24. Double Surprise

2.1K 429 149
                                    

u n f r i e n d

Seusai mandi sekitar tiga puluh menit yang lalu, aku masih terdiam membisu. Ingatanku hanya terpaku pada sosok laki-laki sore itu.

Kata-katanya beberapa jam yang lalu, sungguh menusuk-nusuk hatiku ngilu. Ah, terdengar jahat sekali hingga aku menitikkan air mata kala itu.

Entahlah, perasaanku berkecamuk. Entah mengapa hatiku terasa nyeri. Aku kecewa pada pernyataan Haruto sore itu.

Kini, aku menatap bulan yang temaram. Bulatnya penuh, namun tengah sendu sepertiku.

Ah, ya. Aku bahkan hingga lupa akan sesuatu. Aku harus menelpon Yedam.

"Halo"

Aku sedikit gemetar ketika mendengar suara dari seberang sana. Cepat juga Yedam mengangkat panggilan dariku.

"Halo, Yedam"

Terdengar helaan napas dari sana. Aku memejamkan mataku. Ah, sepertinya ada kesalahan teknis. "Kenapa, Ra?"

Masih dengan panggilan yang sama sejak zaman SMP.

"Lo pindah sekolah—"

"Gon udah cerita ke gue tentang Jeongwoo. Tapi maaf aja ya, dia bukan juru bicara gue. Terlebih gue gak bayar dia buat fitnah lo"

Aku terhenyak sejenak. Keterlaluan sekali Byounggon menceritakan hal memalukan itu.

"Jangan merasa bersalah. Gue pindah bukan karena lo kok"

"Lalu?"

"Bokap gue dimutasi ke Sumatra. Jadi mau nggak mau, gue sama nyokap juga harus ikut"

Aku menghela napas pelan. Sejak kemarin aku memang sulit tertidur karena memikirkan hal ini. Aku merasa bersalah atas kepindahan Yedam.

"Lo gak pamitan sama gue" gurauku diiringi sedikit kekehan. Begitupun dengan Yedam yang kudengar ikut terkekeh.

"Gue kira lo seneng gue pergi"

Ah, frasa itu terdengar menyakitkan. "Gue gak seneng lo pergi tanpa pamit" ucapku dengan suara datar.

"Maaf kalo selama ini lo merasa terganggu. Gue minta maaf atas perlakuan kasar gue ke lo"

Aku menghela. Mengapa Yedam mengundang simpati padaku?! Dengan begini, sepertinya ia sengaja membuatku merasa bersalah, terus menerus merasa iba padanya.

"Untuk ucapan gue tempo hari, sekarang gue udah ngotak. Lo tetap harus bahagia walaupun bukan sama gue. Yang terpenting sekarang adalah asalkan lo bahagia, Ra"

Aku menahan isakan tangisku. Sial sekali. Yedam memang ahli dalam mengundang air mata.

"Dan sebagai penutup, ini adalah panggilan terakhir kita, Ra. Setelah ini jangan pernah hubungin gue lagi. Biarin gue move on dengan tenang"

Tuut… Tuut…

•••

Aku berjalan lemas menuju sofa ruang tamu. Kemudian duduk di samping Kak Yunhyeong.

Hampir sepuluh menit yang lalu, aku menangis terisak di kamar. Mataku sedikit sembab. Tapi aku tidak ingin Kak Yunhyeong cemas.

"Ayah sama bunda ke Bogornya lama gak?" Tanyaku sambil terus menatap lurus ke depan.

Ya, ayah dan bunda pergi ke Bogor karena sepupu ayah sedang jatuh sakit. Terlebih sepupu ayah hanya tinggal sebatang kara.

Ah, jadi ingat Doyoung yang kupaksa tinggal dirumahku.

Unfriendly ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang