Jilid 38/57

1.9K 22 0
                                    


Wajah Tek Hoat tadinya pucat sekali. Lewat satu jam setelah dua orang keturunan Pulau Es itu menyalurkan sinkang mereka, wajah Tek Hoat berubah, makin lama makin menghitam. Itulah tanda bahwa hawa beracun yang mengeram di dalam tubuh mulai dapat didesak naik dan keluar. Lewat tiga jam, warna hitam di muka Tek Hoat itu makin lama makin menipis, lalu berubah menjadi putih pucat lagi.

Han Wi Kong melihat betapa isterinya dan adik iparnya mulai berpeluh. Akan tetapi lewat lima jam, warna putih wajah Tek Hoat mulai menjadi merah dan pernapasannya mulai teratur. Akhirnya terdengar pemuda itu mengeluh dan membuka matanya. Mata itu melirik dan terbelalak seperti orang terkejut dan keheranan melihat dua orang itu yang sedang mengobatinya.

Cepat dia pun mengerahkan sinkang-nya untuk menolak sehingga kedua orang itu melepaskan tangan mereka lalu melompat turun dari pembaringan, menghapus keringat dari dahi dan leher. Milana memandang adiknya dengan senyum penuh kagum, karena ternyata bahwa pernapasan Kian Bu tidak begitu memburu seperti napasnya, hal ini menandakan bahwa dalam hal sinkang, adiknya itu sedikit lebih kuat dari pada dia!

"Engkau sudah sembuh sekarang," katanya sambil memandang kepada Ang Tek Hoat.

Pemuda ini segera bangkit duduk, memejamkan mata sejenak karena ketika bangkit itu matanya berkunang dan kepalanya terasa pening, tubuhnya lemas sekali karena sudah berhari-hari dia tidak makan.

"Berbaringlah dulu, engkau masih lemah," kata pula Milana.

Tetapi Tek Hoat tetap duduk di tepi pembaringan, lalu membuka mata lagi memandang kepada Milana, Kian Bu, dan Han Wi Kong yang sudah masuk ke kamar lagi bergantian.

"Pa... paduka... adalah Puteri Milana...!" katanya agak gagap dan bingung, karena apa yang dilihat dan dialaminya tadi terasa seperti dalam mimpi saja. "Dan kau... kau adalah seorang di antara dua pemuda perkasa itu, mata-mata pemerintah!"

Milana memandang dengan senyum dan Kian Bu memandang dengan tajam penuh selidik. Tidak seperti enci-nya, dia masih curiga kepada bekas pembantu pemberontak yang dia tahu amat lihai ini.

"Kenapa...? Kenapa Ji-wi (Anda Berdua) menolong dan mengobati saya?"

"Ang Tek Hoat, engkau telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong si pemberontak dan ketiga orang pengawalnya yang lihai untuk menyelamatkan Syanti Dewi. Hal itu saja cukup membuat kami berpendapat bahwa engkau bukanlah musuh lagi," kata Milana.

"Enci-ku ini memang bermurah hati, akan tetapi kalau engkau masih berpendirian untuk menjadi pemberontak, sama sekali masih belum terlambat untuk menghukummu!" Kian Bu menyambung.

Akan tetapi Tek Hoat tidak begitu memperhatikan ucapan Kian Bu, dia menoleh ke kanan kiri, lalu bertanya, "Di mana dia? Sang Puteri Bhutan...?" Dia lalu memandang kepada Kian Bu dengan penuh selidik, karena dia teringat betapa puteri itu lari memeluk pemuda ini pada waktu itu.

"Dia telah selamat dan kini menjadi tamu agung dari Kaisar," kata Milana.

Hening sejenak. Kemudian Tek Hoat bangkit berdiri dengan limbung, menjura kepada mereka bertiga dan berkata, "Saya Ang Tek Hoat bukan orang yang tidak tahu terima kasih. Ji-wi telah menolong saya dan saya menghaturkan terima kasih. Saya tidak ingin mengganggu dan merepotkan lebih lama lagi dan sebaiknya kalau saya pergi..."

"Nanti dulu, engkau bisa celaka kalau pergi dalam keadaan seperti ini, Ang Tek Hoat. Tubuhmu masih lemas dan lemah."

Tepat pada saat itu, seorang pengawal yang tadi diperintah oleh Han Wi Kong datang membawa baki terisi semangkok obat penguat dan bubur.

"Engkau minumlah obat ini dan makan bubur ini, baru kita bicara."

Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi dia maklum bahwa perutnya kosong dan tubuhnya lemah sekali, mungkin dipakai berjalan pun akan terguling, maka dia hanya mengangguk, menerima mangkok obat dan bubur itu lalu minum dan menghabiskannya dengan cepat. Biar pun tidak berapa banyak, bubur itu menghangatkan perutnya dan tenaganya agak pulih kembali.

"Sekarang kita bicara, Ang Tek Hoat," kata Milana setelah pengawal itu pergi. "Engkau berhadapan dengan Puteri Milana, dan ini suamiku Han Wi Kong, dan adikku Suma Kian Bu..."

"Ahhh, kiranya dia ini adik paduka? Jadi... jadi putera Pendekar Super Sakti?" Tek Hoat tahu bahwa Puteri Milana adalah anak dari Pendekar Super Sakti seperti yang pernah diceritakan oleh ibunya.

"Benar, dan agaknya sedikit banyak engkau tahu akan keluarga ayahku, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dari siapa engkau mengenal kami?"

"Dari ibu, akan tetapi sudahlah... saya merasa heran sekali akan tetapi juga berterima kasih kepada paduka yang tidak membunuh saya, malah menolong saya. Agaknya benar cerita ibu bahwa keluarga Pendekar Super Sakti terdiri dari orang-orang gagah dan budiman, sungguh tidak seperti kami..."

Melihat pemuda itu merendah dan hendak pergi, selalu memandang ke pintu seolah-olah tidak betah berada di situ terlalu lama, Milana dapat memaklumi isi hatinya. Pemuda ini jelas adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan kegagahan, hatinya keras dan memiliki harga diri yang tinggi. Namun entah bagaimana terjeblos ke dalam tangan para pemberontak sehingga kini pemuda ini merasa betapa dia kotor dan tidak berharga, merasa malu terhadap diri sendiri sehingga tidak betah berada di antara orang-orang yang dianggapnya gagah dan budiman!

"Ang Tek Hoat, terus terang saja, kami bukan orang-orang budiman dan terlalu gagah seperti yang kau sebutkan tadi. Kita sama saja, hanya kebetulan saja kami berada di pihak yang benar dan engkau terjeblos ke dalam kesesatan. Ketika menolongmu, selain untuk membalas jasamu membunuh Pangeran pemberontak dan kaki tangannya serta menolong Syanti Dewi, juga karena kami ingin mengajukan pertanyaan kepadamu yang kuharap engkau akan suka menjawabnya."

Ang Tek Hoat menatap wajah yang cantik jelita itu. Biar pun usianya lebih tua, namun kecantikannya mengingatkan dia kepada Syanti Dewi, terutama sepasang mata yang bening dan tajam itu. Kemudian dia menjawab, "Asal saja pertanyaan paduka itu pantas untuk dijawab, dan dapat saya jawab, tentu akan saya jawab," katanya singkat.

"Hemm, pemuda ini benar-benar keras hati dan juga cerdik," pikir Milana. "Pertanyaanku yang pertama adalah sama dengan pertanyaan yang pernah kuajukan padamu ketika engkau melawanku di hutan itu. Dari mana engkau mempelajari Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun dan siapa yang melatihmu?"

Tek Hoat sendiri sudah mendengar dari Sai-cu Lo-mo yang pernah menggemblengnya bahwa kakek sakti itu memperoleh kepandaiannya dari Puteri Nirahai, bekas Ketua Thian-liong-pang yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Maka dia pun tidak merasa heran bahwa Puteri Milana dapat mainkan ilmu silat itu dengan mahir sekali. Karena tidak ingin disangka mencuri ilmu orang, maka dia menjawab sejujurnya, "Saya pernah menerima pelajaran ilmu itu dari Suhu Sai-cu Lo-mo."

"Aihh, kalau begitu engkau masih murid keponakanku!" Milana berseru.

"Maaf, saya tidak berani, karena Suhu Sai-cu Lo-mo pernah berpesan agar saya tidak mengakuinya sebagai guru. Hanya karena paduka bertanya dan saya sudah tahu bahwa antara beliau dengan paduka ada hubungan, maka saya berani berterus terang menyebutnya."

Milana mengangguk-angguk. Dia merasa heran sekali, mengapa Sai-cu Lo-mo sampai menurunkan ilmu rahasia itu kepada pemuda ini.

"Akan tetapi, dibandingkan dengan Sai-cu Lo-mo, kepandaianmu jauh lebih tinggi."
Ang Tek Hoat tidak mau menanggapi kata-kata Puteri Milana itu, dan dia diam saja, menanti pertanyaan kedua.

"Sekarang pertanyaanku yang kedua, Tek Hoat. Di beberapa tempat, engkau memakai julukan Si Jari Maut dan menggunakan nama Gak Bun Beng. Mengapa begitu? Kenapa engkau begitu jahat dan curang, melakukan kejahatan dengan menggunakan nama lain orang?"

Karena diingatkan kepada musuh besarnya, kini dengan suara ketus dia menjawab, "Memang semua perbuatan itu saya lakukan untuk memburukkan nama Gak Bun Beng, karena jahanam itu telah membunuh ayah! Sayang dia telah mampus, kalau tidak, tentu sudah kucari dan kubunuh dia, tidak perlu lagi saya memburuk-burukkan nama orang yang sudah mati."

"Ah keparat bermulut lancang!" Kian Bu sudah bergerak hendak menerjang Tek Hoat, akan tetapi Milana memegang lengannya.

"Jangan terburu nafsu, Bu-te!"

Kian Bu teringat bahwa orang yang akan diserangnya itu masih lemah, dan memang amat lucu untuk menyerang orang yang baru saja dia tolong dan sembuhkan! Tetapi, mendengar kata-kata Tek Hoat tadi dia sudah marah sekali. "Ang Tek Hoat, engkau sungguh kurang ajar, berani engkau memaki suheng-ku dan mengatakan bahwa sudah mati. Kalau tidak ingat bahwa engkau belum sehat benar tentu sudah kuhancurkan mulutmu!"

Ang Tek Hoat terbelalak memandang Kian Bu, Milana, dan Han Wi Kong. "Apa katamu? Dia... dia... masih hidup...?" Tentu saja dia merasa heran sekali. Bukankah ibunya telah dengan jelas bercerita kepadanya bahwa musuh besar yang bernama Gak Bun Beng itu telah mati terbunuh ibunya?

"Engkau memang tukang membohong! Suheng Gak Bun Beng masih segar bugar, bahkan pernah engkau bertemu dengan dia beberapa kali, sudah pernah mengadu tenaga pula. Dia adalah Suheng yang melakukan perjalanan bernama aku, Lee-ko, dan Adik Syanti Dewi."

Mata Tek Hoat makin terbelalak dan mukanya berubah. "Aihhh... dia...? Gak Bun Beng pembunuh ayahku? Masih hidup? Kalau begitu..." Dia diam saja tenggelam ke dalam pikirannya yang bergelombang. Memang tidak mungkin kalau ibunya dapat membunuh musuh dengan kepandaian seperti itu! Bahkan laki-laki setengah tua gagah perkasa itu memiliki tenaga sakti Inti Bumi yang amat kuat! Akan tetapi kenapa ibunya mengatakan bahwa dia telah membunuh Gak Bun Beng. Apakah hanya namanya saja yang sama?

Dia harus memecahkan rahasia ini. Dia harus menemui laki-laki yang bernama Gak Bun Beng itu dan memaksanya untuk mengaku apa yang telah terjadi dengan ayahnya!

"Ang Tek Hoat, benarkah ayahmu dibunuh oleh Gak Bun Beng?" Puteri Milana bertanya sambil memandang dengan tajam penuh selidik.

"Saya tidak perlu membohong. Ayah saya dibunuh oleh Gak Bun Beng dan karena saya kira dia sudah mati maka saya sengaja memburukkan nama musuh besar saya itu," jawabnya.

"Engkau melihat sendiri bahwa ayahmu dibunuh olehnya?" tanya lagi Puteri Milana dan diam-diam dia mengingat-ingat karena wajah pemuda yang tampan ini mengingatkan dia akan seseorang akan tetapi dia lupa lagi siapa. Mata itu, bibir itu, benar-benar tidak asing baginya!

"Hal itu terjadi sebelum saya lahir. Ibu yang memberitahukan saya..."

"Ahhh...! Siapa ibumu? Dan siapa ayahmu?"

Tek Hoat menggeleng kepalanya. "Maaf, itu merupakan rahasia saya, dan tidak dapat saya ceritakan kepada lain orang. Biarlah saya mencari Gak Bun Beng dan bicara sendiri dengan dia. Saya mohon kepada paduka agar suka memberi kesempatan kepada saya untuk berhadapan dengan musuh besar saya itu, kecuali... kecuali kalau paduka hendak menghukum saya karena pemberontakan itu... saya tidak akan dapat melawan..."

"Enci Milana, manusia ini berhati palsu dan curang, lagi jahat dan berbahaya sekali kalau dia dibiarkan pergi begitu saja!" Kian Bu berkata dengan alis berkerut.

"Benar, sebaiknya dia ditahan dulu, sambil kita menanti kedatangan Gak-taihiap," kata Han Wi Kong.

Akan tetapi, ucapan suaminya itu dirasakan oleh Milana seperti ujung belati menusuk jantungnya. Setiap kebaikan sikap suaminya mengenai diri Gak Bun Beng merupakan tusukan baginya, makin baik sikap suaminya, makin tertusuk dia karena dia maklum bahwa dia telah berdosa terhadap suaminya ini. Maka kata-kata suaminya itu membuat dia bangkit menentang.

"Tidak, biarkan dia pergi! Pertama, dia adalah murid Sai-cu Lo-mo, berarti masih orang sendiri. Kedua, dia memang pernah membantu pemberontak, akan tetapi kesesatan itu telah ditebusnya dengan membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan juga ketiga orang pengawalnya, juga dengan menolong Syanti Dewi. Tentang urusannya dengan... Gak-suheng, biarlah dia selesaikan sendiri dengan yang berkepentingan. Ang Tek Hoat, jika engkau ingin pergi, pergilah. Hanya kuharap bahwa engkau akan selalu ingat bahwa kami tak mempunyai niat buruk terhadap dirimu, maka jika menghadapi segala urusan, jangan engkau terburu nafsu dan kami selalu siap untuk membantumu memecahkan persoalan yang sulit."

Sikap dan ucapan Milana ini benar-benar mengharukan hati Tek Hoat. Selama dia meninggalkan ibunya, dia tidak pernah menemui manusia yang bersikap tulus, jujur dan mulia terhadap dirinya. Kalau toh ada yang bersikap baik terhadap dia, kebaikan itu hanya menutupi suatu pamrih tertentu yang lebih merupakan penjilatan atau juga penggunaan karena tenaganya dibutuhkan seperti halnya kaum pemberontak yang berbaik kepadanya. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan seorang yang amat dikaguminya, seorang wanita yang cantik jelita, gagah perkasa, berbudi mulia dan berwibawa.

Tanpa disadarinya sendiri, kedua kakinya menjadi lemas dan Ang Tek Hoat pemuda yang angkuh dan keras hati itu, yang tidak pernah mengenal takut dan tidak pula mau tunduk kepada siapa pun, kini sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Puteri Milana! Dia merasa betapa dirinya adalah orang yang sudah kotor, yang bergelimang dengan kesesatan, yang membuat dia memandang dirinya amat rendah sekali dibandingkan dengan orang-orang gagah seperti kedua orang saudara putera Pendekar Super Sakti itu, yang membuat dia merasa seperti tidak berharga, akan tetapi yang sekaligus juga memperkeras hatinya, menimbulkan keangkuhannya sehingga sampai mati pun dia tidak akan sudi tunduk kepada 'orang-orang bersih' seperti mereka itu.

Akan tetapi, sikap Milana mencairkan kekerasan dan keangkuhannya, karena puteri ini bersikap sungguh-sungguh kepadanya, tidak memandang rendah, bahkan sinar mata yang mengandung iba yang mendalam itu membuat dia tunduk dan terharu. Suaranya agak tergetar ketika dia berkata, "Saya Ang Tek Hoat sungguh kagum kepada paduka dan selama hidup saya akan memuliakan nama paduka Puteri Milana." Setelah berkata demikian, dia bangkit berdiri, menjura kepada tiga orang itu dan dengan langkah lebar dia keluar dari kamar dan gedung itu, agak terhuyung-huyung.

Milana meneriaki pengawal dan dengan singkat memerintahkan agar pengawal itu terus membayangi dan menjaga agar pemuda itu tidak diganggu dan dibiarkan keluar dari kota raja tanpa halangan. Pengawal itu memberi hormat, lalu tergesa-gesa mengejar Tek Hoat.

"Enci Milana, betapa pun juga, aku masih tetap menganggap dia itu seorang yang berbahaya..." Suma Kian Bu menyatakan pendapatnya, hatinya kurang puas akan sikap enci-nya yang demikian lunak terhadap pemuda jahat itu.

Milana hanya menggeleng kepala dan menghela napas, memegangi kepalanya. "Bu-te, aku seperti pernah mengenalnya... dahulu... Ahhh, biarkanlah aku mengaso dulu sambil mengingat-ingat..." Dia lalu pergi memasuki kamarnya sendiri, meninggalkan suaminya yang kini duduk bercakap-cakap dengan Kian Bu, membicarakan pengalaman mereka ketika pasukan pemerintah menyerbu Koan-bun dan Teng-bun.

Di dalam kamarnya, Milana lalu mengunci pintu dan menjatuhkan diri di pembaringan. Kepalanya agak pening, bukan hanya karena urusan Tek Hoat dan bukan hanya karena dia agak lelah mengerahkan tenaga sinkang selama lima jam untuk mengobati Tek Hoat tadi. Akan tetapi ada hal lain yang lebih mendalam lagi, yang selama beberapa hari ini menusuk-nusuk jantungnya. Teringat dia akan peristiwa itu, peristiwa yang takkan dapat dilupakannya, ketika Puteri Syanti Dewi yang muda dan cantik jelita itu menegurnya dengan hebat sewaktu mereka berdua berada di dalam kamar dan tidak ada orang lain lagi.....

KISAH SEPASANG RAJAWALI (seri ke 8 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang