Jilid 16/57

1.9K 21 0
                                    

Sepasang mata jenderal itu melotot lebar, penuh keganasan, akan tetapi mulutnya tersenyum setiap kali dia melirik ke arah Ceng Ceng. "Engkau hebat... wah, engkau hebat...! Hanya tinggal kita berdua yang masih hidup. Mari klta berlomba, siapa yang lebih banyak merobohkan lawan. Ha-ha-ha!"

Sambil tertawa-tawa jenderal itu memutar-mutar pedangnya dengan dahsyat sedangkan Ceng Ceng yang sudah lelah sekali itu pun menggerakkan kedua pisaunya untuk melindungi tubuhnya dan untuk mencari sasaran pada tubuh para pengeroyoknya yang masih bersisa tiga puluh orang lebih. Ternyata bahwa dalam perang kecil yang tidak seimbang ini, Ceng Ceng bersama Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya ini telah berhasil merobohkan tujuh puluh orang lebih!

Namun, kedua orang tua dan muda yang gagah perkasa itu sudah terlalu lelah dan terlalu banyak kehilangan darah yang keluar dari luka-luka mereka. Biar pun jenderal itu masih tertawa-tawa membesarkan hati Ceng Ceng, namun gerakannya sudah lemah dan serbuan hebat dari kakek tua yang melawan Ceng Ceng tadi, dibantu oleh empat orang yang cukup lihai, membuat tangkisan pedang Jenderal Kao kurang kuat dan pedangnya terpental, terlepas dari tangannya.

Pada saat itu terdengarlah suara melengking panjang dan nyaring sekali, seperti suara burung rajawali atau garuda yang sedang marah, datangnya dari arah selatan. Namun Ceng Ceng tak sempat memperhatikan suara melengking nyaring itu karena dia terkejut bukan main melihat Jenderal Kao terguling roboh di dekat Sumur Maut. Sebelum jenderal itu dapat bangkit kembali, dua orang menubruknya dan mengangkat tubuh jenderal itu, kemudian dilemparkan ke arah Sumur Maut yang siap untuk mencaplok apa saja yang memasukinya!

"Heiiiiittt...!"

Ceng Ceng menyambitkan dua batang pisaunya dan tepat sekali dua batang pisau itu menancap ke dalam lambung dua orang yang mengangkat tubuh Jenderal Kao, mereka roboh, akan tetapi tubuh jenderal itu sudah terlempar ke arah sumur!

Ceng Ceng berteriak keras. Tubuhnya mencelat ke depan mendahului tubuh Jenderal Kao, lalu kakinya menendang dan tubuh jenderal yang tinggi besar itu berhasil dapat ditendangnya sehingga terpental keluar dari mulut sumur. Akan tetapi, hasil yang menyelamatkan nyawa Jenderal Kao ini ditebus dengan pengorbanan diri Ceng Ceng sendiri. Karena menendang tubuh berat dalam keadaan masih meloncat, tubuh dara perkasa itu terjengkang dan tepat terjatuh masuk ke dalam mulut Sumur Maut yang terbuka lebar, gelap dan mengerikan!

"Nona Ceng Ceng...!" Jenderal Kao menjerit. Akan tetapi sia-sia saja, tubuh dara itu telah lenyap dan tidak terdengar apa-apa lagi dari dalam sumur.

"Keparat, kalian telah membunuhnya! Jahanam busuk, kalian harus mampus semua!"

Jenderal itu dengan suara serak karena menahan keperihan dan keharuan hatinya melihat Ceng Ceng yang menolongnya menjadi korban terjeblos ke dalam Sumur Maut, berteriak bagaikan seekor singa terluka, kemudian dengan kedua tangan kosong dia mengamuk seperti seekor naga marah. Hatinya terasa sakit bukan main. Dia merasa amat kagum melihat kegagahan Ceng Ceng, kekaguman yang menimbulkan rasa kasih kepada dara remaja itu.

Tiada yang dapat menimbulkan kekaguman pada hati jenderal yang keras ini kecuali kegagahan, dan apa yang diperlihatkan oleh Ceng Ceng benar-benar menimbulkan kesan mendalam di hati jenderal ini. Sekarang, dia melihat dara itu tewas, terjeblos ke dalam Sumur Maut dan hal ini terjadi karena gadis itu menyelamatkannya.

Tentu saja hal ini selain mendatangkan keharuan, juga membuat dia merasa sakit hati sekali, maka mengamuklah dia dengan nekat tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri! Pada saat itu, Kao Liang bukan lagi seorang jenderal yang selalu menggunakan siasat dalam perang, tetapi seorang pria yang sakit hati melihat orang yang dikagumi dan disayangnya seperti anak sendiri, tewas di depan matanya!

Biar pun tubuhnya sudah luka-luka, namun dengan kedua tangan kosong jenderal ini mengamuk dan robohlah berturut-turut enam orang pengeroyok terdekat. Akan tetapi, kini kakek lihai dan bebarapa orang temannya yang juga memiliki kepandaian tinggi mengurungnya dan mendesaknya dengan serangan senjata mereka secara bertubi-tubi sehingga Jenderal Kao terdesak hebat. Dalam belasan jurus saja panglima yang perkasa ini telah menderita luka-luka baru lagi. Dia sedikit pun tidak mengeluh, bahkan berteriak-teriak penuh kemarahan dan siap untuk mengadu nyawa.

Suara melengking nyaring terdengar dan keadaan menjadi kacau ketika tiba-tiba semua orang yang mengepung dan mendesak Jenderal Kao terlempar ke kanan kiri seperti disambar petir. Para pengeroyok terkejut melihat munculnya seorang pria setengah tua yang bercaping lebar, lalu menggunakan capingnya itu untuk mengamuk dan siapa pun yang terdekat pasti langsung roboh oleh tamparan capingnya itu! Senjata-senjata tajam beterbangan terlepas dari pegangan pemiliknya disusul robohnya para pengeroyok.

Melihat tiba-tiba muncul seorang yang demikian lihainya, maklumlah para kaki tangan pemberontak bahwa usaha mereka membunuh Jenderal Kao telah gagal. Timbul rasa gentar di hati mereka. Tanpa dikomando lagi, larilah sisa pemberontak itu meninggalkan gelanggang di mana berserakan teman-teman mereka yang menjadi korban amukan Ceng Ceng, Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya, dan yang terakhir laki-laki bercaping lebar itu.

Orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng, pendekar yang sakti. Bersama Puteri Syanti Dewi, Gak Bun Beng tiba di tempat itu dan segera turun tangan menolong ketika melihat Jenderal Kao dikeroyok banyak orang dalam keadaan terluka. Tidak lama kemudian, Syanti Dewi muncul pula dan wajah puteri itu membayangkan kengerian menyaksikan banyak orang yang tewas dan terluka. Tempat itu bergelimang darah dan penuh dengan suara rintihan mereka yang terluka dan belum tewas.

Ketika melihat siapa yang telah menolongnya, Jenderal Kao menjadi girang dan cepat menghampiri Gak Bu Beng. "Aha, kiranya kalian pula yang muncul dan menyelamatkan aku dari ancaman maut! Bukankah engkau ini sahabat Gak Bun Beng yang pernah aku jumpai di barat?"

Gak Bun Beng menjura dan berkata, "Benar, Kao-taigoanswe, saya adalah Gak Bun Beng yang datang bersama anak saya dan secara kebetulan dapat membantu goanswe menghadapi para pemberontak itu."

"Terima kasih... terima kasih, engkau memang gagah perkasa..." Tiba-tiba jenderal itu menghentikan kata-katanya, mendekati sumur dan melongok-longok ke dalam sumur, menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.

"Aihhhh... sungguh sangat kasihan... menyesal bahwa engkau tidak datang lebih pagi, Gak-enghiong (orang gagah she Gak). Sayang, dia seorang gadis yang luar biasa, gagah perkasa dan berbudi, penuh keberanian, muda, cantik dan pandai, terpaksa harus mengalami nasib begini mengerikan..." Dengan kepalan tangannya, jenderal itu mengusap dua butir air mata dari bawah matanya!

Bun Beng mengerutkan alisnya. "Apakah maksudmu, Taigoanswe? Siapakah yang kau bicarakan itu?"

"Engkau tidak tahu dan tentu tidak mengenalnya. Dia seorang dara perkasa dari barat, dari Bhutan..."

Tiba-tiba Syanti Dewi meloncat ke depan jenderal itu dan dengan suara penuh wibawa dia bertanya, "Siapa dia? Siapa dara itu? Cepat katakan padaku!"

Jenderal Kao memandang heran. Sejak pertemuan pertama dahulu dia sudah merasa heran mengapa anak dari orang she Gak ini demikian cantik dan halus, demikian agung sikapnya, dan jelas pula bukan orang Han. Kini, menyaksikan sikapnya ketika bertanya, mengingatkan dia akan sikap puteri-puteri istana saja! Namun, karena tidak enak terhadap Gak Bun Beng, dia menjawab juga.

"Nona itu bernama Lu Ceng..."

Syanti Dewi menjerit, matanya terbelalak memandang ke Sumur Maut itu. "Lu Ceng...? Candra Dewi...? Dan... dia... dia... di manakah dia...?"

Jenderal Kao semakin kaget. Dengan mata masih menatap wajah Syanti Dewi penuh selidik, dia menjawab, "Untuk menolongku, dia telah mengorbankan dirinya dan terjatuh ke dalam sumur maut ini."

Kembali Syanti Dewi menjerit dan sekali ini dia menjatuhkan diri berlutut di dekat sumur maut sambil menangis tersedu-sedu. Bun Beng juga terkejut karena dia telah mengenal nama Lu Ceng atau Candra Dewi dari Puteri Bhutan ini. Akan tetapi Jenderal Kao yang menjadi terkejut dan terheran-heran. Sambil menghadapi Bun Beng dia bertanya, "Gak-enghiong, apakah artinya ini?"

"Nona Lu Ceng adalah saudara angkat dari Puteri Syanti Dewi, dan terus terang saja, Tai-goanswe, yang menyamar sebagai anakku ini adalah Sang Puteri Syanti Dewi dari Bhutan yang dikejar-kejar pemberontak."

"Ahhh...!" Jenderal Kao terkejut bukan main.

Tentu saja dia sudah mendengar pula akan nama Syanti Dewi, puteri raja Bhutan yang akan dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong dan yang hilang di dalam perjalanan saat diboyong. Kiranya puteri ini masih dalam keadaan selamat, tertolong oleh pendekar yang bernama Gak Bun Beng ini.

"Kao-goanswe, sudah lamakah nona itu terjerumus ke dalam sumur?" Gak Bun Beng bertanya setelah sejenak memandang ke arah sumur itu.

"Baru saja," jawab jenderal itu dengan suara serak karena dia menjadi makin terharu setelah melihat Puteri Bhutan itu menangisi kematian Ceng Ceng.

"Kalau begitu, biar saya mencoba untuk mencarinya!" Gak Bun Beng cepat lari mencari tali yang banyak terdapat di antara para korban suku Bangsa Mongol. Mereka itu sudah biasa membawa tali untuk keperluan di dalam perantauan mereka. Gak Bun Beng lalu menyambung-nyambung tali itu dan kembali lagi ke dekat sumur di mana Jenderal Kao menantinya dengan heran.

"Gak-enghiong, apa yang akan kau lakukan?" tanyanya.

"Saya hendak mencarinya di dalam sumur, harap Goanswe suka memegangi tambang ini agar dapat menolong saya kalau di bawah sana terdapat bahaya."

"Aihh, harap Gak-enghiong jangan melakukan ini!" Jenderal itu berseru kaget. "Sumur ini terkenal sebagai sumur maut dan siapa saja, apa saja yang masuk ke dalamnya, tidak pernah keluar lagi."

"Betapa pun berbahayanya, saya akan mencoba untuk mencarinya dan setidaknya memeriksa di sebelah dalam. Siapa tahu kalau-kalau nona Lu masih dapat ditolong."

"Paman... Paman Gak... benarkah saudaraku Candra Dewi masih dapat ditolong?"

"Mudah-mudahan saja."

"Tapi... tapi Paman sendiri? Jangan-jangan akan terancam bahaya di bawah sana..." puteri itu bergidik ngeri. "Kalau berbahaya... harap jangan turun ke sana..." Dia bangkit, menghampiri Gak Bun Beng dan memegang tangan pendekar itu.

Gak Bun Beng tersenyum. "Tenangkanlah hatimu, Dewi. Di sini terdapat Kao-goanswe yang akan memegangi ujung tali. Andai kata aku terancam bahaya, pasti masih dapat ditolong."

Akhirnya jenderal itu dan Syanti Dewi tidak membantah lagi, melainkan memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar penuh ketegangan ketika mereka melihat betapa Gak Bun Beng mulai menuruni sumur yang kelihatan menganga hitam dan tidak dapat dilihat dasarnya itu. Jenderal Kao memegangi ujung tali dengan kuat, mengulur tali sedikit demi sedikit ketika Bun Beng sudah mulai menuruni sumur. Sebentar saja, dua orang itu tidak lagi melihat bayangan Bun Beng yang lenyap ditelan kegelapan yang hitam pekat di dalam sumur itu.

Syanti Dewi berlutut di tepi mulut sumur sambil memandang. Dua tangannya dirangkap di depan dada karena diam-diam dia berdoa demi keselamatan pendekar sakti itu dan demi tertolongnya Ceng Ceng.

"Aahhhhh...!" Tiba-tiba Jenderal Kao berseru kaget.

Wajahnya berubah dan cepat-cepat dia menarik tambang itu dengan kedua tangannya secepatnya. Tadi ketika dia mengulur tambang sampai hampir habis, tiba-tiba tambang itu menegang dan terasa berat, tidak bergerak lagi! Syanti Dewi memandang terbelalak dan pucat mukanya.

Biar pun sudah terluka, jenderal itu masih kuat sekali sehingga sebentar saja dia sudah dapat menarik keluar tubuh Gak Bun Beng dari dalam sumur, tubuh yang tergantung pada ujung tambang yang mengikat pinggangnya. Dan ternyata pendekar itu telah pingsan dengan muka pucat dan kulit muka serta leher dan kedua tangannya agak kehitaman!

"Paman...!" Syanti Dewi hendak menubruk tubuh pingsan yang kini direbahkan di atas tanah itu, akan tetapi Jenderal Kao cepat mencegahnya.

"Harap paduka mundur. Dia keracunan, biar kucoba menyadarkannya!"

Mendengar ini, Syanti Dewi yang gelisah sekali itu hanya dapat memandang dengan air mata bercucuran, sedangkan Jenderal Kao yang berpengalaman itu lalu menempelkan kedua telapak tangan di dada dan perut Gak Bun Beng, mengerahkan sinkang-nya membantu pendekar itu untuk dapat bernapas lagi dan mengusir hawa beracun dari dalam dadanya. Akhirnya Bun Beng dapat bernapas kembali dan mengeluh, lalu bangkit dan duduk, memegangi kepalanya yang terasa pening. Ketika dia membuka mata dan melihat Syanti Dewi menangis, dia berkata,

"Tenanglah, Dewi. Aku tidak apa-apa." Kemudian kepada Jenderal Kao dia berkata, "Di bawah sana gelap sama sekali, dan dalamnya sukar diukur. Selagi masih tergantung, tiba-tiba ada tercium bau yang aneh dan napasku menjadi sesak, lalu tidak ingat apa-apa lagi."

Jenderal itu mengangguk-angguk. "Itu tentulah gas yang keluar dari dalam bumi. Sudah jelaslah nasib nona Lu... kasihan dia..."

"Dia... dia... telah mati..." Syanti Dewi menangis lalu berlutut di tepi sumur.

Sejenak mereka bertiga memandang ke dalam sumur dan seperti mengheningkan cipta. Barulah mereka sadar ketika terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan dari benteng di bawah pimpinan seorang perwira yang setia terhadap Jedecal Kao. Perwira itu bernapas lega melihat atasannya selamat, kemudian menceritakan betapa wakil Panglima Kim telah melarikan diri begitu mendengar akan kegagalan rencananya. Juga dia melaporkan bahwa Pengawal Souw Kee It yang tadinya datang bersama Ceng Ceng ternyata telah dibunuh oleh Panglima Kim sendiri yang memimpin pemberontakan.

Jenderal Kao mengepal tinjunya. "Tak kusangka! Akan tetapi, aku bersumpah untuk menangkap dan menghukum jahanam she Kim itu!"

Dia mendendam hebat karena menganggap bahwa kematian Ceng Ceng adalah gara-gara pengkhianatan Kim Bouw Sin. Bahaya yang mengancam dirinya sendiri, yang hampir menewaskannya, tidak teringat lagi olehnya karena sebagai seorang panglima yang telah puluhan tahun berkecimpung di dalam ketenteraan, ancaman maut baginya merupakan hal yang biasa saja. Akan tetapi kematian Ceng Ceng, hal itu sukar untuk dapat dilupakan oleh jenderal perkasa ini.....

KISAH SEPASANG RAJAWALI (seri ke 8 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang