanan itu memang datang dari kota raja bersama kedua orang isterinya dan dikawal oleh para piauwsu bayaran yang kuat, akan tetapi dia hanyalah seorang hartawan yang hendak pulang ke kampung halamannya saja di utara. Sama sekali dia tidak mengira bahwa dia disangka oleh para pemberontak sebagai utusan dari kota raja!
Demikianlah, dengan hati merasa lega juga bahwa semalam itu tidak terjadi gangguan terhadap mereka, para piauwsu kembali mengiringkan dua buah kereta itu melanjutkan perjalanan. Dusun yang dituju oleh hartawan itu sudah tidak jauh lagi, terletak di balik gunung di depan kira-kira memerlukan perjalanan setengah hari lebih.
Akan tetapi, belum lama mereka bergerak meninggalkan kuil kuno itu, tiba-tiba kusir kereta pertama yang duduknya agak tinggi melihat debu mengepul di depan. "Ada orang dari depan...!" serunya dan semua piauwsu terkejut, siap dan mengurung kedua kereta itu untuk melindungi.
"Berhenti dan berjaga-jaga!" Piauwsu berjenggot putih memberi aba-aba dan dua buah kereta itu lalu berhenti, semua piauwsu meloncat turun dari kuda dan merasa tegang namun siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Mereka adalah piauwsu-piauwsu yang sudah bertahun-tahun melakukan tugas itu, sudah terbiasa dengan hidup penuh kekerasan dan pertempuran.
Tak lama kemudian, muncullah tiga orang tosu itu dan di belakangnya tampak sepuluh orang tinggi besar yang menunggang kuda. Dilihat dari cara mereka menunggang kuda saja dapat dipastikan bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa melakukan perjalanan jauh dengan berkuda, dan sikap mereka jelas membayangkan kekerasan, kekejaman dan juga ketangkasan ahli-ahli silat. Yang lebih mengesankan bagi para piauwsu adalah tiga orang tosu itu, yang datang dengan jalan kaki, berlari cepat di depan rombongan berkuda.
Para piauwsu yang sudah berpengalaman itu tidak gentar menghadapi sepuluh orang berkuda yang tinggi besar dan kasar itu, akan tetapi mereka dapat menduga bahwa tiga orang tosu itulah justru yang harus dihadapi dengan hati-hati. Oleh karena itu, pimpinan piauwsu yang tua dan berjenggot putih, segera melangkah maju menghadapi tiga tosu itu dan menjura penuh hormat.
"Kami dari Hui-houw Piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Harimau Terbang) di Shen-yang menghaturkan salam persahabatan kepada sam-wi totiang dan cu-wi sekalian. Maafkan bahwa dua kereta yang kami kawal memenuhi jalan sehingga merepotkan cu-wi saja. Kalau cu-wi hendak lewat, silakan mengambil jalan dulu!" Kata-kata penuh hormat dan merendah ini memang biasanya dilakukan oleh para piauwsu jika menghadapi gerombolan yang tidak dikenalnya, karena bagi pekerjaan mereka, makin sedikit lawan makin banyak kawan makin baik.
Tiga orang tosu itu tidak segera menjawab, melainkan mata mereka mencari-cari penuh selidik, memandangi semua anggota piauwsu, bahkan dua orang kusir kereta pun tidak luput dari pandang mata mereka yang penuh selidik sehingga para piauwsu menjadi ngeri juga. Pandang mata tiga orang tosu itu mengandung wibawa dan agaknya mereka marah. Tentu saja tidak ada orang yang tahu bahwa tiga orang kakek pendeta ini mencari siapa, karena selain para piauwsu, tidak ada orang yang menyelundup di dalam rombongan itu.
Mereka masih terpengaruh oleh peristiwa gangguan 'setan' semalam! Akan tetapi ketika melihat bahwa semua orang yang mengawal kereta adalah piauwsu-piauwsu biasa yang sejak kemarin mereka bayangi, wajah mereka kelihatan lega dan kini si tahi lalat mewakili suheng-nya menjawab, "Kami tidak ingin lewat, kami sengaja menghadang kalian."
Berubah wajah para piauwsu dan tangan mereka sudah meraba gagang pedang masing-masing. Melihat gerakan ini tiga orang tosu itu tertawa dan tosu tertua sekarang berkata, "Kami tldak ada permusuhan dengan Hui-houw Piauw-kiok!"
Mendengar ini pimpinan piauwsu kelihatan girang karena sekarang sudah tampak olehnya gambar teratai di baju tiga orang tosu itu, di bagian dada. Tiga orang pendeta itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan hal ini saja sudah membuat hatinya keder karena sudah terkenallah bahwa orang-orang Pek-lian-kauw memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi biasanya orang Pek-lian-kauw tidak melakukan perampokan, maka para piauwsu selain lega juga menjadi heran mengapa tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu menghadang perjalanan mereka.
"Kami pun tahu bahwa para locianpwe dari Pek-lian-kauw adalah sahabat rakyat jelata dan tidak akan mengganggu perjalanan kami. Akan tetapi, sam-wi totiang menghadang kami, tidak tahu ada keperluan apakah? Pasti kami akan membantu dengan suka hati sedapat kami."
"Kami akan menggeledah kereta yang kalian kawal!" kata si tahi lalat yang agaknya sudah tidak sabar lagi.
Berubahlah wajah pimpinan piauwsu. Sambil menahan marah dia mengelus jenggotnya. Betapa pun juga, dia adalah wakil ketua piauw-kiok dan telah terkenal sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Selain itu sebagai wakil piauw-kiok dia rela bertaruh nyawanya demi nama baik piauw-kiok dan demi melindungi barang atau orang yang dikawalnya.
"Harap sam-wi totiang suka memandang persahabatan dan tidak mengganggu kawalan kami," katanya tenang.
"Kami tidak mengganggu, hanya memeriksa dan tentu saja kalian akan bertanggung jawab kalau kami mendapatkan apa yang kami cari," kata tosu tertua.
"Apakah yang sam-wi cari?" tanya piauwsu.
"Bukan urusanmu!" jawab si tahi lalat. "Suheng, mari kita segera menggeledah, perlu apa melayani segala piauwsu cerewet?"
Pimpinan piauwsu melangkah maju menghadang di depan kereta itu, lalu mengangkat muka dan memandang dengan sinar mata berapi penuh kegagahan. "Sam-wi totiang perlahan dulu! Sam-wi tentu maklum bahwa seorang piauwsu yang sedang bertugas mengawal menganggap kawalannya lebih berharga dari pada nyawanya sendiri. Oleh karena itu, betapa pun menyesalnya, kami terpaksa tidak dapat membenarkan sam-wi melakukan penggeledahan terhadap barang-barang dan orang-orang kawalan kami."
Si tahi lalat membelalakkan matanya lebar-lebar. "Apa? Kau hendak menentang kami? Kami bukan perampok, akan tetapi sikap kalian bisa saja membuat kami mengambil tindakan lain!"
"Kami juga tak menuduh sam-wi perampok, akan tetapi kalau kehormatan kami sebagai piauwsu disinggung, apa boleh buat, terpaksa kami akan melupakan kebodohan kami dan mengerahkan seluruh tenaga untuk melindungi dua kereta ini."
"Wah, piauwsu sombong, keparat kau!" Si tahi lalat sudah hendak bergerak, akan tetapi lengannya dipegang oleh suheng-nya.
"Piauwsu, kalau dua orang sute-ku bergerak, apa lagi dibantu oleh kawan-kawan kita di belakang ini, dalam waktu singkat saja kalian semua yang berjumlah dua losin ini tentu akan menjadi mayat di tempat ini. Kami bukan hendak merampok tanpa alasan dan bukan hendak menyerang orang tanpa sebab, akan tetapi sekarang kami hanya akan menggeledah. Kalau engkau merasa tersinggung kehormatanmu sebagai piauwsu, nah, sekarang antara engkau dan pinto mengadu kepandaian. Kalau pinto kalah, kami akan pergi dan kami tidak akan mengganggu kalian lebih jauh lagi. Akan tetapi kalau kau kalah, kau harus membolehkan kami melakukan penggeledahan."
Piauwsu tua itu mengerutkan alis berpikir dan mempertimbangkan usul dan tantangan tosu itu. Memang resikonya besar sekali jika dia membiarkan anak buahnya bertempur melawan rombongan Pek-lian-kauw itu. Dia dan anak buahnya tentu saja tidak takut mati dalam membela dan melindungi kawalan mereka. Bagi seorang piauwsu, mati dalam tugas melindungi kawalan adalah mati yang terhormat! Akan tetapi, perlu apa membuang nyawa kalau para tosu ini memang hanya ingin menggeledah?
Pula, dia sudah mendengar bahwa orang-orang Pek-lian-kauw hanya mengurus soal pemberontakan, siapa tahu hartawan yang dikawal ini menyembunyikan sesuatu, atau membawa sesuatu yang merugikan dan mengancam keselamatan Pek-lian-kauw? Jika dia menang, dia percaya bahwa mereka tentu akan pergi karena dia sudah mendengar bahwa orang-orang Pek-lian-kauw, biar pun kadang-kadang amat kejam, namun selalu memegang janji dan karenanya memperoleh kepercayaan rakyat. Kalau dia kalah, dua kereta hanya akan digeledah. Andai kata mereka menemukan sesuatu yang dicarinya, hal itu masih dapat dirundingkan nanti. Resikonya masih amat kecil kalau dia menerima tantangan, dibandingkan dengan resikonya kalau dia menolak.
"Baiklah, kalau aku kalah, sam-wi boleh menggeledah. Sebaliknya kalau aku menang, harap cu-wi suka melepaskan kami pergi," katanya sambil mencabut golok besarnya, senjata yang diandalkan selama puluhan tahun sebagai piauwsu. "Saya sudah siap!"
Sebelum tosu tertua maju, tosu ketiga sudah berkata, "Suheng dan ji-suheng, biarkan aku yang maju melayani. Sudah sebulan lebih aku tidak latihan, tangan kakiku gatal-gatal rasanya!"
Si tahi lalat dan suheng-nya mengangguk dan tersenyum, lalu melangkah mundur. Tosu ketiga yang tubuhnya kecil kurus, mukanya pucat seperti seorang penderita penyakit paru-paru itu melangkah maju dengan sigap. Dia adalah seorang pecandu madat, maka tubuhnya kurus kering dan mukanya pucat, akan tetapi ilmu silatnya lihai. Agaknya racun madat yang dihisapnya tiap hari itu tidak mengurangi kelihaiannya, bahkan menurut cerita orang, setiap kali habis menghisap madat, dia menjadi lebih ampuh dari biasanya, dan jurus-jurus silatnya mempunyai perkembangan yang lebih aneh dan lihai!
Tosu itu menghampiri piauwsu berjenggot putih, tersenyum dan memandang ke arah golok di tangan si piauwsu, lalu berkata, "Eh, piauwsu, yang kau pegang itu apakah?"
Piauwsu itu tentu saja menjadi heran. Dia mengangkat goloknya lalu berkata, "Apakah totiang tidak mengenal senjata ini? Ini sebatang golok yang menjadi kawanku semenjak aku menjadi piauwsu."
Tosu kecil kurus itu mengangguk-angguk, "Aahhh, pinto tadi mengira bahwa itu adalah alat penyembelih babi. Heii, piauwsu, kalau kau hendak menyembelih aku apakah tidak terlalu kurus?"
Mendengar ucapan yang nadanya berkelakar dan mengejek ini, rombongan anak buah Pek-lian-kauw tertawa tanpa turun dari kudanya, sementara rombongan piauwsu juga tersenyum masam karena tadi pihak mereka diejek oleh tosu kecil kurus yang kelihatan lemah namun amat sombong itu!
"Totiang, kurasa sekarang bukan waktunya untuk berkelakar. Kalau totiang mewaklli rombongan totiang maju menghadapiku harap totiang segera mengeluarkan senjata totiang, dan mari kita mulai," kata pimpinan piauwsu yang menahan kemarahannya.
"Senjata... he-he-he, twa-suheng dan ji-suheng, dia tanya senjata! Eh, piauwsu, apakah kau tidak melihat bahwa pinto telah membawa empat batang senjata yang masing-masing sepuluh kali lebih ampuh dari pada alat pemotong babi di tanganmu itu?"
Piauwsu tua itu sudah cukup berpengalaman maka dia mengerti apa artinya kata-kata yang bernada sombong itu. "Hemm, jadi totiang hendak melawan golokku dengan keempat buah tangan kaki kosong? Baiklah, totiang sendiri yang menghendaki, bukan aku, maka kalau sampai totiang menderita rugi karenanya, harap jangan salahkan aku."
"Majulah, kau terlalu cerewet!" kata tosu kecil kurus itu dan dia berdiri seenaknya saja, sama sekali tidak memasang kuda-kuda. Sikapnya ini jelas memandang rendah kepada lawan.
Melihat sikap tosu itu, piauwsu ini juga tidak mau sungkan-sungkan lagi. Cepat dia lalu mengeluarkan teriakan dan goloknya menyambar dengan derasnya.
"Wuuuuttt... sing-sing-sing-singgg...!"
Hebat memang ilmu golok dari piauwsu itu karena sekali bergerak, setiap kali dengan cepat dielakkan lawan, golok itu sudah menyambar lagi, membalik dan melanjutkan serangan pertama yang gagal dengan bacokan berikutnya. Demikianlah, golok itu terus menyambar-nyambar tanpa putus bagaikan seekor burung garuda, dari kanan ke kiri dan sebaliknya, tak pernah menghentikan gerakan serangannya.
"Wah-weh... wutt, luput...!" Tosu kurus kering itu mengelak ke sana-sini dengan cekatan sekali dan walau pun dia juga terkejut menyaksikan serangan yang bertubi-tubi dan berbahaya itu, namun dia masih mampu terus-menerus mengelak sambil membadut dan berlagak.
Golok itu bergerak dengan cepat dan teratur, sesuai dengan ilmu golok Siauw-lim-pai yang sudah bercampur dengan gerak kaki ilmu silat Hoa-san-pai, kadang-kadang menusuk akan tetapi lebih banyak membacok dan membabat ke arah leher, dada, pinggang, lutut dan bahkan kadang-kadang membabat mata kaki kalau lawan mengelak dengan loncatan ke atas. Suara golok membacok angin mengeluarkan suara berdesing-desing menyeramkan dan sebentar kemudian, golok itu lenyap bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang indah dan yang mengejar ke mana pun tosu itu bergerak.
Namun hebatnya, tosu itu selalu dapat mengelak, bahkan kini kadang-kadang dia menyampok dengan kaki atau tangannya. Hanya orang yang sudah tinggi ilmunya saja berani menyampok golok dengan kaki atau tangan, karena sedikit saja sampokan itu meleset, tentu mata golok akan menyayat kulit merobek daging mematahkan tulang!
"Kau boleh juga, piauwsu!" kata si tosu.
Tiba-tiba tosu itu mengeluarkan suara melengking keras. Tubuhnya lenyap bentuknya, berubah menjadi bayangan yang cepat sekali menari-nari di antara gulungan sinar golok. Si piauwsu terkejut ketika merasa betapa jantungnya berhenti beberapa detik oleh pekik melengking tadi, dan sebelum dia dapat menguasai dirinya yang terpengaruh oleh pekik yang mengandung kekuatan khikang tadi, tahu-tahu lengan kanannya tertotok lumpuh, goloknya terampas dan tampak sinar golok berkelebat di depannya, memanjang dari atas ke bawah.
"Bret-brett-brettt...!"
Terdengar suara kain terobek dan... ketika tosu itu melempar golok ke tanah, tampak piauwsu itu berdiri dengan pakaian bagian depan terobek lebar dari atas ke bawah sehingga tampaklah tubuhnya bagian depan! Tentu saja dia terkejut dan malu sekali, cepat dia menutupkan pakaian yang terobek itu, dan dengan muka merah dia menjura dan memungut goloknya, "Saya mengaku kalah. Silakan totiang bertiga kini melakukan penggeledahan!"
Terdengar suara berbisik di antara para piauwsu, tetapi pimpinan piauwsu itu berteriak, "Saudara-saudara harap mempersilakan sam-wi totiang melakukan penggeledahan di dalam kereta!"
Selagi piauwsu kepala ini menutupi tubuhnya yang setengah telanjang itu dengan pakaian baru yang diambilnya dari buntalannya di punggung kuda dan memakainya dengan cepat, ketiga orang tosu itu sambil tertawa-tawa lalu mendekati kedua kereta itu. Si tahi lalat terpisah sendiri dari kedua orang saudaranya. Kalau tosu pertama dan ketiga menghampiri kereta depan, adalah si tahi lalat ini menghampiri kereta belakang di mana duduk si hartawan bersama kedua orang isterinya!
Sambil menyeringai ke arah wanita muda baju merah, si tahi lalat yang menyingkap tirai itu berkata, "Kalian sudah mendengar betapa kepala piauwsu kalah dan kami berhak untuk menggeledah. Heh-heh-heh!"
Hartawan itu dengan muka pucat ketakutan cepat-cepat menjawab, "Harap totiang suka menggeledah kereta depan karena semua barang kami berada di kereta depan."
"Ha-ha, dua orang saudaraku sudah menggeledah ke sana, akan tetapi yang kami cari itu mungkin saja disembunyikan di dalam pakaian, heh-heh. Karena itu, pinto terpaksa akan melakukan penggeledahan di pakaian kalian."
Tentu saja dua orang wanita itu menjadi merah mukanya dan isteri tua cepat berkata, "Totiang yang baik, kami orang-orang biasa hendak menyembunyikan apakah? Harap totiang suka memaafkan kami dan tidak menggeledah, biarlah saya akan sembahyang di kelenteng memujikan panjang umur bagi totiang."
Si tahi lalat tersenyum menyeringai, "Heh-heh, tidak kau sembahyangkan pun umurku sudah panjang. Kalau terlalu panjang malah berabe, heh-heh!"
Wanita setengah tua itu terkejut dan tidak berani membuka mulut lagi melihat lagak pendeta yang pecengas-pecengis seperti badut dan pandang matanya kurang ajar sekali ditujukan kepada madunya yang masih muda itu.
"Orang menggeledah orang lain harus didasari kecurigaan. Aku pun tidak mau berlaku kurang ajar kepada kalian berdua, akan tetapi wanita ini menimbulkan kecurigaan hati pinto, karenanya pinto harus menggeledahnya!"
"Aihhh...!" Wanita muda itu menjerit lirih, tentu saja merasa ngeri membayangkan akan digeledah pakaiannya oleh tangan-tangan tosu bertahi lalat yang mulutnya menyeringai penuh liur itu.
"Lihat, dia ketakutan! Tentu saja pinto menjadi lebih curiga lagi!" kata tosu bertahi lalat itu serius. "Harap kalian turun dulu, jangan mengganggu pinto sedang bekerja!"
Setelah didorongnya, suami isteri setengah tua itu tergopoh-gopoh turun dari kereta, meninggalkan wanita muda itu sendirian saja. Wanita itu duduk memojok dan tubuhnya gemetaran ketika memandang tosu itu naik ke kereta sambil tersenyum menyeringai.
"Aku... aku tidak membawa apa-apa...! Aku... tidak punya apa-apa..."
"Ah, bohong! Segala kau bawa, kau mempunyai begini banyak! Heh-heh, kau harus diam dan jangan membantah kalau tidak ingin pinto bertindak kasar!" Dan sepuluh jari tangan itu seperti ular-ular hidup merayap-rayap menggerayangi seluruh tubuh wanita muda itu
Suaminya dan madunya yang berada di luar kereta hanya mendengar suara wanita itu merintih, merengek dan mendengus, kadang diselingi terkekeh genit dan suaranya yang mencela, "Ehh... ihhh... hi-hik, jangan begitu totiang...!"
Suara ini bercampur dengan suara tosu itu yang terengah-engah dan kadang-kadang terkekeh pula, kadang-kadang terdengar suaranya, "Hushh, jangan ribut... kau diamlah saja ku... ku... geledah..."
Sementara itu, dua tosu yang lain telah memeriksa kereta pertama. Akan tetapi mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, kecuali hanya peti-peti berisi pakaian dan beberapa potong perhiasan dan uang emas milik hartawan itu.
"Hemm, sia-sia saja kita bersusah payah. Para penyelidik itu benar-benar bodoh seperti kerbau. Orang biasa dicurigai!" Tosu kurus kering mengomel.
"Mana ji-sute?" Tosu tertua bertanya.
"Ke mana lagi si mata keranjang itu kalau tidak ke kereta kedua?"
"Hemm... marilah kita lekas pergi, setelah salah duga, tidak baik terlalu lama menahan mereka. Para piauwsu itu tentu akan menyebarkan berita kurang baik tentang Pek-lian-kauw."
Keduanya meninggalkan kereta pertama dan menghampiri kereta kedua. Ketika mereka berdua membuka pintu kereta, tosu pertama menyumpah. "Ji-sute, hayo cepat kita pergi!"
"Ehh... uhhh... baik, suheng!"
Tetapi agak lama juga barulah si tahi lalat itu keluar dari kereta. Pakaiannya kedodoran, rambutnya awut-awutan dan napasnya agak terengah-engah. Saat dua orang hartawan dan isterinya naik ke atas kereta, mereka melihat wanita muda itu sedang membereskan pakaiannya dan rambutnya, mukanya merah sekali dan dia tersenyum kecil, mengerling ke arah suaminya yang cemberut. Pintu kereta ditutup dari dalam dan segera terjadi maki-makian dan keributan antara si suami yang memaki-maki bini mudanya dan si bini muda yang membantah dan melawan, diseling suara isteri tua yang melerai mereka.
Akan tetapi, ketika kedua tosu itu menghampiri kereta kedua, para pengikutnya yang kasar-kasar itu sudah turun dan beberapa orang dari mereka ikut memeriksa kereta pertama, kemudian beberapa buah peti mereka bawa ke kuda mereka.
Melihat ini piauwsu yang terdekat segera meloncat dan menegur, "Heii, mengapa kalian mengambil peti itu? Kembalikan!"
Jawabannya adalah sebuah bacokan kilat yang membuat piauwsu itu roboh mandi darah. Gegerlah keadaannya yang memang sejak tadi sudah menegangkan itu. Kedua pihak memang sejak tadi sudah hampir terbakar, hampir meledak tinggal menanti penyulutnya saja. Kini, begitu seorang piauwsu mandi darah, semua piauwsu serentak bergerak menyerbu dan terjadilah pertempuran yang sejak tadi sudah ditahan-tahan.
Melihat ini, biar pun hatinya menyesal, ketiga orang tosu itu terpaksa turun tangan. "Jangan kepalang, kalau sudah begini, bunuh mereka semua agar tidak meninggalkan jejak kita!" kata si tosu tertua.
Memang terpaksa dia harus membunuh seluruh piauwsu dan kusir serta penumpang kereta, karena kalau tidak, tentu mereka akan menyebar berita bahwa Pek-lian-kauw mengganggu dan merampok. Hal ini tentu akan menimbulkan kemarahan ketua mereka dan merekalah yang harus bertanggung jawab, mungkin mereka akan dibunuh sendiri oleh ketua mereka karena hal itu amat dilarang karena dapat memburukkan nama Pek-lian-kauw di mata rakyat yang mereka butuhkan dukungannya.
"Bunuh semua, jangan sampai ada yang lolos!" tiga orang tosu itu berteriak-teriak sambil mengamuk. Siapa saja yang berada di dekat tiga orang tosu yang bertangan kosong ini, pasti roboh.
Tiba-tiba tampak berkelebatnya dua sosok bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah muncul Kian Lee dan Kian Bu. Mereka sudah sejak tadi membayangi dan mengintai dari jauh. Mereka melihat lagak para tosu dan karena wanita muda itu sama sekali tidak minta tolong, bahkan ada terdengar suara ketawanya di antara rintihan dan rengeknya, Kian Lee yang ditahan-tahan oleh adiknya itu sengaja tidak ingin turun tangan dan mendiamkannya saja. Juga ketika terjadi adu kepandaian tadi, dia tidak berbuat apa-apa karena memang pertandingan itu sudah adil, satu lawan satu.
Tetapi melihat pertempuran pecah dan mendengar aba-aba dari mulut tosu itu, Kian Lee dan Kian Bu hampir berbareng melompat dan lari cepat sekali ke medan pertempuran. Sekali mereka bergerak, robohlah empat orang di antara sepuluh orang tinggi besar pengikut Pek-lian-kauw itu dan terdengar Kian Bu berteriak, "Cu-wi piauwsu, harap kalian hadapi enam orang hutan itu, biarkan kami menghadapi tiga orang pendeta palsu ini!"
Melihat munculnya dua orang muda yang segebrakan saja merobohkan empat orang tinggi besar itu, semua piauwsu terheran-heran dan tentu saja dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika mengenal kedua orang itu yang bukan lain adalah si penculik nyonya muda dan penolongnya! Bagaimana mereka dapat datang bersama dan kini membantu mereka menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw?
Akan tetapi, mereka tidak ada waktu untuk bertanya dan kini semua para piauwsu yang bersama pemimpinnya masih berjumlah delapan belas orang karena yang enam orang telah roboh, maju menyerbu dan mengeroyok enam orang sisa pasukan pengikut Pek-lian-kauw yang tinggi besar itu. Biar pun pada umumnya tingkat kepandaian orang Pek-lian-kauw itu lebih tinggi sedikit, namun karena mereka harus menghadapi para piauwsu dengan perbandingan satu lawan tiga, mereka segera terdesak.
Sementara itu, Kian Lee dan Kian Bu sudah menghadapi ketiga tosu yang memandang pada mereka dengan mata terbelak dan dengan ragu-ragu. Kian Bu segera tersenyum dan bertanya, "Apa kabar, sam-wi totiang? Aihhh, kenapa sam-wi bau air kencing?"
Mendengar kata-kata ini, ketiga orang tosu itu kontan berteriak marah sekali karena mereka tahu bahwa dua orang pemuda inilah yang mengganggu mereka semalam dan yang telah menyamar sebagai 'setan'. Biar pun semalam mereka mendapatkan bukti betapa lihainya dua orang itu, namun begitu melihat mereka berdua hanyalah pemuda-pemuda tanggung, tiga orang tosu itu menjadi besar hati. Sampai di mana sih tingkat kepandaian orang-orang muda seperti itu? Mereka tentu saja tidak merasa gentar sedikit pun dan sambil mengeluarkan suara teriakan seperti harimau buas, si tahi lalat telah lebih dahulu menerjang maju dan mencengkeram dengan dua tangan membentuk cakar ke arah kepala Kian Bu!
Pemuda ini sama sekali tidak mengelak. Akan tetapi setelah kedua tangan yang seperti cakar itu dekat dengan kepalanya, secepatnya ia menangkis hingga sekaligus tangan kirinya menangkis dua tangan lawan yang menyeleweng ke samping, kemudian secepat kilat tangan kanannya bergerak selagi tubuh lawan masih berada di udara.
"Plak! Crettt! Aduuhh...!"
Tosu bertahi lalat di dagunya itu berteriak kaget dan kesakitan, lalu mencelat mundur berjungkir balik sambil mendekap hidungnya yang keluar 'kecap' terkena sentilan jari tangan Kian Bu. Biar pun tosu itu sudah mahir sekali menggunakan sinkang membuat tubuhnya kebal, akan tetapi kekebalannya tidak dapat melindungi hidungnya yang agak terlalu besar dan buntek itu, maka sekali kena disentil jari tangan yang kuat itu, sekaligus darahnya muncrat ke luar.
Tosu kurus kering juga sudah menerjang Kian Lee. Karena tosu ini lebih berhati-hati dan tidak sembrono seperti sute-nya, dia menyerang dengan jurus pilihan dari Pek-lian-kauw, bahkan dia mengerahkan sinkang yang mendorong hawa beracun menyambar ke luar dari telapak tangannya. Hampir semua tokoh Pek-lian-kauw yang sudah agak tinggi tingkatnya, semua mempelajari ilmu pukulan beracun ini, yang hanya dapat dipelajari oleh kaum Pek-lian-kauw.
Ilmu pukulan ini ada yang memberi nama Pek-lian-tok-ciang (Tangan Beracun Pek-lian-kauw) dan memang amat dahsyat karena begitu tosu itu memukul dengan kedua tangan terbuka, tidak saja dapat melukai lawan di sebelah dalam tubuhnya dengan hawa pukulan sinkang itu, akan tetapi hawa beracun itu masih dapat mencelakai lawan yang dapat menahan sinkang. Berbahayanya dari pukulan ini adalah karena hawa beracun itu tidak mengeluarkan tanda apa-apa, berbeda dengan pukulan tangan beracun lain yang dapat dikenal, yaitu dari baunya atau dari uap yang keluar dari tangan sehingga lebih mudah dijaga.
Kian Lee agaknya tidak tahu akan pukulan beracun ini, maka dengan seenaknya dia menyambut dengan kedua telapak tangannya pula. Melihat ini, si tosu kurus kering dan twa-suheng-nya yang belum turun tangan menjadi girang, mengira bahwa pemuda itu pasti terjungkal, karena andai kata dapat menahan tenaga sinkang dari pukulan itu, pasti akan terkena hawa beracun.
"Duk! Plakk!"
Terjungkallah tubuh... si tosu kurus kering! Kejadian aneh ini tentu saja membuat tosu pertama menjadi kaget setengah mati karena hal yang terjadi adalah kebalikan dari apa yang disangka dan diharapkannya. Dia melihat tubuh sute-nya yang roboh bergulingan menggigil kedinginan, terheran-heran mengapa sute-nya bisa begitu.
Akan tetapi tak ada waktu untuk memeriksa. Dia segera menerjang maju dengan marah sekali sambil meloloskan sabuk sutera di pinggangnya. Sabuk pendek ini memang selalu dilibatkan di pinggang dan merupakan senjatanya yang ampuh sungguh pun jarang sekali dia mempergunakannya karena biasanya, kedua tangannya saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan. Akan tetapi sekarang, melihat betapa ji-sute-nya dalam segebrakan telah remuk hidungnya dan sam-sute-nya juga telah roboh dan menggigil kedinginan, dia maklum bahwa kedua orang muda itu kepandaiannya amat hebat dan tanpa sungkan-sungkan lagi dia lalu meloloskan senjatanya itu.
Juga si tahi lalat yang sudah hilang puyengnya karena hidungnya remuk itu, setelah menghapus darah dari mulutnya yang ternoda oleh darah yang menitik dari bekas hidung, sudah mengeluarkan senjatanya pula. Berbeda dengan suheng-nya, senjata tosu ini ada dua macam, yaitu seuntai tasbeh dan setangkai kembang teratai putih yang entah diberi obat apa sudah menjadi keras seperti besi! Tadinya kedua senjata ini tersimpan di dalam saku bajunya yang lebar dan kini sudah berada di kedua tangannya.
"Wah-wah-wah, setelah menghadapi kesukaran baru kau ingat kepada tasbehmu dan kembang, ya? Apakah kau hendak membaca doa dan memuja dewa dengan kembang itu?" Kian Bu mengejek.
"Keparat, mampuslah kau di tanganku!" Si tahi lalat membentak.
Tasbehnya sudah menyambar ganas ke arah dahi Kian Bu sedangkan kembang teratai itu menyambar leher. Serangan ini berbahaya sekali karena merupakan serangan palsu atau ancaman. Kelihatannya memang ganas, akan tetapi keganasan ini hanya untuk mengelabui perhatian lawan karena pada detik selanjutnya, selagi perhatian lawan tertuju untuk menghadapi dua serangan ganas itu, kakinya menyambar dan menendang ke arah anggota kelamin yang merupakan satu di antara pusat kematian bagi seorang laki-laki!
"Cuuuutt-wuuuttt... wessss!"
Namun sekali ini yang dihadapi oleh si tahi lalat adalah putera Pendekar Super Sakti! Menghadapi serangan ini, dengan amat tenangnya Kian Bu tersenyum dan memandang saja. Ketika dua senjata itu sudah datang dekat, dia hanya menggerakkan tubuhnya sedikit saja, dan pada saat kedua senjata itu ditarik secara berbareng, tahulah dia bahwa dua serangan itu hanyalah merupakan gertak sambal saja, maka dengan tenang dia menanti serangan intinya. Ketika melihat berkelebatnya kaki tosu itu menendang ke arah alat kelaminnya, Kian Bu tersenyum dan pura-pura terlambat mengelak.
"Desss!" Tepat sekali kaki itu menendang bawah pusar dan Kian Bu terjengkang roboh, mukanya pucat dan matanya mendelik dan napasnya terhenti.
"Hua-ha-ha-ha! Kiranya engkau hanya begini saja! Tidak lebih keras dari pada tahu!" Sambil berkata demikian, si tahi lalat itu melangkah maju, mengangkat kakinya dan mengerahkan sinkang, hendak menginjak hancur kepala Kian Bu.
"Wuuutttt! Plak! Tekkk... wadouww...!" Tosu itu memekik, kedua senjatanya terlepas dan dia berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil kegirangan, namun air matanya bercucuran, mulutnya megap-megap dan mendesis-desis seperti orang sedang kepedasan, kedua tangannya mendekap alat kelaminnya dan kaki kanannya diangkat, kaki kiri berloncat-loncatan! Apa yang terjadi?
Tentu saja Kian Bu tadi menerima tendangan itu dengan sengaja! Sebagai seorang putera Pendekar Super Sakti yang telah memiliki sinkang luar biasa sekali tingginya, pada saat kaki lawan datang, dia sudah mengerahkan sinkang-nya menyedot seluruh alat kelaminnya masuk ke rongga perut sehingga tendangan itu hanya mengenai kulitnya yang dilindungi oleh hawa sinkang di sebelah dalam.
Akan tetapi dia pura-pura jatuh dan semaput! Pada saat kaki tosu itu datang hendak menginjak kepalanya, dia cepat menangkap kaki itu, menariknya sehingga tubuh tosu itu merendah, kemudian dengan jari tangannya dia 'menyentil' alat kelamin tosu itu, mengenai sebutir di antara bola kelaminnya, dan tentu saja mendatangkan rasa nyeri yang sukar dilukiskan di sini.
Hanya mereka yang pernah terpukul bola kelaminnya sajalah yang akan tahu bagai mana rasanya. Kiut-miut berdenyut-denyut terasa di seluruh tubuh, merasuk di otot-otot dan tulang sumsum, terasa oleh setiap bulu di badan, membuat kepala rasanya mot-motan dan ulu hati seperti diganjal, nyeri dan linu, pedih cekot-cekot dan segala macam rasa nyeri terkumpul jadi satu membuat tosu itu pingsan tidak sadar pun tidak, hidup tidak mati pun belum!
Dalam keadaan seperti itu, tentu saja kedua senjatanya terlepas tanpa disadarinya lagi, bahkan dia masih berjingkrakan seperti seekor monyet diajari menari ketika Kian Bu sambil tertawa mengalungkan tasbeh di leher tosu itu dan menancapkan tangkai kembang di rambutnya!
Sementara itu tosu tertua yang menyerang Kian Lee pun kecelik. Sabuknya menyambar seperti seekor ular hidup, mula-mula melayang-layang ke sana-sini untuk mengacaukan perhatian lawan. Tetapi, melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak membuat gerakan mengelak, bahkan memandang gerakan sabuk itu tanpa gentar sedikit pun juga, sabuk itu melayang turun dan menotok ke arah ubun-ubun kepala Kian Lee. Kalau saja pemuda ini belum yakin akan kemampuan dan kekuatan sinkang lawan, tentu saja dia tidak begitu gegabah berani menerima totokan ujung sabuk ke arah bagian kepala yang lemah ini. Akan tetapi perhitungannya sudah masak, dan dia menerima saja totokan itu.
"Takkkk!"
Ujung sabuk tepat mengenai ubun-ubun kepala pemuda itu, tetapi sabuk itu membalik dan hebatnya, bukan sembarangan saja membalik, melainkan mengandung kekuatan dahsyat dan sabuk itu menyerang ubun-ubun kepala tosu itu sendiri tanpa dapat ditahannya. Kaget setengah mati tosu itu dan cepat dia miringkan kepala sehingga totokan sabuk itu meleset.
Akan tetapi dia masih penasaran. Disangkanya hal itu hanyalah kebetulan saja karena kuatnya dia menggerakkan sabuk dan kuatnya pemuda itu menahan totokannya. Biar pun dia kaget dan juga heran, namun kembali dia menggerakkan sabuknya dan sekali ini sabuknya meluncur dan menotok ke arah mata kanan Kian Lee! Secepat itu pula, tangan kirinya bergerak ke depan mencengkeram ke arah pusar. Sukar dibandingkan yang mana antara kedua serangan ini yang lebih berbahaya. Sudah jelas bahwa totokan ujung sabuk ke arah mata itu sedikitnya dapat membuat sebelah mata menjadi buta! Akan tetapi cengkeraman tangan yang amat kuat itu ke pusar, kalau sampai pusar dapat dicengkeram dan terkuak, tentu isi perut akan ambrol dan terjurai keluar semua!
Kian Lee yang senantiasa bersikap tenang itu sedikit pun tidak menjadi gugup, bahkan dengan tenangnya tanpa berkedip dia menanti sampai ujung sabuk dekat sekali dengan mukanya, lalu tiba-tiba tangannya menyampok dan mengirim kembali ujung sabuk itu ke muka lawan, sedangkan perutnya menerima cengkeraman itu, bahkan menggunakan sinkang untuk membuat perutnya lunak seperti agar-agar sehingga tangan lawan terbenam masuk, tetapi setelah tangan lawan memasuki perutnya, dia mengerahkan sinkang untuk menyedot dan tangan itu tidak dapat ditarik kembali oleh pemiliknya.
Bukan main kagetnya tosu itu, dia harus membagi perhatiannya menjadi dua, sebagian untuk menarik kembali tangannya yang terjepit di perut lawan, dan kedua kalinya untuk menguasai sabuknya sendiri yang menjadi 'liar' dan menyerang dirinya sendiri.
"Plakk! Krekkk!"
Tubuh tosu itu terjengkang dan dia mengerang kesakitan karena selain pipinya terobek kulitnya oleh hantaman ujung sabuknya sendiri, juga tulang ibu jari dan kelingkingnya patah-patah terkena himpitan di dalam perut pemuda luar biasa itu!
"Tahan semua senjata! Cu-wi piauwsu, biarkan mereka pergi semua!" Kian Lee berseru. Suaranya lantang sekali, penuh dengan kekuatan khikang sehingga mereka yang masih bertanding itu terkejut dan menahan senjata masing-masing.
Melihat betapa tiga orang tosu itu sudah dibuat tidak berdaya oleh kedua orang pemuda aneh itu, kepala piauwsu itu tidak berani membantah, lalu berkata kepada sisa pengikut Pek-lian-kauw, "Kalian tahu sendiri kami tidak berniat untuk memusuhi Pek-lian-kauw, melainkan pimpinan kalian yang terlalu mendesak kami. Nah, pergilah dan bawa teman-temanmu!"
Sisa pihak Pek-lian-kauw yang maklum bahwa melawan pun tiada gunanya, lalu saling tolong dan naik ke atas kuda. Tiga orang tosu yang tadinya ketika datang menggunakan ilmu lari cepat di depan rombongan kuda, sekarang dalam keadaan setengah pingsan dipangku oleh mereka yang masih sehat, kemudian tanpa pamit mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Para piauwsu lalu menolong teman-teman mereka yang terluka sedangkan pimpinan rombongan itu, piauwsu berjenggot putih menjura kepada Kian Lee dan Kian Bu sambil berkata, "Berkat pertolongan ji-wi taihiap maka kami masih dapat selamat dan...," tiba-tiba dia menghentikan kata-kata dan terbelalak ketika melihat kedua orang pemuda itu saling pandang, mengangguk dan tiba-tiba saja melesat dan lenyap dari depannya! Yang terdengar dari jauh hanya suara melengking tinggi, seperti suara burung rajawali yang sedang berkejaran.
"Bukan main...!" Piauwsu itu menggeleng kepala dan melongo. "Sepasang pemuda itu... seperti... sepasang rajawali sakti saja...! Sayang mereka tidak memperkenalkan diri...!"
Memang selama hidupnya berkelana di dunia kang-ouw, belum pernah piauwsu ini menyaksikan kepandaian dua orang pemuda semuda itu, dua orang pemuda yang tingkat ilmunya tidak lumrah manusia dan ketika pergi seperti terbang, seperti sepasang rajawali sakti saja!
Tiada habisnya mereka membicarakan kedua orang pemuda itu yang pada kemunculan pertama sudah aneh, seorang menjadi penculik dan seorang menjadi penolong, kemudian penculik dan penolong itu bekerja sama mengusir orang-orang Pek-lian-kauw secara mengherankan sekali. Tak salah lagi, tentu mereka itu bersaudara melihat wajah mereka yang mirip, dan tentu soal penculikan tadi hanya main-main saja, permainan dua orang pemuda aneh yang tidak lumrah manusia.
Cerita itu menjalar cepat dari mulut ke mulut sehingga mulai hari itu, terkenallah julukan Sepasang Rajawali Sakti untuk dua orang pemuda yang sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw. Bukan hanya dari pihak piauwsu itu saja yang memperluas cerita itu, juga dari pihak Pek-lian-kauw sendiri segera mengakui bahwa memang di dunia kang-ouw muncul dua orang pemuda yang aneh dan yang patut disebut Sepasang Rajawali Sakti karena ilmu kepandaian mereka yang amat tinggi.....
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH SEPASANG RAJAWALI (seri ke 8 Bu Kek Siansu)
ActionSeri ke 8 dari Bu Kek Siasu