05. Tentang Rasa II

4K 771 102
                                    

~UNFRIEND~

Aku duduk di teras rumah. Sengaja agar Doyoung tidak perlu menunggu. Karena aku tahu, menunggu itu tak nyaman.

Sebelumnya, aku sempat menolak ajakan Yedam untuk bertemu hari ini. Namun Yedam terlalu kukuh dengan ajakannya sehingga terpaksa aku mengundur pertemuan menjadi sore nanti.

Aku perlu bicara dengan Yedam tentang 'alasan' yang dibicarakan di grup kelas tempo hari.

Tak lama, ku lihat Doyoung datang dengan sepedanya. Aku pun segera menghampirinya sambil menepuk-nepuk pundaknya.

Ia menatap wajahku sebentar kemudian beralih menatapku dari bawah ke atas lalu ke bawah dan kembali lagi ke atas. Dengan mulut yang ternganga.

"Eh, kenapa?"

Kini, aku sedang memakai celana jeans robek berwarna hitam dan kaos lengan pendek bertuliskan gucci dan sling bag berwarna hitam serta sepatu flat berwarna putih yang dihiasi logo gucci.

Sedangkan Doyoung memakai sweater biru putih dan jeans biru serta sepatu sneakers berwarna putih.

"Kita ke JCo jalan kaki aja ya?" Tawarnya. Aku mengangguk mengiyakan. Karena kebetulan, perkomplekkan rumahku tak jauh dari JCo.

Sesampainya di JCo, kami memesan donat dan kopi yang sama persis dan duduk di salah satu kursi yang disediakan.

Aku menyeruput es kopi ku sebentar kemudian menatap manik mata Doyoung yang sedari tadi sedang memperhatikanku.

"Kamu ateis?"

Ia pun mengangguk pelan.

"Teman-teman yang lain tahu? Kenapa cuman aku yang gak tahu?" Tanyaku padanya. Entahlah, mungkin saja dia tahu alasannya.

"Mereka bukan teman-temanku" Aku mengerinyitkan dahiku seakan bertanya mengapa dia berkata semacam itu.

"Temanku cuman kamu. Satu-satunya"

•••

"Kok bisa ada rencana mutasi Doyoung ke kelas lain?"

Kini, aku dan Yedam sedang berada di teras rumahku. Sabtu sore ini, sesuai yang direncanakan Yedam ingin menemuiku dan berbicara.

Aku menaruh secangkir teh panas dan piring kecil dibawahnya ke atas meja kemudian aku duduk di kursi teras.

"Doyoung itu didiskriminasi di kelas kita" jawab Yedam sambil menyeruput teh yang ku sajikan untuknya.

"Seperti kata Junkyu, apalagi di kelas lain. Kelas kita ini unggulan, mau dimutasi ke kelas yang di bawah kelas kita? Huh, bagaimana sih!" Aku berceloteh. Jujur, aku kesal pada Yedam.

Yedam menghela napas kasar. "Yaudah yaudah, nanti aku ngomong sama Pak Chandra biar Doyoung gak jadi dipindahin"

Senyumku merekah seketika. Perasaanku sekarang benar-benar senang. Setidaknya, aku tidak begitu jauh dari Doyoung. Hahaha.

Aku prihatin padanya. Mungkin, aku lah satu-satunya makhluk hidup yang mau berteman dengannya. Pernah terbesit di benakku tentang keluarga Doyoung. Apa mereka juga ateis?

"Ah ya, Yedam!" Yedam yang awalnya menyeruput teh sambil menahan panasnya menaruh cangkir itu di atas meja kemudian menatapku.

"Hm?"

"Doyoung itu ateis?" Tanyaku.

Ku lihat wajah Yedam yang awalnya biasa saja menjadi muram dan nampak kesal. Ia mengalihkan pandangnnya dariku sambil mengepalkan tangannya.

"Kamu masih mau temenan sama dia?" Tanya Yedam tanpa menatapku.

"Memangnya aku seperti kamu yang pemilih dalam hal berteman" singgungku.

"Ah gak asik" Ku lihat Yedam tampak kesal karena aku yang kalau tidak menyinggungnya ya aku akan mengkritiknya.

Tiba-tiba, hujan mengguyur kota Banjarmasin dengan lebat. Tanpa rintik, tanpa kelabu. Ya, sesederhana itu.

Sesederhana aku menyukai Doyoung.

Mungkin.

"Yah aku gak bisa pulang" ucap Yedam sambil menundukkan wajahnya.

"Hujan selalu punya caranya sendiri. Untuk aku seolah berbicara dengan tiap tetesannya—" Mataku beralih menatap air langit yang turun melewati atap teras.

"—untuk aku seolah mencair setelah begitu kerasnya aku di musim kemarin"

"Aku gak ngerti sih, tapi bagus!" Yedam memujiku secara berlebihan, menurutku.

"Semoga turunnya hujan, tidak melulu membawa kita untuk selalu mengenang sesuatu yang tak mungkin lagi bisa terulang" Kata-kata itu, entah kenapa begitu saja lolos dari bibirku.

Aku menyesal jika harus berhadapan dengan kenangan-kenangan yang membuat Yedam mengubah sikapnya terhadapku.

Tak sengaja, air mataku meleleh begitu saja. Sungguh aku tak tahan dengan hujan yang selalu saja membawaku mengarungi kenangan.

"Hujannya di luar, tapi basahnya sampai di pipi. Gimana sih?" Celoteh Yedam sembari menghapus air mataku secara perlahan.

Aku sama sekali tak berniat untuk menatapnya. Selalu saja mengingatku tentang rasa sakit yang menikam dada.

"Hujan itu turun, bukan jatuh. Yang jatuh itu aku, di hatimu" Perkataan Yedam barusan membuatku tertawa hampa. Ucapan yang basi.

Yang kupikirkan sekarang adalah bagian terbaik dari hujan hanyalah kopi atau indomie, selebihnya hanya puing kenangan yang berserakan dalam hati.

"Jangan terlalu banyak menelan kenangan, nanti overdosis. Aku belum siap ditinggal mati" Lagi dan lagi, perkataan Yedam membuatku tertawa. Tawa hampa, pastinya.

"Kenapa kamu berubah?"

"Sebab suatu hari, kamu bisa aja berpaling dan melepaskan aku. Kamu bisa aja menusuk lebih dalam jantungku. Kamu bisa aja menjadi orang yang paling asing, melebihi yang paling asing. Itulah alasan sederhananya, kenapa aku lebih suka mencintaimu dengan sekadarnya. Meskipun sekadarnya, perasaan itu tetap terjaga"

Kini, rahasia itu terbongkar. Seperti kotak harta karun yang kayunya mulai lapuk namun berisi banyak emas. Seperti Yedam yang ku kira tak lagi mencintaiku namun ternyata melebihi apa yang ku kira.

Sesederhana itu ternyata.

~UNFRIEND~
To Be Continued.






Gais, aku bikin latar tempatnya kota ku sendiri:(

Unfriendly ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang