Prolog [ √ ]

1.6K 82 37
                                    

"Tuhan itu adil, jika dia tidak memberi apa yang kamu mau, maka Tuhan memberi lebih baik dari yang kamu mau."

¤¤¤¤¤


Seorang laki-laki berlari secepat yang dia bisa, menelusuri lorong panjang rumah sakit. Bahkan tidak sengaja menabrak beberapa orang yang dilewatinya, tidak minta maaf, tidak juga peduli umpatan mereka. Jantungnya berdetak tak karuan antara rasa panik, lelah, dan juga takut. Semua bercampur menjadi satu dan semakin terasa menyesakkan saat dia sudah berada tepat di depan sebuah ruang rawat.

Isak tangis dari orang-orang yang ada di depannya membuat dia memelankan langkah. Mengepalkan tangan erat. Sesuatu terasa mendesak matanya hingga mengaburkan pandangan. Dia tak percaya akan semua yang terjadi. Merasa bahwa ini hanya mimpi.

Seorang wanita paruh baya dengan berlinang air mata menatapnya, tatapan yang sarat akan kesedihan. Wanita itu mendekat, menyentuh tangan anak bungsunya.

"Kenapa Mamah nangis? Bagaimana keadaan Rania?" tanya laki-laki itu berusaha menampik apa yang di pikirkannya sejak tadi.

"Rania sudah tiada, Ardi. Dia pergi," jawab wanita yang dipanggil mama itu. Tangisnya semakin deras melihat anaknya yang seperti kehilangan arah.

"Nggak! Itu nggak mungkin. Mamah pasti salah." laki-laki itu segera masuk ke dalam kamar inap yang hampir selama 2 minggu ini menjadi tempat kunjungannya.

Di sana, di atas ranjang pesakitan terbujur kaku seseorang yang sangat dia cintai. Sebuah kain putih sudah menutupi seluruh tubuhnya. Semua peralatan sudah tak ada yang menempel seperti kemarin. Namun dia tidak akan lupa bahwa kemarin kekasihnya masih di sana. Bahkan sempat tersenyum menyapa.

Air mata laki-laki itu luruh, bersamaan dengan tubuhnya yang bergerak menuju ke arah gadis itu. Dengan tangan bergetar dia membuka tutup kain secara perlahan. Apalah daya, yang dia lihat hanyalah wajah pucat gadisnya. Tidak ada lagi senyum menawan, tidak ada wajah cantik penuh rona kemerahan. Kini hanya menyisakan wajah tanpa ekpresi.

Laki-laki itu menggeleng tak percaya dengan apa yang dia lihat, baru kemarin rasanya kekasih tercintanya ini menerima pinangannya, tapi sekarang gadisnya sudah tak lagi membuka mata. Kenapa bisa begini.

"Kamu bohong, Rania. Kamu bilang akan selalu bersamaku, akan selalu menemaniku, tapi nyatanya kamu pergi meninggalkan aku ... hikks!" ucap laki-laki itu. Air matanya luruh. Isakannya mampu menyayat hati siapapun yang mendengar.

Tangisan laki-laki itu membuat mereka yang ada di luar tak tega melihatnya, mereka semua juga kehilangan tapi lebih sakit yang dirasakan laki-laki itu.

Pria baruh baya yang sedari tadi mengamati segera berjalan menuju ke arahnya.

"Ardi, tenangkan dirimu, Nak. Rania sudah tidak ada, dia harus segera dimakamkan," ucap pria paruh baya, ayah dari sang anak, menatap kasihan putra bungsunya itu.

"Tidak, Pah. Aku tidak mau pergi, dia pasti hanya tidur," bantah laki-laki itu. Tetap kekeh bahwa kekasihnya hanya tidur. Ardi, laki-laki malang yang baru saja ditinggal tunangannya pergi dari dunia selamanya.

"Ardi, ingat! Rania sudah pergi. Kamu harus menerima kenyataan itu!" ucap tegas sang ayah. Bersedih boleh, tapi jangan sampai meratapi.

"Tidak! Bagiku Rania masih ada, dia tidak pergi kemanapun!" Setelah mengucapkannya, Ardi pergi meninggalkan ruangan itu, kakinya melangkah cepat menuju taman rumah sakit. Tidak peduli dengan teriakan kedua orang tuanya ataupun kakaknya. Dia berjalan ke tempat paling pojok dan duduk di sebuah kursi usang yang sepertinya jarang digunakan. Memang siapa mau duduk di tempat sepi seperti ini.

Matanya menengadah menatap langit sore, air matanya masih menetes meski berulang kali dia menyekanya secara kasar. Seakan air mata itu memang tidak mau berhenti.

"Inikah yang kau inginkan?" ucap Ardi lirih dengan air mata berlinang. Sekumpulan awan bergerak pelan. Desir angin menerpa wajahnya.

"Apa kau senang sekarang melihat aku terpuruk? Jika memang begitu, maka selamat. Kau berhasil." Ucapannya semakin melemah, tertahan oleh air matanya. Dia sudah bersungguh-sungguh dalam berdoa, memohon dengan sangat. Tapi apa balasannya.

"Kau berhasil membuatku menjadi bahagia dan sedih saat bersamaan, kau juga berhasil membuatku ragu akan dirimu." Ardi membuka matanya, tersenyum di antara lelehan tangis di pipi. Wajah rupawan itu tidak lagi memancarkan sinar bahagia di matanya.

"Jadi ini maumu, Tuhan! Kau mau membuatku membencimu? Maka, engkau berhasil sekarang." Dia menunduk, menatap tanah yang dipijaknya.

"Karena mulai saat ini, aku Azka Ardias Adiwangsa tidak akan lagi berdoa kepada-Mu, tidak akan lagi memohon kepada-Mu, tidak akan lagi melaksanakan perintah-Mu, dan tidak akan lagi percaya pada-Mu... bagiku kau sudah tak ada lagi, kau sudah tak berarti lagi seperti diri-Mu yang membuat seseorang yang kucintai pergi. Kau berhasil," ucap Ardi menghapus sisa air mata di pipinya.

Berjalan menuju ke parkiran, tujuannya satu menuju tempat yang tak pernah dia kunjungi seumur hidupnya, tempat yang dulu sangat haram dia sentuh tapi kini tidak lagi.

Kini sudah tidak ada lagi Ardi yang dulu, tidak ada lagi Ardi yang percaya Tuhan.

Biarkan mereka yang ada di sana menyelesaikan semuanya, tinggalkan Ardi sendiri meratapi nasib buruknya.

♥♥♥♥

Terima kasih sudah berkenan membaca :)
Salam hangat dari author ^,^

Dear Doctor (Complete) [Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang