7. Spongebob

4.3K 406 7
                                    

Proses itu untuk dinikmati.
Maka kau akan merasakan nikmat yang luar biasa.

Bel istirahat berbunyi.

"Nia, nanti pulang sekolah bareng aku, ya."

"Tumben, mau ngapain?" tanya Ghania.

"Temenin ke toko gamis, ya." Mohon Akila dengan wajah memelas.

"Iya-iya."

"Lo serius kirim chat gitu ke Akila, Gam?" tanya Daffa sambil meletakkan ponsel milik Agam di atas meja.

Agam hanya menganggukkan kepalanya. Dia tetap fokus memakan baksonya.

"Lo yakin bisa nepatin janji itu?"

Agam meletakkan sendok dan garpunya. Dia menatap tajam Daffa.

"Hey hey, Dedek Naufal yang imut udah dateng ni." Tanpa permisi Naufal menarik kursi di sebelah Daffa, dan langsung mendudukkan tubuhnya. "Kok pada tegang, ada apaan, sih?" tanya Naufal saat melihat aksi tatap menatap dua manusia jomblo itu."

"Lo masih bocah, gak boleh tau," ucap Daffa santai. Kini dia tidak menghiraukan Agam yang seperti ingin memakannya hidup-hidup.

"Iya gue tau, gue masih suka nonton spongebob, tapi tolong, jangan ada rahasia diantara kita," ucap Naufal dramatis.

"Lebay lo!" cibir Daffa.

"Berisik!" ucap Agam penuh penekanan.

"Iya-iya, gue diem, tapi pinjem hp, yak," ucap Naufal sambil cengar-cengir.

"Emang hp lo kemana?" tanya Daffa.

"Hp gue udah merah, kasian gue, kayak gak kuat lagi nemenin orang jomblo." Naufal melihatkan baterai ponselnya yang hanya tersisa 2%. Tanpa persetujuan dia mengambil ponsel Agam yang tergeletak di atas meja. Dia lebih memilih memainkan ponsel, karena perutnya hari ini tidak lapar. Naufal tidak perlu repot membuka kunci layar ponsel Agam. Cukup dengan menggesernya dia sudah berhasil membukanya. Memang Agam tipe orang yang simpel. Mata Naufal membulat sempurna setelah menggeser kunci layar ponsel Agam. Terlihat jelas olehnya satu chat dari Agam dan hanya dilihat oleh si penerima. Karena memang Daffa tadi tidak mengeluarkannya ke menu utama. Naufal langsung meletakkan kembali ponsel Agam. "Ini beneran lo yang chat, Gam?" tanya Naufal mode waras. Karena tidak percaya seorang Agam yang baru pertama kalinya chat seorang gadis. "Lo yakin, Gam? Semuanya bisa jadi berubah, loh."

"Iya Gam, gue cuman takut, semuanya gak sesuai harapan lo," ucap Daffa.

"Gue udah janji dan keputusan gue udah bulat," ucap Agam datar.

Daffa dan Naufal tidak lagi berkomentar. Karena mereka tau bagaimana sifat Agam. Percuma jika bertanya. Lelaki itu pasti hanya cuek-cuek saja.

***

Ghania yang sedang menunggu Akila memilih-milih gamis merasa bosan. Dia sedikit tertarik untuk melihat jilbab syari yang tergantung rapi dengan berbagai warna itu. Tangannya mulai bergerak memegang jilbab berwarna cream. Ghania mengambil jilbab syari itu dari gantungan. Lalu membawanya ke meja kasir.

"Kamu beli apa, Nia?" tanya Akila saat melihat Ghania tengah menenteng kantong plastik.

"Ada deh," jawab Ghania sok misterius. "Lo beli apa?"

"Beli gamis." Akila sedikit menaikkan kantong plastiknya. "Oh iya, Nia, aku punya rencana, kalo udah tamat nanti, aku mau buka usaha toko pakaian syari, kalo menurut kamu gimana?"

"Wah bagus tu, nanti kalo gue ke toko lo, kasih diskon ya, lebih baik lagi kasih gratis," ucap Ghania antusias.

"Kamu mah, aku serius, Nia."

"Iya bagus kok, gue akan dukung usaha lo."

"Makasih, Nia," ucap Akila disertai senyum manis.

***

Ghania membanting tubuhnya ke kasur. Rasanya lelah sekali. Perlahan dia bangkit dan membuka kantong plastik itu. Dia mengambil jilbab syari cream itu lalu membuang kantong plastiknya di tempat sampah kecil yang memang ada di kamarnya. Dia berjalan ke arah meja riasnya. Perlahan Ghania membuka jilbab segi empat putih itu dari kepalanya. Ghania sudah siap untuk mengenakan jilbab syari yang dibelinya tadi. "Bismillahirrahmanirrahim," lirihnya. Matanya sudah berkaca-kaca. Entah kenapa ada perasaan haru yang menghampirinya. Ghania terlihat cantik dengan jilbab syari yang baru beberap detik menempel di kepalanya.

"Ghania?" Aminah masih berdiri di depan pintu kamar Ghania.

Ghania langsung menghampiri Aminah. Dia memeluk erat tubuh Aminah. Isakannya kini terdengar nyaring. Ghania berusaha menyamankan posisinya. Dia mencari kenyamanan di dalam dekapan Aminah. "Bunda, Ghania benar-benar ingin berubah," ucap Ghania disela isakannya.

"Alhamdulillah," batin Aminah. Aminah melepaskan pelukkannya. Dia menangkup wajah Ghania. Perlahan Aminah mengusap lembut air mata putrinya itu. "Bunda berharap kamu bisa istiqomah, merubah suatu kebiasaan buruk itu tidak gampang, dan itu perlu proses, kamu tau kan, kalo yang namanya proses tidak selamanya mulus?"

Ghania mengangguk pelan.

"Jadi kamu harus semangat, ingat, harus sabar, ya." Aminah mengelus lembut kepala Ghania. "Jangan lupa, sertakan Allah dalam setiap aktivitas kamu."

Ghania merasa tenang dan damai. Kenapa tidak dari dulu dia berbaikan dengan Aminah. Ghania benar-benar menyesal telah banyak menyia-nyiakan waktunya.

"Ganti seragamnya, gih, abis itu makan," suruh Aminah.

"Iya Bun."

Di ruang makan tampak Ghania dan Aminah tengah menikmati makanannya.

"Bunda udah minum obat?" Untuk pertama kalinya Ghania bertanya seperti ini dengan Aminah.

"Obat Bunda kebetulan tiga hari yang lalu udah abis."

"Kenapa Bunda gak bilang? Kan Ghania bisa beliin."

"Bunda gak mau ngerepotin kamu."

"Ghania sama sekali gak merasa direpotkan, Bun." Ghania menatap Aminah sendu. Bagaimana tidak, semakin hari Aminah tampak semakin pucat. "Nanti Ghania beliin obat buat Bunda."

Aminah tidak bisa menyembunyikan senyum di balik bibir pucatnya. Dia merasa senang mendapat perhatian dari putrinya.

***

Di dalam kelas. Ghania tengah belajar berbicara menggunakan aku, kamu.

"Ih, gak deh, Kil, bukan gue banget," ucap Ghania setelah mengucapkan kata aku. Walaupun memperagakannya di depan Akila. Tetap saja dia merasa tidak nyaman dan kaku.

"Belum apa-apa udah ngeluh, ayo dong, Nia."

"Ita Ustadzah Akila."

Ponsel Akila tidak berhenti bergetar.

"Coba liat hp lo--"

"Kamu," potong Akila.

Ghania hanya menyengir lebar. Mungkin dia belum terbiasa.

Akila masih memperhatikan Ghania.

"Itu hp ka-- ishhh!" kesal Ghania. "Itu hp kamu getar-getar mulu, Kil," ucap Ghania susah payah.

Akila meraih ponselnya yang sedari tadi tergeletak di atas meja. "Agam ilang?" gumam Akila.

"Kenapa, Kil?" tanya Ghania yang mulai penasaran.

"Ini di grup rohis pada nyari Agam, tapi gak ada, katanya abis sholat zuhur pelajaran terakhir dia juga gak masuk."

"Mungkin masih di musholla," tebak Ghania.

"Ini kata Daffa, tadi dia habis zuhur, masih bareng-bareng ke kelas." Mata Akila terus memperhatikan chat yang tidak berhentinya masuk.

"Lo, eh salah," ucap Ghania nyengir. "Kamu khawatir?"

"Sedikit." Akila tidak bisa berbohong. Dia memang merasakan khawatir sekarang.

Obrolan mereka terhenti saat Pak Mamat masuk ke dalam kelas mereka.

Bel pulang sekolah berbunyi.

"Aduh Daf, gimana, ni?" tanya Naufal panik. "Masa iya Agam sampe bolos gini."

GHANIA [Revisi Versi Cetak]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang