11. Terheran-heran

2.6K 570 36
                                    

~ UNFRIEND ~

Aku mempercepat langkahku ketika bel pulang terdengar. Hari ini Doyoung masih tidak masuk, terlebih hari ini hanya class meeting yang bagiku tidak begitu penting.

Sesampainya di parkiran, seseorang menepuk pundakku. Ketika aku berbalik ku lihat sosok Yedam di hadapanku.

"Mau ke rumah sakit tempat Doyoung dirawat? Bisa bareng?" Aku kaget. Yedam bisa baik juga ternyata.

"Gak usah sok baik" cetusku. Aku mencoba melangkah menjauhinya namun ia menahanku.

"Niatku baik loh" ucapnya. Aku tidak bisa selalu berprasangka buruk juga kan pada Yedam. Lalu, aku mengangguk lemah.

Yedam pun menarikku, mengajakku mendekat ke arah motornya. Ia mengambil helm yang ditaruh di kaca spionnya dan helm di jok motornya.

Aku hampir saja ingin mengenakan helm yang diberikan Yedam ketika Yedam dengan tiba-tiba bersuara.

"Apa kita bisa kayak dulu? Pas masa SMP?"

Aku menatap wajahnya kesal. Untuk apa kembali seperti dulu jika hanya luka yang kembali menganga? Percuma, aku tak perduli lagi.

Aku mengembalikan helm Yedam dengan sarkas dan meninggalkannya pergi. Beberapa kali aku mendengar ia memanggil namaku namun aku mencoba mempercepat langkahku hingga akhirnya manik mataku mengarah ke Lami yang sedang menghidupkan motornya.

"Lam! Lami!" Panggilku cepat dan segera menyusulnya yang berada dalam radius sekitar tiga meter. Ia terperanjat, kemudian aku langsung duduk di belakangnya.

"Ayo jalan!" Suruhku karena ketika aku berbalik, aku melihat Yedam yang mencoba mengejarku namun terjepit(?) kerumunan.

"Tapi kemana?!"

"Kemana aja!" Lami menggas motornya kencang. Sepertinya ia tahu kalau aku dikejar-kejar Yedam.

Kami berkendara sekitar sepuluh menit dan Lami menghentikan motornya di depan cafe. Kami masuk dan mencari tempat duduk di bagian paling ujung.

Aku duduk dan di sebelah kiriku adalah kaca cafe dan sebelah kananku adalah Lami.

"Lo kenapa sih?!" Aku menghela, tak lama tangisku berhambur begitu saja. Rasanya tangis itu sudah tak bisa dibendung lagi. Lami menggosok-gosok lembut bahu kananku dengan tangan kanannya.

Aku menatap kaca, melihat ke arah luar yang mulai mendung. Langit, bisakah kau turunkan hujan dan petir? Karena aku ingin menangis tanpa terlihat, ingin menjerit tanpa terdengar.

Tak lama, hujan turun. Ah, terima kasih Tuhan karena telah memperbolehkan langit menyamarkan jerit tangisku.

Aku terisak-isak, sesenggukan. Aku mendengar Lami yang terus berbisik menanyakan ada apa denganku.

Aku menegakkan punggungku, menghapus air wajahku yang basah dengan punggung tanganku kasar. Menyeka hingga ke pelupuk mata yang ku yakin mataku mulai membengkak dan memerah.

"Yedam" lirihku. Lami mengerinyitkan keningnya bingung.

"Aku sama Yedam pernah pacaran pas kelas tujuh SMP sampai kelas sembilan SMP" ucapku. Lami membelalakkan matanya kaget.

"Hah?! Beneran?! Gini loh, gue tahunya lo sama Yedam itu adanya hubungan tanpa status" ucap Lami.

Beruntungnya, tak ada alumni SMP yang bersekolah di SMA Matriks. Jika ada, mungkin semuanya akan terbongkar.

"Yedam itu gak bisa menjaga prinsip hubungan kami, dia selalu ngehancurin komitmen yang sudah kami buat" ungkapku.

"Kami putus pas perpisahan. Tapi besoknya, aku dengar kalau Yedam pacaran sama alumni SMP ku" lirihku. Lami mengusap punggungku, menyuruhku bersabar.

"Kami putus secara baik-baik. Pas reuni, Yedam bilang kalau dia mau mencoba membenciku, makanya pas kelas sepuluh kami suka berantem. Tapi aku gak sejahat Yedam, kalau Yedam mau temenan, temenan aja"

"Tapi semenjak aku dekat sama Doyoung, tiba-tiba Yedam berubah menjadi lebih baik ke aku" sambungku.

"Jadi, maksud lo Yedam itu narik ulur lo? Dih, emang lo tarik tambang apa?! Tahu gitu gue gak voting Yedam jadi ketua kelas" rutuk Lami ikut emosi.

"Yedam sama Junkyu sama, ya. Sama-sama berusaha mencoba membenci lo" ungkap Lami yang membuatku membulatkan mataku.

Bahkan, aku baru kepikiran perihal Junkyu sekarang.

"Mending, lo gak usah lagi deket sama Junkyu maupun Yedam. Nanti lo sakit" nasihat Lami.

Aku mengangguk lemah kemudian memeluk Lami erat. Sebacot-bacotnya Lami, dia tetap saja pendengar dan penasihat yang baik.

"Astaga, Lam! Aku kan mau jenguk Doyoung!"

•••

Sesampainya di depan ruang Tulip dua belas, aku masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Ketika memasuki ruangan itu, betapa terkejutnya aku ketika tidak mendapati Doyoung disana.

Terkejut aku terheran-heran.

"Mana Doyoung, Ra?" Tanya Lami heran. Aku menatap balik Lami kemudian memancarkan wajah cemasku.

Dokter bilang, Doyoung ditemukan tergeletak pingsan di tengah jalan dengan seragam sekolah dan ketika ditelaah rupa-rupanya Doyoung sedang banyak beban pikiran.

Bagaimana jika lagi-lagi Doyoung ditemukan tergeletak di tengah jalan? Tak bernyawa?

Sialan! Pikiranku ini!

Aku bergidik ngeri membayangkan halusinasiku sendiri. Tak lama dari itu, suster datang dan merapikan kasur yang sebelumnya digunakan Doyoung.

"Sus, pasien bernama Doyoung yang dirawat disini kemana, ya?" Tanyaku berinisiatif, mungkin saja suster ini tahu.

"Oh, Doyoung sudah dibawa pulang oleh keluarganya" jawab suster itu ramah.

Terkejut aku terheran-heran.

"Tuh udah dibawa keluar— Bukannya Doyoung gak punya keluarga?" Lami yang awalnya berucap enteng seketika berbisik padaku.

"Tante Rianti pasti masih sibuk" gumamku sambil berjalan ke luar ruangan diikuti oleh Lami yang masih terheran-heran.

"Tante Rianti siapa, malih?" Tanya Lami terheran-heran. Aku menoleh ke arahnya, memancarkan wajah curigaku.

"Tantenya Doyoung" bisikku dan dibalas Lami dengan merotasikan bola matanya.

"Udah sama tantenya juga, gak percayaan amat" cibir Lami sambil memainkan ponselnya.

Namun aku masih terheran-heran, apa benar Tante Rianti yang sudah membawa pulang Doyoung? Jika benar, syukurlah.

Tapi, aku masih tidak begitu yakin.

~ UNFRIEND ~
To Be Continued

Unfriendly ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang